Infotainment yang Saya Kenal

Beberapa hari terakhir, infotainment dan situs jejaring pertemanan (Twitter, Facebook) diramaikan oleh pemberitaan mengenai Luna Maya dan status Twitter-nya yang penuh kecaman terhadap infotainment. Para blogger pun ikut bersuara. Ibu ini dan Mbak ini menuliskan artikel dengan judul ‘Luna … ’ – mengupas kasus tersebut dari berbagai sudut pandang.

Dalam entri ini, saya sengaja tidak berkomentar tentang Luna *ehmm, mungkin iya, tapi sedikiiit banget*. Sejujurnya, saya tidak kaget dengan reaksi yang dimunculkannya. Bagi saya, kemarahan Luna sama sekali tidak berlebihan, kendati dilontarkan dengan ceroboh. Bukan ceroboh dalam arti kurang bijak dalam menghina meluapkan amarah, melainkan ceroboh karena ia melupakan keberadaan monster bermata hijau Undang-undang ITE.

Sebelum entri ini semakin mirip dengan artikel-artikel gosip, mari saya jelaskan bahwa tujuan saya menulis entri ini adalah untuk membagi beberapa peristiwa yang pernah saya alami saat berurusan secara langsung dengan media gosip. Artikel ini pertama kali saya tulis pada akhir tahun 2008. Saat itu, saya memutuskan untuk tidak menyelesaikannya, karena semakin ditulis, kemarahan saya semakin menumpuk. Demi kesehatan jiwa, saya memutuskan untuk menyimpan draft setengah jadi itu dan mempublikasikan entri ini sebagai gantinya. Bagaimanapun, insiden Luna dengan infotainment kembali menyulut niat saya untuk membagi cerita ini dengan Anda, yang (barangkali) selama ini terpaksa puas dengan suguhan satu arah dari media gosip.

Kenapa ‘satu arah’? Karena apa yang Anda lihat, dengar dan baca selama ini adalah hasil ramuan media gosip—pencampuran antara fakta, fiksi, skenario, dan narasi yang dirajut dengan apik membentuk ‘informasi faktual’. Sebagai penonton, kita hanya melihat hasil liputan yang sudah jadi. Yang tertangkap oleh indera penglihatan dan pendengaran kita hanya apa yang tampak di layar televisi dan tabloid. Kita tidak pernah betul-betul tahu apa yang sesungguhnya terjadi ketika kamera berhenti merekam, ketika halaman terakhir selesai kita baca, ketika proses penyuntingan berlangsung.

Saya bercerita bukan dari sudut pandang seorang selebriti. Bukan juga dari sudut pandang media. Saya hanya orang biasa yang—kebetulan—bekerja dengan figur publik dan saya tidak memihak siapa-siapa. Semoga apa yang saya ceritakan di sini bisa memberikan perspektif segar untuk kita semua agar lebih bijak dalam menyikapi pemberitaan media gosip.

1.
Pertengahan November 2008, tidak lama setelah Reza dan Dewi melangsungkan pernikahan di Australia, mereka kembali ke Jakarta dan beristirahat di rumah selama beberapa hari. Saya belum bertemu dengan mereka berdua dan komunikasi sepenuhnya kami lakukan melalui telepon dan SMS. Kami belum sempat bertukar cerita mengenai pernikahan yang baru saja berlangsung, dan sangat sedikit yang saya ketahui tentang pernikahan tersebut.

Malam itu, ponsel saya tak henti-hentinya berdering. Pukul sepuluh malam, seorang pekerja infotainment dari program ‘S’ meminta saya untuk bersedia diwawancara saat itu juga.

“Posisi Mbak di mana sekarang? Kami sudah siap kamera dan peralatan, Mbak tinggal sebut Mbak ada di mana.” Ketika saya menjelaskan bahwa saya tidak bisa menyanggupi permintaan tersebut, mereka mendesak, “Kami butuh sekarang karena liputannya mau ditayangkan besok pagi. Nggak bisa ditunda lagi. Mbak cuma perlu mengonfirmasi apakah betul Reza dan Dewi sudah menikah.”

Saya menjawab, “Kalau hanya butuh konfirmasi, saya bisa berikan sekarang tanpa perlu pengambilan gambar. Lagipula ini sudah malam.”

Namun mereka bersikeras mengambil gambar saya. Saya pun menolak dan memutuskan sambungan telepon. Ponsel saya kembali berdering tanpa henti. Akhirnya saya menegaskan bahwa saya HANYA bersedia memberi konfirmasi via telepon, tanpa pengambilan gambar. Pertanyaan yang akan saya jawab pun hanya pertanyaan mengenai benar atau tidaknya Reza dan Dewi melangsungkan pernikahan. Sejurus kemudian, sambungan telepon kembali terputus—tanpa ada kepastian dari pihak infotainment.

Beberapa menit setelahnya, ponsel saya kembali berdering, namun yang berbicara di seberang sana adalah orang yang berbeda. Suaranya halus, tutur katanya sopan dan terjaga; sementara orang yang sebelumnya berbicara dengan nada mendesak dan memaksa. Mendadak, saya merasa ada yang tidak beres, namun tidak tahu apa.

Pertanyaan pertama yang diajukan adalah benar atau tidaknya Reza dan Dewi menikah pada tanggal 11 November. Saya mengiyakan pertanyaan itu.

Pertanyaan kedua adalah apakah pernikahan tersebut memang berlangsung di Australia. Saya kembali mengiyakan, namun entah bagaimana, saya merasa wawancara ini direkam tanpa seizin saya, dan pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan berhenti sampai sebatas ‘memberi konfirmasi’. Saya pun berpura-pura kehilangan sinyal dan memutuskan sambungan telepon.

Esok paginya, wawancara tersebut ditayangkan di ‘S’. Wawancara itu memang direkam tanpa seizin saya. Nama saya tertulis besar-besar, dan karena mereka tidak berhasil mendapatkan gambar saya, yang tampak di layar hanya sebuah pesawat telepon yang memperdengarkan wawancara tersebut.

Setelah dua pertanyaan pertama (berikut jawabannya) diperdengarkan, pertanyaan ketiga, keempat dan seterusnya pun bermunculan. Saya terperanjat karena orang yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan saya. Suara tersebut bukan suara saya. Saya tidak tahu siapa yang meneruskan wawancara tersebut. ‘Jenny’ menjelaskan bahwa pernikahan tersebut berlangsung di Sidney, di rumah paman Reza, dan seterusnya. Saya menyimak semuanya sambil terbengong-bengong, karena saya sendiri TIDAK TAHU di kota mana Dewi dan Reza menikah, di rumah siapa, dan dihadiri siapa.

