Maab, rada sektoral. Untuk yang nggak bisa berbahasa Jawa, silakan cari translator dulu, hihihih.
Utuh
Melihat dan menjumpaimu begitu sering terkadang membuat lupa
Bahwa sesuatu yang patut kusyukuri telah hadir di depan mata
Nyata, teraih, ada.
Kendati mata tak lepas dari keindahanmu
Mendung yang bergayut di pelupuk terkadang membuat lupa
Bahwa logika memang tak mampu menjelaskan rasa.
Sekalipun menggapaimu semudah menjangkau ujung baju
Penat hati terkadang membuat lupa
Bahwa terbiasa mestinya tak membuat jadi terlena.
Membencimu sebesar menyayangimu
Mengutukmu sebesar membanggakanmu
Iri padamu sebesar mengagumimu
Ingin jauh darimu sebesar rindu ada di dekatmu
Muak kuberjuang mencari tahu
Lupa bahwa jawaban tak seharusnya kutemukan di luar
Karena diri ini menyimpan segala rahasia semesta
Dan semesta selalu punya cara.
Kemarin kau memintaku menyebutkan
Apa saja yang kusyukuri selama hidup di dunia
Tahukah kau, kalimatku tertinggal satu:
Terima kasih untuk bersabar sampai aku sadar
Bahwa kau memang bukan dia yang dulu kucinta.
Dan kini, melihatmu sebagaimana adanya
Mendapatimu tanpa terselubung beragam rupa
Dirimu yang utuh, dan bukan yang lain
Sungguh… syukur itu layak ada.
—–
Walk-In Interview
Pria rupawan pemikat hati
Persyaratan:
Berpenampilan baik
Bibit, bebet dan bobot terjamin
Usia antara 25 – 35 tahun
Berselera humor tinggi
Pandai menjawab pertanyaan orang tua
Tidak bernama belakang aneh seperti ‘Garpu’, ‘Sendok’, dan lain-lain
Tidak alergi dengan segala jenis makanan awetan siap saji
Tidak mendengkur di malam hari
Tidak berbau badan serta bau-bau lain
Kepribadian menarik lebih diutamakan
Kirimkan CV Anda beserta KTP/SIM/tanda pengenal lain, ijazah terakhir, surat keterangan berkelakuan baik, dan surat tanda sehat ke: caripacarkilat@jmail.com, selambat-lambatnya 25 Januari 2009.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi (jam kerja):
0817-SOUL-MATE
UPDATE 26 Januari 2009:
Wawancara ditutup karena sudah melampaui tenggat waktu. Hasilnya? Ada deeeh ;-P
*Hey, Jeng. Makasih buat ‘ide’nya! Maap nggak mencantumkan link secara spesifik, males nyarinya, hehehe 😉
Kamar Mandi
“Nangis lagi?”
“Iyalah. Ngapain lagi coba, udah sejam di dalem. Nguras bak?”
“Hah, sejam?”
“Yo’i.”
Pintu berderit, menampilkan seraut wajah sembab. Tria keluar sambil menjejalkan segumpal tisu ke hidungnya dan langsung masuk ke dalam kamar. Menutupnya keras.
Lila dan Rida saling berpandangan.
“Duh, dia denger gak ya kita omongin?”
“Pastilah denger, bacot lo gede gitu. Kayak pake toa.”
“Sial.”
“Eh, bakpianya tinggal satu nih. Lo mau gak? Kalo nggak, gue embat.”
Mereka sudah terlalu terbiasa. Dengan Tria yang mengurung diri di kamar mandi minimal seminggu tiga kali, dan keluar dengan mata bengkak mirip kodok. Menghabiskan entah berapa bungkus tisu, dan memenuhi tempat sampah dengan gumpalan-gumpalan putih.
Mereka sudah terlalu terbiasa mendengar isakan lirih di balik pintu kayu yang tidak kedap suara itu. Dan hari ini hanya salah satu dari sekian banyak hari yang dihabiskan Tria di kamar mandi. Entah sudah berapa kali ruangan sempit itu menjadi saksi bisu kisah hidupnya yang mirip sinetron. Ditontoni gayung dan ember.
