Farewell, 2008

Salah satu aktivitas favorit saya di kos-kosan tercinta adalah naik ke lantai dua selepas tengah malam, menghabiskan waktu di sana, sekadar menikmati keheningan dan udara sejuk. Kadang ditemani suara kipas dari kamar tetangga yang berdengung seperti nyamuk, atau gemersik daun yang diterpa angin.

Saya selalu suka menumpukan siku di pagar teras, hanya diam, tanpa melakukan apa-apa. Berserah pada irama alam. Merasakan udara malam membelai wajah, leher, dan lengan, yang terkadang berhembus keras, membuat kedinginan sampai ke dalam-dalam.

Biasanya, saya akan memejamkan mata. Membiarkan angin menerpa sekujur badan, terus-menerus. Saat-saat seperti ini selalu saya lewatkan tanpa banyak berpikir, karena inilah waktu dimana saya membiarkan otak beristirahat dan berdiam – menikmati kesunyian yang panjang. Anehnya, saat tubuh menggigil inilah, saya merasa begitu dekat dengan Sang Pencipta. Ia hadir, dan sangat nyata. Lebih nyata dari dengung baling-baling kipas. Lebih nyata dari daun-daun yang bergoyang ribut. Lebih nyata dari alam realitas dimana kedua kaki saya berpijak.

Hembusan angin yang menerpa tubuh selalu membuat saya merasa dipeluk. Hangat, meski ia dingin. Nyaman, meski ia menggigit sampai ke tulang. Semua adalah isyarat alam yang tak pernah alpa mengingatkan bahwa Ia ada.

Beberapa minggu lalu, ketika sedang menjalankan ritual nongkrong di loteng, bunyi guruh dari kejauhan mengejutkan saya. Saya mendongak, mencari-cari. Tidak berapa lama, muncul kerlip kecil di bentangan hitam langit. Rupanya sebuah pesawat.

Menyaksikannya bergerak jauh di atas, entah bagaimana mengingatkan saya pada bintang jatuh. Yang konon bisa mengabulkan permohonan apabila diucapkan tepat sebelum ia membentur bumi.

Bisakah saya berpura-pura, menganggap pesawat itu bintang jatuh, dan menyebutkan sebuah permohonan? Kali-kali saja bisa. Barangkali akan dianggap sama sah oleh Sang Penguasa Semesta. Poin lain yang patut diperhitungkan, tidak seperti bintang jatuh yang berkelebat cepat, pesawat terbang bergerak lambat, sehingga kita punya cukup waktu untuk memilih impian terbaik yang ingin diwujudkan.

Sambil mengamati cahaya yang terus bergerak, pikiran saya berkejaran dengan waktu.

Permohonan apa? Apa yang paling saya inginkan? Apa yang ingin saya minta? Cepat, cepat, sebentar lagi ia menghilang di balik atap.

Pemikiran pertama segera singgah di benak: saya ingin bahagia.

Saya tersenyum. Sepintas.

Tentu saja. Siapa yang tidak mau bahagia?

Saya menggigit bibir, antara menahan dingin akibat angin yang tiba-tiba bertiup kencang, dan menimbang-nimbang (calon) permohonan, yang tiba-tiba terasa tidak pas.

Benarkah itu yang paling saya inginkan saat ini? Bahagia?

Bunyi guruh semakin samar. Sebentar lagi kerlip lampu itu akan hilang ditelan atap rumah tetangga dan pucuk-pucuk daun.

Saya masih mendongak, keras kepala menumpukan harapan atas pesawat terbang entah tujuan mana, dari maskapai mana, dan apa namanya; menyamakannya dengan bintang jatuh yang barangkali cuma lelucon alam paling menggelikan abad ini.

Senyum saya kembali terkembang. Kali ini sebabnya jelas.

Permohonan itu tak rumit. Sederhana saja.

Saya ingin hidup. Seutuhnya.

*****

Hal pertama yang terlintas di benak ketika saya menoleh ke belakang untuk menelusuri apa yang telah saya lalui dan alami selama setahun terakhir, dapat diwakili oleh satu kata: perpisahan.

Pertengahan tahun ini saya lalui nyaris dengan menghabiskan setumpuk tisu setiap hari. Perpisahan tidak pernah menjadi hal yang lazim dalam kamus saya, dan kini saya dipaksa berhadapan dengan sesuatu yang paling saya hindari.

Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk diakhiri dengan perpisahan. Ada banyak luka yang mengiringi bulan-bulan terakhir kebersamaan kami, sebelum kami betul-betul berpisah. Kata orang, kebanyakan hal yang kita takuti tidak pernah betul-betul menjadi kenyataan. Namun, saya berhadapan dengan ketakutan yang akhirnya memang menjadi kenyataan.

Saya masih ingat percakapan tigapuluh detik yang kami lakukan –salah satu percakapan terpanjang via telepon dalam enam bulan terakhir— dimana setelah tombol ‘end’ ditekan, saya duduk di lantai dan menangis sejadi-jadinya. Saat itu, saya merasa rela memberikan apa saja yang saya miliki –literally, everything—untuk bisa bersamanya lagi. Saya tidak peduli dengan masa depan. Saya tidak peduli dengan sejuta kesempatan yang terbentang di hadapan. Saya tidak peduli dengan orang-orang baru yang bisa saya temui. Saya tidak peduli dengan kehidupan yang bisa saya jelang selama hayat masih dikandung badan. Apa pun… asalkan bisa kembali bersama. Sayangnya, waktu untuk berpisah memang sudah tiba. Dan segala upaya saya untuk mengulurnya menjadi percuma.

Saya ingat, beberapa minggu sebelum perpisahan itu benar-benar terjadi, mendadak saya menangis sesenggukan tanpa tahu sebabnya. Apa, dan kenapa. Saya hanya duduk dan airmata terus mengalir. Pikiran saya berkata, “Kenapa? Ada apa?” dan menyerukan beratus pertanyaan lain. Hati saya, sebaliknya, berbisik lirih: “Ini saatnya.” Kendati saya berulang kali menangguhkan keputusan dan mengabaikan suara kecil itu, saya tahu, hati saya tahu.

Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Ada masa-masa dimana saya begitu putus asa dan ingin menghilang dari dunia. Ada waktu-waktu dimana saya ingin mengubur diri di bawah selimut dan tidak bangun lagi. Ada saat-saat dimana saya hanya bisa duduk meringkuk, memeluk lutut sementara airmata tidak berhenti bergulir. Menyedihkan, tapi itulah yang terjadi. Dan, ya, ada masa-masa dimana saya begitu ingin berteriak keras-keras, menggugat-Nya atas segala hal yang tidak bisa saya terima.

Namun, lambat laun, saya tersadar. Bukan perpisahan yang tidak bisa saya terima, melainkan kenyataan bahwa inilah yang menjadi porsi saya dalam hidup. Inilah jatah yang digariskan untuk saya. Inilah pil pahit yang menjadi bagian saya, dan di atas segalanya, sayalah yang harus menelannya. Saya, yang mengagungkan kesatuan dan mendewakan ikatan janji, kini menghadapi kenyataan dimana waktu untuk berpisah telah tiba. Dan sekuat apa pun saya memberontak –satu setengah tahun hidup dalam penyangkalan bukan hal yang mudah— selama apa pun saya mencoba bertahan, toh waktu juga yang akhirnya menentukan tanggal dan hari perpisahan itu. Sekeras apa pun saya mencoba menawar.

Saya bahkan tidak tahu kapan persisnya titik penyadaran itu tiba. Yang saya tahu hanya, saya berusaha untuk tetap bertahan, hari demi hari, dengan segala kekuatan yang ada. Dengan semangat yang tinggal sisa-sisa. Dengan harapan yang cuma sekelumit, karena saya tidak lagi tahu apa yang harus saya genggam. Saya hanya mencoba melangkah, setapak demi setapak. Tanpa tahu apa yang akan saya temui di depan.

Kini, berbulan-bulan setelahnya, saya memberanikan diri untuk menengok ke belakang, dan tercengang mendapati luka itu berangsur sembuh. Bekasnya tentu saja masih ada, dan tidak sedap untuk dipandang, namun ia berangsur sembuh. Dan saya larut dalam haru ketika menyadari bahwa semua proses yang saya lalui –segala rasa yang mengiringi saya dalam perjalanan ini: pahit, manis, kegagalan, keberhasilan, kekecewaan, kebanggaan, kesedihan, kebahagiaan, tawa, dan tangis— telah membuahkan begitu banyak pelajaran berharga yang membawa saya ke tempat dimana saya berada sekarang. Di sini. Di masa ini.

Tahun 2008 adalah semester ke-24 saya di Universitas Kehidupan. Di semester ini, saya belajar banyak. Saya belajar berpisah. Saya belajar menerima. Saya belajar memaafkan. Saya belajar melepaskan. Saya belajar beradaptasi dengan perubahan. Saya belajar berproses. Saya belajar mengalir. Dan saya belajar hidup.

