Rumah yang Kutahu

Aku tak mengerti kenapa aku merindumu setengah mati. Perjumpaan kita tak pernah lama. Namun diri ini seperti tahu ke mana aku harus pulang. Di sanalah tempatku. Kendati kita dipisahkan ratusan, bahkan ribuan mil, seolah jiwaku tahu di mana mesti berlabuh.

Perjumpaan kita paling lama enam hari, namun aku merasa sudah selamanya mengenalmu. Kau tak pernah menawarkan apa-apa, akulah yang terpesona pada keindahanmu, pada daya tarikmu, pada aroma magis yang menghinggapi ingatanku dan tak mau hilang.

Kerinduanku padamu melebihi ruang dan waktu. Setahun lalu, kemarin sore, tadi siang, esok, bulan depan, satu dasawarsa lagi, aku akan selalu menginginkanmu. Entah aku berada di sini, di situ, di belahan dunia lain, hanya kepadamu aku ingin pulang. Sebuah rumah takkan bisa disebut rumah jika kita tidak merasa pulang saat kembali kepadanya. Dan aku, aku ingin kembali kepadamu, kendati aku tak punya apa-apa.

Kau tak pernah menjanjikan apa-apa, namun aku merunuti keberadaanmu seperti tikus membuntuti peniup seruling. Kau tak pernah mengisahkan yang muluk-muluk, namun aku mendambakanmu seperti musafir sekarat mendamba air. Kau hanya ada dan aku tertatih-tatih menempuh mil demi mil, menabung setiap rupiah yang kupunya, memupuk doa dan mimpi cuma demi menjumpaimu. Bahkan tak tebersit sedikit pun keinginan menetap di metropolitan yang gemerlap dan penuh pencakar langit, yang membesarkanku sejak bayi dan menunjukkanku dunia yang kini kutahu. Kamu dan cuma kamu. Tempat aku ingin kembali.

Kau rumah paling sialan yang kuinginkan.

Aku akan segera menjumpaimu. Tunggu aku.

Agustus 2011.
Untuk Ubud.

Perempuan

Malam ini kubaca sebuah buku. Dalam guratannya si pujangga bercerita tentang perempuan.

Bait-bait itu melarutkanku, dan aku tergugu.

Lupa aku rasanya jadi perempuan. Kendati kupunya segala sesuatu yang wajib ada untuk dinobatkan sebagai perempuan.

Si pujangga bilang, jiwa dan rahasia semesta ada di pelukan perempuan. Aku terpukau. Silau. Betulkah? Dunia yang kutahu mengajar bahwa perempuan justru sering jadi korban. Lemah tanpa daya karena kebanyakan mengandalkan hati dan mengabaikan nalar. Dunia yang kutahu berkata bahwa perempuan harus belajar menjadi kuat dan cerdas agar bisa bertahan hidup.

“Namanya juga perempuan.” Entah berapa kali kudengar itu sepanjang hayat dikandung badan. Kalimat klise untuk membela diri, atau justru mengukuhkan keterbatasan di dunia yang tak punya ruang bagi kelemahan. Kalimat untuk berlindung yang bisa jadi tamparan keras sekaligus bagian dari permainan.

Lagi-lagi aku tersengat. Mungkinkah aku terlalu sibuk berkutat dengan permainan dan segala aturannya? Sampai lupa bahwa sosok yang sedang bermain sesungguhnya tak butuh apa-apa lagi. Perempuan yang ada dalam dirinya sudah menjadikannya utuh. Ialah ibu tempat semesta bernaung. Dan ia tak tahu itu.

Berkutat dengan permainan itu melelahkan. Kau tak menggenggam apa pun selain kartu dan peran. Dan kemenanganmu cuma ilusi yang membuatmu girang sekejap.

