Kabut Langit Ubud

Sejak dulu, saya selalu bangga memproklamirkan diri sebagai pemimpi. Saya punya banyak impian, harapan dan cita-cita yang digantung setinggi langit. Semuanya berjajar dengan setumpuk angan dan khayalan tentang apa yang akan saya nikmati seandainya mimpi-mimpi itu jadi nyata.

Saya bekerja keras demi membuat mimpi tidak cuma eksis di kepala. Mimpi-mimpi itu adalah saya. Masa depan saya. Tempat saya menumpukan pegangan. Dan mimpi-mimpi itu pula yang membuat saya bertahan. Betah bersahabat dengan penat dan lelah. Mampu menghabiskan ribuan jam berkulik dan berkutat tanpa sayang tenaga. Mencoba menipu waktu demi mencuri seremah kesempatan yang (siapa tahu) bisa menghantarkan saya menjadi sosok sehebat Ibu Rowling atau Pak Hirata.

Ya, siapa tahu? Kita tak pernah tahu. Barangkali kelak Dewi Fortuna akan menaruh belas kasihan pada saya. Atau bosan mendengar gedoran saya di pintunya. Barangkali ia akan bersedia menyisihkan sekeping keberuntungan untuk saya. Kita tak akan tahu.

Demi mimpi pula, saya rajin mengoleksi kata-kata mutiara dari para pesohor dunia, berharap kebijaksanaan yang sama akan menghantarkan saya ke gerbang kesuksesan. Kalau mereka bisa, mengapa saya tidak?

Kesempatan tidak datang dua kali. Saya tahu. Semua orang tahu. Barangkali itu sebabnya kita rela bekerja bagai kuda. Barangkali itu sebabnya kita rela terdera. Barangkali itu sebabnya kita tak henti-hentinya berpacu. Barangkali itu sebabnya kita bermusuhan dengan waktu dan mencibir kepada mereka yang (dianggap) malas. Semua demi kesempatan yang takkan datang dua kali. Agar kita tak perlu menunda kesuksesan, dan kebahagiaan yang didambakan bisa segera diraih.

Each second of life is a miracle.” Demikian kalimat yang singgah di benak saya beberapa malam lalu, saat memandangi langit Ubud. Udara dingin karena hujan baru saja berhenti. Saya duduk sendirian, menatapi pucuk-pucuk pohon dari balik pintu kaca. Malam itu adalah malam pertama saya di Ubud.

Saya selalu suka duduk seorang diri, memandangi alam dan langit. Sayangnya, kemewahan ini tidak sering saya dapatkan, karena di Jakarta alam harus rela mengalah dengan gedung dan atap rumah. Belum lagi suara bising yang kerap menggusur ketenangan. Di Ubud, berkali-kali saya merasakan ‘orgasme’. Langit Ubud adalah salah satu langit terindah yang pernah saya lihat. Suatu pagi, saya melongok keluar jendela dan tercengang-cengang melihat warna biru yang amat jernih, sampai dada saya sesak oleh haru. Namun, malam itu yang ada hanya gelap. Hujan masih menyisakan selaput di langit. Tak hanya mendung, pepohonan pun ditutupi kabut tipis.

Saya terdiam, merenungi kalimat yang barusan singgah di kepala. Setiap detik dalam hidup adalah sebuah keajaiban. Entah sudah berapa puluh kali saya mengulang kalimat yang sama sejak pertama kali membacanya. Berkali-kali pula saya menangkap keindahan dalam pernyataan sederhana itu. Namun, malam ini ia seolah punya ‘nyawa’.

Kabut yang menutupi pepohonan mulai menebal. Sukar untuk melihat dengan jelas. Udara bertambah dingin. Lampu penerang di taman mungil itu adalah satu-satunya sumber cahaya, karena saya tidak menyalakan lampu kamar.

Each second of life is a miracle. Saya terpekur sendiri. Mukjizat macam apa yang bisa terjadi sekarang? Satu-satunya yang membedakan malam ini dari malam-malam lain adalah, kini saya berada di Pulau Dewata, di kamar luas yang menghadap taman lengkap dengan kolam renang. Kamar yang selama empat hari ke depan akan menjadi milik saya seorang. Saya sangat beruntung. Bisa berada di tempat ini adalah berkah yang tidak pernah saya duga, dan semua sudah lebih dari cukup. Kendati begitu, malam ini sama biasanya dengan malam-malam lain. Mukjizat apa yang bisa terjadi?