Hari ini, ketika melakukan kilas balik tahun 2008, rasanya tidak berlebihan kalau saya berkata, kesan yang paling membekas bagi saya bukan lagi seberapa besar pencapaian yang saya raih maupun prestasi yang saya ukir. Bukan berapa banyak hal yang bisa saya kumpulkan, genggam erat, dan labeli ‘Kesuksesan’. Bukan juga berapa hubungan yang berhasil saya pertahankan, berapa orang yang sanggup saya senangkan, berapa orang yang menjadi sahabat saya, dan sebagainya.

Hari ini, yang paling berarti bagi saya bukan apa yang saya dapatkan, melainkan apa yang saya lepaskan. Karena dari apa yang saya lepaskan itulah, saya belajar hidup.

🙂

Sebelum menjelang hari baru di detik-detik terakhir penghujung tahun, ijinkan saya berdoa bagi kita semua, dan seluruh makhluk di muka bumi. Kiranya kebahagiaan menjelma menjadi bunga yang tertabur di sepanjang jalan ketika kita sama-sama melangkah dalam lingkaran tak berujung ini. Kiranya kebahagiaan bukan hanya menjadi milik segelintir orang, melainkan setiap makhluk, karena, mengutip perkataan seorang sastrawan, tidak ada yang tidak ingin bahagia.

Kendati begitu, karena hidup yang senantiasa berubah ini selalu terdiri dari dua sisi, dan sekeras apa pun kita berupaya mengkristalkan kebahagiaan tak pelak kita tetap akan menjumpai sisi sebaliknya, doa saya yang terakhir adalah: semoga kita akan selalu hidup. Seutuhnya.

Untuk kalian semua yang telah menyertai saya dalam perjalanan ini, terutama kepada Sang Pemberi Hidup yang tak pernah meluputkan tangan-Nya dan senantiasa hadir, saya ucapkan terima kasih dari hati yang terdalam. Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih telah ada.

Joker


Sebut saya ketinggalan jaman karena baru menonton ‘The Dark Knight’ saat orang-orang sudah hafal ceritanya dan mengoleksi DVD bajakannya.

Sebut saya aneh karena meski Batman dicanangkan sebagai tokoh utama, buat saya Joker adalah juaranya. Lepas dari ia diperankan seorang aktor yang mati overdosis sebelum sempat menyaksikan penampilan terbaiknya diputar di bioskop. Lepas dari kejeniusan Christopher Nolan. Dan lepas dari betapa kurang gantengnya si pemeran Bruce Wayne.

Sebut saya anomali karena menganggap Joker lebih dari sekadar penjahat psikopat di film-film superhero made-in Hollywood, yang membuat saya berhenti menonton Superman dan Spiderman sejak lama. Joker lebih dari itu. Dia penjahat yang pantas diacungi dua jempol. Empat, dengan jempol kaki.

Sebut saya sinting, karena seandainya Joker betul-betul ada di kehidupan nyata, saya akan menjabat tangannya erat-erat sambil bilang, “Senang bertemu Anda,” meski sehabis itu saya terkencing-kencing di celana dan mimpi buruk selama seminggu.

Sebut saya gila, karena berjam-jam setelah film itu usai, kalimat-kalimat Joker tidak sudi lepas dari otak saya, dan entah bagaimana, buat saya sekarang, dialah pahlawannya.

hadirmu

kau pernah hadir sebagai penebus
kau juga hadir sebagai penyembuh
lalu kau hadir sebagai penolong

kau pernah datang sebagai yang adil
kau juga datang sebagai yang menjawab doa
lalu kau datang sebagai yang mencukupkan

kau tunjukkan dirimu sebagai raja
kau juga tunjukkan dirimu sebagai bapa
lalu kau tunjukkan dirimu sebagai sahabat

kini aku menyambutmu sebagai engkau
dan di antara jajaran nama
kini aku menemukanmu sebagai yang tak bernama
namun nyata. lebih dari yang kutahu.

: selamat datang.

Bagi yang merayakan, saya ucapkan Selamat Natal, dan untuk kita semua, saya ucapkan Selamat Tahun Baru.

May your days be merry. 🙂

*Gambar dipinjam dari fotosearch.com.

