Bertolak ke Mendut

Saya tidak pernah tahu secara spesifik apa yang membuat saya menamai anak pertama saya Vajra. Sebelum kata itu muncul dan menimbulkan kesan mendalam, saya sudah punya beberapa alternatif judul, antara lain ‘Fireworks’ dan ‘2016’. Keduanya adalah judul cerpen yang terdapat di dalam buku, yang kalau dipikir-pikir, sebenarnya lebih pas dan ‘gaul’ (baca: menjual) ketimbang Vajra.

Vajra saya temukan dalam salah satu entri di blog ibu ini, kurang lebih dua tahun yang lalu. Saya rajin membaca blog tersebut karena menyukai karya-karya beliau dalam Filosofi Kopi, kendati setiap kali menemukan entri bermuatan spiritual saya hanya sanggup mencerna separuh-separuh, dan sisanya membatin, “Opo tho, ‘ki?”

Lepas dari ceteknya pengetahuan saya tentang meditasi, spiritualitas dan segala macamnya, Vajra yang dituliskan lengkap dengan maknanya berhasil memikat saya, sampai kata itu terekam berhari-hari di otak. Akhirnya, saya menggunakannya sebagai judul dan bersiap-siap seandainya ditolak penerbit, atau diganti judul lain. Ternyata, naskah tersebut diterima, sejudul-judulnya, dan setahun kemudian kumpulan cerpen saya terbit.

Saya, yang waktu itu sudah mulai tertarik pada hal-hal spiritual (spiritual ya, bukan klenik), lantas nekat mengirim e-mail kepada ibu ini untuk bertanya tentang meditasi. Bukan jawaban singkat yang saya terima, melainkan balasan yang cukup panjang …beserta brosur retreat meditasi intensif selama tiga hari di Mendut, Jawa Tengah.

Ohmaigod.

Saya masih ingat desir-desir yang timbul di perut ketika menerima e-mail tersebut. Antara kegirangan mendapat balasan dari penulis favorit (serasa balik ke jaman SD waktu surat saya dibalas oleh Bertrand Antolin, meski isinya cuma fotokopian biodata ;-P), bersemangat menyimak penjelasan tentang meditasi, sekaligus jiper berat membaca keterangan di dalam brosur.

Sumpah, buat saya, isi brosur itu sangat menakutkan. Terutama bagian ini: “Selama program meditasi berlangsung, peserta tidak dibenarkan berbicara atau berkomunikasi dengan bahasa isyarat dengan sesama peserta, mem­baca, menulis, melihat arloji/jam, menelepon/menerima telepon, dan sebagainya.

Tiga hari tanpa komunikasi, tidak boleh membaca, menulis, bahkan melirik jam? Bunuh aja saya. Setelah membaca sampai habis, saya langsung menyimpulkan bahwa retreat ini sama sekali tidak cocok untuk saya. Namun saya tetap menyimpan si brosur di komputer, tidak sampai hati mendeletenya. Bo, mau ketemu untuk minta tanda tangan aja susahnya setengah mampus, e-mail dan brosurnya pun jadilah, untuk kenang-kenangan. Brosur tersebut saya simpan rapi dalam sebuah folder, dan tidak pernah saya buka lagi.

Siapa sangka, dua tahun kemudian, saya benar-benar bertemu dengan ibu ini dan menjadi asistennya. Hidup memang mirip komedi. Lucunya, beberapa bulan sebelum perjumpaan pertama kami, saya tergelitik untuk kembali mencari informasi tentang meditasi dan bertanya-tanya pada seorang teman yang mendalaminya. Sayang, informasi yang saya dapatkan tidak detil, mungkin karena ia juga baru belajar. Saya mencoba menjelajah dunia maya, tapi malah jadi ilfeel melihat banyaknya informasi yang simpang siur. Saya pun menjajal meditasi dengan mengandalkan feeling, yang hasilnya kira-kira sebanding dengan belajar bikin kue tanpa resep. Acak-acakan, dan saya lebih sering ketiduran ketimbang bermeditasi – tapi setidaknya saya sudah mencoba.