Tapi, mukjizat memang tidak kenal tempat dan situasi. Belum selesai otak saya mencerna makna kalimat di atas, mendadak saya memasuki keheningan yang intens. Apa yang pernah saya alami dalam retreat meditasi di Mendut kembali terjadi. Keheningan yang pekat menyelubungi saya seperti selimut hangat tebal. Kursi berlengan yang saya duduki terasa ‘bernyawa’ ketika sekat ruang dan waktu kembali lenyap. Haru yang dalam membuncah ketika saya kembali menembusi tabir antara yang fana dan abadi. Detik itu, saya kembali menghentikan waktu.

Mata saya membasah. Mendadak, setiap detik yang bergulir menjadi sama berharganya. Mendadak, mukjizat ini menjadi sama berartinya dengan cerita-cerita ajaib yang saya baca di kitab suci. Mendadak, berjalan di atas air menjadi sama sakralnya dengan memandangi pepohonan di teras kamar.

Kabut di luar mulai bergeser. Memperlihatkan rimbunan daun dan pucuk ranting yang mencakari langit. Terus bergerak, sampai akhirnya lenyap sama sekali. Namun, saya tak lagi peduli. Dengan atau tanpa kabut, detik ini adalah mukjizat. Saya menggenggamnya erat-erat selagi bisa.

Dan saya tahu. Keheningan inilah yang membawa saya ke tanah Ubud. Kesunyian inilah yang membuat saya menerima undangan sahabat saya, menghantarkan saya memesan tiket pesawat dan mengemasi pakaian, hingga akhirnya menginjakkan kaki di tempat ini. Detik itu, saya kembali bersentuhan dengan mukjizat paling luar biasa sekaligus paling sederhana di muka bumi: keabadian dalam kekinian. The eternal now.

Barangkali ini terdengar absurd bagi para penjunjung mimpi, namun dalam kekinian, impian dan cita-cita tak lagi kuat mencengkeram saya. Bukan karena ia kehilangan makna, namun karena saya tidak lagi punya ambisi untuk menggaransi masa depan. Bukan karena ia tak berharga, namun karena yang terpenting bagi saya hanya hidup di saat ini. Seutuh-utuhnya.

‘Keajaiban’ itu tidak berlangsung lama. Air mata saya pun kering dengan cepat. Tak lama kemudian, penerangan di taman meredup. Sebagian lampu mendadak padam, yang tersisa hanya segaris sinar berwarna kuning. Spontan, saya mendongak ke langit yang tersaput mendung. Kabut baru saja berlalu, mungkinkah mendung ini juga?

Setitik cahaya muncul di antara dedaunan. Disusul titik-titik berikutnya. Saya bangkit dari kursi dan membuka pintu yang menghubungkan kamar dan taman. Udara dingin menggigit, namun saya tak peduli. Masuk angin harga yang kecil bila dibandingkan dengan indahnya langit berbintang. Namun, tak urung saya ragu. Jangan-jangan dugaan saya salah.

Saya melangkah keluar. Merapatkan tangan di dada sambil mendongak ke langit. Saya harus menggigit bibir agar tidak memekik kegirangan. Harapan saya terkabul. Langit Ubud memang bertabur bintang.

Malam itu, saya tertidur dengan sebuah doa. Terima kasih telah mengijinkan saya hadir lagi di sini. Dan sekiranya Engkau tidak keberatan, tolong ijinkan saya kembali sesekali. Ingatkan saya untuk pulang. Ke sini. Ke kini.

*****

Berhari-hari setelah kembali ke Jakarta, saya masih merenungi pengalaman itu. Betapa berharganya setiap detik dalam hidup; bukan karena ia mengandung kesempatan untuk mengamankan masa depan, bukan pula karena ia tak bisa diulang kembali, melainkan karena ia adalah mukjizat. Ia satu-satunya saat dimana waktu terhenti. Tempat keabadian tercipta, dimana surga bukan cuma slogan.

Saya ingin berhenti bergumul. Saya ingin berhenti berpacu. Saya ingin berhenti terseret ke masa lalu dan terlempar ke masa depan. Saya hanya ingin berhenti.

Siang tadi, ketika waktu makan tiba, saya meluangkan waktu untuk sejenak memandangi makanan di atas piring. Gundukan nasi putih mengepul, tumpukan sayur buncis, sepotong tahu, dan tempe goreng. Segelas air hangat.

