Pesona yang Tak Cuma Sebatas Kulit

Beberapa minggu lalu, sebuah e-mail yang membuat kening berkerut masuk ke inbox saya—undangan untuk menghadiri acara bertema Sisterhood yang diadakan DOVE di Bali, lengkap dengan beauty talkshow.

Huaduh.

Kata ‘beauty’, sejujurnya, kerap membuat saya bergidik. Bukan karena tidak setuju dengan konsep kecantikan umum, tapi karena bagi saya, konsep kecantikan masa kini sudah demikian bias dengan banyaknya definisi dan standar ideal hasil campursari industri dan media masa.

 

Anak sulung kawan saya, Jovanka, salah satu bocah paling lucu yang pernah saya temui. Matanya bulat besar dan selalu tertawa. Pipinya montok dan mengembang seperti bakpau saat tersenyum. Setiap kali bertemu Jovan, saya tidak bisa menahan diri untuk memeluk atau menjawil pipinya—yang kadang disambut lirikan jutek kalau ia sedang tidak mood.

Pagi itu, ibu Jovan menghampiri saya dengan ekspresi khawatir. Mencium gelagat curhat, saya pun pasang telinga.

“Jovan kemarin seharian bolak-balik ke kamar mandi.”

Tuh kan, curhat.

“Salah makan apa gimana, Bu?”

Beliau menggeleng. Curhat pun mengalir. Hari itu, Jovan bolak-balik ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah selesai mencuci muka, ia akan berkaca, kembali bermain, dan beberapa saat kemudian berlari lagi ke kamar mandi untuk mencuci muka dengan sabun. Heran dengan tingkah putrinya, teman saya bertanya pada Jovan.

Pertanyaannya disambut pertanyaan balik. “Jovan udah putih belum, Ma?”

“Kenapa Jovan tanya begitu?”

“Soalnya, kalau gak putih, nanti Jovan gak cantik.”

Saya ternganga. Ada bocah berusia lima tahun yang percaya bahwa ia tidak cantik karena kulitnya tidak putih.

 

Cantik : kulit putih

Cantik: tubuh ramping

Cantik: dada berisi dan bokong montok

Cantik: hidung mancung dan pipi tirus

Dan banyak lagi cantik-cantik lainnya.

Konsep kecantikan yang kita kenal adalah kecantikan yang menjunjung tinggi tampilan luar. Kecantikan yang familiar bagi kita adalah sesuatu yang kasat mata. Tidak salah, namun rasanya berlebihan apabila pesona sebatas kulit dijadikan tolok ukur kecantikan seorang perempuan.

Dan undangan ini…

beauty talkshow. Mamaaaak. Langsung pengin mandi kembang rasanya.

Toh, saya memutuskan untuk datang.

 

“Kebahagiaan dan kecantikan selalu berjalan bersamaan.”

Saya yang sudah siap disuguhi berbagai tips dan definisi cantik, mendongak saat kalimat itu diucapkan Zivanna Letisha yang duduk di panggung bersama moderator dan sejumlah narasumber lain.

Zivanna, Puteri Indonesia 2008, tak merasa bahwa punya mahkota sesuatu yang penting. BRO, INI BARU BRO. Saya makin salut ketika ia berceloteh tentang kepercayaan diri. Kepercayaan diri yang tak diukur dari kulit putih, tubuh ramping, kaki langsing atau tubuh indah. Yang selayaknya dimulai dari dalam dan bisa digali dengan mudah tanpa perlu ikut ajang-ajangan atau mengejar penghargaan.

Mendadak, beauty talkshow ini jadi sangat menarik untuk disimak. Sebetulnya, saya tak perlu heran. ‘Real Beauty Sketches’ adalah iklan favorit saya. Begitu bagusnya sampai saya tidak rela menyebutnya iklan. Ini jugalah salah satu faktor yang membuat saya menempuh perjalanan Ubud-Denpasar di pagi hari demi sebuah acara yang dalam kondisi normal barangkali tidak akan saya hadiri.

