Kamar Hati

Hei, kamu. Iya, kamu.

Kamar ini untukmu, semoga kamu suka.

Ini kuncinya. Simpan baik-baik, ya.

Kamu boleh datang kapan saja. Tak perlu mengetuk, tak perlu pakai izin. Kamu tinggal memutar kenopnya, lalu masuk.

Belum sempat mandi? Jangan khawatir, aku pinjamkan handuk dan pakaian bersih. Lembut dan nyaman seperti piyama tua kesayangan.

Lapar? Jangan takut, kuambilkan nasi dan lauk kesukaanmu. Plus secangkir kopi susu. Racikan sendiri, dijamin lezat.

Tak enak badan? Air putih hangat dan obat selalu tersedia. Ada vitamin dan madu kalau mau. Kamu pasti enakan setelah meminumnya.

Lelah? Ingin tidur? Seprainya baru saja dicuci, harum wangi. Selimutnya hangat, tidurmu pasti nyenyak. Dan kamu akan bangun dengan tubuh segar.

Lalu, kita bisa ngobrol. Ceritakan apa saja sesuka hati. Bercengkerama sepuasnya. Lupakan waktu, karena waktu tak ada artinya lagi di sini.

Kamu boleh bilang apa pun yang kamu mau. Pundakku senantiasa ada. Lenganku tak pernah terkunci. Telingaku selalu sedia dipinjam.

Bebanmu tak perlu tinggal lama. Air matamu takkan membuatku pergi, karena aku di sini untukmu. Takkan beranjak kecuali jika kamu menginginkan.

Maka, istirahatlah. Banyak-banyak. Tak perlu lekas bangun. Nikmati hadiah ini, detik ini. Karena kemarin sudah lenyap dan esok belum datang, dan saat ini cuma hadir sekali.

Selalu ada “Selamat Datang” untukmu. Di sini, di ruangan ini.

Kamar ini milikmu. Kamu boleh datang kapan saja.

Pintunya tak pernah terkunci, dan aku tak punya serepnya. 🙂

*Hadiah kecil untuk Ayah dan adik tersayang, entitas mungil yang selalu memanggil jiwa saya untuk pulang ke rumah. Saya persembahkan kamar hati ini untuk kalian. Selalu. Selamanya.

**Inspired byBack to Heaven’s Light’ karya Dewi ‘Dee’ Lestari. Tak pernah membosankan untuk didengar berulang-ulang. 🙂

Gambar dipinjam dari Gettyimages.com.

RECTOVERSO – Sentuh Hati dari Dua Sisi

Sebagai penikmat buku dan musik sejati -yang ditandai dengan menumpuknya bacaan di lemari dan ratusan lagu di playlist– membaca dan mendengarkan musik adalah bagian dari keseharian saya. Meja di kamar kos dan rak di rumah saya tak pernah sepi dari buku. Earphone nyaris tak pernah absen dari telinga, baik ketika sedang berjalan sendirian di mall, duduk santai di angkot, berdiri dalam antrian panjang di bank, atau saat harus berhadapan dengan aktivitas paling menyebalkan sedunia: menunggu. Bagi saya, kedua hal itu adalah rutinitas tetap yang tanpanya hidup akan seribu kali lebih membosankan.

Ketika pertama kali mendengarkan Rectoverso, sejujurnya saya tak tahu apa yang harus saya harapkan. Meski telah lama menjadi pengagum tulisan-tulisan Dewi ‘Dee’ Lestari, saya nyaris tak pernah menyimak versi non-tekstual dari karya-karya penulis yang satu ini. Setelah melahap habis sebelas cerita pendek dalam bukunya, saya mendengarkan lagu-lagunya tanpa ekspektasi apa pun.

Dan terjadilah ‘keajaiban’ itu. Bermula dari satu-dua lagu yang meninggalkan kesan mendalam dan saya putar lebih dari sekali, kecanduan saya terhadap makhluk hibrida ini pun dimulai.