Ketika saya mengatupkan tangan untuk berdoa, yang muncul adalah rasa terima kasih yang mendalam. Sepenuh hati saya bersyukur atas makanan yang sebentar lagi berpindah ke perut. Bersyukur atas segelas air yang siap menuntaskan haus. Bersyukur karena saya masih bisa menyuapkan nasi ke mulut, sendok demi sendok. Bersyukur atas satu lagi kesempatan untuk pulang ke saat ini. Ke heningnya detik ini. Ke beningnya hati. Bersama nasi putih, sayur buncis, tahu goreng, dan air hangat.

Barangkali, kebahagiaan sejati memang dimulai ketika kita bisa menerima dan mensyukuri hidup, apa adanya. Barangkali ia terletak pada ikhlasnya hati yang rela berserah dan berpasrah. Barangkali, kebahagiaan memang tidak pernah pergi kemana-mana, dan tak perlu dicari-cari. Barangkali, kita hanya perlu menjemputnya di rumah.

—–

Diri

Aku kehidupan yang punya nama, nyawa dan cangkang, dan di kesemuanya engkau tinggal.
Aku kebenaran yang tak perlu dibela; tudungmu siang-malam dari segala tuduhan dan cerca.

Aku ibu yang merawatmu, dan bocah dalam jiwamu tahu, aku ada. Rasakan dekapanku. Rasakan hangatku. Rasakan degup jantung yang berpadu kala aku menimangmu.
Aku ayah yang melimpahimu dengan sayang, dadaku tempatmu bernaung, dan kau tak perlu khawatir akan apa pun.

Aku senangmu kala kau susah, bahagiamu saat kau merana, haru yang melarutkan sengsaramu, tawa yang tersimpan di balik tangismu, riang yang melanda hampamu, dan gembira yang kau bawa saat sulit mendera. Kita berdampingan, karena kita dua yang satu adanya.
Aku geming yang meredakan riuh di benakmu, heningmu saat kau merapuh, dan beningmu saat kau mengeruh, luruh dan tandus.

Aku mata yang mengamatimu sejak kau terjaga hingga terlelap. Kerap kau tak tahu aku ada, namun aku tak pernah beranjak. Aku penontonmu yang paling setia.
Aku telinga yang mendengarkan gemuruh, desau dan bisikan setipis udara pagi yang acap luput kau sadari.
Aku tangan yang menggenggammu aman saat kau tersandung, terjungkal, terperosok.
Aku kaki yang menahanmu kala kau tergelincir dan menyokongmu untuk kembali menapak.

Aku tali tempatmu berpegangan meniti jalan di lingkaran, agar kau tak perlu terbanting hancur.
Aku nyanyian yang membelai telingamu dan mengisi rongga dadamu dengan senandung.
Aku mentari yang mencerahkan matamu dan membimbingmu ke jalan cahaya, aku juga sinar yang menuntunmu ke api yang mereka sebut neraka.
Aku sungai yang mengalir di bawah kakimu, dan di sana engkau bercermin.

Aku air yang membebaskan kerongkonganmu dari dahaga dan membuatmu sejuk.
Aku obat kala kau terkapar sakit, dan penyembuh segala lukamu.
Aku jembatan tempatmu menemukan jalan pulang dan dipan tempatmu beristirahat melepas lelah.
Aku daya yang mengusungmu kala kau terkulai, dan tandu bagi jiwamu.

Aku surga tempat Tuhan bersemayam; kau tak perlu pergi jauh untuk menemuiNya.
Aku kekasih yang bercinta denganmu, dan kita terbakar bersama dalam bara.
Aku cinta yang memberimu nafas untuk tetap hidup, dan engkau akan terus ada.

Aku di sini. Tanpa terbelit ruang dan waktu.

Aku, ya, aku
Selamanya bagimu.

~ Ubud, 26 Februari-1 Maret 2009. Bahkan kata-kata tak sanggup mencengkeramnya. ~

Oase

Senja pukul lima. Baru kembali dari rumah seorang sahabat setelah menginap selama tiga hari.

Begitu sampai di kos-kosan, hal pertama yang saya lakukan adalah mengosongkan tas berisi pakaian kotor, menumpuknya dalam ember, dan mengangkutnya ke kamar mandi.

Suara air mengucur selalu menyenangkan. Sama menyenangkannya seperti mengisi ember hingga ke tepinya -tak sampai penuh- lalu mengaduknya dengan tangan. Memastikan deterjen yang sudah masuk duluan tercampur rata.

Saya kembali ke kamar. Mata dan badan sudah teriak-teriak minta tidur, tapi otak memprotes. Belum waktunya, katanya. Kalau tidur sekarang, nanti malam begadang lagi. Lebih baik sekalian. Ditahan sedikit rasanya masih bisa.

Saya menyeret kaki ke warteg langganan. Setelah kenyang, saya melangkah ke warnet.