2.
Peristiwa berikutnya terjadi ketika Dewi menyanyi di sebuah stasiun televisi dalam program yang ditayangkan secara live. Dewi dijadwalkan untuk menyanyikan dua lagu. Setelah lagu pertama selesai dan jeda iklan tiba, kami kembali ke backstage karena Dewi perlu merapikan rambutnya. Di tengah jalan, kami ditemui beberapa orang berseragam hitam yang meminta kesempatan untuk wawancara. Di belakang mereka, seorang juru kamera mengambil gambar kami tanpa izin.

Sambil tersenyum, Reza dan Dewi menolak permintaan tersebut. Ketika mereka mendesak, Reza menjelaskan bahwa mereka tidak bersedia diwawancarai dan Dewi harus merapikan riasan wajah dan rambutnya di backstage.

Ketika kami kembali ke panggung, si juru kamera membuntuti kami. Ia mengambil gambar dari jarak yang sangat dekat. Kemana pun Dewi dan Reza melangkah, kamera ikut bergerak. Reza mengulurkan selembar tisu. Dewi menghapus keringatnya. Kami berbincang-bincang sambil menunggu jeda iklan usai. Kami bergurau. Kami tertawa. Semuanya diabadikan dari jarak sangat dekat, kurang dari tigapuluh sentimeter.

Setelah beberapa menit, Reza yang merasa terganggu meminta juru kamera itu mengambil gambar dari jarak yang lebih jauh. Ia pun melipir dan duduk bersama rekan-rekannya, sekitar empat meter dari tempat kami berdiri.

Ketika Dewi selesai menyanyi dan kembali ke backstage, sejumlah pekerja infotainment merubung dan mencoba menerobos masuk ke backstage—area yang seharusnya bersih dari media. Manajer Dewi dan beberapa staff dari stasiun televisi yang bersangkutan menghalau mereka, namun satu orang berhasil masuk dan menempatkan kameranya tepat di depan ruangan kecil tempat kami menunggu. Setiap kali kami memandang melalui celah pintu, terlihat mikrofon dan kamera yang bergeming dengan lensa terbuka. Reza pun menelepon supir untuk menjemput kami agar kami bisa langsung naik ke mobil sekeluarnya dari backstage.

Ketika kami keluar dari backstage, sejumlah pekerja infotainment—lengkap dengan mikrofon dan kamera masing-masing—langsung memburu kami. Mereka menjajari langkah kami seraya berusaha menempatkan mikrofon sedekat mungkin dengan kami. Seorang wartawan bahkan menempelkan mikrofon-nya di punggung Dewi. Entah apa gunanya. Seorang lagi menempatkan mikrofon-nya di lengan kiri saya. Saya melirik cepat ke atas, sebuah mikrofon tepat berada di atas kepala saya. Seorang juru kamera mengambil gambar sambil berjalan mundur di depan Reza.

Sambil menjajari kami, mereka berteriak-teriak. Sebagian mengajukan pertanyaan, sebagian minta agar kami berhenti, sebagian lagi marah karena kami terus berjalan secepat mungkin. Saya berusaha memusatkan perhatian pada punggung Dewi yang berada tepat di depan saya. Tidak mudah. Seseorang nekat menyelinap di celah sempit antara saya dan Dewi. Saya mendorongnya dan menggunakan lengan kiri saya sebagai tameng untuk menciptakan jarak antara mereka, Dewi, dan diri saya sendiri.

Ketika akhirnya kami tiba di mobil, mereka merangsek maju. Reza mencoba menghindar dari seorang juru kamera yang berdiri terlalu dekat dan menutupi lensanya dengan telapak tangan. Ia membuka pintu agar Dewi bisa masuk lebih dulu ke dalam mobil. Saya berusaha membuka pintu depan dan gagal, karena seorang juru kamera bertubuh besar menghalangi pintu dengan badannya sambil terus menyorotkan kamera.

“Permisi, Mas,” tegur saya sedikit gugup. Teriakan-teriakan dari belakang kami semakin keras dan bernada tidak sabar. Sang juru kamera bergeming. Saya menarik handel lebih keras. Pintu terbuka sedikit. Saya merangsek maju dan akhirnya ia mengalah—bergerak ke pinggir sambil tetap menyorotkan kamera, mencoba mengambil gambar Reza dan Dewi yang sudah duduk di kursi belakang.

Kami telah aman berada dalam mobil, namun seruan-seruan di luar makin menjadi. Beberapa dari mereka tampak gusar. Seorang juru kamera berteriak, “WOY! GAK BISA BEGITU DONG! LU KAN ARTIS!” Seolah tak cukup, kalimat tersebut diulangnya berkali-kali. “EH, LU ITU ARTIS! LU ITU ARTIS!!” Demikian, terus-menerus. Sebagai aksi penutup, ia mengakhirinya dengan memukul mobil dengan kamera yang dibawanya.

Mobil melaju meninggalkan tempat itu. Saya mengira mereka akan berhenti ketika mobil mulai berjalan. Namun teriakan para pekerja infotainment itu masih terdengar hingga belasan meter jauhnya.

Esoknya, infotainment beramai-ramai mempublikasikan peristiwa itu dengan berbagai julukan yang dialamatkan kepada Reza dan Dewi. Arogan, tidak etis, angkuh, kasar, temperamental, dan sebagainya. Sebuah situs media gosip bahkan menyatakan tindakan Reza menutup lensa kamera sebagai kemarahan tanpa sebab, dan terbenturnya kamera di mobil adalah perbuatan Reza—bukan ulah juru kamera yang dengan sengaja memukulkannya.

3.
Beberapa minggu berselang, Dewi menyanyi di stasiun televisi lain. Tidak lama setelah kami memasuki ruang tunggu artis, wartawan infotainment dan juru kamera menghampiri kami dan minta diberikan waktu untuk wawancara tentang album dan buku terbaru Dewi. Dewi pun menyetujui dengan catatan pertanyaan yang diajukan HANYA seputar album dan buku—bukan kehidupan pribadi.

Setelah selesai dirias, Dewi keluar dari ruang tunggu untuk diwawancara. Wawancara berlangsung kurang-lebih duapuluh menit. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar tentang proses penciptaan lagu, penulisan cerpen, serta proses produksi Rectoverso secara keseluruhan. Memasuki lima menit terakhir, sang wartawan bertanya, “Dari 11 lagu yang ada di album ini, adakah yang Dewi buat untuk orang terdekat?”