Lalu, setelah bertemu dengan ibu ini dan (calon) suaminya, saya mulai rajin mengikuti meditasi yang diadakan seminggu sekali oleh institusi ini. Saya seperti anak kecil bertemu mainan baru; dengan penuh semangat mengeksplorasi berbagai teknik meditasi yang selalu berbeda-beda setiap minggu. Kami menyebut sesi meditasi mingguan ini sebagai ‘Arisan Rabu’, atau ‘Sekte Rabu’.

Sekian bulan mendalami meditasi (sekali seminggu selama dua jam, disertai latihan-latihan sederhana di rumah), saya mulai merasakan ‘kebutuhan’ untuk mengikuti retreat meditasi intensif. Kebutuhan apa tepatnya, saya tidak tahu. Saya hanya merasa perlu pergi. Meskipun masih jiper lantaran peristiwa traumatis dua tahun silam *superlebay*, saya mulai berani membayangkan, seperti apa kira-kira rasanya berada di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, tanpa sarana komunikasi, tanpa menjalankan aktivitas lain – hanya bermeditasi selama berhari-hari.

Pada saat yang sama, bapak ini mengumumkan akan mengadakan retreat meditasi intensif di Ubud selama empat hari. Selain excited karena belum pernah mengunjungi Pulau Dewata, saya langsung merasa ini waktu yang paling ‘pas’ untuk saya.

*Okay, jangan ada yang berani bilang: “Hah, belum pernah ke Bali?! Kasian amat!” ;-D*

Namun, setelah mengkalkulasi, saya mendapati bahwa retreat di Ubud bukan pilihan yang tepat, kendati waktunya pas. Tabungan saya memang mencukupi, tapi saya tidak berani mengambil resiko jadi fakir miskin sepulangnya dari sana. Jadilah saya memutar otak dengan sia-sia dan berkhayal, seandainya ada retreat meditasi intensif di tempat yang lebih bersahabat, dan perginya nggak perlu pakai pesawat. Saya tidak keberatan dengan akomodasi ala hostel dan makanan seadanya, selama ramah kantong. Benar-benar mentalitas backpacker.

Pucuk dicinta, ulam tiba (ada yang bisa memberitahu kenapa harus ‘pucuk’ dan ‘ulam’?). Suatu pagi, saya bangun dengan malas-malasan, menyalakan komputer, dan mengakses internet. Sebuah e-mail nangkring dengan manisnya di baris teratas kotak masuk. E-mail tersebut berasal dari milis Meditasi Mengenal Diri yang saya ikuti, berisi pengumuman tentang retreat meditasi intensif yang akan diadakan selama tiga hari di Mendut, tanggal enam sampai delapan Februari. Ya, retreat yang sama, yang brosurnya pernah saya terima dua tahun lalu.

Saya membaca pengumuman singkat itu berkali-kali sambil melongo. Pertama, karena selama ini saya telah menjadi anggota milis tersebut tanpa ngeh bahwa brosur lawas yang tidak pernah mau saya buka itu berasal dari institusi yang sama. Kemana saja saya selama ini? Planet Mars? Kedua, karena keinginan saya benar-benar menjadi kenyataan. Timing yang tepat, jarak tempuh yang bersahabat, perginya nggak perlu pakai pesawat, dan sudah pasti ramah kantong karena diadakan di sebuah vihara.

*Nooow, jangan ada yang tanya, “Vihara?! Emang agama lo sekarang apa, sih?” Tolong jauhkan dulu yang satu itu. Saya tidak berminat pindah agama, lagipula retreat meditasi ini bersifat lintas agama. Save the ‘nyinyir’ tone for yourself, please.*

Siang itu juga, saya menelepon ibu ini. Apalagi kalau bukan minta ijin ‘cuti’, karena meski pekerjaan saya sekarang jauh lebih fleksibel dari segi waktu, retreat meditasi selama tiga hari akan mengharuskan saya berpisah dari segala bentuk alat komunikasi seperti handphone, komputer, internet, dan e-mail, sedangkan keempat hal itu mutlak saya perlukan untuk bekerja.