“Siapa pun bisa jadi juara tanpa harus ikut kontes kecantikan,” tegas Zivanna.

Saya setuju. Tak perlu mahkota untuk bisa jadi juara. Pesan Zivanna diperkuat oleh Anna Surti Nina, psikolog yang berbicara dalam talkshow yang sama.

“Untuk membangun kepercayaan diri, mulailah dari mencintai dan menerima apa yang kita miliki.” Lagi-lagi saya mengangguk sepenuh hati.

Sudah terlalu banyak perempuan yang merasa rendah diri, bahkan terintimidasi oleh konsep kecantikan yang melulu menjunjung keindahan kasat mata. Sudah kelewat banyak energi dan waktu yang habis untuk merenungi diri di depan cermin, berusaha menyamarkan kekurangan dan menutupi kelemahan yang sebetulnya justru bisa jadi menarik. Karena setiap orang cantik dengan caranya sendiri-sendiri. Kecantikan itu hanya perlu ditemukan dan dibiarkan bercahaya.

Saya berdoa agar suatu hari nanti tak perlu ada Jovan-Jovan lain yang merasa dirinya kurang cantik, tak cukup putih, kurang ini atau anu. Semoga setiap orang akan mampu menilik dan menemukan pesona yang tak cuma sebatas kulit. Keindahan yang tak berhenti di depan mata. Kecantikan yang disebut sejati karena berasal dari dalam diri. Saya bersyukur DOVE cukup jeli untuk menangkap hal ini dan mengemasnya demikian rupa hingga bisa dihayati siapa pun. Untuk itu, saya berterimakasih.

Jadi Freelancer? Boleh Aja Sih… Tapi Yakin?

Juli kemarin, resmi satu tahun saya menjalani hidup nekat sebagai seorang freelancer. Kenekatan yang, alhamdullilah, berhasil membuat saya survive setahun penuh, walau kadang bikin nggak bisa tidur juga dan beberapa kali terpaksa ngutang. Jadi freelancer memang penuh tantangan, makanya mbok yaooo jangan menyelepekan freelancer. (KOK CURCOL, JEN?)

Kendati menjanjikan petualangan dan hidup bebas tanpa jadwal (baca: nggak perlu bangun pagi, nggak perlu mondok di kantor, bisa jalan-jalan kapan saja), jadi freelancer bukan hal sepele. Jalan-jalan-kapan-aja-nya sih enak, tapi kalo nggak ada duitnya sama juga bohong, atuh! Beli tiket pake daun?

Pengalaman selama setahun inilah yang akhirnya menggerakkan saya untuk berbagi. Dibanding teman-teman freelancer lain yang jam terbangnya sudah jauh lebih tinggi, saya hanyalah setitik debu di semesta luas *apa sih*, tapi mudah-mudahan apa yang saya tuliskan ini bisa bermanfaat.