Lila, Rida, Santi, Menik dan anak-anak kos lain sudah hafal kebiasaan Tria yang bisa menghabiskan lebih dari sejam sekali bertandang ke kamar mandi, yang tujuannya jelas bukan untuk membersihkan badan. Mereka sudah terbiasa menggunakan satu kamar mandi bergantian. Toh, percuma, berapa kali pun diketuk, Tria tidak akan keluar kalau belum puas menangis. Dan kupingnya seakan sudah kebal terhadap protes semua orang tentang pentingnya bertoleransi dan memikirkan kebutuhan orang lain.
“Gimana coba, kalau pas lo di dalam, Menik di kamar mandi satunya, terus gue kebelet boker?” keluh Santi. Keluhannya memang bukan karangan. Dia betul-betul pernah nyaris kencing di celana, dan Tria yang asyik dengan tisu dan ingusnya hanya bergeming meski sudah digedor-gedor.
“Atau ada tamu yang perlu ke kamar mandi,” imbuh Menik, yang pacarnya pernah terpaksa meminjam toilet kos-kosan tetangga.
“Atau kalau kita semua lagi buru-buru, yang nggak mungkin banget ngandalin satu kamar mandi doang,” cetus Rida sedikit emosi, mengingat kebiasaan Tria yang memang tidak pernah kenal situasi. Mereka pernah panik lantaran Tria tidak kunjung keluar dari kamar mandi meski sudah pukul setengah tujuh pagi.
“Liat-liat sikon dong, Tri. Kita ngerti lo butuh waktu dan tempat buat menyendiri, tapi nggak gitu caranya dong. Yang punya kebutuhan itu bukan lo doang,” protes ini datang dari Lila, yang paling nyablak di antara mereka semua, sekaligus yang paling eneg dengan kelakuan Tria yang dianggapnya super-lebay.
Semua orang punya masalah, Cin. Nggak perlu jadi cengeng,
Tapi, Tria tetap Tria. Yang hobi menghabiskan puluhan menit di kamar mandi. Yang tidak pernah bosan menjejalkan tisu ke hidung dan matanya yang bengkak seperti kodok. Yang selalu keluar dengan wajah sembab, untuk selanjutnya mengurung diri di kamar hingga esok menjelang.
Tidak terhitung berapa kali ia bolos sekolah, dan tidak terhitung berapa kali mereka mencoba menasehatinya –dengan berbagai cara, dari halus sampai kasar— demi kebaikannya sendiri (dan berfungsinya kedua kamar mandi secara normal), tapi Tria tetap tidak berubah. Seakan-akan kedua telinga itu hanya berada di
Sampai akhirnya, teman-temannya menyerah. Mereka memilih untuk tidak bicara lagi. Karena Tria memang tidak pernah mau mendengar. Dan mereka sudah terlalu terbiasa.
*****
Hari itu, Tria mengurung diri jauh lebih lama. Sudah berjam-jam ia di dalam, dan pintu itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka.
Menik, yang baru pulang sambil menenteng sebungkus Nasi Padang, terheran-heran mendapati kamar mandi masih tertutup.
“Belom keluar dari tadi?” bisiknya pelan, seraya meletakkan bungkusan plastik di atas meja.
Rida menggeleng cuek. “Biasaaa.”
“Tapi gue
“So? Penting gitu?” Lila menaikkan kaki ke atas kursi, membuka bungkusan nasi dan langsung terpekik senang. “Wah, asik!
“Makan aja, asal jangan diabisin.” Menik memandangi pintu yang masih terkunci rapat. Keningnya berkerut.
Tiga jam? Tuh anak gila kali, ya?
“Guys, kayaknya ada yang nggak beres, deh…”
“Tria, maksud lo?” Lila mengerling santai, menjilati jarinya yang berlumuran bumbu rendang. “Biasa aja, kali. Dia gitu loooh.”
“Iya sih, tapi tiga jam?”
“Alah, ngapain dipikirin, nanti juga dia keluar. Makan nih, kalau nggak ntar keburu abis sama gue!”
Pintu geser yang memisahkan ruang makan dan dapur terbuka. Santi keluar dengan rambut basah dan daster belel. Di punggungnya masih tersampir handuk. Matanya sibuk mencari-cari.
“Lo mandi di dapur?” cetus Lila.
Santi hanya menoleh sekilas. “
“Nggak. Emang lo taruh di mana?”
“Seinget gue sih di sini,” Santi menunjuk bak cuci piring. “Tadinya mau gue cuci, tapi terus kelupaan. Sekarang ngilang.”