Saya mendapat ijin dengan sangat mudah dan cepat. Seriously, ini bukan menjilat karena saya tahu ia akan membaca entri ini, ya. Moral of the story: carilah pekerjaan yang boss-nya punya minat serupa dengan kita dan tidak saklek tentang jam kerja. Dijamin minta cutinya jauh lebih gampang.

*Dan semua orang beramai-ramai mengejar saya sambil bawa batu dan teriak, “NGOMONG MAH ENAK, NYEEET!”*

😀

Setelah mendapatkan tiket, tanggal lima sore saya berangkat ke Jawa dengan bis. Tiba pukul setengah enam pagi di Jombor, Yogyakarta, dan langsung mencari warnet duapuluh empat jam untuk facebook-ing dan yahoo-ing beristirahat sambil menunggu warung pinggir jalan dibuka.

Saya hanya menghabiskan beberapa jam di Yogya. Pukul setengah sebelas, saya berangkat ke Vihara Mendut dan sukses menjadi peserta yang datang paling awal. Saya hanya bengong melihat bangsal yang sudah disekat menjadi bilik-bilik kecil –tempat para peserta tidur— kosong tanpa satu orang pun, karena awalnya saya mengira akan langsung berjumpa dengan peserta-peserta lain.

Setelah mandi dan mengisi perut, saya berkeliling Vihara, mengitari apa saja yang menarik perhatian sampai kaki lelah. Akhirnya, saya memutuskan untuk beristirahat. Ketika memasuki bilik dan merebahkan tubuh di matras berseprai cokelat polos, mendadak saya merasakan kedamaian yang menenangkan. Atmosfir vihara itu memang sangat nyaman.

Saya tidak mudah tidur di tempat baru, selelah apa pun tubuh saya. Namun, di sana, saya segera terlelap beberapa menit setelah kepala menyentuh bantal. Saya masih ingat, di saat-saat terakhir menjelang ‘take-off’, saya menaruh kedua telapak tangan di atas perut dan tersenyum lebar sambil memejamkan mata. Agak mirip orang sinting memang, tapi rasanya saya mulai tahu, untuk apa saya berada di sini.


(Bersambung ke episode selanjutnya minggu depan ‘Merunut Langkah di Mendut’)

Kids Forever

“MAU JADI KECIL!”

Itu jawaban yang diserukan putra kawan saya yang baru berumur empat tahun, ketika ditanya oleh ayah-ibunya, mau jadi apa kalau sudah besar nanti.

Lucu, iya. Polos, iya. Tapi, bagi saya, jawaban itu jauh lebih ‘dalam’ dari sekadar keluguan bocah balita.

Buktinya? Coba, ngacung, siapa yang umurnya sudah di atas seperempat abad, dan belum pernah sekaliii saja merasa ingin balik ke masa kanak-kanak lagi? Siapa yang pernah melihat anak kecil yang asyik bermain dan tertawa sepuasnya, dan tidak sedikit pun berkhayal enaknya jadi dia?

Kalau ada yang belum pernah merasa begitu, selamat, Anda orang paling berbahagia di dunia. Saya sendiri sudah berkali-kali menelan ludah, iri pada putra kawan saya yang baru empat tahun itu. Sering berkhayal, seandainya saya bisa mencicipi kehidupan seperti dia, sehari saja. Bisa bergoyang dangdut sambil gendangan tanpa takut dicela orang, bisa menari-nari gila sambil berloncatan sepuasnya (sekarang juga masih bisa, tapi harus di ruangan tertutup yang jauh dari keramaian ;-D), bisa menikmati hidup seutuh-utuhnya, lepas tanpa beban, tanpa keharusan memikirkan hari esok, bebas dari berbagai pengkondisian yang diciptakan lingkungan sekitar, dan sebagainya.