  • Satu hal yang menurut saya mutlak jika kamu berniat menjalani hidup rock ‘n roll sebagai freelancer yang hidup mandiri (tidak tinggal bersama orang tua): Dana darurat. Usahakan di rekening selalu ada tabungan untuk biaya hidup minimal 2 bulan. Biaya hidup ini bukan uang makan dan transpor thok, tapi juga biaya kos, bayar-bayar tagihan, beli pulsa HP, internet, dan sebagainya. Ini juga yang membuat estimasi dan kalkulasi sebelum betul-betul ‘terjun’ menjadi sesuatu yang amat penting. Terus, gimana kalau pengin jadi freelancer, tapi di rekening belum ada tabungan sama sekali? Ya silakan aja asal jantungnya kuat.
  • Rezeki tidak kenal waktu dan tempat, dan inilah salah satu petualangan terbesar para freelancer. Bulan ini, bisa saja kamu sepi proyek dan cuma menghabiskan waktu untuk tweeting dan main DrawSomething (udah pada bosen main itu belum, sih? ANYWAY). Bulan depan, bisa jadi kamu ketiban proyek besar yang bikin kamu begadang tujuh hari tujuh malam. Di saat-saat seperti ini, ketika kesibukan menggila dan kamu dituntut untuk sangat produktif, utamakan kesehatan. Pakai waktu yang tersisa di luar jam kerja untuk istirahat. Nongkrong di kafe anyar atau nonton midnight show di bioskop memang menggoda, tapi percayalah, gaul bisa ditunda. Health should always comes first. Ada amin? Amiiin.
  • Buat anggaran keuangan. Akan tiba saatnya kamu cuma sanggup makan di warteg (bukannya nyumpahin, sih), dan akan tiba juga saatnya kamu bisa makan di hotel bintang lima tanpa harus tunggu traktiran klien. Tapi rezeki nomplok sebaiknya jangan langsung dihamburkan, karena…. ya namanya juga freelancer, ya. Ada proyek saja nggak menjamin transferan lancar. Apalagi nggak ada proyek. Pakai kelebihan uang untuk memenuhi kebutuhan yang perlu diprioritaskan. Misalnya, sebelum gesek kartu debit untuk HP Android baru, coba ingat-ingat, sudah ada uang untuk bayar kos 3 bulan ke depan? Ingat juga bahwa pemasukan yang tidak menentu membuat perwujudan rencana kita jadi tidak terprediksi. Gimana mau nyicil mobil kalau bulan depan belum tentu bisa bayar cicilannya? Mau bayar KPR pake kolor tetangga? Dengan anggaran keuangan yang matang sakinah mawardah warohmah, niscaya kamu bisa mewujudkan impian satu demi satu.
  • Rajin-rajinlah membangun network, dan pastikan reputasi kamu bersih. Salah satu cara membangun jaringan yang paling efisien saat ini adalah lewat social media. Kalau kamu freelancer yang mengharapkan remahan maupun bongkahan rezeki dari jaringan yang terbentuk lewat social media, sebaiknya jangan pasang avatar setengah telanjang, apalagi livetwit kegiatan mesum yang bisa bikin kening calon klien berkerut. *uhuk*
  • Biasakan puasa Senin-Kamis. Selain bermanfaat untuk menahan lapar saat dana menipis, puasa bermanfaat untuk …. melatih kesabaran. Akan ada saatnya kamu berurusan dengan klien yang sangat gencar mengejar, namun tidak lancar dalam membayar. Alias lelet. Ketika saat itu tiba, tarik napas dalam-dalam dan tunggulah invoice cair dengan sabar. Haleluya!
  • Last but not least: belajar masak. Minimal ceplok telur dan goreng nasi. Percayalah. Percayalah.

Jadi… masih yakin pengin jadi freelancer? 😀

hOMe

My mother died 8 years ago. To me, she’s one of the strongest women in the world, yet I barely knew her. My memories of her are plenty, but having memories about someone doesn’t guarantee your understanding about that particular person.

I didn’t regret anything, though. Life has given me so much to be thankful for. I’ve been blessed beyond comprehension. Still, something was missing.

January 16th was the first time I saw Robin Lim. To me, she is a legend. I’ve heard so much about her, I read articles about her, I googled and YouTubed her like there’s no tomorrow. There’s something about this woman and I didn’t know what, or why. What I did know, I had tears on my cheek reading her interviews. To my surprise, weeks before I flew to Ubud for my 1-month vacation, my friend told me that she was working on a project with her. THE Robin Lim.

I was so surprised I couldn’t say a word. I wanted to beg her to introduce me to Robin but all I said was, “I really want to meet her. I don’t know why, I just know I do.”