Berkutat dengan permainan itu menyakitkan. Kau harus melupakan siapa dirimu untuk menjelma jadi tokoh yang kau mainkan. Kau kehilangan kesejatianmu karena kau kini salah satu dari jutaan manusia yang memainkan kartu yang sama. Demi sebuah skor. Demi kemenangan yang diakhiri perayaan dengan botol-botol minuman. Dan kekalahan yang ditutup dengan botol-botol yang sama. Menang atau kalah, sesungguhnya kau tak punya apa-apa.

Tenggorokanku tercekat. Mendadak liurku terasa pekat. Sudah berapa lama aku lupa? Puluhan tahun aku hidup, adakah aku tahu rasanya jadi perempuan sejati? Perempuan yang rahimnya menyimpan rahasia alam. Perempuan yang kidung batinnya menggetarkan jiwa hanya dengan menjadi.

Perempuan yang tercipta mulia.

Mengada tanpa upaya.

Ibunda semesta.

Aku ingin jadi perempuan.

[repost] Saya dan ‘T’

Saya mulai bertanya tentang Tuhan ketika berusia duabelas tahun.

Pertanyaan pertama saya muncul di bangku SMP kelas satu. Saat itu, sekolah saya mewajibkan seluruh siswa menghadiri kebaktian yang diadakan setiap Minggu sore di aula. Khotbah yang disampaikan dalam kebaktian harus dirangkum menjadi catatan yang dibubuhi tanda tangan pengkhotbah, dan jumlah rangkuman tersebut turut menentukan nilai yang tertera pada mata pelajaran Agama di rapor. Bagi yang poinnya defisit, bisa dipastikan nilainya tekor dan mendapat bonus dipanggil ke kantor Kepala Sekolah.

Saya, yang paling malas menghadiri kebaktian karena merasa hari Minggu adalah jatahnya libur, selalu mencari alasan untuk mangkir. Saya bahkan nekat berkali-kali memalsukan tanda tangan di buku saya (nggak pernah ketahuan, by the way!). Namun, sebandel-bandelnya anak, ada batasnya juga. Suatu hari—entah tergerak oleh apa—saya pergi ke sana.

Saya duduk diam sepanjang kebaktian. Pertama, karena tidak tahu lagu-lagu yang dinyanyikan. Kedua, tidak tahu harus berbuat apa. Ketiga, tidak paham isi khotbahnya. Tidak lama setelah naik ke mimbar, sang pengkhotbah meninggalkan kutipan ayat-ayatnya dan melontarkan lelucon mengenai pemeluk agama lain.

Mereka tidak sebaik kita. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kebenaran. Mereka bodoh dan patut dikasihani.

Jemaat tertawa.

Sore itu, saya meninggalkan aula dengan pertanyaan besar: apakah mereka tidak berpikir bahwa yang menghadiri kebaktian bukan hanya orang yang seagama? Apakah mereka tidak berpikir bahwa ada anak-anak yang datang hanya untuk mengumpulkan tanda tangan? Kenapa mereka harus menertawakan orang-orang yang berbeda keyakinan? Memangnya agama lain itu salah? Memangnya Tuhan pilih kasih? Katanya Tuhan tidak pandang bulu?

Saya ngambek dan mogok kebaktian selama berbulan-bulan. Saya berang terhadap ibadah Minggu dan segala tetek-bengeknya. Namun, di sisi lain, keingintahuan saya akan agama yang satu ini semakin memuncak.

Setiap akhir bulan, di Sabtu sore, seluruh siswa dikumpulkan di lapangan sekolah dan duduk berjejalan di bangku-bangku kayu yang dijejer membentuk setengah lingkaran untuk memperoleh siraman rohani selama dua jam. Biasanya, sebagian besar waktu tersebut saya habiskan untuk berkirim surat dengan teman kanan-kiri, ngobrol berbisik-bisik, atau menertawakan potongan rambut si pengkhotbah yang keriting nanggung. Seiring meningkatnya rasa penasaran, lambat laun saya mulai mendengarkan khotbah-khotbah itu dengan saksama. Saya lebih banyak diam, dan saya mulai rajin duduk di barisan depan bersama guru-guru dan sederet anak alim.