Jatah

Seorang sahabat belum lama ini menumpahkan kekecewaan mengenai boss-nya di kantor (dimana ia sudah bekerja selama empat tahun) yang menolak meminjaminya uang ketika ibunya sakit dan sangat membutuhkan dana pengobatan. Padahal, menurutnya, selama ini ia belum pernah sekali pun meminjam uang dari perusahaan. Sementara itu, atasan yang sama dengan murah hati memberikan pinjaman kepada rekan kerja sahabat saya untuk membeli mobil baru -yang jumlahnya sama sekali tidak sedikit- dan membebaskannya untuk mengembalikan kapan saja.

Sepanjang hari, sahabat saya cuma bisa menangis di cubicle-nya. Kecewa, jengkel, sedih, marah. Ketika ia bercerita, saya mendengarkan dalam diam. Bukan karena tidak mau berkomentar, tapi saya memilih berhati-hati dalam berucap supaya tidak menambah kekeruhan pikirannya.

Selama berhari-hari, saya berusaha menjadi pendengar yang baik, dan ternyata itu sama sekali tidak mudah. Berkali-kali saya ikut jengkel, sedih, bahkan sebal terhadap seorang atasan yang sama sekali tidak saya kenal, semata-mata karena saya bersimpati terhadap apa yang dialami sahabat saya. Sungguh tidak mudah duduk diam, memasang telinga, dan mendengarkan, tanpa membiarkan hati ini turut memberi penilaian, yang ujung-ujungnya ‘mengharuskan’ saya untuk berpihak. ‘Memilih’ salah satu: sahabat saya, atau sang atasan, yang sekali lagi, tidak saya kenal.

Setelah beberapa minggu, persoalan itu mereda, dan sahabat saya melunak. Tidak terlalu sering lagi meluapkan kekesalan, meski sekali-dua ia masih mengeluh, kerap merasa diperlakukan tidak adil. Saya pun menyadari satu hal: ketika ia mulai berhenti bercerita, hati saya ikut melunak. Iba yang saya rasakan ketika bertemu dengannya mulai memudar. Bukan karena saya tidak bersimpati lagi padanya, namun karena penilaian saya turut melambat seiring berkurangnya frekuensi curhat. Rasa kesal yang sering muncul setiap mendengar cerita-ceritanya juga luntur karena topik itu mulai jarang disebut-sebut lagi.

Dan saya berpikir, betapa tidak mudah menjadi pendengar yang baik –hanya mendengar, tanpa menilai— dan tidak terkontaminasi oleh berbagai persepsi dan pemikiran yang ribut simpang-siur di dalam benak. Betapa tidak mudah menempatkan hati pada posisi netral ketika kita berhadapan dengan situasi yang melibatkan orang-orang terdekat yang disayangi tanpa terpancing untuk ikut menilai dan menjatuhkan penghakiman.

Betapa tidak mudah menerima sebuah kasus sebagai kasus, sebuah situasi sebagai situasi, dan sebuah kondisi sebagai kondisi, apa adanya, tanpa terjebak untuk menjadikannya masalah dengan berbagai penilaian dan observasi yang secara otomatis dirancang oleh segumpal benda bernama otak ini.

Sungguh, sama sekali tidak mudah. Padahal, itu hanya sebatas perkara ‘meladeni-teman-curhat’, dimana kasus yang dicurhatkan sendiri sering kali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita sebagai teman atau pendengar. Boro-boro melibatkan kita, lha wong kenal dengan objek curhatnya aja nggak.

Itu baru satu.

Masih ada yang jauh lebih sulit, seperti menerima berbagai hal tidak enak yang terjadi dalam hidup apa adanya, sebagai ‘jatah’ yang memang harus kita jalani, tanpa berusaha keras mengubahnya. Melapangkan hati untuk menyambutnya dengan ikhlas, tatkala ia bertentangan dengan ekspektasi dan konsep ideal yang selama ini kita genggam erat.

Saya, termasuk yang masih sering (sekali) bergumul dengan hal satu ini. Saya sulit menerima keadaan yang berseberangan dengan ekspektasi, keinginan dan persepsi ideal saya. Saya tidak mudah menerima berbagai kejadian tidak enak (yang sebetulnya hanya sebuah kondisi, yang bertransformasi menjadi masalah karena saya tidak menyukainya) sebagai sesuatu yang ‘memang sudah jatah saya’, atau bahasa religiusnya: takdir.

Saya tidak mudah merangkul berbagai perasaan tidak nyaman yang berkecamuk tatkala situasi berubah pelik, dan acap kali saya berusaha menyingkirkan perasaan-perasaan tersebut, atau menempuh jalan pintas dengan mengambil sikap cuek, semata-mata karena saya tidak ingin terganggu dengan kerikil-kerikil itu.