“Yakin lo taruh di situ?
“Nggak. Anak-anak lain udah gue tanyain semua, nggak ada yang tau. Duh, gue mau bikin jus melon niiih. Gimana motongnya kalau gak ada pisau?”
“Makan langsung aja, San. Lebih sehat, apalagi kalau sekulit-kulitnya,” celetuk Rida garing.
Hanya Menik yang tidak ikut nimbrung dalam percakapan. Mendadak, rasa dingin yang janggal merambat naik, meliputinya dengan perasaan aneh. Entah apa.
Tanpa sadar, ia merapatkan kedua tangan menutupi dada. Seperti orang kedinginan.
Tria.
Kamar mandi.
Tiga jam.
Pisau.
Mendadak, semua menjadi jelas. Terlalu jelas.
Menik berlari ke kamar mandi. Menendang pintunya sekuat tenaga, tanpa repot-repot menggedor lebih dulu.
Teman-temannya membeku di kursi masing-masing, terlalu shock untuk mencerna apa yang terjadi. Lila nyaris memuntahkan daging rendangnya, saking kagetnya. Rida melotot. Santi bengong dengan mulut ternganga, tidak mempedulikan handuk yang jatuh ke lantai.
Pintu tersentak, membuka lebar. Menampilkan sosok beku yang terbaring di lantai, bergelimang cairan merah lengket.
Kental.
Pekat.
Amis.
“TRIAAAAA…!!!”
*****
Tria membuka mata. Tersenyum mendapati tubuhnya bergerak begitu ringan, seperti melayang di udara. Gravitasi Bumi seakan tidak punya pengaruh lagi terhadap dirinya.
Atau… memang begitu?
Ah, ya… ia ingat.
Kejadian itu. Ia bahkan masih bisa mendengar jeritan Menik dan teman-temannya sebelum terkulai sama sekali. Sebelum ia terbenam dalam kegelapan total. Sebelum tubuhnya seringan sekarang.
Tria tersenyum semakin lebar. Ia merentangkan tangan, lalu menari berputar-putar.
Enak sekali! Inikah rasanya?!
Tahu begitu… dari dulu saja!
Tapi, ia memang terlalu takut untuk mengalaminya langsung, meski selalu penasaran dan sudah berkali-kali tergoda mencoba. Ingin tahu bagaimana rasanya terbebas dari raga yang terasa begitu mengungkung. Sampai akhirnya, keberanian itu benar-benar muncul.
Akhirnya, monster yang telah sekian lama dikurungnya dalam penjara berteralis jauh di sudut jiwanya berhasil lepas dan memporak-porandakan seluruh kesadarannya. Monster bermata hijau dan bertanduk merah yang mengambil alih dirinya, memaksa tangannya meraih pisau yang ditinggalkan Santi di bak cuci piring, mengunci pintu kamar mandi –kali ini tanpa berbekal segenggam tisu— dan mengiris pergelangannya dalam-dalam.
Ternyata, rasanya sama sekali tidak sakit. Ia malah menikmati sensasi melayang yang timbul ketika cairan lengket yang bau amis itu semakin banyak mengalir, menggenangi lantai kamar mandi.
Ternyata… begini rasanya.
Tria tertawa-tawa. Meloncat-loncat seperti anak kecil. Berjoget tidak karuan. Berputar-putar seperti gasing. Belum pernah ia sebahagia ini.
Sayang, tidak demikian dengan teman-temannya. Mereka berkumpul mengelilingi tubuhnya, berjongkok sambil menangis dan menjerit-jerit — sementara ia bergembira ria.
Seandainya mereka bisa melihatnya. Seandainya mereka tahu, ia justru sangat senang.
Tapi, biarlah. Ia terlalu bahagia untuk mengkhawatirkan mereka. Tidak saat ini. Tidak saat ia sedang amat bersukacita.
Mereka akan baik-baik saja, Tria yakin itu. Sementara itu, ia bisa bersenang-senang, merayakan setiap detik kehidupan barunya. Merengkuhnya sepenuh hati, karena untuk pertama kalinya, entah sejak kapan, ia benar-benar tahu arti bahagia.
Ya. Mereka pasti akan baik-baik saja. Dan esok pagi, akan ada satu lagi kamar mandi yang bisa berfungsi dengan normal.
