Bareness

have you ever looked in the mirror
bare-faced, exposed, vulnerable
and still think,
my goodness, I’m beautiful?

’cause one of the best things in the world
is to realize that who you are is enough
and if you haven’t
would you be willing to try?

who you are
is
more
than
enough.

who you are
– scars
and
all –
is
beautiful.

Menyusun Anggaran untuk Tinggal di Bali

“Kak, aku pengin pindah ke Bali, kira-kira butuh berapa ya?”

“Aku berencana menetap sementara di Bali, tapi bingung atur keuangannya.”

“Mahal nggak sih tinggal di sana?”

“Aku ditawarin kerja di Bali, tapi nggak ada gambaran minta gaji berapa.”

Berhubung pertanyaan-pertanyaan senada sering saya terima dan nggak mungkin dijawab semua—karena keperluan tiap orang pasti berbeda—saya mencoba menuliskan beberapa poin yang bisa membantumu menyusun anggaran untuk mewujudkan mimpi tinggal di Pulau Dewata.

Lifestyle

Makan di luar atau masak sendiri? Gaul seminggu sekali atau dua hari sekali? Nongkrong di tempat mahal atau makan di restoran sederhana? Wajib mandi air hangat atau cukup air dingin? Harus tidur pakai AC atau nggak keberatan pakai kipas angin?, dsb, dst.

Tentukan dulu gaya hidup yang kamu inginkan (tepatnya sih, sanggup jalani) sebelum memutuskan hijrah ke Bali. Habis itu, baru deh, susun anggaran berdasarkan lifestyle tersebut. Contoh: kos-kosan ber-AC dengan water heater, cleaning service dan private kitchen di lokasi yang cukup strategis harganya sekitar 3,5juta per bulan, belum termasuk listrik. Rela melipir agak jauh? Kosan dengan fasilitas serupa bisa didapat dengan harga 2jutaan. Minum kelapa muda di pantai? Harganya 15-60ribu tergantung beli di mana. Pasirnya sih sama-sama aja. Ombaknya juga. Wkwk.

Akomodasi

Harga sewa rumah dan kos-kosan di Bali sangat beragam. Mau rumah dua kamar yang sewanya 20jutaan per tahun? Ada. Mau kosan tipe studio yang harganya 7juta per bulan? Adaaa. Mau kamar sederhana yang di bawah 1juta dengan dapur? ADA. Mau kosan fully furnished plus-plus (plus kompor, teko, peralatan makan, galon, dispenser, dll. pokokmen masuk tinggal bawa baju) dengan harga terjangkau? ADAAA.

Homestay, vila, joglo, bungalow, semua jenis hunian ada di Bali, kecuali apartemen puluhan lantai yang sebaiknya memang dibiarkan hanya ada di kota-kota besar. Karena saya bekerja di rumah dan paling produktif menulis ditemani kesunyian atau musik lembut, saya memilih ‘berinvestasi’ di hunian yang sedikit lebih mahal dan sesuai standar kenyamanan.

Tips: Hindari mencari kosan/kontrakan di Facebook Group komunitas (Bali Community, Canggu Community, Ubud Community) karena harga yang ditawarkan umumnya selangit. Banyak orang asing, soalnya. Saya biasanya berkunjung ke sini dan sini untuk mendapatkan informasi kos-kosan dan kontrakan dengan harga merakyat.

Makan, Jajan dan Kawan-Kawannya

Dengan memasak sendiri, saya hanya menghabiskan sekitar 1-2juta per bulan untuk makan, itu pun sudah belanja di supermarket, makan mewah (salmon, sapi, ayam, keju, buah dan sayur impor), plus ongkos transportasi online. Sebelum memutuskan untuk masak sendiri, saya menghabiskan 4-6juta per bulan hanya untuk makan dan jajan. Warbiyasak perbedaannya, bukan?

Supermarket terbaik untuk belanja keperluan dapur atau bulanan? Tiara Dewata dan Bintang. Minimarket favorit? Pepito. Yang lebih lengkap dari minimarket tapi nggak seheboh supermarket? Popular.

Kangen masakan Jawa/Jakarta/Kalimantan, dst.? Worry no more, wahai para perantau! Silakan bergabung ke Facebook Group Kuliner Bali atau Wisata Kuliner Bali. You’ll be amazed. Everything you can think of is available there.

Transportasi

Saya yang malas nyetir sendiri dan nggak sering-sering amat keluar rumah memilih transportasi online untuk bepergian, sementara teman-teman umumnya menyewa motor seharga 500-600ribu per bulan, ditambah 100-200ribu untuk bensin. Saya kurang tahu harga sewa dan penggunaan bensin untuk mobil karena hampir semua teman memilih motor demi kepraktisan. Gampang nyelip, gampang cari parkiran!