Karya yang hadir secara terpisah dan awalnya saya nikmati sendiri-sendiri ini mulai menunjukkan pertaliannya, bagaikan paket combo yang saling melengkapi dan membentuk kesatuan utuh. Dewi Lestari telah meracik dan menyuguhkan sajian ini dengan amat terampil. Perlahan, aktivitas mendengarkan saya yang mulanya hanya terbatas pada ‘menyimak’ bertransformasi menjadi ‘menghayati’, dan akhirnya ‘melebur’.

Rectoverso berulangkali membuat saya jatuh cinta. Menangis. Tertawa. Merenung. Terdiam dalam hening. Terhanyut di dalamnya hingga kata-kata kehilangan makna.

Sebelas kisah di dalamnya tak membosankan untuk dibaca berulang-ulang, dan sebelas lagunya telah sukses menjadikan saya pecandu dalam beberapa hari saja. Merasa hidup tak lengkap jika tak menyetelnya begitu bangun tidur dan mendengarkannya hingga mata siap menutup.

Mungkin ilustrasi yang cukup pas untuk menggambarkan sensasi yang muncul dari pengalaman membaca dan mendengarkan Rectoverso adalah bagai menaiki rollercoaster yang bergerak lambat. Merasakan energi dan adrenalin terstimulasi, terpompa dan termanifestasi dalam berbagai wujud. Terus bergerak naik-turun tanpa perlu membangkitkan bulu roma. Atau seperti mengonsumsi narkoba dalam jumlah sedikit namun rutin. Rasa yang diberikannya membuat hati terus menagih untuk menikmati lebih dan lebih lagi.

Jika Supernova adalah virus, maka Rectoverso bagi saya adalah zat adiktif. Candu bagi jiwa. Racun yang tak butuh penawar. Suplemen hati yang bebas dikonsumsi sepuasnya tanpa khawatir overdosis.

Jujur, ini adalah review paling berkesan yang pernah saya tulis, karena belum pernah sebelumnya saya menikmati sebuah karya dengan begitu mendalam dan mengapresiasinya sedemikian rupa. Urgensi untuk menuliskan ini hampir tak tertahankan dan saya tak peduli jika harus menjelma jadi makhluk nokturnal demi mengurainya.

Kali berikut saya bertemu penulisnya, saya akan bertanya ramuan rahasia apa yang ia pakai. Barangkali saya bisa mencobanya, agar naskah-naskah saya bisa keluar dari rahim inkubasinya dan menghirup udara dunia. Barangkali ia akan rela membagi satu-dua resep yang bisa saya uji coba. Barangkali kejeniusan yang sama bisa sedikit menular pada saya, meski saya ragu akan pernah menghasilkan sesuatu sebrilian ini.

Barangkali saya akan berkata kepadanya, dunia butuh lebih banyak orang sepertinya. Yang mampu menciptakan keindahan sekaligus menyuarakan desau jiwa sama baiknya.

Selamat, Mbak Dee. Sayang saya hanya punya empat jempol. 🙂

Merindu Dirinya

Malam ini, usai membaca ini, menelusuri tulisan-tulisan di sini, lalu pindah ke arsip lama ini, mendadak teringat pada seseorang.

Yang senyumnya selalu ngangenin. Yang nasehat-nasehatnya tak pernah membosankan, meski diulang puluhan kali dengan titik-koma sama. Yang suaranya menenangkan. Yang telepon-teleponnya selalu dinanti, walau hanya sekadar bilang, “Lagi ngapain? Jangan makan mie instan terus!”

Malam ini, membongkar hard disk tanpa tujuan, baru saya sadar, saya tak punya fotonya. Sebuah pun. Foto adik, saudara, sahabat, kawan, tetangga, semua ada. Dalam jumlah ratusan. Kecuali dia.

Malam ini, membaca ini, menelusuri tulisan-tulisan di sini, lalu pindah ke arsip lama ini, baru saya sadar.

Saya kangen dia. S a n g a t.