—–
By the way, ABG sekarang masih pakai ‘Yo’i’ gak sih? Maklum, beda generasi. 😉
Yes, I Can! ;-)
“Edan!”
“Ih, nekat amat.”
“Alah, kayak berani aja lo.”
“Bahaya, tauuu.”
Itu reaksi mayoritas yang saya terima ketika saya mengutarakan rencana kepergian ke Salatiga (Jawa Tengah) kepada beberapa orang, akhir Desember lalu. Saya tidak tahu kenapa komentar-komentar semacam itu muncul. Barangkali karena saya belum pernah berpergian ke tempat yang cukup jauh sebelumnya. Barangkali karena satu-satunya kota yang pernah saya sambangi hanya Bandung (Cirebon dan Semarang juga pernah, tapi berangkatnya serombongan, untuk menghadiri pernikahan. Jadi nggak dihitung ;-D). Barangkali karena saya hanya berbekal backpack pinjaman dan uang seadanya. Atau, barangkali, karena dalam perjalanan ini, tidak ada seorang pun yang menemani saya.
Saya akan pergi sendirian. Seorang sepupu yang berbaik hati meminjamkan backpack dan kamera hanya bisa geleng-geleng sambil berkomentar, “What you’re doing is pretty dangerous. But knowing you, there’s no way stopping you.” Saya hanya mesam-mesem.
“Sama siapa perginya?”
“Ada saudara di sana?”
“Kenapa Salatiga?”
“Nanti tinggal di mana?”
“Di sana rencananya mau kemana dan ngapain?”
Itu top five questions dari beberapa teman yang sempat saya beritahu beberapa hari menjelang keberangkatan. Saya sengaja tidak mengabari semua orang, karena malas mendapat reaksi seperti di atas.
“Sendiri.” Itu jawaban untuk pertanyaan nomor satu. “Nggak,” untuk jawaban nomor dua, dan “Nggak tahu” untuk pertanyaan ketiga dan seterusnya. Saya tidak mempersiapkan apa-apa secara khusus. Secarik kertas berisi alamat penginapan murah dan beberapa tempat wisata yang saya dapatkan dari internet pun akhirnya hanya terlipat di dalam buku catatan yang sengaja saya bawa sebagai pengganti laptop.
Apa yang saya cari di sana? Apa yang ingin saya dapatkan dari perjalanan ini? Apa yang ingin saya capai?
Tidak tahu.
Sore itu, saya menaiki bis jurusan Jakarta-Solo dengan sebuah backpack. Tanpa ekspektasi. Tanpa tahu apa yang harus saya harapkan. Tanpa gambaran sedikit pun tentang apa yang akan saya temui, hadapi, dan lakukan setibanya di sana. Hanya saya dan backpack, yang terpaksa dipeluk erat-erat selama sebelas jam lantaran rak-rak di bagian atas bis sudah terisi penuh.
Ketika akhirnya menginjakkan kaki di Perempatan Jetis, Salatiga, pukul setengah empat esok paginya, hal pertama yang terlintas di benak saya adalah, “Ih gila, nyampe juga!” Sekilas, terbersit rasa bangga, yang cuma bertahan sebentar.
Okay, sudah sampai. Lalu, apa?
Tidak tahu.
Selama empat hari berikutnya, saya tinggal di sebuah wisma di Jalan Adisucipto. Saya bergaul dengan tamu-tamu yang menginap di sana, dan memperoleh informasi mengenai tempat-tempat yang layak dikunjungi di sekitar Salatiga. Saya mendapat keterangan dari petugas wisma berupa petunjuk jalan, nomor kendaraan umum, dan waktu yang diperlukan untuk mencapai sebuah lokasi. Berbekal itu semua, saya memberanikan diri memanggul backpack kemana-mana, menjajal berbagai jenis angkutan, dari andong, ojek, angkot, bis besar, minibis, sampai becak.
Suatu malam, saya mengobrol dengan seorang petugas wisma tentang rencana mengunjungi Ambarawa dan Kopeng, daerah sejuk yang berjarak sekitar duapuluh kilometer dari Salatiga, terkenal dengan pemandangan indahnya, dan dapat dicapai dalam tigapuluh menit. Seorang tamu yang kebetulan berada di situ ikut menimpali pembicaraan, dan tak lama kemudian ia mengubah pikiran saya dengan suksesnya.