Pulsa

Berhubung kosan saya menyediakan wi-fi yang cukup untuk menunjang segala keperluan berselancar di jagat maya, saya hanya mengeluarkan 200ribu per bulan untuk pulsa. Sebelum pindah ke kosan yang sekarang, saya menghabiskan sekitar 500ribu per bulannya.

Hiburan dan Bersenang-Senang

Keunggulan besar tinggal di Bali dibandingkan kota-kota lain adalah …well, it’s Bali. You don’t need to spend much on entertainment. Nongkrong di pantai (ojek online: 8ribu) sambil ngemil jagung bakar (10ribu) dan minum air kelapa (20ribu) aja udah bikin bahagia. Duduk-duduk di restoran tepi sawah sambil baca buku atau people-watching (30-50ribu) udah bikin senang.

Saya hanya ke mal kalau ada film baru yang ingin ditonton dan sangat jarang belanja pakaian, sepatu, tas karena yang dibutuhkan untuk tampil gaya di Bali hanya atasan simpel, celana pendek dan sandal jepit. Kalau kamu perlu gaul di mal atau belanja setiap minggu, tambahkan ke dalam anggaran.

Belajar latin dance juga menjadi aktivitas favorit saya untuk hiburan, bertemu teman baru sekaligus olah raga (keringetannya lumayan, mak). Gurunya sabar dan baik luar biasa, per sesinya 50ribu sajah. Saya jelas memilih membakar kalori di lantai dansa ketimbang nge-gym. But you do you!

Semoga poin-poin di atas bisa membantu kamu mengira-ngira anggaran yang dibutuhkan untuk hijrah ke Bali. See you on the island of the Gods! 😉

Apa itu JEPRUT?

Beberapa minggu lalu, saya yang kurang enak badan dan bosan Netflix-an membuka medsos, berharap menemukan sesuatu yang menghibur, jokes receh, apa pun lah yang bisa menghibur hati.

Instead, I found CELUP. Kampanye oleh sekelompok mahasiswa—yang katanya tugas kuliah—yang bertujuan merekam kemesraan di publik dan mempublikasikannya di medsos untuk mempermalukan oknum yang bersangkutan, dengan harapan mengurangi ‘tindak asusila’.

Rasa pertama yang muncul adalah amarah. Reaksi kedua yang timbul adalah lelah. Gerah. Gelisah. Tak perlu saya jelaskan mengapa.

Tak lama setelahnya, seorang teman berkomentar, “Mungkin sudah saatnya ada yang bikin versi baik dari CELUP, lamtur dan akun-akun sejenis—memperlihatkan kebaikan, bukan melulu gosip atau keburukan.”

Malam itu saya membuka laptop dan membuat akun Instagram @jeprutid.

Kenapa pilih nama JEPRUT? Karena itu kata pertama dalam Bahasa Sunda yang terlintas di benak. Saya senang dengan Bahasa Sunda meski nggak bisa ngomong apa lagi nulis, karena mendengarnya selalu bikin suasana jadi ceria dan menyenangkan (setidaknya buat saya).

Tujuannya apa?

JEPRUT dibuat untuk menyejukkan medsos yang belakangan ini panas melulu. Untuk mengendurkan otot-otot wajah dan jempol yang kerap tegang karena banyaknya hoax, twitwar, bullying, debat kusir, dan segala hal lain yang tak henti-hentinya membombardir kita dengan kecepatan tinggi.

JEPRUT juga merupakan sebuah eksperimen: Kalau kita sudah segitu bosan dan gerahnya dengan huru-hara di belantara maya, maukah kita jadi bagian dari mereka yang menciptakan perubahan positif? Will good things attract more attention than bad things? Do we care enough?

JEPRUT terbuka untuk siapa saja yang ingin berbagi kebaikan di sekitarnya—kebaikan yang dilakukan dalam wujud apa pun, sesederhana apa pun. Semua orang bisa berpartisipasi membagikan kebaikan lewat foto dan cerita melalui e-mail di jeprut.id@gmail.com. Tidak ada hadiah bagi pengirim yang foto dan caption-nya dimuat, karena saya percaya kebaikan layak disebarkan tanpa mengharap imbalan.

Overall, I guess what I really want to see is some goodness in this world full of anger, hatred and darkness… and those who will strive for it.

Karena setitik nyala lilin lebih baik dibandingkan kegelapan total.