Dengan halus, wawancara pun bergulir memasuki ranah personal Dewi. Kehidupan setelah pernikahan, rencana ke depan, dan si kecil Keenan pun turut dikulik. Esoknya, wawancara tersebut ditayangkan di stasiun televisi yang sama. Namun wawancara mengenai proses pembuatan album dan buku Dewi tidak ditayangkan. Bagian yang ditayangkan dimulai dari pertanyaan yang saya tuliskan di atas, serta pertanyaan-pertanyaan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau album terbaru Dewi. Wawancara asli sepanjang duapuluh menit disunat menjadi lima menit dengan topik yang berkebalikan dengan apa yang telah disepakati Dewi dan pekerja infotainment sebelumnya.

***

Semua yang saya ceritakan di atas tidak dapat Anda temukan di layar kaca maupun di tabloid yang Anda baca. Hanya orang-orang yang terlibat dan berada langsung di lokasi yang tahu apa yang sebenarnya terjadi—apa yang berada di balik pemberitaan media gosip. Sayangnya, tidak seperti gosip dan skandal yang memperoleh tempat begitu luas di ranah hiburan tanah air, kenyataan yang faktual seringkali tidak mendapat kesempatan untuk bersuara. Itu sebabnya saya memutuskan untuk membaginya di sini.

Saat ini, saya tidak lagi menaruh perhatian secara khusus pada pemberitaan media gosip. Sesekali saya menyempatkan diri untuk menonton, namun saya tidak pernah menanggapinya dengan serius. Bukan karena saya tidak peduli dengan apa yang sedang ramai dibicarakan orang, bukan pula karena saya tidak mau tahu apa yang sedang berlangsung di ranah hiburan, namun karena saya paham apa yang sesungguhnya terjadi di balik pemberitaan penuh sensasi itu—secuil fakta yang dipelintir di sana-sini dan diramu sedemikian rupa dengan banyak bumbu.

Jika ada pelajaran yang saya tarik dari pengalaman di atas, maka itu adalah bagaimana menyikapi begitu banyak pilihan yang disodorkan di tengah kebebasan yang kita miliki. Pada akhirnya, keputusan memang berada di tangan kita. Sejauh remote control yang kita genggam, dan sejauh akal sehat yang bersemayam di balik tempurung kepala ini.

—–

*Gambar dipinjam dari http://gettyimages.com

Infotainment yang Saya Kenal

Beberapa hari terakhir, infotainment dan situs jejaring pertemanan (Twitter, Facebook) diramaikan oleh pemberitaan mengenai Luna Maya dan status Twitter-nya yang penuh kecaman terhadap infotainment. Para blogger pun ikut bersuara. Ibu ini dan Mbak ini menuliskan artikel dengan judul ‘Luna … ’ – mengupas kasus tersebut dari berbagai sudut pandang.

Dalam entri ini, saya sengaja tidak berkomentar tentang Luna *ehmm, mungkin iya, tapi sedikiiit banget*. Sejujurnya, saya tidak kaget dengan reaksi yang dimunculkannya. Bagi saya, kemarahan Luna sama sekali tidak berlebihan, kendati dilontarkan dengan ceroboh. Bukan ceroboh dalam arti kurang bijak dalam menghina meluapkan amarah, melainkan ceroboh karena ia melupakan keberadaan monster bermata hijau Undang-undang ITE.

Sebelum entri ini semakin mirip dengan artikel-artikel gosip, mari saya jelaskan bahwa tujuan saya menulis entri ini adalah untuk membagi beberapa peristiwa yang pernah saya alami saat berurusan secara langsung dengan media gosip. Artikel ini pertama kali saya tulis pada akhir tahun 2008. Saat itu, saya memutuskan untuk tidak menyelesaikannya, karena semakin ditulis, kemarahan saya semakin menumpuk. Demi kesehatan jiwa, saya memutuskan untuk menyimpan draft setengah jadi itu dan mempublikasikan tulisan ini sebagai gantinya. Bagaimanapun, insiden Luna dengan infotainment kembali menyulut niat saya untuk membagi cerita ini dengan Anda, yang (barangkali) selama ini terpaksa puas dengan suguhan satu arah dari media gosip.

Kenapa ‘satu arah’? Karena apa yang Anda lihat, dengar dan baca selama ini adalah hasil ramuan media gosip—pencampuran antara fakta, fiksi, skenario, dan narasi yang dirajut dengan apik membentuk ‘informasi faktual’. Sebagai penonton, kita hanya melihat hasil liputan yang sudah jadi. Yang tertangkap oleh indera penglihatan dan pendengaran kita hanya apa yang tampak di layar televisi dan tabloid. Kita tidak pernah betul-betul tahu apa yang sesungguhnya terjadi ketika kamera berhenti merekam, ketika halaman terakhir selesai kita baca, ketika proses penyuntingan berlangsung.

Saya bercerita bukan dari sudut pandang seorang selebriti. Bukan juga dari sudut pandang media. Saya hanya orang biasa yang—kebetulan—bekerja dengan figur publik dan saya tidak memihak siapa-siapa. Semoga apa yang saya ceritakan di sini bisa memberikan perspektif segar untuk kita semua agar lebih bijak dalam menyikapi pemberitaan media gosip.

1.
Pertengahan November 2008, tidak lama setelah Reza dan Dewi melangsungkan pernikahan di Australia, mereka kembali ke Jakarta dan beristirahat di rumah selama beberapa hari. Saya belum bertemu dengan mereka berdua dan komunikasi sepenuhnya kami lakukan melalui telepon dan SMS. Kami belum sempat bertukar cerita mengenai pernikahan yang baru saja berlangsung, dan sangat sedikit yang saya ketahui tentang pernikahan tersebut.

Malam itu, ponsel saya tak henti-hentinya berdering. Pukul sepuluh malam, seorang pekerja infotainment dari program ‘S’ meminta saya untuk bersedia diwawancarai saat itu juga.

“Posisi Mbak di mana sekarang? Kami sudah siap kamera dan peralatan, Mbak tinggal sebut Mbak ada di mana.” Ketika saya menjelaskan bahwa saya tidak bisa menyanggupi permintaan tersebut, mereka mendesak, “Kami butuh sekarang karena liputannya mau ditayangkan besok pagi. Nggak bisa ditunda lagi. Mbak cuma perlu mengonfirmasi apakah betul Reza dan Dewi sudah menikah.”

Saya menjawab, “Kalau hanya butuh konfirmasi, saya bisa berikan sekarang tanpa perlu pengambilan gambar. Lagipula ini sudah malam.”

Namun mereka bersikeras mengambil gambar saya. Saya pun menolak dan memutuskan sambungan telepon. Ponsel saya kembali berdering tanpa henti. Akhirnya saya menegaskan bahwa saya HANYA bersedia memberi konfirmasi via telepon, tanpa pengambilan gambar. Pertanyaan yang akan saya jawab pun hanya pertanyaan mengenai benar atau tidaknya Reza dan Dewi melangsungkan pernikahan. Sejurus kemudian, sambungan telepon kembali terputus—tanpa ada kepastian dari pihak infotainment.

Beberapa menit setelahnya, ponsel saya kembali berdering, namun yang berbicara di seberang sana adalah orang yang berbeda. Suaranya halus, tutur katanya sopan dan terjaga; sementara orang yang sebelumnya berbicara dengan nada mendesak dan memaksa. Mendadak, saya merasa ada yang tidak beres, namun tidak tahu apa.

Pertanyaan pertama yang diajukan adalah benar atau tidaknya Reza dan Dewi menikah pada tanggal 11 November. Saya mengiyakan pertanyaan itu.

Pertanyaan kedua adalah apakah pernikahan tersebut memang berlangsung di Australia. Saya kembali mengiyakan, namun entah bagaimana, saya merasa wawancara ini direkam tanpa seizin saya, dan pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan berhenti sampai sebatas ‘memberi konfirmasi’. Saya pun berpura-pura kehilangan sinyal dan memutuskan sambungan telepon.

Esok paginya, wawancara tersebut ditayangkan di ‘S’. Wawancara itu memang direkam tanpa seizin saya. Nama saya tertulis besar-besar, dan karena mereka tidak berhasil mendapatkan gambar saya, yang tampak di layar hanya sebuah pesawat telepon yang memperdengarkan wawancara tersebut.

Setelah dua pertanyaan pertama (berikut jawabannya) diperdengarkan, pertanyaan ketiga, keempat dan seterusnya pun bermunculan. Saya terperanjat karena orang yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan saya. Suara tersebut bukan suara saya. Saya tidak tahu siapa yang meneruskan wawancara tersebut. ‘Jenny’ menjelaskan bahwa pernikahan tersebut berlangsung di Sydney, di rumah paman Reza, dan seterusnya. Saya menyimak semuanya sambil terbengong-bengong, karena saya sendiri TIDAK TAHU di kota mana Dewi dan Reza menikah, di rumah siapa, dan dihadiri siapa.

2.
Peristiwa berikutnya terjadi ketika Dewi menyanyi di sebuah stasiun televisi dalam program yang ditayangkan secara live. Dewi dijadwalkan untuk menyanyikan dua lagu. Setelah lagu pertama selesai dan jeda iklan tiba, kami kembali ke backstage karena Dewi perlu merapikan rambutnya. Di tengah jalan, kami ditemui beberapa orang berseragam hitam yang meminta kesempatan untuk wawancara. Di belakang mereka, seorang juru kamera mengambil gambar kami tanpa izin.

Sambil tersenyum Reza dan Dewi menolak permintaan tersebut. Ketika mereka mendesak, Reza menjelaskan bahwa mereka tidak bersedia diwawancarai dan Dewi harus merapikan riasan wajah dan rambutnya di backstage.

Ketika kami kembali ke panggung, si juru kamera membuntuti kami. Ia mengambil gambar dari jarak yang sangat dekat. Kemana pun Reza dan Dewi melangkah, kamera ikut bergerak. Reza mengulurkan selembar tisu. Dewi menghapus keringatnya. Kami berbincang-bincang. Kami bergurau. Kami tertawa. Semuanya diabadikan dari jarak sangat dekat, kurang dari tigapuluh sentimeter.

Setelah beberapa menit, Reza yang merasa terganggu meminta juru kamera itu mengambil gambar dari jarak yang lebih jauh. Ia pun melipir dan duduk bersama rekan-rekannya, sekitar empat meter dari tempat kami berdiri.

Ketika Dewi selesai menyanyi dan kembali ke backstage, sejumlah pekerja infotainment merubung dan mencoba menerobos masuk ke backstage—area yang seharusnya bersih dari media. Manajer Dewi dan beberapa staff dari stasiun televisi yang bersangkutan menghalau mereka, namun satu orang berhasil masuk dan menempatkan kameranya tepat di depan ruangan kecil tempat kami menunggu. Setiap kali kami memandang melalui celah pintu, terlihat mikrofon dan kamera yang bergeming dengan lensa terbuka. Reza pun menelepon supir untuk menjemput kami agar kami bisa langsung naik ke mobil sekeluarnya dari backstage.

Ketika kami keluar dari backstage, sejumlah pekerja infotainment—lengkap dengan mikrofon dan kamera masing-masing—langsung memburu kami. Mereka menjajari langkah kami seraya berusaha menempatkan mikrofon sedekat mungkin dengan kami. Seorang wartawan bahkan menempelkan mikrofonnya di punggung Dewi. Seorang lagi menempatkan mikrofonnya di lengan kiri saya. Saya melirik cepat ke atas, sebuah mikrofon tepat berada di atas kepala saya. Seorang juru kamera mengambil gambar sambil berjalan mundur di depan Reza.

Sambil menjajari kami, mereka berteriak-teriak. Sebagian mengajukan pertanyaan, sebagian minta agar kami berhenti, sebagian lagi marah karena kami terus berjalan secepat mungkin. Saya berusaha memusatkan perhatian pada punggung Dewi yang berada tepat di depan saya. Tidak mudah. Seseorang nekat menyelinap di celah sempit antara saya dan Dewi. Saya mendorongnya dan menggunakan lengan kiri saya sebagai tameng untuk menciptakan jarak antara mereka, Dewi, dan diri saya sendiri.

Ketika akhirnya kami tiba di mobil, mereka merangsek maju. Reza mencoba menghindar dari seorang juru kamera yang berdiri terlalu dekat dan menutupi lensanya dengan telapak tangan. Ia membuka pintu agar Dewi bisa masuk lebih dulu ke dalam mobil. Saya berusaha membuka pintu depan dan gagal, karena seorang juru kamera bertubuh besar menghalangi pintu dengan badannya sambil terus menyorotkan kamera.

“Permisi, Mas,” tegur saya sedikit gugup. Teriakan-teriakan dari belakang kami semakin keras dan bernada tidak sabar. Sang juru kamera bergeming. Saya menarik handel lebih keras. Pintu terbuka sedikit. Saya merangsek maju dan akhirnya ia mengalah—bergerak ke pinggir sambil tetap menyorotkan kamera, mencoba mengambil gambar Reza dan Dewi yang sudah duduk di kursi belakang.

Kami telah aman berada dalam mobil, namun seruan-seruan di luar makin menjadi. Beberapa dari mereka tampak gusar. Seorang juru kamera berteriak, “WOY! GAK BISA BEGITU DONG! LU KAN ARTIS!” Seolah tak cukup, seruan itu diulangnya berkali-kali. “EH, LU ITU ARTIS! LU ITU ARTIS!!” Demikian, terus-menerus. Sebagai aksi penutup, ia mengakhirinya dengan memukul mobil dengan kamera yang dibawanya.

Mobil melaju meninggalkan tempat itu. Saya mengira mereka akan berhenti ketika mobil mulai berjalan, namun teriakan para pekerja infotainment itu masih terdengar hingga belasan meter jauhnya.

Esoknya, infotainment beramai-ramai mempublikasikan peristiwa itu dengan berbagai julukan yang dialamatkan kepada Reza dan Dewi. Arogan, tidak etis, angkuh, kasar, temperamental, dan sebagainya. Sebuah situs media gosip bahkan menyatakan tindakan Reza menutup lensa kamera sebagai kemarahan tanpa sebab, dan terbenturnya kamera di mobil adalah perbuatan Reza—bukan ulah juru kamera yang dengan sengaja memukulkannya.

3.
Beberapa minggu berselang, Dewi menyanyi di stasiun televisi lain. Tidak lama setelah kami memasuki ruang tunggu artis, wartawan infotainment dan juru kamera menghampiri kami dan minta diberikan waktu untuk wawancara tentang album dan buku terbaru Dewi (Rectoverso). Dewi pun menyetujui dengan catatan pertanyaan yang diajukan HANYA seputar album dan buku—bukan kehidupan pribadi.

Setelah selesai dirias, Dewi keluar dari ruang tunggu untuk diwawancara. Wawancara berlangsung kurang-lebih duapuluh menit. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar tentang proses penciptaan lagu, penulisan cerpen, serta proses produksi Rectoverso secara keseluruhan. Memasuki lima menit terakhir, sang wartawan bertanya, “Dari 11 lagu yang ada di album ini, adakah yang Dewi buat untuk orang terdekat?”

Dengan halus, wawancara pun bergulir memasuki ranah personal Dewi. Kehidupan setelah pernikahan, rencana ke depan, dan si kecil Keenan pun turut dikulik. Esoknya, wawancara tersebut ditayangkan di stasiun televisi yang sama. Namun wawancara mengenai proses pembuatan album dan buku Dewi tidak ditayangkan. Bagian yang ditayangkan dimulai dari pertanyaan yang saya tuliskan di atas, serta pertanyaan-pertanyaan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau album terbaru Dewi. Wawancara asli sepanjang duapuluh menit disunat menjadi lima menit dengan topik yang berkebalikan dengan apa yang telah disepakati Dewi dan pekerja infotainment sebelumnya.

***

Semua yang saya ceritakan di atas tidak dapat Anda temukan di layar kaca maupun di tabloid yang Anda baca. Hanya orang-orang yang terlibat dan berada langsung di lokasi yang tahu apa yang sebenarnya terjadi—apa yang berada di balik pemberitaan media gosip. Sayangnya, tidak seperti gosip dan skandal yang memperoleh tempat begitu luas di ranah hiburan tanah air, kenyataan yang faktual seringkali tidak mendapat kesempatan untuk bersuara. Itu sebabnya saya memutuskan untuk membaginya di sini.

Saat ini, saya tidak lagi menaruh perhatian secara khusus pada pemberitaan media gosip. Sesekali saya menyempatkan diri untuk menonton, namun saya tidak pernah menanggapinya dengan serius. Bukan karena saya tidak peduli dengan apa yang sedang ramai dibicarakan orang, bukan pula karena saya tidak mau tahu apa yang sedang berlangsung di ranah hiburan, namun karena saya paham apa yang sesungguhnya terjadi di balik pemberitaan penuh sensasi itu—secuil fakta yang dipelintir di sana-sini dan diramu sedemikian rupa dengan banyak bumbu.

Jika ada pelajaran yang saya tarik dari pengalaman di atas, maka itu adalah bagaimana menyikapi begitu banyak pilihan yang disodorkan di tengah kebebasan yang kita miliki. Pada akhirnya, keputusan memang berada di tangan kita. Sejauh remote control yang kita genggam, dan sejauh akal sehat yang bersemayam di balik tempurung kepala ini.

—–
*Gambar dipinjam dari http://gettyimages.com

Ruri dan Pak Dokter

Ruri adalah seorang mahasiswi berusia 21 tahun yang bekerja sebagai salesgirl. Keperawanannya direnggut oleh kekasih lamanya ketika ia berusia 18 tahun. Kepada pacarnya yang sekarang, Ruri mengaku masih perawan karena takut ditinggalkan. Masalah baru muncul ketika sang pacar mengajaknya bertunangan. Ruri yang ketakutan rahasianya terbongkar memilih untuk menempuh jalan pintas: melakukan operasi selaput dara. Pacarnya tidak perlu tahu. Orangtuanya apalagi. Cukup dengan sekian juta rupiah, ia bisa mendapatkan kembali keperawanannya dan menjadi perempuan utuh. Perempuan sempurna yang didambakan setiap lelaki.

Ruri adalah tokoh rekaan saya. Ia hidup dalam benak saya dan dalam korespondensi yang berlangsung selama beberapa minggu antara saya dengan seorang dokter ‘spesialis’ operasi selaput dara. Saya menemukan website-nya dari blog seorang teman, yang karena pertimbangan tertentu tidak saya cantumkan di sini.

Ketika pertama kali membuka situs tersebut, saya hanya bisa melongo. Pertama, karena alamat dan nama situsnya yang sumpah mati malesin (saya harus menutupi layar laptop ketika membukanya di tempat umum—saking mokal-nya). Kedua, karena artikel-artikel di sana ditulis dengan gaya bahasa dan kosakata yang jauh dari kesan profesional bin terpercaya. Ketiga, karena background website tersebut berupa gambar perempuan seksi dengan ekspresi seduktif. Keempat, karena meskipun di sana tercantum kalimat ‘mendapatkan izin dari Departemen Kesehatan’, tidak ada unsur identitas yang cukup meyakinkan mengenai Pak Dokter dan klinik yang didirikannya. Satu-satunya ‘identitas’ yang ada hanya sepenggal nama (tanpa nama belakang), alamat e-mail, dan sebaris panjang nomor ponsel yang nggak ada cantik-cantiknya (baca: tipikal nomor yang gampang dibeli di mana saja dengan modal 10.000 perak).

Website itu berisi sejumlah penjelasan tentang operasi selaput dara, berbagai bentuk selaput dara, alasan tentang perlunya melakukan operasi selaput dara, testimoni dari pasien-pasien yang pernah ‘digarap’ Pak Dokter, dan tak lupa, pendapat dari pemuka agama mengenai operasi selaput dara ditinjau dari pemahaman kitab suci. Intinya, para perempuan yang telah kehilangan mahkotanya bisa mendapatkan kembali keperawanannya melalui operasi sederhana yang tidak menghabiskan biaya. Cukup dengan beberapa juta rupiah (yang relatif lebih murah dibandingkan operasi sejenis di luar negeri), selaput dara kembali utuh, kehormatan terjaga, dan tidak perlu khawatir ditinggal suami (atau calon suami) yang kecewa karena istri (atau calon istri) ternyata tidak perawan lagi.

Hal itulah yang menggelitik saya untuk mengirimkan e-mail kepada Pak Dokter. Ruri membutuhkan pertolongan. Saya membutuhkan pemuas rasa ingin tahu.

E-mail yang saya kirimkan di siang hari dibalas malam itu juga. Dengan tutur kata halus dan sopan santun terjaga, Pak Dokter mengungkapkan bahwa biaya operasi selaput dara sebesar 5 juta rupiah, dengan waktu yang bisa ditentukan sendiri oleh ‘Adik Ruri’. Alamat klinik akan diberikan menjelang tanggal operasi.

Ruri sempat terkesima, tidak bisa membayangkan apa yang terjadi seandainya ia meminta operasi dilakukan besok pagi di Surabaya, misalnya. Namun ia mencoba untuk mengerti. Barangkali cara kerja dokter profesional memang seperti itu. Praktis dan serba rahasia karena tidak ingin direpotkan oleh pasien.

Saya punya tabungan sebesar 5 juta rupiah, namun Ruri tidak. Ruri hanya mahasiswi sederhana yang keuangannya pas-pasan. Tabungan dari hasil bekerja sebagai salesgirl tidak bisa menutupi biaya operasi. Maka, Ruri mengirim e-mail kedua kepada Pak Dokter, memohon agar diberi keringanan.

Balasan kembali datang. Kali ini, Pak Dokter tidak seramah semula. Tulisannya singkat dan dingin, tanpa salam pembuka atau salam penutup. Hanya beberapa kalimat pendek yang menyatakan bahwa harga terakhir yang diberikannya adalah 4 juta rupiah, dengan catatan operasi harus dilakukan selambatnya 2 minggu setelah e-mail dikirimkan.

Ruri yang lega dan kegirangan langsung mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kebaikan hati Pak Dokter. Tanggal operasi pun ditentukan: 7 November. E-mail berikutnya yang diterima Ruri dari Pak Dokter berisi pernyataan bahwa ia wajib membayarkan uang muka sebesar 200 ribu rupiah sebelum tanggal operasi yang sudah disepakati.

“Hitung-hitung uang bensin, sekaligus menguji apakah Adik serius atau tidak. Untuk orang yang serius, 200 ribu bisa ditanggulangi dengan mudah, tapi orang iseng akan berpikir 1000 kali untuk mengeluarkan uang. Dokter makan uang segitu nggak akan kaya. Maaf ini pengalaman, karena pernah diberi kelonggaran kepada pasien, malah ngelunjak (tidak datang, padahal Dokter sudah datang, sudah beli alat, sudah sterilkan alat operasi, dan lain-lain, jadi Dokter rugi kalau pasien tidak datang dan cuma iseng.” tulis Pak Dokter sedikit curcol.

Tentu saja Ruri tidak keberatan. Apalah artinya 200 ribu rupiah dibandingkan dengan keperawanan yang kembali utuh dan hubungan yang harmonis dengan calon tunangannya. Ruri berjanji akan membayarkan uang muka pada awal bulan setelah menerima gaji. Ia juga meminta nomor rekening Pak Dokter.

Setelah janji diberikan, Pak Dokter kembali bersikap manis. Pak Dokter berjanji tidak akan mengecewakan Adik Ruri, namun nomor rekening tidak dapat diberikan sebelum tanggal pembayaran uang muka. Ruri pun maklum. Barangkali cara kerja dokter profesional memang seperti itu. Inginnya yang pasti-pasti saja.

Saya menikmati jalannya korespondensi itu dari balik layar. Pelan namun pasti, saya terheran-heran sendiri dengan munculnya berbagai rasa yang tidak saya sangka-sangka. Awalnya, saya merasa keisengan ini amatlah lucu. Ketika mendapat balasan untuk pertama kalinya, saya terpingkal-pingkal sampai taksi yang sedang saya naiki nyaris nyasar ke kompleks tetangga.

Saat korespondensi berlanjut, rasa yang mendominasi bukan lagi geli dan penasaran. Saya sebal dengan sikap Pak Dokter yang berubah drastis ketika penawaran dilakukan. Keliatan bener pengen duitnya, meskipun Pak Dokter tidak sepenuhnya salah. Dokter kok ditawar, lo kira beli ikan di pasar?

Saya juga kesal dengan tenggat waktu yang ditentukannya. Mentang-mentang boleh nawar, langsung dibatesin 2 minggu. Namun, lagi-lagi, Pak Dokter tidak sepenuhnya salah. Udah bagus didiskon. Jangan ngelunjak, Jeeek.

Saya sendiri tidak tahu kenapa saya ikut-ikutan sebal dan kesal. Mungkin karena seperti Ruri, saya pun perempuan, kendati saya tidak ambil pusing dengan urusan perawan atau tidak perawan. Utuh atau terkoyak. Sempit atau longgar. Baru atau bek… uuups.

Korespondensi yang (awalnya) berlangsung atas nama iseng itu akhirnya membuat saya merenung sendiri: apa yang akan saya lakukan jika berada di posisi Ruri. Seandainya saya membohongi pacar saya dengan mengatakan bahwa saya masih perawan, akankah saya meneruskan kebohongan itu ketika ia mengajak saya menikah? Bahkan seandainya saya mendapatkan kembali ‘keperawanan’ saya dengan jalan operasi—dan tidak seorangpun tahu kecuali saya dan Pak Dokter—akankah saya tega membohonginya seumur hidup? Tegakah saya menyenangkan suami saya dengan membiarkannya mengira tetesan darah dan erangan yang saya keluarkan pada malam pertama kami adalah perlambang kesucian yang saya persembahkan hanya untuknya? Dan sanggupkah saya menjalani kehidupan rumah tangga nantinya, sementara saya sadar fondasi yang melandasinya amatlah rapuh?

Ruri memilih menghubungi Pak Dokter untuk menyelesaikan masalahnya. Akankah saya memilih jalan yang sama?

Sayangnya, saya tidak suka berandai-andai. Hidup, bagi saya, bukan naskah novel yang memerlukan outline sebelum ditulis. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena saya bukan Ruri. Biarlah Ruri yang menjawabnya sendiri.

Tanggal 31 Oktober—2 hari sebelum uang muka dibayarkan dan 7 hari sebelum tanggal operasi—Ruri mengirimkan e-mail terakhirnya kepada Pak Dokter.

Yth. Pak Dokter,

Dengan ini, saya hendak menginformasikan pembatalan operasi yang tadinya dijadwalkan pada 7 November.

Tadi malam pacar saya berkunjung ke rumah, dan saya menceritakan semua kepadanya, termasuk rencana operasi selaput dara ini. Saya tidak tega membohongi dia. Kalau kami bertunangan nanti, bahkan sampai menikah, saya tidak mau rumah tangga saya dilandasi dengan kebohongan. Lebih baik saya jujur daripada membohongi orang yang saya cintai, meskipun dia memutuskan saya. Ternyata, pacar saya tidak keberatan. Dia memang kecewa, tapi dia bersedia menerima saya apa adanya. Dia bilang dia tetap menyayangi saya meskipun saya sudah tidak perawan, karena selain keperawanan, ada hal-hal yang lebih penting di dunia. Cinta kami salah satunya. Saya lega dan bahagia sekali.

Terima kasih banyak atas kebaikan Pak Dokter selama ini, mulai dari membalas e-mail saya, memberi keringanan biaya, dan sebagainya. Saya sangat menghargai itu.

Salam,

Ruri

Saya membaca ulang e-mail yang baru saja terkirim, dan tersenyum sendiri. Drama singkat ini telah memberi pelajaran kepada saya jauh lebih banyak dari yang saya kira.

🙂

P.S. Pak Dokter membalas e-mail terakhir ini dengan memberi diskon tambahan sehingga tarif operasi menjadi 3 juta rupiah saja. Ada yang berminat? 😉

—–

Dear Nuel,

Apa kabar?

Belakangan ini gue sibuk dengan calon buku kedua gue. Buku itu akan terbit tahun depan. Di dalamnya ada artikel tentang elo. Judulnya ‘Farewell’, karena artikel itu gue tulis setelah kita berpisah. Sejujurnya, dari sekian banyak tulisan yang jadi pengisi buku itu, gue lupa bahwa ‘Farewell’ ada di sana. Sampai malam ini, ketika gue mengedit artikel itu.

Nel, gue nggak nangis waktu kita pisah. Gue bahkan nggak nangis waktu ninggalin elo. Gue pikir lo udah bahagia. And I did believe so. Lo tampak tenang sekali di sana, di peti itu. Lo kurus, tapi lo seperti tersenyum. Seakan pingin bilang ke semua orang, “Gue udah nggak apa-apa. Kalian bisa berhenti khawatir.” Tapi sekarang gue nangis. And I cry hard.

Nel, gue kangen elo. Kangen banyolan-banyolan lo. Kangen senyuman lo. Kangen minta tolong lo bawain barang lagi (karena lo yang paling berotot di antara kita semua dan gue yang paling cungkring). Kangen lihat lo ngangkat-ngangkat boom segede dosa itu. Kangen ngelihat lo dan Lala pacaran lagi kayak dulu. Kangen makan bareng lagi. Kangen ketawa-ketawa lagi.

Nel, kenapa gue nangis ya? Kenapa malam ini air mata gue nggak bisa berhenti inget elo? Berapa bulan sejak lo pergi? Sembilan? Sepuluh?

Bahkan sebelum lo pergi kita udah jarang ketemu. Lala bilang, lo sempet nanyain gue. Dan sekarang rasanya gue rela ngasih apa aja supaya bisa ketemu lo sekali lagi… ketika lo masih bisa senyum. Ketika gue masih bisa bercandain elo. Dan kita bisa sama-sama ketawa.

Di atas sana kayak apa, Nel? Indah? Lo ketemu nyokap gue? Sampaikan salam gue buat dia, ya. I miss her so damn much. Tell her I’m happy. Gue tahu dia tahu. Gue cuma pingin bilang aja. 🙂

Nel, gue nggak pernah dapet kesempatan untuk ngomong ini ke elo. Tapi sekarang gue mau bilang.

Terima kasih karena udah ada di hidup gue. Terima kasih udah jadi temen gue. Terima kasih untuk tahun-tahun indah yang kita lewati bareng-bareng. Terima kasih untuk setiap senyum dan tawa yang pernah kita bagi, yang masih bisa gue kenang sampai sekarang ketika lo udah nggak ada. Lo nggak akan pernah tahu betapa berartinya itu semua. Ketika segalanya lenyap, yang tersisa cuma kenangan. Dan kenangan itu kita jaga, karena kita belum mau lupa.

…..

Hhhh.

Udah, ah. Gue udah selesai mewek. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya. Kalau kata Mitch Albom, gue yang curhat, lo yang dengerin. Ketika waktunya tiba nanti, kita bakal bisa lagi, kok, ngobrol dua arah.

🙂

Nel…

Gue kangen. Banget.

—–

The Power of Mind

Saya dan seorang teman berencana pergi bersama. Belum lagi niat itu terlaksana, saya merasa terganggu dengan aroma bawang yang menguar dari tubuhnya. Bukan ‘bawang’ yang merupakan kiasan bau badan, tapi bawang yang sebenarnya. Celakanya, saya tidak tahan dengan aroma bawang.

“Kamu baru masak pakai bawang, ya?” saya bertanya setengah menuduh. Aroma itu semakin tajam, benar-benar mengganggu. Saya menatapnya dengan bimbang. Lebih baik tidak jadi pergi daripada tersiksa sepanjang jalan.

“Iya. Kamu nggak suka, ya?” ia mendekatkan tangan ke hidung dan mengendusnya. Ketika saya mengiyakan, ia berkata enteng, “Kalau aku sih udah biasa masak pakai bawang.”

Detik berikutnya, saya membuka mata. Saya sedang berada di tempat tidur, bergelung seperti bayi dengan selimut tebal. Di luar hujan. Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Berarti baru 4 jam saya tidur, setelah semalaman begadang membaca novel.

Bukan mimpi itu yang membangunkan saya, melainkan kenyataan bahwa hidung saya benar-benar mencium aroma bawang yang tajam menyengat. Selama beberapa detik saya melongo—antara percaya dan tidak.

Saya keluar dari kamar. Seseorang baru selesai memasak dan aromanya memenuhi kamar saya yang tepat berseberangan dengan dapur. Saya menghela nafas. Bukan saja saya tidak bisa kembali tidur; saya harus ‘membersihkan’ sarang saya dari aroma itu sebelum masuk lagi ke sana.

Sambil menunggu aroma bawang lenyap, saya melamun sendiri memikirkan mimpi aneh tadi.

Indra penciuman saya telah menangkap aroma bawang yang saya benci ketika saraf-saraf saya yang lain—yang masih terlelap—belum menyadarinya. Dengan mekanisme yang tidak saya pahami, otak saya menyeleksi aroma asing itu dan mengelompokkannya ke dalam kategori ‘bau-bauan tidak enak’, lantas menciptakan ilusi berupa mimpi untuk ‘mengalihkan’ perhatian saya. Sebuah mimpi yang memang berhasil menahan tidur saya selama beberapa menit sebelum akhirnya saya sungguhan terjaga.

Sepanjang pagi, tidak habis-habisnya saya merenungi kejadian itu dan merasa kagum sendiri atas kemampuan pikiran (alam bawah sadar—atau apa pun namanya) yang supercepat, supertanggap dan superkreatif dalam ‘menanggulangi’ sebuah masalah—bahkan sebelum kesadaran saya mampu mencerna masalah tersebut. Agar saya tidak perlu terbangun, diciptakanlah mimpi yang mengonfirmasi ketidaksukaan saya, dan lucunya, orang yang berinteraksi dengan saya di mimpi itu adalah orang yang sedang bertengkar dengan sahabat saya di kehidupan nyata. Beberapa hari terakhir, sahabat saya rutin mengadukan kekesalannya atas ulah seorang kawan, dan meski saya berusaha netral, sedikit banyak saya ikut terpengaruh oleh peristiwa tersebut. A ditambah B, dan voila, pikiran saya dengan kreatif memasok ilusi masakan bawang yang dibuat oleh orang yang tidak saya sukai demi menutupi fakta sederhana bahwa tepat di depan kamar saya seseorang (hanya) sedang memasak.

Saya termangu mendapati betapa sederhananya kenyataan itu, dan betapa kompleksnya cara kerja pikiran dalam (berusaha) menanggulangi sebuah masalah—di mana yang disebut ‘masalah’ sesungguhnya tidak lebih dari sesuatu yang tidak saya sukai.

Lucu, bagaimana perangkat yang didesain untuk menolong manusia berevolusi dan menapaki perjalanan hidup sebagai makhluk berakal budi sanggup menciptakan berbagai ilusi yang mengaburkan pandangan dari kenyataan sederhana yang sebenarnya terjadi. Jangan-jangan, sebenarnya tidak pernah ada yang salah dengan hidup ini. Jangan-jangan, segala sesuatu yang terjadi hanyalah ‘ada apa adanya’. Jangan-jangan, kita sebenarnya bertanggungjawab atas ilusi yang diciptakan pikiran ini, sementara pada saat yang sama kita menudingkan jari pada begitu banyak hal di luar sana yang kita anggap sebagai sumber masalah—sedangkan apa yang disebut ‘masalah’ sebenarnya tidak lebih dari sesuatu yang tidak kita sukai.

Jangan-jangan. Saya sendiri tidak tahu. Namun kemungkinan itu ada.

Anda yang membaca judul di atas barangkali berasumsi bahwa saya menulis artikel self-help mengenai kekuatan pikiran dan bagaimana memaksimalkan potensi tersebut untuk menolong seseorang mencapai keberhasilan. Sebut saya naif, namun saya berpendapat, mustahil untuk hidup dalam kekuatan pikiran yang sejati jika seseorang tidak betul-betul memahami cara pikirannya bekerja. Jangan-jangan, segala konsep motivasional yang kita kenal selama ini tidak lebih dari ilusi yang diaminkan dengan mata setengah terpejam, karena apabila segala faktor yang melatari konsep tersebut dirunut ke belakang, kita hanya membentur sebuah alasan yang sama: kita ingin bahagia.

Jika demikian adanya, lantas apa hubungan antara kebahagiaan dengan kesuksesan? Kebahagiaan dengan mencapai hal-hal tertentu yang kita inginkan? Mengapa kita memerlukan kondisi tertentu agar bisa bahagia? Mengapa kita harus meraih ini dan itu dulu; atau memiliki anu dan inu? Mengapa kita tidak bisa bahagia sekarang? Mengapa kita sulit untuk bahagia—begitu saja?

Dan pertanyaan yang sama pun kembali berulang di benak saya: are you happy, Jen?

* * *

Pagi itu, saya duduk di dekat jendela dengan novel di pangkuan dan semangkuk mi instan mengepul. Di luar hujan terus mendera bumi. Saya kedinginan, tapi teh manis panas perlahan-lahan menghangatkan tubuh. Untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, mendadak saya merasa bahagia. Sangat bahagia.

Saya tidak tahu kenapa saya bahagia. Mungkin karena novel baru yang belum selesai dibaca. Mungkin karena semangkuk mi instan dan secangkir teh panas. Mungkin karena rintik hujan yang membuat suasana jadi romantis. Mungkin karena mimpi barusan secara tidak langsung telah mengingatkan bahwa saya tidak perlu terjerat ilusi dalam menjalani permainan hidup; bahwa saya bisa bernafas lebih lega dan melangkah lebih ringan. Atau mungkin karena kebahagiaan sesederhana cuaca; datang dan pergi pada waktunya. Saya tidak perlu tahu kenapa dan kapan.

Mungkin. Entahlah. Saya tidak berminat mencari tahu. Yang saya tahu hanya, pagi itu saya tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.

🙂

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com.

—–