Saya tidak jadi mengunjungi Ambarawa. Saya akan pergi ke Borobudur, yang berjarak tiga jam perjalanan dari Salatiga. Si petugas wisma hanya bengong ketika saya memantapkan niat itu sambil cengar-cengir.
Esok paginya, saya bangun pukul setengah empat, bersiap-siap sekadarnya tanpa sempat sarapan, dan langsung menuju pangkalan bis dengan angkot. Saya memakai baju tiga lapis, dan memang udara saat itu luar biasa dingin. Selama perjalanan, tidak henti-hentinya saya merapatkan tangan di dada dan berulang kali menarik backpack untuk melindungi tubuh dari hawa dingin. Asap rokok dari beberapa penumpang yang ngebul seperti kereta dan asap knalpot –yang entah bagaimana terus tercium sepanjang perjalanan- tidak membuat suasana bertambah baik.
Setelah turun di terminal Magelang, saya dua kali berganti kendaraan sebelum akhirnya berhasil sampai di kawasan wisata Borobudur. Matahari bersinar terik. Menyengat. Entah kenapa bisa begitu, padahal satu jam sebelumnya saya baru menggigil di atas bis.
Tidak ada kalimat yang bisa mewakili apa yang saya rasakan tatkala melihat puncak Borobudur di kejauhan, sementara kaki saya terus melangkah, mendekatkan saya kepada monumen menakjubkan yang (pernah) menjadi salah satu keajaiban dunia.
The feeling was indescribable. Perempuan berjilbab yang berjalan di depan saya melafalkan nama Tuhan dengan lirih. Saya ingin meneriakkan hal serupa, tapi tak ada satu pun kata yang terucap. Pegal-pegal di tubuh, keringat yang terus bercucuran, lapar yang mulai mendera, haus yang belum terpuaskan sejak pagi, teriknya matahari yang membakar kulit… mendadak semua luntur. Luruh begitu saja. Digantikan senyuman yang tak henti-hentinya terkembang dan semangat untuk berjalan semakin cepat.
Pemandangan dari puncak Borobudur adalah hadiah tak ternilai yang membayar lunas segala pencarian, pertanyaan, kebimbangan, dan kelelahan saya selama enam bulan terakhir. Ketika menatap awan yang berarak menutupi pegunungan dan pucuk-pucuk pohon, tidak ada yang bisa saya lafalkan selain terima kasih dari hati yang terdalam kepada Sang Pemberi Hidup, Pencipta Semesta, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk hadir di sana.
Semua terasa bagaikan oase. Melihat Borobudur dengan mata kepala sendiri. Merasakan suasana sakral yang meneduhkan hati, meski saya menyayangkan banyaknya pedagang yang hilir-mudik dan wisatawan yang bertingkah sesukanya (seperti memanjati stupa dan membuang sampah sembarangan) – plis deh. Mengagumi pemandangan indah yang terhampar bagai foto di kartu pos dan kalender. Memuaskan imajinasi dengan berkhayal bermain di lembutnya awan.
Tanggal lima Januari, pukul lima sore, saya kembali ke Jakarta dengan berat hati. Susah rasanya berpisah dengan kota yang telah memberi begitu banyak kesan, kendati saya hanya tinggal selama empat hari. Kota yang telah saya anggap rumah sejak hari pertama. Kota yang telah membuat saya jatuh hati dengan udara sejuknya, suasana hangatnya, dan penduduknya yang ramah. Kota yang tenang, sunyi, dan damai, yang memberi ruang pada benak untuk bernafas lega. Amat berbeda dengan kehidupan di kota besar yang terus-menerus membombardir pikiran dan acapkali menghimpit hati, sehingga kesempatan untuk berdiam dalam hening dan melongok ke dalam diri sendiri menjadi sesuatu yang langka, bahkan mewah. Kemewahan seperti itu, lucunya, saya dapatkan dengan mudah di kota kecil nan sederhana bernama Salatiga, yang begitu kontras dengan gemerlapnya Jakarta – dimana segala sesuatu tersedia dan bisa diperoleh dengan gampang asalkan punya uang *cough*.