*By the way, tentang terbebas dari pengkondisian, memang harus diakui tidak semua anak bisa mendapatkan ‘kemewahan’ ini, karena beberapa anak kecil yang saya kenal malah sudah hidup dalam berbagai disiplin sejak usia satu tahun. Untungnya, kawan saya tipikal orang tua yang cukup tolerir; bisa mendidik anak, tapi tidak terlalu ribet menerapkan segala jenis aturan.*

Kebebasan adalah salah satu syarat kebahagiaan, itu kalimat yang saya dengar beberapa bulan lalu. Saya lupa persisnya, tapi intinya kira-kira begitu. Barangkali itu juga yang membuat saya sangat suka memandangi mata seorang bocah. Mata yang bahagia. Mata yang penuh kebebasan, meski lambat laun pengkondisian yang diberikan lingkungan sekitar dapat meredupkan binarnya. Begitu sukanya saya pada mata kanak-kanak, setiap kali melihat anak kecil yang matanya berbinar-binar, saya sering berbisik dalam hati, “Nggak usah cepat-cepat gede ya, Nak…”

🙂

Saya sering berkhayal, alangkah menyenangkan jika waktu bisa diputar kembali, sebentaaar saja, supaya saya bisa kembali menjadi kanak-kanak. Atau, alangkah enaknya jika seseorang bisa menjadi anak-anak selamanya. Seperti Peter Pan. Saya tidak butuh debu peri, dan saya tidak perlu kemampuan terbang atau bertarung dengan bajak laut. Jadi anak-anak selamanya saja sudah cukup.

Khayalan itu lantas membuat saya merunut ke belakang: kapan ya terakhir kali saya bertingkah seperti anak-anak? ‘Bertingkah’ di sini maksudnya bukan merengek-rengek manja, ngambekan, atau mewek jerit-jerit teu puguh lho, ya, melainkan bebas menjadi diri sendiri, apa adanya, murni, tanpa prasangka, serta menikmati kehidupan di saat ini sepenuhnya – tanpa separuh benak menggantung di masa lalu, sebagian di masa kini, dan sisanya di masa depan.

Kapan terakhir kali saya bersenang-senang dan bergembira layaknya seorang anak kecil? Mungkin belasan tahun yang lalu, atau duapuluh tahun yang lalu.

Seingat saya, sejak duduk di bangku SD, saya selalu bercita-cita ingin cepat besar. Memasuki usia belasan, saya ingin cepat-cepat merasakan berumur tujuhbelas dan punya KTP sendiri, serta menyandang predikat ‘dewasa’ (padahal faktanya, setelah betul-betul berumur tujuhbelas, kelakuan ya tetap sama aja). Lewat usia tujuhbelas, saya ingin cepat-cepat berulangtahun keduapuluh. Ingin tahu bagaimana rasanya ‘berkepala dua’, dan titel ‘puluh’ di belakang angka somehow memiliki arti yang sangat besar buat saya waktu itu. Semacam gerbang menuju kedewasaan, dimana saya akan resmi menjadi perempuan matang (telooor, kali) dan bukan lagi remaja tanggung nan culun. Lalu, saya ingin cepat-cepat bekerja, ingin tahu bagaimana rasanya mencari uang dan membiayai hidup sendiri.

Time flies. Sekarang, semua sudah tercapai. Saya sudah berusia seperempat abad, sudah bekerja, dan sudah bisa hidup mandiri (meskipun tentyunya tidak pernah menolak rezeki dari orang tua, kalau ada. Hehehe!). Segala yang pernah saya lamunkan sudah terpenuhi. Saya tidak pernah lagi berkhayal, “Ingin cepat-cepat jadi…”. Kepikiran aja nggak pernah. Saya menjalani hari demi hari apa adanya. Ikut bergulir bersama perputaran roda hidup, mengalir bersama waktu. Sampai saya tiba di detik ini.

Mendadak, saya sadar, saya sangat rindu menjadi kanak-kanak lagi. Kangen masa-masa ‘golden age’ itu. Reality bites. Sekian puluh tahun dijalani hanya untuk bermimpi kembali ke masa kecil; mengulang saat-saat bahagia dimana hidup penuh dengan tawa riang tanpa perlu banyak berpikir.