Persoalan selesai? Boro-boro.

Yang ada, batu-batu yang awalnya saya anggap kerikil kecil, berubah menjadi timbunan yang terus menggunduk dan membesar. Menjadi bukit, bahkan gunung masalah. Dan akhirnya, setelah babak belur berusaha menghancurkan gunung, saya menyerah, lalu mendesah, “Mungkin memang sudah jatah saya” – yang sering kali sudah terlambat. Bukan karena masalahnya tidak bisa lagi dibereskan, namun karena sudah terlalu banyak luka di tubuh saya sehingga perlu waktu dan energi yang tidak sedikit untuk memulihkannya.

Ikhlas. Betapa sering saya mendengarnya. Betapa sering saya mengira telah memahaminya. Betapa sering saya harus kembali ke titik nol dan mengangkat tangan. Melakukan gencatan senjata dan mengaku kalah. Pasrah. Bahwa saya memang tidak paham apa-apa. Bahwa semua pengetahuan yang tersembunyi di balik tempurung kepala ini tidak cukup untuk membuat saya menjadi manusia yang ikhlas.

Jatah. Betapa sering saya mendengarnya, membacanya, bahkan menuliskannya. Kenyataannya, ketika ia hadir tanpa bisa dielakkan, saya tetap kelimpungan dan bergulat untuk sekadar ‘lari’ darinya. Berusaha mati-matian mengubahnya, tanpa mau tahu bahwa seperti cuaca, ada hal-hal dalam hidup yang tercipta hanya untuk diterima dan dipetik pelajarannya. Bukan digeluti, bukan digumuli.

Lalu, untuk apa saya menuliskan ini? Buat apa saya ‘membuka isi perut’ di wadah yang bisa dibaca semua orang seperti ini?

Alasan pertama, karena menulis, bagi saya, adalah terapi. Dan mengungkapkan isi hati melalui tulisan adalah upaya saya untuk jujur terhadap diri sendiri – untuk mengenal diri dengan lebih mendalam.

Meski terkadang kejujuran bisa menyakitkan, saya percaya tidak ada yang lebih penting dari kejujuran. Seorang sahabat pernah berkata, ada hal-hal yang tidak dapat diingkari dalam hidup, namun kita selalu bisa memilih untuk jujur. Dan rasa sakit yang timbul dari kejujuran tidak akan lebih fatal dari luka yang disebabkan ketidakjujuran.

Alasan kedua, karena melalui tulisan ini, saya ingin berkata kepada seseorang –seandainya ia mampir ke sini dan menemukan entri ini— bahwa kini saya mengerti apa yang ia maksud dengan ‘jatah’. Kini saya paham. Dan kendati saya tetap ingin memelihara kejujuran dengan berkata terus terang bahwa ini bukan hal mudah, saya ingin dia tahu, saya bisa menerima.

Jatah, sebagai jatah. Sebuah momen dalam hidup yang hadir untuk diambil maknanya; bukan untuk disesali, bukan untuk dihindari.

Dan untuk itu, dari hati yang terdalam, saya berterimakasih.

🙂

Kata Mereka tentang VAJRA…

Sebelum VAJRA lahir, ia hanya milik saya sendiri. Tersimpan dalam file berukuran 728 kilobytes di komputer, bersama segala impian dan cita-cita untuk menjadi ‘emak sungguhan’ dari sebuah karya yang terwujud dalam bentuk buku, yang nyata, dan ada.

Setelah ia terbit dan nampang di rak-rak toko buku, file itu masih tersimpan rapi di komputer, kali ini bersama sederet foto hasil hunting saya di sejumlah toko, persis seperti emak yang bangga akan anaknya dan tak bosan-bosan mengoleksi fotonya, meski gambarnya selalu sama dan cenderung membosankan: setumpuk buku dalam rak kayu cokelat muda yang bersanding dengan tumpukan buku lain.

Bukan hanya itu pembedanya. Jika dulu ia hanya milik saya sendiri, kini saya mempertemukannya dengan dunia – membaginya dengan Anda semua. VAJRA menjadi milik kita bersama. Saya dan Anda yang mengijinkannya menghuni rak buku Anda.

Berikut adalah beberapa dari mereka yang telah bersua secara langsung dengan VAJRA. Mereka yang telah berkenalan dan memberikan testimoni mengenai anak sulung saya. Thanks a bunch you all. Terima kasih telah menempatkan VAJRA dalam rak kalian, dan terima kasih atas kesediaannya memberikan review dan komentar.