One night, my friend and I went to Jazz Café where Robin’s husband, Will Hemmerle, was performing with his group. My friend introduced me to Robin, but the café was very full of noise. Robin seemed to enjoy Will’s performance so much. Didn’t want to interrupt her, I sat in the corner with my friend, looking around and drinking my beer while my friend was talking with someone else. About an hour later, I met someone who later became no other than my lover (but that’s another story).

It was funny as months later I realized, that night I met two persons who later become the most important parts in my life. Same night, same place. Life can be very funny.

I didn’t meet Robin until weeks later. I was busy hanging out with my new friend, who soon turned to be my travel fling, then finally, my boyfriend. After he left Bali, I was busy pulling myself together because my world was practically crumbling down. I fell in love. But then the other part of myself started speaking, gently, reminding me of the ‘unfinished business’.

I asked my friend would it be possible to meet Robin Lim in person. A very brave act considering my tendency to have this embarrassing reaction called “star-struck”. I had it before and it was beyond embarrassing. Still, it was worth the try.

My friend said that she couldn’t promise me a thing, but she would ask Robin if she could bring a friend the next time they work together. To my surprise, Robin said yes. I tried to pull myself together when my brain went, “HOLY SHIT I’M GOING TO MEET ROBIN LIM. I’M GOING TO SEE THE LEGEND IN  PERSONWHATSHOULDIDOWHATSHOULDISAYOHDAMNIMSODEAD.”

And so I went with my friend. I visited Bumi Sehat for the first time. Robin wasn’t there, but I was so overwhelmed by what I saw there I actually forgot my first plan. The place is just… how should I put it… heaven on earth. I felt like I can stay there forever. Bumi Sehat has this warm ambiance and everyone I met there was so full of smile. Their eyes were shining with love or some kind of mushrooms after-effect. *kidding! :D* That’s gotta be love. I felt so warm, and before I realized it, my eyes were filled with tears.

Then my friend told me that Robin was expecting us at home. My first reaction was, “At home? Seriously? Maybe I should just wait here.” Because, ladies and gents, there’s no way I would let a stranger entering my house. Or my bat cave, that is. My house is my most personal, private space.

15 minutes later, I was sitting at Robin’s kitchen table drinking fresh coconut water. Then Robin came and she hugged my friend with the tightest embrace I’ve ever seen. I was wondering how it felt like when she looked at me and greeted me in Indonesian, just two seconds before she planted a kiss on my cheek. That was the first motherly kiss I’ve ever remembered.

Hours later, I forgot my nervousness and I asked her a lot of questions regarding birth and womanhood. I forgot everything except the woman sitting gracefully in front of me, patiently answering all my questions in details. I don’t remember the exact questions I asked but I remember having tears in my eyes over and over again. It came like a wave. My eyes never stayed dry for more than 10 minutes.

Very soon, it got dark. Robin had to help delivering a baby at the clinic. I watched in silence as she tightly hugged my friend like a mother hugging her long lost child. Maybe I was exaggerating but that’s how I felt. Then came my turn. I said, “Thank you so much for having me here, Ibu.” I wasn’t ready when she pulled me into her arms, and holding me like no one ever did, she said, “I love you. Come here anytime.”

Say whaaaaaa–??

I stuttered. “R–really?” was all that came out of my lips. Because, ladies and gents, there’s no way I would say such thing even to my friends. My bat cave is mine and mine only. Let alone to a stranger I just met few hours before.

We were still hugging each other as her answer flew into my ears, “Of course! I don’t want to lose you.”

That night I cried myself to sleep. And I cried again when I woke up the next morning. But those were happy tears. I’ve never felt that way my entire life.

I got a chance to meet her again for the last time before I went back to Jakarta. It was then when I asked her, carefully and nervously, “Can I call you ‘Mom’?” Call me silly but it just felt right. She said “Yes” right away.

I thought of Ibu Robin and Bumi Sehat every day after I got back to my old life in Jakarta. Almost never a day went by without me thinking of Bumi Sehat family. Sometimes, when the feeling is unbearable, I sent her texts. She always replied, no matter how unimportant my texts were.