Sepanjang perjalanan pulang -dan beberapa hari sesudahnya- berulang kali saya merenung. Mencoba mencerna apa saja yang telah saya lalui empat hari terakhir. Enam bulan belakangan. Meski tahun baru sudah lewat seminggu, rasanya belum terlambat untuk sekali lagi berkaca pada diri sendiri. Pada berbagai pengalaman dan kejadian yang turut membentuk saya hingga mencapai tahap ini.
Saya tercenung tatkala menyadari sesuatu. Bertahun-tahun hidup dalam pengkondisian yang diciptakan oleh lingkungan sekitar, ternyata telah membentuk saya menjadi sosok yang bergantung kepada orang lain. Bukan dalam arti tidak bisa mengerjakan apa-apa sendiri (bekerja dan hidup mandiri di kos-kosan sudah cukup membuktikan, toh? *wink*), melainkan dalam hubungan personal dan ‘hubungan’ dengan diri sendiri.
Atas nama privasi dan etika, tidak banyak yang bisa saya ceritakan tanpa menghambur-hamburkan isi perut. Yang jelas, pengkondisian yang saya terima (dan patuhi) bulat-bulat lambat laun menjadikan saya orang yang sangat dependen. Saya sering merasa ‘kehilangan’ separuh diri saya dan membutuhkan kehadiran orang lain untuk melengkapinya. Orang yang saya sayangi. Yang saya puja, bahkan idolakan. Yang saya ikuti suri tauladannya *halah, tauladan*. Yang bisa saya jadikan contoh dan panutan. Yang dapat menunjukkan kepada saya, seperti apa hidup yang seharusnya. Yang dapat melengkapi saya. Tanpa kehadiran sosok tersebut, saya merasa hampa. Merasa serbakurang. Merasa tidak percaya diri. Merasa tidak dapat melakukan hal-hal ‘besar’, apalagi yang membutuhkan keberanian. Tidak sanggup mengapresiasi diri sendiri sebagaimana layaknya, betapa pun seringnya saya menerima pujian dari orang-orang.
Saya tidak tahu apa yang mendorong saya untuk mengemasi pakaian dan memesan tiket bis antarkota. Saya tidak tahu apa yang membuat saya melangkahkan kaki ke sebuah kota kecil yang sama sekali asing. Saya tidak tahu apa yang membuat saya begitu kekeuh ingin pergi seorang diri. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya nekat bangun pagi-pagi, menenteng ransel, dan pergi ke Borobudur. Saya bahkan tidak tahu apa yang saya tuju, apa yang ingin saya raih. Namun, satu hal kini menjadi jelas: pelan namun pasti, sebuah kesadaran mulai muncul. Tentang siapa saya. Tentang apa yang bisa saya lakukan. Tentang mendengarkan suara hati. Tentang tekad. Tentang keberanian. Tentang perubahan. Tentang hidup itu sendiri.
Malam ini, ketika menuliskan entri ini dengan gambar pegunungan dan arak-arakan awan yang menghiasi layar komputer, saya kembali diingatkan pada satu-satunya hal yang paling saya inginkan. Permohonan sederhana yang saya panjatkan menjelang pergantian tahun. Untuk hidup, seutuhnya.
Malam ini, ketika memandangi foto-foto hasil ‘buruan’ di tanah Jawa, kenangan itu kembali berhamburan. Menyerbu ruang-ruang kosong di benak, menghadirkan kembali segala rasa yang singgah selama perjalanan. Rasa nyaman itu. Kehangatan itu. Senyuman itu. Wajah-wajah berbinar itu. Oase itu. Saat-saat itu.
Dari sekian banyak kenangan yang tersisa, ada satu yang ingin saya kristalkan lebih dari yang lain: kenangan akan Candi Borobudur yang menjulang tinggi ketika saya berjalan menghampirinya dengan senyum terentang. Bukan karena ia salah satu monumen paling menakjubkan di dunia. Bukan karena saya bangga berhasil menapakinya sampai ke puncak tertinggi. Bukan pula karena saya telah bermimpi untuk bisa pergi ke sana sejak lama.
Kenangan itu menjadi harta paling berharga dalam laci memori saya, karena ketika saya menginjakkan kaki di anak tangga Borobudur, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya benar-benar yakin: saya bisa.
“You have brains in your head. You have feet in your shoes. You can steer yourself any direction you choose. You’re on your own, and you know what you know. And you’re the one who’ll decide where you’ll go. Oh the places you’ll go.” (Dr. Seuss)