Lagi, Tentang Cinta.

Minggu sore. Sebuah mal di pinggiran Jakarta. Bedah buku dan accoustic performance dari seorang penulis yang diiringi permainan apik pianis merangkap terapis. *Hi, there! ;-)*

Mendung masih bergelayut di luar, kendati matahari mulai muncul dan menghapus sisa-sisa gerimis yang membuat hari yang (semestinya) cerah menjadi sedikit suram.

Saya, merasa pegal setelah sejam lebih mondar-mandir, mulai mencari tempat duduk di antara puluhan bangku yang penuh terisi dan kerumunan orang yang memadati sekitar panggung.

Di atas panggung, ibu ini sedang diwawancarai oleh moderator yang juga teman saya, membuat saya tak henti-hentinya nyengir geli mendengar banyolan ngaco (orang Betawi bilang: ngebacot), sekaligus berdecak kagum mengakui kehebatannya. Benar-benar emsi kelas kakap. Dua emsi yang saya saksikan sebelum acara bedah buku hari ini mendadak terlihat seperti amatiran.

Saya berdiri tak jauh dari tepi panggung sambil terus jelalatan mencari bangku kosong. Ah, itu dia. Seorang laki-laki kurus-tinggi baru saja beranjak dari tempatnya. Saya menunggu. Dua menit, tiga menit, ia tidak kembali. Dan tidak meninggalkan apa pun di sana. Saya masih menunggu. Cukup banyak yang menonton sambil berdiri, tapi tidak satu pun yang tergerak menduduki kursi lipat hitam itu.

Yasuds, berarti memang jatah saya. Semoga kamu nggak balik. Kalaupun balik, ya maab, siapa suruh kursinya ditinggal-tinggal. *evil grin*

Saya duduk memangku tas, mengikuti jalannya acara sambil menimbang-nimbang apakah sebaiknya mengambil foto lagi atau tidak, karena menurut sahabat saya yang meminjamkan, sisa memorinya hanya cukup untuk mengambil sepuluh gambar. Saya sudah berfoya-foya selama setengah jam pertama, dan ragu-ragu untuk memotret lagi.

Seingat saya, sebentar lagi ada kuis berhadiah bagi pengunjung yang dapat menjawab pertanyaan dengan benar. Siapa tahu ada momen menarik yang bisa saya potret. Saya menyilangkan tangan di depan dada, mengingat-ingat rundown yang hanya sempat saya baca sekilas, dan kini entah berada dimana.

—–

“Sekarang waktunya kuis!”

Pengumuman lantang itu membuat saya mendongak.

“Ada dua buku dan CD yang akan kita bagi-bagi. Kalau sudah punya, ya nggak apa-apa, bisa dikasih ke temannya, saudaranya…”

Saya menegakkan tubuh, bersiap menyalakan kamera. Sebentar lagi MC akan mempersilakan ibu ini untuk mengajukan pertanyaan sehubungan dengan buku yang sedang dibahas, dan pengunjung akan berebutan mengacungkan jari. Siapa cepat (dan bisa menjawab, ya. Kalau nggak, ya batal, hehehe), dia dapat.

“Siapa di sini yang datang berdua sama pacar???”

…..

Lha?

Kok…?

“Hayooo… siapa yang di sini datangnya berdua pacaaaaar? Ngakuuu!”

Saya memandang ke panggung, bingung. Ibu ini tampak sama herannya. Hanya teman saya yang cengar-cengir, dengan rencana yang cuma dia (dan Tuhan) yang tahu.

Tak berapa lama, sepasang muda-mudi *halah, muda-mudi bo! So sembilanpuluhan* naik ke panggung. Keduanya tersipu-sipu, senyam-senyum tanpa arti.

Dan teman saya yang kocak nan jenius itu memang terbukti nggak ada matinya. Sambil menyerahkan microphone, ia menodong si laki-laki –yang ternyata sudah berstatus suami, bukan pacar- untuk mengungkapkan perasaan sayangnya pada istrinya. Dan sang istri juga diwajibkan untuk merespon balik. Seketika, suasana berubah ramai.