Saya ingat pernah melontarkan komentar nyelekit pada seorang kawan yang sangat suka bercanda, iseng, dan hobi joget-joget gila: “Grow up!”, karena sebal dengan kelakuannya yang menurut saya (waktu itu) nggak banget, padahal usianya sudah di atas tigapuluh. Sekarang, saya sendiri ingin kembali ke masa kecil. Ah, well... satu lagi pelajaran untuk tidak terlalu cepat menjatuhkan penilaian. 😉

Saya rindu masa kanak-kanak saya. Saya bisa memahami perasaan Peter Pan – the boy who refuses to grow up. Bukan karena hidup terlalu berat untuk dijalani, karena saya pun mensyukuri kehidupan saya sekarang, apa adanya. Bukan karena malas menjalani tanggung jawab sebagai orang dewasa, karena saya pun mensyukuri usia yang semakin bertambah dan kepercayaan yang muncul daripadanya kecuali kalau sedang didonder supaya cepat dapat jodoh. Melainkan karena saya rindu masa-masa dimana dunia terlihat begitu cerah ceria dan menakjubkan, dan saya tidak perlu memikirkan apa pun tentang kemarin dan hari esok, karena ‘tugas’ saya hanya ‘hidup’.

🙂

Jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu pilihan.

Kalimat ini pernah sangat populer beberapa tahun lalu, dan saya termasuk salah satu yang mengamininya. Tapi, sekarang saya berubah pikiran.

Meski terdengar konyol bagi beberapa orang, saya ingin menua tanpa perlu jadi dewasa. Saya tidak ingin memilih untuk jadi dewasa.

Saya ingin memiliki kesederhanaan anak kecil yang melihat dunia sebagai wahana bermain raksasa dan menikmati setiap detik di dalamnya sepenuh hati. Tanpa prasangka. Tanpa pretensi. Tanpa banyak berpikir. Tanpa penuh pertimbangan. Hanya mengetahui saat ini, hidup di masa kini, dan menyambut apa pun yang terjadi sebagaimana adanya; tanpa menyesali masa lalu atau mencemaskan masa depan…

…seperti putra kawan saya, yang wajahnya selalu bercahaya. Yang matanya selalu berbinar. Yang tawanya selalu lepas. Yang selalu ‘hidup’.

Ah, mendadak saya kangen dia.

Jangan cepat-cepat jadi dewasa ya, Nak…

—–

Ayo Ikutaaan!


Kabar bahagia datang dari proyek keroyokan teman saya, blog Lajang dan Menikah dot kom*. Setelah sukses dengan lomba pertama -menciptakan tagline untuk blog yang sama- makhluk-makhluk kreatif ini mengadakan sayembara kedua, yaitu ‘Lomba Cipta Jawaban FAQ’.

(Bo, kenapa akyu merasa judul lombanya kayak kuis TVRI awal 90-an ya? Hihihi)

Silakan simak detail, syarat dan ketentuannya di sini. Tersedia hadiah menarik bagi 3 jawaban yang paling cespleng, dan SEMUA jawaban yang masuk akan dikompilasi menjadi sebuah e-book.

By the way, sekadar saran: nggak perlu memberi jawaban yang serius-serius amat, karena jawaban serius malah sering disalahartikan sebagai sinyal ngajak berantem, denial, atau yang lebih parah, desperate. Hidup ini sudah penuh penyangkalan dan rasa frustrasi, jangan ditambah lagi. ;-D

Kirim jawaban sebanyak-banyaknya, yaaa! Hadiahnya memang bukan mobil sedan seperti kuis-kuis di tipi, but it’s gonna be fun. Alasan kenapa saya menganjurkan hal ini adalah… yah, karena saya butuh jawaban-jawaban itu untuk dijadikan senjata pada Imlek tahun depan. Mwahahahaha!