Dua bulan setelah ulangtahun saya yang ketigabelas, saya memutuskan untuk berpindah agama, sekaligus menjadi pemberontak pertama di keluarga besar saya. Orang tua saya tidak melarang, meski juga tidak rela.

Masa SMP dan SMU saya lewatkan dengan menjalani berbagai aktivitas rohani, mulai dari pertemuan doa, pertemuan pengerja, ibadah rutin, mengikuti berbagai seminar, sampai pelayanan gereja.

Dua bulan sebelum saya lulus dari SMU, saya mendatangi Ibu dan berkata bahwa saya tidak ingin melanjutkan kuliah. Saya akan mendaftar ke sekolah Alkitab, dan semuanya akan saya jalani dengan biaya sendiri.

Ibu saya diam sejenak, lalu menjawab tenang, “Mama tanya Papa dulu.”

Seperti yang sudah-sudah, mereka tidak melarang. Ibu sangat ingin melihat saya menjadi sarjana, namun beliau tidak memaksakan kehendaknya. Belakangan saya tahu, Ibu sering menangis diam-diam—menyesali anak sulungnya yang keras kepala. Ketika akhirnya saya ditahbiskan menjadi pendeta muda pada usia 18 tahun, beliau kembali menangis. Kali ini karena bangga melihat putrinya berbicara di belakang mimbar.

Dua setengah tahun saya habiskan dengan mempelajari Alkitab dan berkhotbah. Memasuki tahun ketiga pelayanan, saya berhenti berkhotbah dan hanya mempelajari Alkitab. Selama tahun-tahun itu pula, segala pertanyaan seperti lenyap begitu saja dari benak saya. Saya begitu bersemangat. Tidak ada ruang untuk pertanyaan. Tidak ada waktu untuk bertanya. Saya seperti kuda yang sedang berpacu di arena balap. Saya terus berlari. Secepat-cepatnya.

Hingga tibalah saat itu. Tahun 2007, tanpa penyebab spesifik, tanpa asal-muasal, tanpa permisi lebih dulu, sejumlah pertanyaan kembali berlompatan dan menggedor-gedor benak saya. Saya tidak tahu bagaimana bisa begitu. Barangkali saya mulai jenuh. Barangkali saya mulai kelelahan. Atau, barangkali, memang sudah waktunya.

Berbeda dengan sebelas tahun sebelumnya, kali ini pertanyaan itu tidak langsung muncul dalam bentuk kalimat tanya, melainkan rasa di hati.

Saya tak paham kenapa saya merasa ‘perih’ ketika menghadiri pemakaman orang tua seorang sahabat yang berbeda agama dengan anaknya, dan mendengar seorang pelayat bertanya, “Yang penting Papa sudah terima Tuhan, kan?”. Saya tak paham mengapa orang yang baik harus dijebloskan ke neraka hanya karena ia tidak menyembah Tuhan yang sama.

Saya tak paham kenapa surga hanya diciptakan untuk orang-orang yang seagama dengan saya, karena saya sangat yakin ada begitu banyak orang yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengenal Tuhan saya, dan itu bukan salah mereka. Bagaimana dengan mereka yang tinggal di tempat-tempat yang belum terjamah? Akankah mereka direbus di neraka hanya karena mereka tidak tahu Tuhan saya ada?

Saya tak paham kenapa saya merasa aneh ketika seorang kawan mengomentari teman-teman saya yang berbeda keyakinan dan berkata, “Kok kamu mau sih gaul sama mereka?” dan ketika saya terdiam, ia meneruskan, “Kalau aku sih nggak bakal mau.”