Yang mau nyusul, boleh banget. Yang merasa masih punya ‘utang’, monggo dilunasi sebelum jatuh tempo *wink-wink*. 😉

Ditunggu, yaaa!

—–


“Untuk kumcermu, udah baca semua! Untuk sebuah debut, karya kamu ga bisa dipandang sebelah mata. Kudos 4 u!”


(Sitta Karina – novelis dan kontributor majalah “CosmoGIRL!”)


Fascinating. Jarang sekali ada tulisan-tulisan yang begitu kaya, tapi tidak kehilangan unsur entertainment-nya. Cinta anak SMA, sampai kloningan abad 22, sampai kehidupan penjaga tol dan pengamen jalanan, ada semua di sini. Kumcer terbaik yang pernah saya baca. Nyesel juga nggak baca abis ini dari dulu. Bagus banget Jen. I’m so proud of you. Damn proud, untuk jujurnya. Keren.”


(Farida Susanty – novelis, pemenang Khatulistiwa Literary Award 2007 kategori Penulis Muda Berbakat)


Pernah nonton
Desperate Housewives? Kenal tokoh yang namanya Susan Mayer? Naah… seperti yang diakuinya sendiri, Jenny Jusuf ini seorang “Susan Mayer”: gadis romantis penuh cinta 🙂 Pokoknya, beda banget dibandingkan gw yang campuran antara the perfectionist Bree van de Kamp dan the practical Lynette Scavo 😉

Dengan semangat saling mendukung ala tokoh2 DH lah, gw membeli VAJRA. Jujur, by my usual standard, rak chicklit & teenlit di toko buku bukanlah tempat bermain gw 😉

Tapi akhirnya gw cukup menikmati membacanya. True, Jenny Jusuf is Susan Mayer at heart. But, she is definitely less naive than that romance-hungry character 😉 Cerita2 di Vajra memang ringan, penuh roman, dan terkesan cinta mengalahkan segalanya seperti jalan hidup seorang Susan Mayer.

… tapi, Jenny membekali dirinya dengan pengetahuan yang up-to-date tentang berbagai hal. Dengan demikian, meskipun ceritanya ringan dan penuh cinta, cocok buat remaja2 putri, tapi tulisannya membuat remaja2 itu sedikitnya menambah pengetahuan dan “nggak cuma mikir cinta” 😉

Yang jelas, Jen, VAJRA gw simpan buat bacaan Ima 1-2 thn lagi 😉
(Maya Notodisurjoblogger)


Damn! VAJRA KEREN euy! Emang jago deh lo, IRI huehehe. Simpel, menyentuh tapi berisi. Cool debut! Ada beberapa yang KENA banget Mbak, cuma emang ada yang kurang tapi tetep oke. Tapi keren euy! Overall nice, gue seneng bacanya dan gak mau berhenti.”


(Haqiblogger, scriptwriter)


Jenny tapped the essence of life and brewed it into riveting, page turning stories. Can’t wait for your next book!”
(Tommy Fransiscus)


Congratsss… Ada yang sukses bikin mata berkaca-kaca, ada yang sukses bikin nyengar-nyengir ga jelas. Paling suka “Anugrah Terindah”, khas Kakak banget.”


(Noviana Roselie)

“Waahhh… Kak Jenny aku udah baca bukunya…. kereeennn!!!! Huhuhuhu… Ayooo ditunggu lagi yaaa bukunyaa!!! Cmangattzz!!!”


(PS: aku paling suka cerpen tentang Faris dan pacarnya… hehehehe pengalaman pribadi soalnya :p)


(Purple_Loverz)

“Halo Kak Jenny 🙂 Salam kenal ya, aku Clarissa… aku tau bukunya dari milisnya Kak Arie dan aku udah beli bukunya, sekarang udah selesai baca. Bukunya bagus banget! Aku suka banget, life lessonsnya bagus-bagus banget 🙂 Selamat ya 😀 And keep writing!”


(Clarissa)


“Udah beli bukunya… udah baca… gw paling suka ama cerita yang ada quotenya. Gw lupa bahasa inggrisnya, tapi kira-kira gini: kasih yang paling besar adalah saat seseorang mengorbankan nyawanya untuk sahabatnya… dalam banget…”
(Desty)


“Udah beli kumpulan cerpennya Jenny… ^_^ Suka banget ama cerita-cerita di dalamnya…”


(Maggie)