*Sounds familiar? Sengaja. Gara-gara googling berita gosip kemarin**, saya baru ngeh kalau tidak sedikit media yang menjadikan kalimat itu default template untuk setiap artis yang baru menikah. ;-D*

**Coba ya, jangan langsung nuduh saya hobi gosip. Saya cuma googling berita gosip untuk kasus-kasus ekstra-spesial. Kasus apaan? Ada deeeh.**

Congrats, Marcell & Rima! :-)

Hidup memang ajaib. Tidak pernah bisa ditebak. Dan betapa pun ia penuh dengan kejutan –yang terkadang persis rollercoaster dan bikin sport jantung— hidup tak pernah alpa menyisakan ruang untuk kebahagiaan. Sesederhana apa pun.

Hari ini, ruangan itu terbuka lebar. Seluas-luasnya.

Hari ini, tidak ada yang lebih tepat untuk terungkap, selain doa dan ucapan selamat.

Hari ini, saya hanya ingin berbahagia. Untuk mereka. Untuk kehidupan yang baru. Untuk Cinta.

Seorang pujangga pernah berkata, “Cinta adalah pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, dan bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban.”

Barangkali ia benar, karena dari sekian banyak pujangga yang pernah hidup dan masih ada, tidak satu pun yang sungguh-sungguh berhasil memberi definisi pada makhluk abstrak bernama Cinta. Barangkali karena ia memang tak terdefinisikan. Barangkali karena ia memang tercipta hanya untuk dialami. Misteri yang tak dirancang untuk dipecahkan oleh logika, namun selalu dapat dimengerti oleh hati.

Hari ini, ketika memandang wajah-wajah tersenyum kalian, saya tahu, saya tidak memerlukan jawaban. Karena sungguh pun Cinta abstrak, ia nyata, ada, dan bersinar.

Congratulations, Marcell & Rima. Selamat merayakan Cinta. Selamat merayakan Hidup. Selamat berbahagia.

🙂

Lepas

Ratusan malam kulewatkan sudah. Menyirami asa, mempertahankan harap. Demi kesempatan untuk kembali. Demi segala yang pernah kita bangun, karena seperti yang kutahu, kita sama-sama tahu, hati selalu merindu untuk bisa bersama lagi.

Cinta. Cuma itu alasan yang membuat asa dan harap betah bertahan, kendati jiwa sudah mau mati. Dalam sekarat pula aku bertanya, layakkah kita terdera? Layakkah aku merana sampai sesak? Dan tanpa mampu kuhindari, pertanyaan final itu tiba. Bagaimana jika.

Ratusan malam kulewatkan dalam sendiri. Mencoba menggali jawaban dan mengerti dengan sia-sia. Kini, aku tahu sudah. Perjalanan ini memang harus berakhir di sini.

Maaf atas semua yang tak pernah kuungkapkan, yang selalu ingin kuucapkan, yang tak tertampung ruang dan waktu. Maaf karena bukan saja tak bisa lagi bersamamu, aku juga akhirnya melepasmu.

Mereka bilang, hanya masalah waktu sampai kita kembali dipertemukan. Namun kita tak akan pernah tahu. Aku berhenti berharap, bukan karena tak lagi menginginkanmu. Kulepas dirimu, karena inilah waktunya. Kulepas dirimu, agar aku bisa tetap hidup. Agar mereka yang kusayang tak perlu ikut terdera.

Hari ini, kularung segala asa untuk bersamamu. Harapan yang tersimpan untuk memilikimu. Cinta yang memang tak pernah sama lagi. Kuhanyutkan mereka, kendati hati tak ingin kenangan akanmu terhapus.

Kenangan memang bukan jatahnya hati. Ia tersimpan dalam benak, dan akan selalu ada di sana. Begitu pula dirimu. Kau permata yang akan selalu tersimpan. Cahaya yang takkan pernah redup tuk kusyukuri. Namun hatiku telah kubiarkan bebas, dan aku tak ingin menjeratnya kembali.

Kendati sesak jiwa mencoba mempertahankanmu, kini aku mampu melepasmu. Menerima semua tanpa perlu mengerti.

Terima kasih untuk semua yang pernah ada. Terima kasih telah menjadi sahabat, guru, dan pembimbing terbaik yang pernah hadir. Terima kasih untuk cinta yang telah menghangatkan dan membuatku bergelora.

Kini, ijinkanku pergi tanpa harapan untuk kembali.

—–