Satu jam berselancar di dunia maya, saya merasa cukup. Menyeret kaki lagi untuk pulang, tapi kali ini dengan senyuman, karena pemilik warnet memberi diskon lumayan. Gara-garanya, waktu sedang asyik men-download file, komputer saya macet dan terpaksa di-restart. Hitung-hitung kompensasi dari waktu yang terbuang, sekaligus alasan bagi saya untuk jadi pelanggan tetap warnet yahud itu.

Sampai di kos-kosan, kamar mandi adalah tujuan pertama. Waktunya mencuci. Saya meraih selembar pakaian basah dan mulai mengucek.

Buat saya, selain berjalan kaki ratusan meter, mencuci adalah sarana melepas stres paling canggih. Jadwal mencuci saya dua kali seminggu. Tiga kali, kalau sedang rajin. Kalau sedang banyak pikiran, jatah dua kali saya hajar dalam sehari. Dan percayalah, hasilnya bisa dijamin. Pasti bersih. Karena energi selalu hadir berlipat ganda jika hati sedang mangkel.

😉

Saya menarik sehelai pakaian, lalu tersenyum kecut. Ada garis merah di sana. Pasti akibat lalai memisahkan baju-baju berwarna cerah. Hal yang sama baru terjadi minggu sebelumnya. Pakaian putih saya kini berwarna-warni dengan semburat yang tak merata.

Saya mengucek lebih keras. Dua kali. Tiga kali. Percuma, sudah terlanjur.

Saya mengembalikannya ke ember, untuk melanjutkan mencuci yang lain. Sambil menontonnya tenggelam perlahan di air sabun, saya berkhayal.

Seandainya hidup bisa sesederhana mencuci baju. Rendam, kucek, bilas, jemur, setrika. Semua kotoran dan kekusutan langsung lenyap tak berbekas. Kalau ada yang luntur atau tak bisa dibersihkan, toh itu cuma baju. Yang bisa dicemplungkan kembali ke ember untuk tenggelam perlahan di air sabun, atau dijadikan kain lap sekalian. Beres sudah.

Padahal, baru kemarin saya berandai-andai. Seandainya hidup bisa semudah duduk di ayunan. Dengan kaki terjulur menginjak tanah. Lamat-lamat mencerna hening. Membiarkan waktu berlalu dalam gerakan maju-mundur. Menyaksikannya lenyap ditelan senyap. Tak perlu berupaya, karena di sini makna tak lagi penting. Hanya duduk diam. Berayun.

Hidup bagaikan padang pasir, kata sahabat saya.

Dan kita adalah kafilah-kafilahnya, saya menambahkan. Saat itu pukul sebelas siang. Kami berkendara berdua, menantang terik ditemani CD kompilasi dan hembusan sejuk pendingin udara. Saya memandang keluar jendela, memperhatikan warna hijau, coklat dan abu-abu yang berkejaran.

Kendati panas menyengat dan duduk saya mulai tak nyaman karena kedua kaki terpanggang matahari, saya tahu, dalam sekian menit kami akan mencapai tempat tujuan. Rumah mungil nan nyaman dengan sofa coklat muda yang bisa ditiduri sambil nonton TV. Bantal-bantal empuk yang bisa dijadikan pengganjal kepala sambil menunggu makan siang. Air putih dingin di gelas plastik yang bisa direguk sepuas hati.

Saya tersenyum. Tak menyayangkan hidup yang tak bisa sesederhana menempuh perjalanan dengan mobil, dimana saya tahu pasti kapan akan berhenti, kapan akan sampai, dan akan turun dimana. Tidak ada yang perlu disayangkan. Tidak ada yang perlu disesali. Tidak ada yang perlu diubah. Perjalanan ini, detik ini, tempat dimana kedua kaki ini berpijak, adalah hal terbaik yang terjadi dalam hidup saya, dan saya mensyukurinya sepenuh hati. Saya tak perlu tahu kemana ia akan membawa saya. Saya tak ingin tahu.

Dalam perjalanan ini, selalu ada oase yang bisa dijadikan persinggahan untuk melepas dahaga dan membuang penat. Beberapa orang menyebutnya agama. Sebagian lagi menyebutnya pengalaman spiritual. Saya lebih suka menyebutnya Keheningan. Ketika jiwa ini bercumbu dan berpadu dalam sunyi tanpa tepi. Ketika lapisan demi lapisan diri terkikis dan yang tersisa hanya kesejatian. Ketika melodi yang digaungkan dawai hati bersambut dengan kidung alam semesta.