Jadi, mari lakukan ini bersama-sama.

Alasan Jatuh Cinta dengan Meal Prep

Creamy Lemon Pepper Chicken with Mushroom

Baru sebulan lebih mealprep-an, saya sudah berkali-kali jatuh cinta. (Apa itu meal prep? Silakan tanya ke Bang Google.) Berkali-kali ngomong ke diri sendiri, tau gini dari dulu ajaaa.

Saya nggak suka masak (dulu), dan nggak bisa masak. Kemampuan masak saya amat standar, goreng-goreng tumis-tumis, itu pun juaraaang buangeeet karena males kecipratan minyak. Sampai bulan Oktober, ketika saya memutuskan untuk membeli sebuah oven. Katanya, masak pakai oven itu praktis dan hemat tenaga. Saya juga menemukan ratusan resep makanan yang dibuat menggunakan oven. Gampang dan praktisnya lumayan bikin bengong. Prep time 10, 15 menit? Hajegile. SOLD!

Berbekal bimbingan Twelvi si Ratu Meal Prep yang sabarnya luar biasa dan rela di-WA dan ditelepon kapan saja, saya mulai rutin bertandang ke dapur. 

I love it.

Let me repeat.

I LOVE IT.

Here’s why:

Mengikuti proses bahan-bahan mentah menjadi masakan yang siap disajikan itu luar biasa menyenangkan. Menyaksikan daging ayam mentah yang dingin-dingin licin dan kulitnya yang berkeriput jadi ayam goreng empuk yang luarnya krispi itu menggembirakan. Mendengarkan suara berdesis ayam yang ‘digoreng’ lemaknya sendiri dari dalam oven itu bikin deg-degan hepi. Melihat kentang yang tadinya keras dan dingin jadi hangat dan lembut kayak bapaknya gebetan kamu setelah tiga bulan rutin ngapel bawa sate kambing itu membahagiakan.

I can take care of myself”. Sebagai manusia yang dulunya sangat menggantungkan hidup pada babang-babang ojek online, mas-mas gerai fast food dan mbak-mbak restoran, bisa masak untuk diri sendiri itu melegakan. Lapar tengah malam, tinggal buka kulkas dan hangatkan makanan sehat. Di luar hujan deras dan kelaparan, tinggal buka kulkas, repeat (kadang kan suka nggak tega ya, ngebayangin babang ojek hujan-hujanan membelikan pesanan kita), dan sebagainya.

Honey Glazed Bacon with Baby Beans

Beneran praktis. Meal prep memungkinkan saya menyantap masakan sendiri tanpa harus memasak setiap hari. Misalnya, enam potong Honey Lemon Chicken saya bagi menjadi 3 porsi untuk makan malam. Makan siangnya, Creamy Lemon Pepper Tuna, juga sebanyak 3 porsi. Simpan dalam kontainer cantik warna-warni, masuk kulkas deh.

SEHAT. Masak sendiri memungkinkan kita me-manage apa saja yang masuk ke tubuh. Mau pakai mecin dua kilo? Bebas. Pengin bebas penyedap? Yuk. Nggak pakai karbo? Silakan. Makanan berlemak tiap hari? Monggo. Banyakan sayur daripada daging? Mari. We are in charge of what we put in our body to the tiniest details. Hal yang sama tidak berlaku ketika makan di luar. Tidak ada yang bisa mengontrol berapa sendok penyedap rasa yang dimasukkan ke makanan kita. Tidak ada yang bisa memastikan pecel ayam langganan kita menggunakan ayam segar dan lalapan bebas pestisida, juga minyak yang belum dipakai menggoreng sebanyak 1.523 kali.

Last but not least, masak sendiri membuat saya berhasil menghemat uang dalam jumlah yang lumayan bikin bengong, meski ini tidak direncanakan. Ketika memulai, saya sekadar melihat meal prep sebagai sesuatu yang menantang, sehingga menjalaninya tanpa beban. Sebulan berlalu, saya mengeluarkan kalkulator dan mulai menjumlah… kemudian melongo. Pengeluaran saya untuk meal prep hanya sepertiga dari anggaran makan (di luar) setiap bulan. Padahal saya belanja di supermarket dengan bahan-bahan kualitas terbaik, bahkan impor.