Saya tak paham kenapa saya harus menginjili satu persatu anggota keluarga saya supaya kami bisa berkumpul di surga kelak. Ibu saya anak kelima dari sembilan bersaudara, dan saya mempunyai enambelas Oom dan Tante, lebih dari duapuluh sepupu, juga Nenek dan Kakek yang hampir semuanya berbeda agama dengan saya. Kebayang, dong? Selain itu, meski saya mempunyai pengalaman sebagai ‘tukang obat keliling’, saya tidak pernah berhasil mempertobatkan satu orang pun melalui penginjilan pribadi. Entah mengapa. Statistik saya sangat buruk dalam hal penginjilan one-on-one. Saya tak pernah tahu mengapa setiap kali saya hendak melakukannya lidah saya mendadak kelu.

Saya tak paham kenapa saya harus hidup dalam batasan baik-buruk, benar-salah, suci-dosa, dan hitam-putih, sementara dunia begitu penuh warna. Saya tak paham mengapa kami harus seragam, sementara perbedaan justru tampak begitu menarik dan memperkaya hidup. Saya tak paham kenapa saya harus selalu ‘baik-baik saja’ sementara hidup selalu punya banyak sisi dan rasa.

Saya tak paham kenapa saya disebut pemberontak karena memiliki banyak pertanyaan dan keingintahuan atas hal-hal yang dilarang agama. Bukan karena sengaja ingin membelot atau tak mau patuh, melainkan karena saya terus dikejar dengan berbagai ‘kenapa’. Kenapa nggak boleh? Kenapa harus? Kenapa jangan? Kenapa begitu? Dan banyak lagi. Saya tak paham kenapa saya dicap pembangkang, sementara yang saya inginkan hanya penjelasan yang masuk akal. Salahkah bertanya? Salahkah meminta alasan?

Saya tak paham kenapa saya dituntut untuk terus berubah, menjadi semakin seragam, semakin serupa dengan konsep ideal, dan semakin sempurna—meski kedengarannya memang menyenangkan. Saya tak paham, kenapa Dia yang dulu membuat saya jatuh cinta dengan penerimaan tak bersyarat kini menetapkan begitu banyak perintah, larangan dan aturan. Saya tak paham kenapa saya harus mengorbankan hidup saya untuk menyenangkan-Nya—tidakkah Dia ingin saya bahagia?

Saya tak paham kenapa saya tidak boleh bergaul terlalu akrab dengan mereka yang tidak seiman; kenapa saya harus senantiasa berhati-hati dalam bersikap agar ‘tidak ketularan’, dan kenapa saya harus terus berusaha ‘mengubahkan’ orang-orang di sekeliling saya menjadi sama seperti saya.

Saya tak paham, dan semakin bingung, ketika akhirnya saya sadar bahwa saya tidak pernah betul-betul ingin mempertobatkan satu orang pun, atau mempengaruhi siapa pun, kendati saya tumbuh dengan berbagai prinsip dan nilai yang (seharusnya) bisa mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Pun ketika otak saya berkata orang-orang yang saya cintai akan mendarat di neraka karena saya gagal ‘membawa mereka’ (di mana kesalahan itu akan menjadi tanggung jawab saya), saya tetap tidak ingin mengubah apa pun dari mereka.

Saya tak paham kenapa ada begitu banyak duka dan darah yang tumpah atas nama Tuhan yang identik dengan cinta, welas asih dan pengampunan.

Saya tak paham kenapa manusia saling menghakimi, mengecam dan menuding atas nama Tuhan, jika kasih-Nya tidak membedakan.

Saya semakin tidak paham ketika otak saya berkata “Kamu salah”, sedangkan hati saya membisikkan hal sebaliknya.

Tanda tanya yang sama akhirnya menghantarkan saya pada lebih banyak pertanyaan mengenai Tuhan dan hidup.

Tigabelas tahun berlalu sudah. Saya memutuskan untuk tidak lagi menjerat-Nya dalam sebuah kotak.