Keindahan itu tak terperi, dan jiwa saya selalu mereguknya dengan rakus. Seperti musafir sekarat yang menemukan air. Seperti ikan yang megap-megap kehabisan nafas, lalu diceburkan ke kolam raksasa. Sensasinya sungguh juara.

Setelah dahaga tuntas, kita kembali melangkah. Menyusuri perjalanan panjang yang belum selesai ini. Entah sendiri, entah berdua. Entah berkawan sepi, entah berdampingan dengan rekan sejiwa. Mengumpulkan serpih demi serpih surat kontrak yang kita tandatangani sebelum lahir ke dunia dan mengerti apa itu takdir. Terus melangkah, karena perjalanan ini takkan usai bila belum tiba waktunya.

Jika hidup adalah padang pasir, maka kitalah kafilahnya. Pada suatu masa kita akan singgah. Di sebuah oase. Untuk minum dan beristirahat sejenak, sebelum kembali menapak.

Beberapa orang menyebutnya agama. Sebagian lagi menyebutnya pengalaman spiritual. Liburan bagi jiwa yang penat. Penawar bagi hati yang haus. Saya lebih suka menyebutnya Keheningan.

Hari ini, keheningan itu ada dalam percikan air, cipratan busa sabun dan pakaian kotor tiga hari.

…..

Saya berdiri. Meluruskan punggung yang mulai pegal. Menepuk-nepuk celana pendek yang sudah basah separuh. Menyiram lengan yang tertutup busa sampai ke siku. Membuang air bilasan terakhir. Memeras pakaian dan menaruhnya di ember. Tak ada lagi yang perlu dikucek. Tak ada lagi yang harus dibilas.

Sesi istirahat di oase hari ini sudah selesai. Saatnya kembali berjalan.

Senyum saya mengembang. Membisikkan sepenggal harap dari lubuk terdalam. Tak muluk, sederhana saja:

semoga cucian saya bisa cepat kering.

*Gambar tentunya dipinjam dari gettyimages.com

Merunut Langkah di Mendut

Bayangkan tigapuluh orang yang berada di tempat yang sama selama tiga hari. Tigapuluh orang yang menghuni dua bangsal, tidur bersebelahan dan berhadap-hadapan, berbagi kamar mandi dan memasuki aula besar yang sama mulai pukul tiga dinihari sampai sepuluh malam. Tigapuluh puluh orang yang berbagi keheningan tanpa boleh berbicara, bertegur sapa, berbahasa isyarat, bahkan saling menatap. Saya adalah salah satu dari mereka.

Keheningan itu dimulai pada malam pertama, usai arahan diberikan oleh Pak Hudoyo Hupudio, instruktur retreat. Instruksinya sederhana saja, bahkan jauh dari bayangan saya yang semula mengira kami akan diwajibkan duduk dari subuh hingga petang di satu ruangan tanpa boleh bergerak. Yang terjadi justru sebaliknya. Kami boleh berkeliaran di seluruh area Vihara, bahkan boleh melakukan apa saja, kecuali berkomunikasi.

Handphone, dompet dan jam tangan dititipkan kepada panitia, dan kami dilarang berbicara pada siapa pun atau berkomunikasi dalam bentuk apa pun, bahkan sesederhana bertukar senyum atau melakukan kontak mata. Kami boleh duduk kapan saja, berdiri kapan saja, berjalan kapan saja, mandi kapan saja, bahkan tidur kapan saja. Namun semua dilakukan dalam kesadaran penuh. Dalam keheningan total. Dan rasa apa pun yang timbul di permukaan batin nanti –entah bahagia, gembira, kecewa, sedih, marah, gelisah, khawatir— tugas kami hanya mengamati. Berbagai pikiran, keinginan dan fenomena yang muncul pun disikapi dengan cara yang sama. Tidak ditolak, tidak disingkirkan, tidak dipertahankan. Bahkan, sebenarnya, tidak perlu ada upaya apa pun. Hanya mengamati.

Berada dalam kondisi ini secara otomatis membuat gerakan menjadi lambat, karena segala sesuatu dilakukan dengan penuh kesadaran. Eling adalah kata yang paling tepat untuk mewakili kehidupan kami selama retreat berlangsung. Berjalan kaki pun dilakukan perlahan-lahan, bukan karena disengaja, melainkan terjadi secara alamiah ketika kesadaran diperkuat dan gerakan pikiran diperlambat.