Today is my last day in Ubud, and my third visit to Bali this year. I always went to the same place, to see the same person. Sometimes I asked her questions. Sometimes we just sat and talked about anything. Sometimes I did nothing but watched her working on schedules, or played with the kids. It doesn’t really matter. Being there is all that I needed.

Last night before I departed we hugged each other, as usual. She planted a kiss on my cheek and as I took my bag I said, a little sadly, but also cheerfully, “Goodbye, Mom! See you soon.”

I stepped outside, and that’s when I realized, it’s so easy to call her ‘mOM’.

I think I’ve found my hOMe.

A Gentle Reminder

Few nights ago I sat in my bed with iPad on my lap, browsing and checking my Facebook while getting ready to sleep.

A friend, Cedrine, posted a Facebook status that caught my attention. It was a quote from Khrisnamurti. The whole thing was in French and I had to use Google Translate to understand its meaning, but it was from Khrisnamurti. And just like that, a word echoed in my mind. Vipassana.

Vipassana is a meditation technique I frequently used when I learned to meditate four years ago. Even though the great teacher passed away long before I know about meditation, I always considered Khrisnamurti as one of my best teachers.

The word echoed till I fell asleep. Vipassana. It’s been a while.

Tonight, I attended a meditation class. As I sat in silence, I started to let everything appear in my heart and mind. Thoughts. Feeling. Emotions. Fear. Hope. Anger. Joy. Sadness. Happiness. Disappointment. Love.

I didn’t make a review. I didn’t observe. I didn’t judge. I simply watched.

2 hours later I enjoyed my dinner, still in silence. It was a little weird, doing Vipassana after quite some time. And I had a tingling sensation in my chest when I looked back at what happened in my life the past few months. It was then that I realized how much I have changed.

I used to believe that suffering and pain make heart grows stronger. We learn the most valuable lessons from sadness and anger. We become wise through disappointment and fear. We learn to face life, we learn to survive and we learn to adapt through changes and suffering.

But I forgot that heart also grows through love. Heart shines beautifully through happiness. I learned from pain but I often forgot to let myself fully basks in love and happiness.

Then another thing came to my mind. The face of someone I love so dearly. The smile on his face. The light in his eyes. The warmth of his arms, the lingering peace from his lips.

That night, I realized how my heart has grown through both pain and love. Not only it survives, not only it becomes stronger, it also shines.

That was what I need. And maybe… maybe that’s what we all need. A gentle reminder, once in while, to get us through both sides of the coin called Life.

Traveling Sambil Shopping? MAUK!

Traveling dan shopping. Dua kata yang berjodoh sejak zaman kuda gigit besi. Sekekeuh-kekeuhnya saya mengaku sebagai perempuan yang nggak shopaholic, keinginan untuk belanja setiap kali bepergian ke luar negeri atau luar kota selalu membuncah-buncah. Prioritas belanja nomor satu? Untuk orang-orang terkasih. Ya kaleeee. Buat diri sendiri dong, ah!

Biarpun saya tidak suka belanja pakaian atau tas, saya senang berburu pernak-pernik dari kota atau negara setempat, yang bisa saya kenang sambil cengar-cengir setelah pulang. Atau, sesuatu yang sudah lama saya idam-idamkan. Contoh: waktu bertandang ke PARIS (IYA KAPITAL LAGI. SENGAJA), saya menghadiahi diri sendiri buku skenario “Before Sunrise & Before Sunset” yang sudah lama saya incar. Buku tersebut saya beli di Shakespeare & Co., yang menjadi salah satu lokasi dalam film “Before Sunset” dan dicap dengan stempel khusus bertuliskan “Kilometer Zero Paris”.

Gaya abis, lah.