Saya tergelak tanpa bisa ditahan, meski pasutri tersebut *ohmaigod – pasutri! Asa cacat kosakata* belum mengucapkan apa-apa, masih berdiri sambil cengar-cengir mokal. Pasti bakal seru.

Melihat gelagat ‘kalau-nggak-dipaksa-nggak-bakal-ngomong’ yang mereka tunjukkan, MC semakin bersemangat menyuruh sang suami bicara.

Akhirnya, masih dengan gestur malu-malu kucing, ia mendekatkan mic ke mulutnya. Sambil memandang istrinya –setengah tertunduk, entah rikuh atau jengah- ia mulai bersuara.

“Adek…”

Refleks, saya menajamkan pendengaran, meski sebenarnya tidak perlu.

“…dua tahun kita nikah –tiga tahun sama pacaran- aku tahu, aku bukan orang yang romantis…”

Kalimat itu mengalir lancar. Sederhana.

“…aku jarang ajak kamu makan di restoran, jarang ajak kamu jalan-jalan, atau beliin barang…”

Saya termangu di kursi, membisu sambil menggenggam kamera erat-erat. Tanpa ingin menjepretkannya satu kali pun. Penonton mendadak sunyi.

“Tapi, aku mau bilang… aku sayang kamu. Buat aku, cuma kamu seorang… satu-satunya…”

Mendadak, tenggorokan saya terasa nyeri. Kamera semakin erat tergenggam. Dalam keadaan mati.

“Kamu… tidak tergantikan.”

Sunyi kembali memecah. Sang istri menanggapi kalimat-kalimat suaminya dengan senyum malu-malu dan wajah tertuju ke bawah. Nggak heran. Saya juga akan melakukan hal yang sama seandainya berada di atas panggung bersama artis favorit dan mendengarkan pernyataan cinta suami sambil ditontoni orang se-mall.

Semua orang menunggu responnya. Termasuk saya, yang bahkan tidak ingat lagi akan tugas mendokumentasikan acara.

“Aku juga sayang kamu,” ia membalas pelan, tersipu. Menunduk dengan rona tipis di kedua pipi.

Tepuk tangan bergemuruh, riuh.

Mata saya membasah. Saya tahan kuat-kuat agar kaca bening itu tak luruh mengalir.

Kamu tidak tergantikan.

Mereka bukan pasangan Cinderella dan Prince Charming. Tanpa bermaksud merendahkan, saya ingin berterus terang bahwa fisik, penampilan dan pembawaan mereka bahkan tidak memenuhi kriteria pasangan ideal yang bisa mengundang decak kagum orang. Namun mata itu bersinar tulus. Dan kata-kata sederhana yang tak terpoles keindahan bahasa itu jauh lebih sempurna dari kalimat cinta apa pun yang pernah saya dengar.

Tidak ada ekspresi berarti di wajah pasangan itu. Tidak ada kalimat-kalimat bahagia. Tidak ada wajah yang berbinar penuh cinta, tidak ada mata yang bercahaya sukacita, tidak pula ada bahasa tubuh yang melukiskan keajaiban kasih yang diungkap tanpa pretensi. Hanya semburat semu yang nyaris tak kentara. Namun, semua itu mendadak tidak lagi penting.

Rona tipis itu sudah menjelaskan segalanya. Cinta itu tak butuh suara untuk bisa jadi juara.

Malam ini, saya hanya ingin mendengar lagu-lagu cinta. Malam ini, ijinkan saya bermimpi. Tentang seseorang yang bersedia hadir tanpa syarat, memandangi wajah lelap saya sambil membisikkan sebaris indah “Kamu tak tergantikan”. Hanya untuk saya. Ah, dasar mellow sumellow! ;-D

*Gambar diambil dari gettyimages.com

Malam ini, kembali mengenangnya.

Mama, apa kabar?
Baik-baikkah di sana?
Aku kangen sekali.
It’s been a long time.