Tigapuluh orang dewasa yang berbagi keheningan itu mendadak menjelma menjadi makhluk-makhluk autis yang tenggelam dalam dunia masing-masing. Seakan-akan tiap peserta punya tombol hibernasi dalam dirinya, dan tombol itu serentak ditekan. Selama tiga hari, tidak ada lagi ‘saya’, ‘kamu’, ‘kita’. Dan Vihara luas itu tak ubahnya bangsal Rumah Sakit Jiwa raksasa. Dimana-mana orang berjalan dan melakukan segala sesuatu dengan lambat. Di sudut-sudut, bahkan tak jarang di anak tangga atau di tengah jalan, orang-orang duduk tanpa bergerak, hanya menatap sunyi ke satu titik selama bermenit-menit, kadang setengah jam, atau lebih. Bagaikan patung hidup, kami bergerak, berjalan, duduk, dalam irama serbapelan.

Di hari pertama, saya terheran-heran mendapati gerakan saya jadi selambat kura-kura. Saya, yang sering melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa dan terbiasa makan sambil mengecek e-mail dan membalas SMS sekaligus, kini seperti kehilangan kemampuan bergerak dan berpikir cepat. Sekali waktu, saya terkejut karena seseorang berhasil menjajari langkah saya hanya dalam beberapa menit, padahal sebelumnya ia tertinggal jauh di belakang dan gerakannya juga tidak cepat. Saya tersenyum sendiri. Selambat kura-kura? Salah. Saya selambat siput.

Setiap pagi, saya mengenakan tiga lapis pakaian dan sepasang kaus kaki demi menghindari hawa dingin. Di hari kedua, pukul empat subuh, saya berkeliaran di aula setelah melakukan meditasi duduk. Mendadak, timbul keinginan berjalan di atas karpet dengan bertelanjang kaki. Saya pun melepaskan kaus kaki. Ketika telapak kaki saya bersentuhan dengan karpet, terjadilah ‘keajaiban’ pertama.

Saya belajar melatih diri untuk eling setiap saat, meski tak jarang pikiran masih melantur kemana-mana. Ke beberapa pekerjaan yang terpaksa tertunda akibat kepergian saya. Handphone yang tak tersentuh. Deretan pesan elektronik yang bertengger di kotak masuk dan belum sempat dibuka. Berkali-kali pikiran semacam itu datang dan pergi. Namun, ketika saya berjalan di atas karpet, selangkah demi selangkah, mendadak semua lenyap. Mendadak, benak saya kosong.

Saya tahu saya tidak sendiri, karena di ruangan itu ada beberapa peserta yang sedang bermeditasi. Namun, kini seolah hanya ada saya dan sepasang kaki yang terus meniti jalan di karpet. Sekejap, dunia seperti melambat. Seakan-akan Bumi menahan rotasi dan rela berputar perlahan di porosnya demi bergerak bersama saya. Mendadak, batasan waktu menjadi kabur. Bias. Berbarengan dengan itu, muncul keindahan yang luar biasa, walau saya tak mampu memahami sebabnya.

Tak lama sesudahnya, saya beranjak keluar, berjalan-jalan sambil merapatkan tangan. Dalam dinginnya udara dinihari dan kegelapan, hanya ditemani sinar lampu taman, airmata menetes tanpa bisa dicegah tatkala saya kembali merunut langkah demi langkah. Setiap gerakan terasa begitu berarti. Setiap tapak yang saya jelang terasa begitu bermakna.

Sungguh sukar untuk dijelaskan dengan kata-kata, namun mendadak saya kehilangan keinginan untuk memegang kendali atas hidup saya. Mendadak, keinginan untuk menjamin masa depan dan merengkuh kenangan manis dari masa lalu pun lenyap. Seolah masa lalu tak lagi punya esensi, dan masa depan tak lagi penting. Mendadak, yang saya inginkan hanya terus berjalan. Di atas tanah dingin dan rumput berembun ini. Di saat ini, dengan nafas dan degup jantung ini. Dengan kaki-kaki yang terus berayun lambat. Mendadak, semua itu sudah lebih dari cukup.

Pagi itu, berkali-kali airmata saya tumpah. Ada keindahan yang meluberi jiwa tatkala saya merunut langkah satu persatu, tanpa gerakan berarti. Hanya sekadar berjalan tak tentu arah, duduk, berdiri, berjalan lagi, dan seterusnya. Sungguh, tidak ada yang spesial dari semuanya, namun pada saat yang sama, apa yang saya rasakan tidak terukur bahasa. Tak akan ada kalimat yang cukup pas untuk mewakilinya.