Inilah yang saya maksud ketika saya berkata, “Saya tidak perlu mengenal-Nya.” Bukan karena saya berhenti mencari, namun karena saya tidak ingin tanda tanya itu berubah menjadi titik. Saya tidak ingin air itu membeku keras dan kehilangan kemampuannya mengalir. Saya tidak ingin memerangkapnya dalam sebuah wadah tunggal.

Saya ingin melihat-Nya di mana-mana, karena itu saya tidak ingin memanggil-Nya dengan sebuah nama. Saya ingin menjumpai-Nya dalam berbagai rupa, karena itu saya mencopot label dari sosok berjubah putih yang bisa membelah laut dan berjalan di atas air. Saya ingin mengenali-Nya ketika bertemu dengan-Nya di jalan, karena itu saya menanggalkan berbagai predikat yang selama ini saya gantungkan pada-Nya. Pernyataan ini boleh jadi sulit diterima, bahkan absurd, namun begitulah adanya—setidaknya bagi saya pribadi.

Inilah sejumput perjalanan saya dengan Tuhan, yang sekaligus merupakan tulisan paling bongkar-isi-perut di blog ini. Sangat sedikit orang yang mengetahui kisah ini sebelumnya. Lalu, mengapa sekarang saya menuturkannya?

Karena seumur hidup saya, saya diajar bahwa tidaklah baik menjadi diri sendiri apa adanya.

Karena separuh hidup saya, saya diajar bahwa bertanya itu salah.

Karena beberapa dari Anda yang membaca tulisan ini mungkin memiliki pertanyaan yang sama, kebimbangan yang sama, pergumulan yang sama, dan saya ingin berkata: It’s OK.”

Tulisan ini tidak dibuat untuk mendiskreditkan agama tertentu atau pihak mana pun, dan saya tidak sedang berupaya meneguhkan atau melucuti keyakinan siapa pun. Semua ini hanya bagian dari ilusi yang saya mainkan di atas panggung bernama Kehidupan, dimana saya menari dan menjalankan peran yang saya pilih, termasuk mempertanyakan Tuhan dan segala hal dalam hidup.

Pertunjukan belum usai, permainan belum tamat, dan perjalanan masih panjang. Perjalanan ini bukan tanpa rintangan, dan pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa jadi sangat melelahkan, namun, pada saat yang sama, saya berharap pencarian ini takkan pernah berakhir.

—–

Dan T,
Tahukah Kamu,
Belum pernah seumur hidup
Aku jatuh cinta seperti ini.

Terima kasih.

Tentang Sebuah Perjalanan

Perjalanan itu dimulai di sebuah pagi yang mendung. Jatah tidur yang didiskon lebih dari separuh, dahaga di kerongkongan, kereta yang terlambat, dan jubelan orang di stasiun nyaris membuat saya naik darah.

Ular besi yang ditunggu-tunggu tiba. Setengah berlari saya memanggul tas berisi pakaian sambil mencari gerbong. Tak sampai 10 menit, tas sudah tersimpan rapi di rak. Saya menghempaskan tubuh di kursi dan melepaskan sepatu.

Limabelas menit dari jadwal keberangkatan yang semestinya, kereta mulai bergerak. Saya menyingkirkan tirai merah jambu yang menghalangi pemandangan. Mendadak, saya malu karena hampir kehilangan kesabaran.

Saya acap mengeluh karena air PAM di kos-kosan kadang berwarna kecoklatan, sementara tak jauh dari rel kereta api Manggarai ratusan orang tinggal di ‘rumah’ yang terbuat dari kayu dan terpal.

Saya kerap menggerutu karena AC tua di kamar tak mengeluarkan hawa dingin, sementara di bawah jembatan ada orang-orang yang tidur hanya berlapis selembar sarung.

Saya sering mengasihani diri sendiri karena tak bisa pindah ke sebuah apartemen di pusat kota, sementara di bantaran Kali Code ribuan orang menggantungkan hidup dan harapan dalam udara yang pengap dan kotor.

Saya mengira saya memahami cinta dan segala permainan yang menyertainya, namun cinta sesungguhnya adalah sepasang kakek-nenek yang duduk berhadapan di pinggir jalan kota ini, di atas aspal yang dilapisi selembar tikar. Bermain catur tanpa kata.

Di kota ini masih berdiri rumah-rumah dengan jendela kayu tanpa kaca yang tak gentar menantang zaman, sementara di metropolitan gedung-gedung bertingkat telah menggusur wajah asli ibukota dan menyebabkan warganya terendam banjir.

Di kota ini ada bocah pengamen yang lantang bernyanyi ‘Aku Si Gembala Sapi’. Matanya menyipit malu ketika sadar sedang diperhatikan. Kulitnya legam, tubuhnya kurus, namun dendang dan geraknya penuh semangat.

Di kota ini ada suara roda becak yang beradu dengan aspal, lampu warna-warni permainan anak-anak di Alun-alun, dendang campursari dengan tabuhan gendang, sate empuk yang dibakar dengan jeruji sepeda, nasi kucing seribu rupiah, kuah soto yang dihirup panas-panas di warung pinggir jalan, derai tawamu, gurauan kita, obrolan tak putus-putus yang diselingi rintik hujan.

Dan barangkali itulah sebabnya saya amat mencintai perjalanan. Karena perjalanan—ke manapun ia membawa kaki-kaki ini—tak pernah alpa mengingatkan bahwa saya tidak butuh banyak untuk bahagia.

~ Jogjakarta, 5-10 Mei 2011 ~

Hidup

Di penghujung hari, pada awal terbitnya bulan baru, apa yang terbersit di benakmu saat tubuhmu membentuk bujur horisontal di pembaringan?

Gaji yang sekadar mampir di rekening. Berbagai cicilan yang tak kunjung lunas. Gesekan kartu kredit untuk membeli segelintir kesenangan yang berakhir pada tumpukan hutang di bank.

Alkohol di atas 5% yang digelontorkan bersama tawa, celoteh, kadang air mata. Pengusir penat sesaat yang akan dimuntahkan beberapa jam setelah kegembiraan usai.

Pertengkaran dengan kekasih. Dia yang perlahan namun pasti berubah menjadi orang asing. Dia yang dulu sangat kau cinta namun kini tak lagi kau kenali.

Pertanyaan yang tak ada habisnya. Jawaban yang melahirkan kian banyak tanda tanya. Pergulatan dalam batin yang tak pernah menemukan tempat bermuara.

Keinginan yang muncul silih berganti. Impian yang terpelihara tanpa pernah mewujud. Harapan yang timbul tenggelam. Cita-cita yang mengambang lemah, mengais kekuatan untuk bertahan karena kita belum mau menyerah.

Tak jauh dari kau dan aku, ada mereka yang terlelap tanpa alas. Jempol yang dihinggapi lalat tak mampu mengusik nyenyaknya tidur. Saat kau dan aku menyuapkan makanan yang sepiringnya bisa memberi makan mereka berhari-hari, mereka mengais rezeki dari lampu merah dan jalanan. Saat kau dan aku berdansa di bawah siraman lampu warna-warni, mereka bergelut dengan debu dan keringat.

Aku tak tahu apakah mereka masih punya cita-cita. Mimpi barangkali cuma jadi bunga tidur yang tak pernah berani diangankan. Cita-cita barangkali sudah terkubur dalam-dalam bersama tanah dan debu yang mereka injak setiap hari.

Aku tak tahu akan jadi apa mereka besok. Namun satu yang kutahu.

Terik yang mendera kulit, lapar yang mengiris perut dan kepapaan yang menggerus raga tak membuat jiwa mereka kekurangan cahaya untuk melihat apa yang luput kita sadari.

Hidup.

—–

Photo by Daniel Ziv.