Kadang
Ingin sekali menemuimu
Menaruh kepalaku di bahumu
Meski sekejap saja

Melihatmu tersenyum
Bukan hanya di mimpi
Mendengarmu tertawa
Yang bukan cuma di ingatan

Menjajari langkah-langkah gesitmu
Yang selalu terburu
Dan berseru,
Jangan cepat-cepat, kakiku tak cukup panjang.

Menjengukmu di dapur
Dengan daster dan rambut diikat
Mencoba membantu
Dan dimarahi karena membuat kotor

Mengadu di saat susah dan sebal
Selalu senang
Mendengar diriku dibela
Meski tak jarang aku yang salah

Mendengar namaku
Dalam doa yang kau bisikkan
Pagi, siang, petang
Tanpa jemu, tanpa lelah

Membaca ucapan ulang tahun
Berisi kata sayang dan wejangan
Agar selalu aku jadi anak yang baik
Dan semua hadiah lain tak lagi penting

Menemanimu di kamar, ruang tamu, meja makan
Bahkan ketika kau terlalu sakit
Untuk bisa menyambutku.
Sekadar bersamamu sudah cukup.

Menatapimu yang tertidur lelap
Bersyukur karena kau tak lagi didera
Memandangmu yang pulas dalam damai abadi
Berbahagia untukmu, meski aku ingin engkau selamanya ada.

Mama, apa kabar?
Indahkah di atas sana?
Aku kangen sekali.
🙂

Malam ini, empat tahun sudah saya mengenangnya. Dia tak akan terganti.
I love you, Mom.

*Ditulis sambil mendengarkan lagu ini.

Belajar dari Teletubbies

Satu senyuman. Satu sentuhan. Satu pelukan.

Pernah dengar bahwa pelukan adalah nutrisi bagi jiwa?

Belum pernah?

Sekarang saya bilang lagi: pelukan adalah nutrisi jiwa.

Iya, benar.

Tidak percaya? Coba saja.

Kamu pikir, apa sebabnya Tinky-Winky, Dipsy, Lala, dan Poo selalu tersenyum?

Karena meski terhalang perut gendut dan kepala sebesar baskom, mereka tak pernah alpa berpelukan.

Karena perbedaan warna tak membuat mereka absen menyayangi.

Karena ukuran tak menghalangi mereka untuk berbagi cinta, meski ditontoni orang sejagat raya.

Pelukan adalah nutrisi jiwa. Suplemen hati yang tak perlu dibeli di toko obat.

Tidak percaya?

Kamu pikir, apa sebabnya Teletubbies tak pernah menangis?

Ah, sekarang kamu bilang saya konyol. Teletubbies hanya tokoh fiksi anak-anak.

Tapi, toh mereka tersenyum.

🙂

Jadi, ayo, ayo, belajar dari Teletubbies.

Satu senyuman setiap hari. Satu sentuhan. Satu pelukan.

Cairkan penat di hati. Semaikan cinta. Dan rayakan kehidupan.

Saya tak mengenalnya. Tapi entah kenapa saya yakin sekali ia orang yang baik. Dalam arti sebenar-benarnya.

Saya tak mengenalnya. Tapi ada sejumput ngilu yang tebersit ketika mendengar kepergiannya.

Saya tak mengenalnya. Saya tak tahu untuk siapa harus berduka, dan mengapa. Namun itu tak penting.

Selamat jalan, Ruri.

?

Seorang anak bertanya kepada Tuhan:

Engkau itu sebenarnya siapa?

Tuhan balas bertanya:

Menurutmu, siapa aku?

Anak itu terdiam, lama. Matanya mencari. Tapi yang ada hanya sosok familiar yang dijumpainya setiap hari sebelum ia berani menanyakan hal paling muskil di dunia.

Sosok itu menemuinya tiap malam saat ia duduk bersimpuh dengan tangan terkatup. Sosok itu mengabulkan doa-doanya dan mewujudkan mukjizat dengan cara yang tak terselami akal. Sosok itu berada di sana, mendengar semua keluhan dan ocehnya yang disampaikan dalam larik-larik kalimat bernama doa. Namun ia masih merasa asing. Hatinya kerap tak puas, sibuk mendamba, entah apa.