Sepanjang hari, berbagai fenomena –fisik maupun batin— hadir silih berganti. Namun fenomena-fenomena tersebut tidak bertahan lama, dan pergi nyaris secepat mereka singgah. Tak jarang airmata menitik dan sudah nyaris kering ketika saya membuka mata. Baru saat itulah saya benar-benar paham dengan ilustrasi yang mengaitkan alam bawah sadar dengan gudang sampah.

Meditasi menyingkapkan berbagai polusi batin yang tertumpuk jauh di dalam ‘gudang’ –yang sering kali luput dari perhatian, bahkan tak kita sangka ada— dan mengikisnya satu persatu. Perlahan namun pasti, lapisan demi lapisan yang tertimbun muncul ke permukaan batin, menghadirkan berbagai rasa dan fenomena yang tak diduga-duga. Ajaibnya, ketika saya menjalankan peran sebagai pengamat pasif –melihat semua dengan penuh kesadaran tanpa berusaha menanggulangi, menyingkirkan atau mempertahankan sedikit pun— lapisan-lapisan itu luruh satu demi satu. Tuntas tanpa sisa. Yang tertinggal hanya sebentuk keheningan yang netral. Bening. Tak lama kemudian, keheningan itu pun lenyap dan digantikan dengan lapisan berikutnya. Demikian seterusnya.

Di kamar mandi, saya tertegun menatapi keran air dan pipa besi yang terletak di ujung bak. Betapa laju pikiran dan derasnya arus informasi telah menggerus kesadaran kita, membuat daya eling tak ubahnya pipa yang karatan karena terus dialiri dengan berbagai pemikiran plus segala sampah batin yang dibawanya. Betapa keheningan dan kesadaran telah menjadi sesuatu yang ‘mewah’, bukan karena ia langka atau sulit didapat, melainkan karena kita telah lupa cara berdiam diri. Tak terlintas sedikit pun untuk hidup dengan kesadaran penuh dan mengijinkan pikiran berhenti sejenak. Dan di tengah pergerakan tanpa henti itu, di tengah derasnya arus yang mengombang-ambingkan kita kesana-kemari, kita menyangka telah sungguhan ‘hidup’.

Sore itu, saya kembali berjalan-jalan dalam sebuah ruangan. Ada dua meja panjang bertaplak putih dan beberapa bangku plastik di sana. Setelah menyusuri separuh ruangan, mendadak timbul keinginan untuk mendekati salah satu meja yang terletak di tengah-tengah. Saya pun maju. Ketika saya meraih pinggiran taplak, terjadilah ‘keajaiban’ kedua.

Dari semua fenomena yang saya alami, inilah yang paling sulit dijabarkan dengan kata-kata. Ketika saya menggapai taplak, mendadak waktu berhenti. Sekat-sekat ruang lenyap. ‘Jenny’ pun lenyap. Tidak ada masa lalu. Tidak ada masa depan. Tidak ada kemarin, sedetik lalu, bahkan tidak ada hari esok. Batasan ruang dan waktu hilang sepenuhnya, tergusur pada detik jemari saya bersentuhan dengan meja.

Selama sekian detik, saya berada dalam keabadian. Dan keabadian ternyata bukan konsep ‘hidup-selamanya-tanpa-pernah-mati’ seperti yang saya sangka. Ia hadir ketika pikiran berhenti. Ketika tirai pembatas antara yang kekal dan yang fana terkuak. Ketika sekat antara subyek dan obyek menghilang. Ketika ‘aku’, ‘kamu’ dan ‘dia’ lebur bersama. Bahkan tidak ada ‘Jenny Jusuf’. Yang ada hanya ‘semua’, dan ‘semua’ adalah ‘satu’.

Keindahan yang muncul daripadanya mustahil diungkap dengan kata. Inilah Surga. Inilah yang didamba semua makhluk di dunia; tujuan akhir yang dikejar mati-matian oleh banyak orang. Dan saya memasukinya tanpa usaha sama sekali. Tidak ada kata yang mampu mendeskripsikan pengalaman tersebut.

Peristiwa yang sama terulang hanya berselang sekian menit. Saya keluar dari ruangan, berjalan menuju kursi plastik yang baru ditinggalkan seseorang. Ketika tangan saya bersentuhan dengan lengan kursi, ketika tubuh saya menempati benda itu, waktu kembali terhenti. Sekat ruang kembali tiada. Tirai yang membatasi keabadian dan dunia fana kembali tersingkap. Saya kembali menjenguk Surga.

