180 Menit

… tanpa koneksi internet, percakapan dengan siapa pun, atau banjir informasi yang tiada berhenti.

180 menit yang sunyi, kendati hiruk-pikuk di sekitar saya mengalahkan keramaian Pasar Minggu.

180 menit bersama secangkir kopi beraroma hazelnut, langit sore, dan koran edisi terbaru.

180 menit yang memberi tahu saya bahwa

Para barista di gerai kopi ini tampaknya sudah melewati seleksi tampang sebelum diterima bekerja.

Barista jangkung berkulit putih dan berambut spikey punya senyum yang melelehkan hati.

Petugas kebersihan berseragam kotak-kotak tak henti-hentinya mengelapi kaca yang sama.

Pengki yang digunakan petugas kebersihan berwarna merah muda.

Arloji lelaki berperut buncit di meja seberang berwarna coklat keemasan yang berkilau ditimpa sinar mentari.

Gadis-gadis pra-remaja yang datang dengan teman atau orangtua hampir semuanya mengenakan Crocs merah jambu dalam berbagai gradasi warna.

Sebagian besar pengunjung menenteng BlackBerry dengan cover beraneka warna. Ungu. Hijau. Kuning. Putih. Biru.

Pria dan wanita di meja sebelah tidak saling bicara sejak mereka duduk.

Masih ada dunia selain semesta maya sumber informasi yang berada dalam jangkauan kita duapuluhempat jam sehari.

Juga bahwa

Senja ini indah sekali, kendati langit tak cerah

Dan saya tak henti-hentinya tersenyum.

—–

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

6 Replies to “180 Menit”

  1. temen gw pernah ngomong, “lo duduk di st*rb*cks 4 jam, baru impas duit lo. kalo cuma minum terus langsung pulang, rugi.”

    so, lo rugi sejam.. approx Rp.8500,- hauhauhaua..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *