Siapa Bilang Jadi Vegetarian itu Susah?

Menjadi vegetarian adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas di benak saya sama sekali. Saya cukup sering membaca berbagai tulisan dan artikel tentang vegetarian, dan pernah pula tergoda menjajal berpuasa daging ketika mendengar Oprah Winfrey menjadi vegetarian, namun semuanya hanya sebatas mampir di otak. Berkelebat sekilas dan lenyap tanpa bekas.

Sebagai pelahap sejati ayam bakar, empal goreng, bistik, gulai otak, hamburger, dan segala jenis makanan berdaging lain, saya menjadikan daging menu utama dalam hidangan sehari-hari. Saya bahkan sanggup menyantap menu yang sama selama berhari-hari, selama racikan bumbunya pas dan sesuai dengan lidah saya, dan yang terpenting, berdaging.

Perkenalan saya yang pertama dengan makanan tanpa daging terjadi kira-kira sepuluh bulan yang lalu, ketika saya menjalin pertemanan dengan dua herbivora vegetarian. Yang satu sudah menjadi vegetarian selama tiga tahun, sedangkan satunya lagi sudah delapanbelas tahun.

Kunjungan yang cukup sering membuat saya tergoda mencicipi hidangan yang tersaji di meja makan mereka. Saya masih tidak bisa membayangkan rasanya makan tanpa daging, namun setelah dicoba, rasanya tidak seburuk yang saya duga. Ketika bepergian bersama, saya memilih menu tanpa daging untuk menghormati mereka. Ternyata, saya menikmatinya. Lewat beberapa bulan, tubuh saya pun mulai merasakan manfaatnya. Entah sugesti atau bukan, saya merasa lebih sehat dan penyakit jarang mampir.

Saya pun memutuskan untuk tidak lagi berfoya-foya menyantap daging. Dalam seminggu, saya membiasakan diri untuk berpuasa daging selama dua hari. Setelah beberapa bulan, saya mampu berpuasa daging selama empat hari. Selama itu pula tubuh saya menjadi jauh lebih segar dan tidak rentan penyakit. Perlu diketahui bahwa sejak kecil saya mudah jatuh sakit dan saya terbiasa mengonsumsi antibiotik sejak berusia dua tahun. Kebiasaan itu terbawa hingga dewasa dan menyebabkan saya bergantung dengan obat-obatan. Sejak menekuni meditasi dan mengurangi konsumsi daging, kondisi tubuh saya berangsur-angsur mengalami perubahan.

Saya yang dulu sering terkena flu, kini jarang sekali sakit. Kalaupun sakit, tidak lebih dari dua atau tiga hari. Lebih dari sekali saya mengalami gejala flu dan masuk angin yang hanya bertahan kurang dari duapuluhempat jam tanpa pengobatan apa pun. Saya yang dulu membawa dompet berisi berbagai macam obat –mulai dari jamu sampai kapsul— di dalam tas, kini mulai berani bepergian tanpa segala peralatan perang itu. Saya yang dulu ‘fakir obat’ sekarang tidak pernah lagi minum obat. Seakan-akan tubuh saya kembali menemukan kemampuan alamiahnya untuk menyembuhkan diri sendiri. Tidak hanya tubuh, hati saya pun terasa lebih lapang, karena menyantap daging hewan –pada esensinya yang sejati— sama dengan memindahkan energi yang dimiliki oleh hewan tersebut ke tubuh dan batin kita. Hewan yang diternakkan secara tidak alamiah, misalnya, biasanya mengalami stres yang ikut berpindah ke diri kita ketika kita menyantapnya.

Akhirnya, saya memutuskan untuk mengeliminasi daging dari menu sehari-hari. Bukan hanya beberapa kali seminggu, melainkan setiap hari. Saya memberi penjelasan kepada anggota keluarga yang mempertanyakan keputusan tersebut. Meski awalnya terkejut, lambat laun mereka mulai terbiasa dengan gaya hidup saya yang baru.

Kekhawatiran yang tadinya saya miliki tentang apa-kata-orang ternyata tidak terbukti. Sebaliknya, menjadi vegetarian memberi saya kesempatan untuk belajar berkomunikasi. Saya belajar menyampaikan dengan jujur dan apa adanya alasan saya untuk tidak mengonsumsi daging. Saya menjelaskan pilihan yang saya ambil kepada teman-teman saya. Ternyata mereka dapat menerimanya dengan baik. Setelah beberapa bulan, dua sahabat saya yang awalnya sangsi menjadi tertarik dan ikut mengurangi menyantap daging.

Kebahagiaan saya bertambah dengan menjamurnya restoran vegetarian di berbagai tempat, yang berarti, pilihan untuk menikmati makanan enak dan sehat juga semakin bertambah. Restoran-restoran lain yang mulai menyediakan menu vegetarian di samping menu biasa juga semakin membuat saya berseri-seri. Sungguh, menjadi vegetarian ternyata tidak sesulit yang saya duga.

Beberapa bulan lalu, saya membereskan kamar. Di sudut meja, saya menemukan sebuah dompet berisi berbagai macam obat. Saya terheran-heran sendiri, sejak kapan benda itu tergeletak di sana. Benda yang dulu tidak pernah saya tinggalkan barang sehari, kini telah terlupakan. Barulah saya ingat, saya pernah mengeluarkannya dari tas karena malas membawa terlalu banyak barang. Saat itu, saya merasa cukup sehat dan yakin alergi saya tidak akan kambuh, tidak akan terserang masuk angin, mual mendadak, dan sebagainya. Saya mengeluarkannya dan menaruhnya di atas meja. Sejak itu, saya tidak pernah menyentuhnya lagi.

Saya tersenyum, lantas mengosongkan isi dompet tersebut. Saya merasa seperti narapidana yang baru keluar dari penjara. Saya bebas.

Setiap hari, saat melihat makanan di piring –apa pun isinya– hati saya bernyanyi dan bersyukur. Rasa syukur itu tidak hanya datang dari tubuh yang sehat dan dompet obat yang kosong, melainkan dari pilihan yang saya ambil dan jalani setiap hari dengan penuh kesadaran. Sayur nangka, jamur goreng, kentang masak kecap, telur balado, pepes oncom, tempe mendoan, semur tahu, perkedel kentang, dan semangkuk sayur berkuah adalah surga kecil saya sekarang.

Dulu, saya sempat khawatir untuk menyebut diri vegetarian, namun kini saya mengucapkannya dengan percaya diri. Dulu, saya memiliki berbagai kekhawatiran untuk menjalani gaya hidup tanpa daging. Kini, saya sering tersenyum dan membatin, “Tau gitu, dari dulu aja.”

Ya. Siapa bilang jadi vegetarian itu susah?

🙂

*Artikel ini dimuat di majalah Info Vegetarian edisi IV/2009.

**Gambar dipinjam dari gettyimages.com.

—-

‘This Is It’ Spells L-O-V-E

Discover the man you thought you knew.

Saya tersenyum membaca tagline itu beberapa saat sebelum memasuki bioskop. Jenius, batin saya. Siapa yang tidak akan terpikat dengan kalimat seperti itu. Saya sendiri, sejujurnya, tidak punya ekspektasi apa-apa. Saya bukan penggemar Michael Jackson. Namanya sudah akrab di telinga saya sejak kanak-kanak, tapi saya tidak pernah mengikuti karya-karyanya, apalagi mengidolakannya.

The man? Saya tidak punya bayangan apa-apa tentangnya. Dokumenter ini bisa jadi sangat mengesankan atau sangat membosankan.

Lima menit pertama berlalu. Raja Pop itu muncul dengan kostum perak-biru dan celana oranye ketat. Satu-satunya yang membuatnya termaafkan adalah karena ia Michael Jackson. 🙂

Menit demi menit berlalu, dan saya terkesima. Inilah kali pertama saya melihat sebuah karya dipersiapkan seserius, serapi dan sedetil ini. Nyaris tanpa cacat sampai rasanya ‘menakutkan’. Sepanjang film, berkali-kali saya merasa tertampar. Saya bukan penyanyi atau pencipta lagu, namun saya tahu rasanya berproses untuk mengawinkan ide dan kreativitas sampai melahirkan sebuah karya. Mungkin itulah sebabnya – karena saya merasa sebagian diri saya terwakili olehnya.

This is for love,” sabda sang Raja. Siapa yang tidak setuju setelah melihatnya. Tidak ada yang lebih tepat untuk menguraikan pesan yang terdapat dalam konser ini selain cinta. Cintanya kepada manusia. Kepada dunia. Kepada Bumi. Kepada karya-karyanya. Jackson mencintai dan mengenal setiap karyanya sampai ke detil yang paling sederhana, dan barangkali itulah attitude yang perlu dimiliki setiap orang yang mengaku pekerja seni: karya adalah anak jiwa.

You can’t fool Michael,” komentar seorang musisi yang terlibat dalam konser tersebut. Komentar itu tidak berlebihan. Jackson tidak memasrahkan lagu-lagunya untuk diaransemen ulang dan berpangku tangan terima-jadi seperti yang kerap dilakukan pencipta lagu dan penyanyi lain. Ia mengetahui setiap rekaman, tempo dan kunci dari lagu-lagu yang lahir dari rahim kreatifnya, dan ia menginginkan yang terbaik.

That’s why we have rehearsal,” ucap Jackson. Sederhana, tanpa sirat kesombongan. Saya tidak tahu apakah Kenny Ortega melakukan segala macam cara dalam menyunting film agar Jackson tampak seperti malaikat. Mungkin ia telah membuang bagian-bagian di mana sisi ‘iblis’ Jackson muncul. Mungkin Ortega memang ingin menampilkan Jackson sebagai manusia setengah dewa, karena sosok di layar itu hanya bisa digambarkan dengan ungkapan ‘too good to be true’. Dengan segala kejeniusan, kerendahan hati, ‘I love you’, ‘thank you’, dan ‘God bless you’ yang berkali-kali ia lontarkan, adakah seniman besar yang dijuluki raja ini manusia biasa?

Saya tidak tahu sejumlah lagu yang dibawakan Jackson sehingga saya tidak bisa ikut bernyanyi dalam bioskop. Saya tidak bisa menghayati lagu-lagu tersebut. Saya tidak mengenal Jackson sebaik jutaan penggemarnya yang lain, namun air mata saya mengalir. Jika ada sesuatu yang tidak gemerlap dari seorang Michael Jackson, maka itu adalah cintanya – sesuatu yang berkali-kali diulang dan ditekankannya. Cinta itu sederhana. Begitu sederhana hingga ia dengan mudah menyentuh setiap hati yang dijumpainya.

He is a king. He is a good guy. He is humble and he knows his music,” komentar musisi lainnya. Cukupkah itu untuk mendefinisikan seorang Jackson?

We thought we knew. The truth is, we never knew.

Konser itu tidak pernah terlaksana. Sang Maestro meninggal delapan hari sebelum karya terbesarnya lahir. Banyak orang menyayangkan pembuatan film ‘This Is It’. Sebagian keluarga dan fans fanatiknya berkata Jackson tidak akan suka dokumenter tersebut dipublikasikan karena ia seorang pengagung kesempurnaan dan apa yang terekam dalam film itu jauh dari sempurna. Bagi saya, ketidaksempurnaan dalam karya itulah yang menjadikannya sempurna. Karya tersebut memperlihatkan kepada dunia sisi manusia dari seorang manusia setengah dewa yang disanjung setinggi langit. Karya tersebut, meski tidak sempurna, adalah persembahan terbaik Jackson bagi dunia.

Saya duduk hingga baris terakhir dalam credit title selesai ditayangkan. Saya satu-satunya penonton yang tersisa. Petugas kebersihan mulai menyebar di antara lorong kursi dan saya bergeming. Layar kembali menampilkan sosok Jackson di tengah panggung. Gambar berganti, memperlihatkan seorang gadis cilik memeluk bola dunia. Di sudut kiri bawah muncul sebuah guratan. Sebaris ‘I love you’, diikuti tanda tangan Jackson di sebelah kanan.

Layar besar itu gelap sudah. Saya merapatkan tas di bahu dan melangkah keluar dengan hati penuh.

Tagline itu tidak sepenuhnya benar. Saya masih tidak tahu ‘siapa’ Michael Jackson. Namun satu hal saya ketahui pasti: persembahan terakhirnya bagi dunia telah mengajar saya untuk berkarya dengan cinta.

*Gambar diculik dari: http://memories.michaeljackson.com/ex-images/michael-jackson-this-is-it-movie-poster.jpg

—–

Perceraian di Mata Saya

Orang tua saya berpisah ketika saya berusia empat tahun. Penyebab dari perpisahan mereka, sejauh yang saya tahu, adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ada yang mengatakan, seharusnya ibu melahirkan enam anak, namun akibat kekerasan yang terus dialaminya, janin yang sanggup bertahan di rahimnya hanya dua. Saya dan adik saya.

Tidak lama setelah melahirkan adik saya, ibu lari dari rumah karena tidak tahan dengan kekerasan yang semakin menjadi-jadi. Beliau sempat terkapar di rumah sakit dengan sekujur tubuh lebam. Saya sendiri baru mengetahui peristiwa ini setelah beliau meninggal lima tahun silam. It remained a mystery for more than 20 years. Setelah keluar dari rumah sakit, beliau membawa adik saya yang masih bayi dan pulang ke rumah orang tuanya. Beberapa tahun kemudian, saya menyusul dan tinggal bersama ibu.

Saya tidak tahu apakah pernyataan ini akan terdengar kontroversial, namun sebagai seorang anak yang mengalami dampak perceraian, saya justru berharap orang tua saya bercerai lebih dini. Seandainya ibu memiliki keberanian untuk pergi lebih awal, mungkin ia tidak perlu terkapar di rumah sakit dengan memar di sekujur tubuh. Seandainya perpisahan itu dilakukan lebih awal, mungkin ia tidak perlu dihantui trauma dan luka batin seumur hidup. Meski beliau tidak pernah membicarakannya, saya tahu, luka itu ada.

Banyak orang mengatakan, kebahagiaan anak seharusnya diprioritaskan di atas kebahagiaan orang tua. Saya justru berharap sebaliknya. Seandainya sejak awal ibu memprioritaskan kebahagiaannya di atas kebahagiaan saya, barangkali kisah hidup beliau akan berakhir lain. Saya pernah membaca sebuah tulisan, bahkan anak-anak yang orangtuanya tidak mengalami KDRT dan mempertahankan pernikahan ‘demi kebahagiaan anak’, dapat merasakan apa yang sesungguhnya terjadi pada orang tua mereka. Kenyataannya, duduk bersama di meja makan, masuk ke kamar yang sama setiap malam, datang bersama ke acara-acara sekolah, dan banyak sandiwara lain yang dilakukan demi sang buah hati, tidak cukup untuk menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari batin anak yang bersangkutan. They just know. They can feel it. At least, that’s what I read. Di sisi lain, bahkan sebagai anak kecil yang belum mengerti apa-apa, saya turut terkena efek psikologis dari setiap kejadian buruk yang dialami ibu, karena saya membagi aliran darah yang sama dengannya.

Saya tidak tahu dengan orang-orang lain yang orangtuanya juga bercerai. Apa yang mereka rasakan bisa saja berbeda. Namun, saya bersyukur orang tua saya bercerai.

Dalam sebuah obrolan santai beberapa tahun silam, ibu bercerita kepada saya dan adik tentang beberapa orang yang sempat dekat dengannya sebelum beliau bertemu ayah saya.

“Yang naksir Mama itu dulu mulai dari dokter sampai pengusaha. Nggak tahu gimana, bisa jadinya sama Papi kamu,” ujarnya.

Mendengar itu, adik saya nyeletuk, “Kenapa Mama nggak jadian sama yang pengusaha aja? Kan lebih enak!”

“Kalau Mama nggak kawin sama Papi kamu, nggak bakalan ada kamu,” beliau menjawab enteng. Ibu saya bukan orang yang ekspresif. Beliau cenderung keras dan dingin dalam mendidik anak-anaknya, namun saat itu saya yakin, saya mendengar senyuman dalam jawabannya.

Ibu mungkin akan lebih bahagia menikah dengan dokter atau pengusaha. Mereka yang mencintainya dan tidak memukulinya seperti ayah saya yang pemabuk. Namun dengan begitu, tidak akan ada saya. Tidak akan ada adik saya. Dan sama seperti saya tidak menyesali keputusan yang diambilnya berpuluh tahun silam, saya tidak menyesali keputusannya untuk bercerai. Karena perceraian beliau memberikan saya ayah terbaik di seluruh dunia.

Bagi Anda yang mengikuti blog ini dan mulai bertanya-tanya, ya, pria yang saya panggil ‘Ayah’, yang saya cintai segenap jiwa dan berkali-kali muncul dalam tulisan-tulisan saya, bukanlah ayah kandung saya. Beliau menikah dengan ibu setelah ibu dan ayah kandung saya bercerai. Dan beliau adalah satu-satunya orang yang berada di sisi ibu ketika wanita tersayang itu menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit.

Kami, anak-anaknya, tidak ada di sisinya. Ibu saya meninggal didampingi laki-laki yang mencintainya sampai akhir hayatnya, yang menerimanya apa adanya dengan tanggungan dua orang anak dan tidak pernah –satu kali pun—mendaratkan pukulan di tubuhnya. Laki-laki yang pernah dikucilkan keluarganya selama bertahun-tahun karena orang tua dan saudara-saudaranya tidak bisa menerima keputusannya untuk menikahi ibu saya. Laki-laki yang pernah kehilangan mata pencaharian karena sang ayah yang jengkel terhadapnya menarik toko obat yang sedang ia kelola dan memberikannya kepada saudaranya yang lain. Laki-laki yang rela tidak memiliki anak dari pernikahannya dengan ibu, dan tetap mencintai saya dan adik seperti anak kandungnya sendiri. Laki-laki yang sampai hari ini masih menyimpan foto ibu saya di ponselnya. Laki-laki itu tidak hanya saya panggil ‘Ayah’. Darinyalah saya belajar memaafkan dan mencintai.

Saya menulis artikel ini setelah membaca sebuah diskusi di internet yang membahas perceraian dua figur publik di Amerika Serikat. Selain keputusan yang cukup mendadak dan memancing reaksi para anggota forum, yang paling banyak dibicarakan adalah dampak perceraian mereka terhadap anak-anak yang berusia 9 dan 6 tahun. Pendapat yang dilontarkan pun beraneka ragam. Ada yang bisa memahami, ada yang mendukung, ada yang kecewa, ada pula yang terang-terangan mencela mereka sebagai orang tua yang tidak bertanggung jawab, egois, menelantarkan kebahagiaan anak, dan sebagainya.

Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan anak-anak itu kelak. Mungkin orang-orang di forum itu benar. Mungkin juga mereka salah. Yang saya tahu hanya, dalam daftar hal yang paling saya syukuri di dunia, perceraian orang tua saya menduduki peringkat awal. Saya bahkan mengagumi ibu yang dengan tegar berjuang melepaskan diri dari siksaan dan dengan berani menjadi orang pertama dalam keluarga besar kami yang menandatangani surat cerai.

Perceraian bagi sebagian orang mungkin merupakan simbol dari kesedihan, penderitaan, bahkan tragedi. Tidak bagi saya. Perceraian telah mengajarkan saya tentang kejujuran dan cinta, dan pada akhirnya, mengajarkan saya untuk berdamai dengan hidup.

🙂

—–

Perkara Tuding-menuding dan Cela-mencela

Malam ini, timeline akun Twitter saya ramai dengan pembahasan seputar para menteri terpilih yang baru saja diumumkan di televisi. Saya, yang dari awal memang tidak tertarik untuk mengikuti, memilih mendem di kamar demi menamatkan Harry Potter, entah untuk keberapa kalinya. Emang ciamik Nyonya Rowling itu, gak ada matinye. Tapi mari kita tidak berfokus pada Harry Potter atau Nyonya Rowling.

Saya terdiam saat membaca tweet demi tweet yang masuk, dan akhirnya, ketika membaca tweet seorang selebriti yang cukup vokal mencela menteri-menteri terpilih, saya pun nyengir kuda.

Saya tidak anti mencela. Namun, entah mengapa, melihat banyaknya celaan yang ditujukan pada kabinet yang baru terbentuk –yang bahkan tidak pernah saya ikuti perkembangannya—mendadak menimbulkan perasaan aneh di hati. Simpati? Entahlah. Rasanya bukan. Simpati apanya, wong saya Golput kok. 😉

Saya termasuk kelompok manusia yang suka mencela, dan di saat-saat tertentu, lidah saya bisa lebih tajam dari silet yang baru dibeli di warung – terutama menjelang awal bulan dimana hormon sedang bergejolak, dan ketika sedang banyak pikiran alias stres. Atas nama kejujuran, bagi saya mencela adalah sebuah bentuk terapi – terserah mau dibilang nista, dangkal, atau apa pun. Mengetahui bahwa ada orang yang lebih buruk dari saya, ada yang bisa disalahkan, mengungkapkan itu sesuka hati, dan dengan cara yang saya kehendaki, selalu memberi kelegaan tersendiri, meski kelegaan itu hanya temporer. Siapa peduli berapa lama lega itu bisa bertahan? Siapa peduli efek jangka panjang dari tindakan tersebut? Yang penting sekarang saya bisa merasa (sedikit) lebih nyaman.

Seorang teman berkata, mencela, menuding, dan menghakimi adalah hal yang paling mudah dilakukan. Dan ia benar. Seperti yang saya sebutkan tadi, tiga hal itu bisa jadi jalan pintas untuk melegakan hati. Itu sebabnya sesekali saya masih menonton program-program televisi yang tidak akan saya nikmati dalam keadaan ‘waras’. Itu sebabnya sesekali saya masih mengikuti pemberitaan infotainment yang penuh fiksi dan drama. Itu sebabnya saya kekeuh sumekeuh memonopoli remote control di rumah ketika RCTI menayangkan sinetron Manohara untuk pertama kalinya.

Orang lain mengatakan, justru di situ serunya. Hidup akan terasa hambar kalau tidak ada orang yang suka mencela. Ia juga benar. Bayangkan betapa membosankannya dunia yang warnanya serbaputih. Namun saya bertanya-tanya, akankah kita mengamini hal yang sama, seandainya kita yang jadi sasaran cela, hujat dan kritik?

Menumpahkan uneg-uneg itu mudah. Meluapkan amarah dan kekecewaan itu gampang. Menghakimi apalagi. Kalau kepala sudah terlanjur panas, mendengar dan berkomunikasi pun ke laut aje. Memaki-maki dulu, yang penting hati lega. Tidak peduli siapa benar siapa salah. Siapa yang patut didengarkan dan demi alasan apa. Tidak penting. Perkara konsekuensi dan perasaan orang lain, bisa diatur belakangan. Kita memang sudah terbiasa. Hidup mengkondisikan kita untuk terbiasa.

Sekali lagi, saya tidak anti mencela. Saya tidak anti menuding. Setiap akhir pekan saya masih setia nongkrong di depan televisi untuk menikmati guilty pleasure saya: reality show populer slash ajang cari jodoh yang dipandu seorang MC Batak nan tampan. Sebuah tayangan yang selalu berhasil memancing celaan demi celaan dari mulut saya. Bahkan setelah saya tahu pahala saya tidak akan bertambah (defisit iya!), saya tetap suka menontonnya.

Entri pendek ini tidak bertujuan untuk mengurangi populasi kaum pencela, karena saya belum ingin punah dari muka Bumi. Entri ini hanya bertujuan untuk mengingatkan diri saya sendiri, bahwa ketika saya menudingkan jari kepada orang lain, empat jari lainnya menuding diri saya sendiri. Mudah-mudahan itu cukup.

—–

*Gambar diculik (lagi) dari gettyimages.com