Ternyata Surga tidak berada di awan-awan. Ternyata Surga tidak berada dimana-mana. Ternyata Surga tidak seperti yang saya baca di buku-buku, dan tidak tampak sedikit pun seperti yang diceritakan orang. Surga juga bukan jalan-jalan emas yang dipenuhi bunga-bungaan dengan malaikat-malaikat bersayap. Ia bahkan bukan apa yang saya bayangkan selama ini.

Saya pun termangu. Betapa mahalnya momen-momen yang saya alami beberapa hari terakhir. Betapa mahalnya pengalaman dan pelajaran yang saya dapatkan dari sekadar hidup dengan penuh kesadaran. Bahwa terhentinya pikiran, hilangnya sekat ruang dan waktu, meski hanya sekejap, adalah sesuatu yang teramat mewah. Betapa pikiran yang selalu terseret-seret dan kepayahan berjuang mengendalikan segala sesuatu ini sesungguhnya tak lebih dari sebuah proyektor raksasa. Yang ia suguhkan adalah rangkaian gambar belaka, dan kita yang terseok-seok di dalamnya mengira sedang menjalani hidup – sementara kehidupan sejati sesungguhnya baru dimulai ketika proyektor berhenti berputar.

Berapa kali selama puluhan tahun, kita melangkahkan kaki di jalan yang sama, dengan ritme dan laju yang sama, tanpa pernah sungguhan menyadari apa yang sedang kita lakukan? Berapa kali sepanjang hidup, kita betul-betul menghayati setiap gerakan –sesederhana apa pun— dan memandangnya sama seperti hal-hal lain yang kita anggap ‘besar’, ‘penting’, dan ‘bermakna’? Berapa kali kita sungguh-sungguh berada di masa kini, tanpa terjerat masa lalu dan terlempar ke masa depan?

Keabadian ada ketika pikiran berhenti. Ketika sang ‘aku’ meluruh. Pencerahan hadir ketika batas ruang dan waktu lenyap. Ketika semua menjadi ada sekaligus tiada. Dan di sana, di inti keheningan yang paling sejati, bersemayam Surga. Saya baru saja mengunjunginya. Dan ternyata saya tidak perlu karcis masuk. Tidak ada malaikat yang bertanya apa kepercayaan saya. Tidak ada Tuhan yang mengirim orang-orang saleh ke surga dan mencampakkan sisanya ke lubang neraka. Saya tidak perlu menunjukkan Kartu Tanda Penduduk atas nama keyakinan tertentu. Saya hanya sekadar melangkah masuk; tanpa upaya, tanpa usaha.

Kendati momen pencerahan itu datang hanya sesaat dan berlalu layaknya fenomena-fenomena lain, tak urung saya bersyukur diberi kesempatan untuk mencicipinya. Merasakan airmata mengalir untuk kemudian lenyap lagi. Mengijinkan segala rasa hadir untuk kemudian melepasnya lagi. Melongok sejenak ke dalam keabadian sebelum kembali memijakkan kaki ke dalam realitas. Saya belajar makna berbesar hati. Menerima untuk melupakan. Merengkuh tanpa berniat menahan. Menyambut tanpa ingin mengabadikan.

Tanggal delapan Februari, pukul tiga sore, saya memanggul backpack dan memasuki bis yang akan membawa saya kembali ke Jakarta. Walau benak saya penuh dengan apa yang ingin saya tulis, sekalipun berbagai pemikiran berkejaran mencoba merangkum seluruh makna yang berhasil saya kumpulkan, saya tahu, pada akhirnya genggaman tangan ini harus melonggar. Cengkeraman ini takkan selamanya erat.

Meski pengalaman tersebut otentik dan jauh lebih berharga dari apa yang pernah saya dapatkan, ia telah berlalu, dan upaya saya mengkristalkannya justru akan mengubahnya menjadi perangkap emas. Demikian pula apa yang saya tuliskan di sini. Kendati saya ingin menjadikannya pengingat untuk mengekalkan momen satori, kata-kata hanyalah usaha semu yang tidak akan sanggup menjaring esensi kebenaran yang paling sejati.

Di dalam bis yang bergerak lambat, di tengah ramainya suara para penumpang yang sibuk bercengkerama, perlahan saya tersadar. Retreat tiga hari saya berakhir sudah. Kesunyian itu memang telah selesai. Namun perjalanan ini belum usai, dan mimpi ini masih panjang. Di setapak yang sama saya kembali melangkah, namun kali ini mudah-mudahan dengan terus mengingat; kapan saya harus terjaga, dan kapan harus ‘bangun’ untuk benar-benar hidup.


“Wake up from this illusion called life. Then live your life, as real as it can be, but keep in mind that you’re only dreaming.”

*Gambar diambil dari gettyimages.com