“Gila, bikin karakter fiksi itu susahnya ampun!” Kennetha menepuk setir dengan tampang gemas, tapi kedua matanya berbinar penuh semangat. Kami baru bertemu tiga menit sebelumnya, saat mobil Uber yang ia kendarai menjemput gue di pelataran sebuah hotel di Los Angeles, California. Dia melirik gue dengan tampang jahil saat memberitahu bahwa jalur memutar yang kami ambil sebetulnya ditutup untuk umum. Gue cengar-cengir saja. Obrolan pun bergulir.
Kennetha pindah ke Los Angeles demi mengejar mimpi di Hollywood. Profesinya sebagai make-up artist yang sudah kebagian cipratan proyek drama seri TV populer mengobarkan impiannya sebagai penulis fiksi. “Sebelum ini, saya tinggal di Italia. Well, traveling, sih. Lama-lama capek juga, hidup dari satu koper,” tawanya, memperlihatkan deretan gigi yang amat putih.
Dalam perjalanan yang tak sampai sepuluh menit itu, kami bertukar cerita. Tentang kemacetan Los Angeles versus macetnya Jakarta yang … yah, sebenernya nggak bisa dibandingin, sih. Kemacetan LA boleh jadi menyandang gelar terburuk se-Amerika, tapi kemacetan Jakarta disinyalir mengalahkan padatnya lalu lintas hati yang berulangkali terluka. Nggak gerak-gerak, Cin.
Anyway.
“Sulit untuk tetap konsisten saat sedang menyusun sebuah cerita, apalagi kalau karakter yang kita tulis belum lengkap detilnya,” ucap Kennetha setengah mengeluh, yang langsung gue sambut dengan anggukan.
“Kamu harus memastikan karaktermu relatable ke penonton. Harus memastikan karakter tersebut mengalami perkembangan yang signifikan di sepanjang cerita. Nggak boleh stuck. Dia juga harus believable,” Kennetha menggeleng-geleng, “Nulis fiksi itu nggak enteng.”
Make-up artist. Super Uber. Entah apa lagi profesi yang disandangnya. Perempuan di samping gue sedang berjibaku demi sebuah impian. Sesuatu yang dulu kerap membuat gue merasa terasing dan sendirian, karena menghidupi mimpi yang (dirasa) terlalu besar pernah membuat gue memilih menutup diri. Kennetha justru sebaliknya. Ia membagikan mimpi-mimpinya senatural bercerita tentang maling jemuran yang dikeroyok warga RT 003.
Amerika, kau semakin menawan seiring bergulirnya waktu, padahal aku baru dua hari di sini.
“Kamu nggak mau pindah ke LA? Jadi penulis di Hollywood?” Kennetha melirik gue.
Gue tersenyum.
“Belum. Nggak sekarang.”
Los Angeles atau Jakarta. New York atau Bali. Mengejar mimpi bisa dari mana saja. Gue percaya itu.
In the meantime, wahai kawan-kawan penulis setanah air, marilah kita beramai-ramai belajar menulis karakter fiksi dari seorang supir Uber.
Kakak kerennn … Aku mau belajar sama ka jenny jadi script writer ???✌️
woop!!! lovely kennetha.. 🙂