Cajun Shrimp pedes nan endolitaaa

Lalu, ada saat-saat bengong ketika saya menyadari harga bahan makanan mentah bedanya bisa jauuu…h buanget dengan harga makanan di restoran, padahal bagi saya makanan itu nggak mahal. Contoh: setengah ekor ayam panggang favorit saya harganya empatpuluh ribu rupiah. Bagi saya ini sama sekali tidak mahal, malah murah. Lalu saya ke supermarket dan melihat seekor ayam mentah dihargai tigapuluhlima ribu rupiah. Ebuset! MURAH AMAT? Steak apa lagi, jangan ditanya. Karena saya penggemar rasa daging alias nggak suka steak yang dibumbui atau pakai saus macam-macam, kombinasi garam-lada-minyak zaitun sudah nikmat warbyasak. Steak model begini bisa saya masak sendiri dengan budget di bawah limapuluh ribu rupiah. Makan sepuasnya sampai begah dan nggak pengin lihat sirloin dua minggu ke depan.

 So yeah, this is why I fell in love with meal prep. It makes life better—and easier, in a way—if you’re willing to do what it takes to make it happen. Hal terpenting di hidup ini bagi saya sekarang cuma dua: kedamaian pikiran/ketenangan batin dan kualitas hidup yang terjaga. Meal prep menolong saya meraih keduanya.

Tentang Pergi dan Memilih Diri Sendiri

“Pa, sekarang aku tinggal di Bali.”

Itu kalimat kedua yang saya ucapkan pada Ayah usai “apa kabar?”, empat setengah tahun yang lalu. Hari itu adalah kali pertama kami berkomunikasi setelah satu bulan. Saya berkemas dan pindah ke Pulau Dewata tanpa sepengetahuan keluarga dan hanya memberitahu segelintir teman. Saya tahu Ayah tidak akan memaksa saya tinggal di Jakarta, namun keputusan tersebut juga tidak akan menggembirakan beliau. Maka, saya menunggu.

Enam tahun sebelumnya, saya angkat kaki dari rumah orang tua di Jakarta dan menyewa sebuah kamar mungil di Tangerang Selatan. Dua keputusan ini bertentangan dengan prinsip yang dianut keluarga besar saya: tinggal bersama orang tua sampai menikah, kalau perlu sampai beranak pinak, karena tidak ada alasan untuk pergi. Para sepupu yang sempat mencicipi hidup di luar negeri pun kembali tinggal bersama orang tua mereka setelah kuliah selesai.

Cetak biru itu sudah digambar sejak kami masih berupa janin dalam kandungan. Seumur hidup kami diharuskan—setidaknya diharapkan—mengikuti rancangan yang sudah ditetapkan orang tua, sanak saudara, keluarga besar. Tidak ada yang salah dengan mengikuti keinginan orang tua jika hal tersebut membahagiakanmu, namun saya adalah jenis individu yang tidak puas hidup sekadar mengikuti kehendak orang lain, meski itu orang-orang yang saya cintai.

Hubungan saya dan keluarga kerap diwarnai ketegangan karena pilihan yang saya tempuh seringnya tak sesuai dengan yang mereka inginkan. Saya sengaja melewatkan kesempatan untuk kuliah meski orang tua sudah menyiapkan biaya. Saya memilih hidup di sepetak kamar sempit dengan kipas angin usang dan ranjang berderit, mencuci pakaian di ember plastik sambil jongkok sampai kaki keram ketimbang menempati kamar dingin full AC di rumah bertingkat di mana semua kebutuhan saya terpenuhi tanpa harus mengangkat jempol. Saya memilih jadi penulis lepasan ketimbang pekerja kantoran dengan gaji stabil dan karir mapan. Saya bahagia menjalani hubungan tanpa pernikahan, tidak pernah (belum?) berkeinginan memiliki keturunan meski usia sudah menginjak kepala tiga, dan banyak lagi.

Saya sadar betul, semua pilihan datang dengan konsekuensi dan saya menjalani semuanya dengan rela, termasuk ketika adik saya nyeletuk, “You know you’re the black sheep in our family, right?”

I do.

Did it hurt? It did.

Was it worth it? It sure was.

Berpisah dengan keluarga dan hidup mandiri adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidup saya, karena itulah saat pertama saya merasakan kebebasan sesungguhnya, sepenuh-penuhnya. Saya keluar dari rumah karena memang sudah saatnya untuk pergi. Saya melepaskan diri karena sayap-sayap ini perlu ruang yang lebih luas untuk mengepak. Alasan lainnya tak lagi penting.

I left because I chose myself.

“Kamu di sana sendiri?” Itu pertanyaan pertama yang diajukan Ayah setelah terdiam cukup lama. Saya mengiyakan.

“Ya sudah. Yang penting jaga diri baik-baik.”

Kita tidak bisa memilih masa depan dan perputaran roda nasib, namun kita selalu bisa memilih diri sendiri.