Prioritas kedua, baru deh, untuk orang-orang tersayang. Di sebuah kota kecil pinggir laut, saya membeli pisau lipat untuk sahabat (yang nyaris terbawa di handbag jelang check-in dan bikin panik!), asbak untuk kawan yang perokok berat, sepaket coaster untuk adik, dan lain-lain. Di setiap kota atau negara, biasanya saya menyisihkan waktu khusus untuk berbelanja. Ada kesenangan tersendiri tiap kali saya memberikan oleh-oleh untuk sahabat atau saudara. Ya, mudah-mudahan kesenangan ini juga melancarkan rezeki, supaya bisa sering-sering traveling. Ada yang bilang, orang yang senang berbagi tidak akan pernah mengalami kekurangan karena saluran rezekinya terus mengalir. Nggak mampet, gitu.

Yak, melenceng lagi. *toyor diri sendiri*

Where were we?

Oh, ya, traveling dan shopping.

Bagi saya, traveling sepaket dengan shopping. Alias kembar siam. Alias inseparable.  Masalahnya, saya sering keteteran karena uang tunai yang saya bawa tidak cukup. Saya tidak suka mengantongi uang dalam jumlah banyak, apalagi kalau bepergian ke luar negeri, karena malas menukarkan kelebihan uang sekembalinya ke tanah air. Plus, uang tunai dalam jumlah banyak itu kok ya kesannya cari penyakit alias dadah-dadah ke maling. Dulu, waktu masih muda, saya rajin memisah-misahkan uang tunai; sebagian di dompet, sebagian di tas pinggang, sebagian di kantung tas bagian dalam, sebagian di kantung rahasia yang saya sembunyikan di balik pakaian. Niat abis. Sekarang… sutralah. Hari gini masih bawa duit segepok. Nggak bosen idup ribet?

*ditoyor pembaca*

😀

Sekarang, untuk alasan kepraktisan dan kenyamanan, saya lebih suka membawa kartu kredit dan uang tunai secukupnya. Selain nggak menuh-menuhin dompet, saya merasa aman karena kalau sesuatu yang buruk terjadi –say, kecopetan di perjalanan *knock on wood*– saya hanya perlu memblokir kartu kredit saya. Belanja pun jadi jauh lebih mudah dan tidak perlu khawatir kehabisan uang di tengah jalan (it SUCKS, believe me!).

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, saya pun menambahkan satu hal ke wish list tahun 2012: punya credit card BCA Singapore Airlines Visa (BCA SQ)!

Alasannya? Simpel: poin dari shopping pakai BCA SQ card bisa ditukar dengan KrisFlyer miles. Dan kalau KrisFlyer miles-nya udah banyak, bisa ditukar pakai flight hratis dari Singapore Airlines, yang artinya saya bisa terus traveling sambil belanja. Woooo!! Itu pertama. Kedua, well… siapa yang nggak tau reputasinya Singapore Airlines? Saya mah cinta perjalanan yang nyaman-aman-sentosa dengan servis oke. Hihihi.

Alasan ketiga, yang sebenarnya penting-nggak penting (biarin, ah!), dalam perjalanan dari Paris menuju Rennes 4 minggu lalu, kartu kredit saya ditolak ketika hendak membeli tiket kereta dari mesin. Padahal, limit masih utuh dan kartu tersebut umurnya masih seumur jagung. Untungnya, Peri Baik Hati ada di mana-mana, dan tidak semua Parisian jutek sama turis. Melihat saya kesulitan, seorang ibu menawarkan untuk memakai kartu kreditnya. Terpaksa saya meminjam kartu kredit si ibu dan menggantinya dengan uang tunai. Pelajaran supaya lain kali saya lebih berhati-hati memilih bank yang reliable. And as far as I know, BCA has a pretty good reputation. Beralih, deh!

*brb ke BCA*

*eh, masih hari Minggu yak*

*balik lagi*

Anywaaaay. Cukup cerita tentang traveling dan shopping-nya. Masih ada hutang artikel perjalanan yang perlu dilunasin! Will keep you readers updated. Yuk dadah yuk babayyy! 😉