Mempertanyakan keberadaan Tuhan yang hakiki sama saja menyangkalnya. Ia tahu itu. Sejak kecil ia telah diajari untuk tidak mendebatkan Tuhan yang mahakuasa. Tuhan itu ada untuk disembah. Untuk diagungkan. Untuk menerima dan menjawab doa. Sejak belum fasih bicara ia telah mendengar itu. Sejak belum lancar berjalan ia telah duduk dalam kumpulan orang-orang suci; mendengarkan kidung yang tak dipahaminya, berdiri tertatih mencoba mencerna dengan akal secuil. Tahun-tahun berlalu, tak pernah sedikitpun ia sangsi dirinya akan masuk surga begitu habis masa kontraknya dengan dunia. Kavling itu telah dipatok atas namanya; orang saleh yang taat beribadah dan tak pernah melenceng dari ajaran agama. Tak sekejap pun ia meragu.

Namun, jiwanya tak pernah berhenti mencari. Sesuatu, entah apa. Ada sepotong rindu yang terus mengusik, mengingatkan bahwa pencarian itu belum selesai, meski ia tak tahu apa yang perlu ditemukan. Karena itu, malam ini diberanikannya dirinya. Mengangkat kepala yang selalu tertunduk. Melepaskan jemari yang selalu bertaut. Berdiri tegak bagai menantang. Menatap sosok dalam balutan putih yang bergeming dalam segala kemahakuasaannya:

Engkau itu sebenarnya siapa?

Sosok itu balas bertanya:

Menurutmu, siapa aku?

Lelah sudah ia. Murka, ditudingnya sosok itu. Sosok yang bertahun-tahun dipujanya. Disembahnya tanpa pertentangan. Diagungkannya tanpa penat dan bosan, meski hatinya tak pernah berhenti mendamba.

Apa susahnya bagimu untuk menjawab?!

Sang sosok tersenyum.

Kau tak memerlukan jawaban. Yang kau butuhkan hanya terus bertanya. Dan lebih banyak bertanya.

Kali ini, gantian si anak bergeming. Matanya menyala. Namun riak hatinya tak sedahsyat tadi. Setidaknya, sosok sialan di depannya sudah bicara lebih dari satu kalimat. Itu sebuah kemajuan.

Apa maksudmu? Jelaskan. Buat aku mengerti.

Belum lagi kalimatnya usai, sosok itu sudah menghilang. Lenyap tanpa bekas bagai ditelan kabut tak berwujud. Menyisakan kebingungan yang kian lama kian hampa.

Si anak menatap nanar. Tak sanggup terisak, apalagi terbahak. Hanya mampu diam, mencoba mencerna penjelasan sepotong dari sosok yang sejak kecil dipanggilnya Tuhan. Yang disembahnya tanpa syarat. Yang diagungkannya tanpa prasangka. Malam ini, seluruh keyakinannya terguncang. Tuhan yang sudah disapanya sejak lidahnya belum fasih berucap bahkan tak sudi diajak berkenalan.

Malam-malam berikutnya, ia langsung naik ke tempat tidur. Tanpa merasa perlu bersimpuh dan mengatupkan tangan. Selimut langsung ditarik menutupi dagu. Mata terpejam rapat. Tak ada lagi larik-larik kalimat bernama doa. Tak terdengar lagi lantunan kidung merdu bernafaskan ibadah. Lantainya terlalu dingin untuk dijadikan alas lutut telanjang. Malam terlalu singkat untuk dihabiskan dengan celoteh-celoteh panjang. Dan kebisuan itu terlalu menyakitkan untuk dilewati sendirian. Yang tersisa hanya kegelapan dan sunyi. Hingga pagi menjelang.

Ia tak menyesal.

Mungkin memang lebih baik begitu. Mungkin teka-teki itu memang tak butuh pemecah. Mungkin pertanyaannya memang tak berjodoh dengan jawaban.

Mungkin yang perlu dilakukannya hanya terus bertanya. Dan lebih banyak bertanya. Sampai tiba waktunya nanti.

Entah kapan.