Rambut acakacakannya. Telapak tangannya yang kasar tapi selalu hangat. Kaus belel yang ituitu lagi, meski sudah berkalikali diprotes. Kacamata baca yang gagangnya miring sebelah. Jeans kusam yang bernasib sama dengan kaus-kaus belelnya.

Senyumnya. Binar matanya.

Hanya untuknya, saya ingin selalu punya waktu. Untuk bilang saya sayang dia.

Untuk bilang, sampai kapan pun, apa pun yang terjadi, dia tetap pujaan hati nomor wahid. Jawara yang tak ada bandingannya.

Untuk memberitahu, selalu tersedia sebuah kamar di hati khusus untuknya, tanpa kunci, dan dia boleh datang kapan saja.

I love you, Pa.

VAJRA, Sang Permata Jiwa

Kalau menulis adalah sebuah perjalanan, maka menyelesaikan sebuah buku dan memprosesnya hingga siap diterbitkan bagi saya bagaikan sebuah kehamilan. Ditandai dengan emosi yang berubah-ubah, dari senang-panik-khawatir, deg-degan jaya… sampai akhirnya berserah dan menanti dengan pasrah. Hingga karya tersebut resmi diluncurkan, lengkap dengan nomor ISBN, yang membuat saya merasa layak menyebut diri sebagai ‘published author’ dan ‘emak’ sekaligus: hamil, melahirkan, punya anak.

Dan inilah dia, si Cantik* kebanggaan saya:

Judul: VAJRA – Diamond in Every Heart
Penulis: Jenny Jusuf
Penerbit: Sheila (ANDI Publisher)
Tebal: 144 halaman

Jenny bercerita tentang berbagai macam rasa dalam kehidupan, plus segala latarnya: masa lalu, sekarang – bahkan masa depan. Seorang penulis yang menjanjikan!”
(
Sitta Karina, novelis dan kontributor majalah ‘CosmoGIRL!’)

Kumpulan cerpen ini berhasil merangkum seluruh permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari yang manis sampai pahit dalam rangkaian bahasa sederhana, tapi jangan salah, moral dari setiap ceritanya bikin semua pembaca mikir lama.”
(
Okke ‘Sepatumerah’, novelis)

It speaks deeper than just stories. Sederhana, ringkas, enak dibaca… melalui kumpulan cerpen ini Jenny membantu kita untuk merefleksi diri.
(Audrey Clarissa, presiden ‘International Pharmaceutical Students’ Federation’ [IPSF] 2006-2007)

—–

Tidak ada sinopsis yang saya sertakan, karena buku ini bukan sebuah novel, melainkan kumpulan cerita pendek yang saya tulis sejak tahun 2005. Satu di antaranya pernah diterbitkan oleh majalah Cerita Kita, prasasti sekaligus bukti pertama yang meyakinkan saya bahwa mimpi memang bisa bertunas.

Kisah-kisah dalam buku ini tak jauh dari topik universal yang selalu digemari: cinta, keluarga, persahabatan. Dalam setiap cerita saya mencoba menyelipkan pesan -mutiara yang berhasil saya kumpulkan di setapak panjang bernama Kehidupan- yang saya rangkul sepenuh hati, dan saya tuturkan dalam bingkai fiksi. Bukan untuk menggurui, melainkan untuk berbagi.

Kini, dalam perjalanan menjemput kelahirannya ke dunia, saya menemukan dua butir mutiara lagi. Yang pertama sangat sederhana dan sudah sering didengar, namun gemanya senantiasa merdu di hati: impian sungguh bisa menjadi kenyataan.

Mutiara kedua adalah kalimat indah yang saya temukan dalam sebuah buku: “Ada kalanya mimpi-mimpi hadir seluas samudera, sehingga kita bisa berenang di dalamnya.”

Samudera? Saya tak pernah berpikir sampai ke situ. Indah sekali. Ternyata selama ini saya telah mengarungi samudera tanpa pernah menyadarinya.

🙂

Mari, mari.

Lepaskan tambatan. Luncurkan perahu. Kembangkan layar. Ciumi aroma laut. Dengarkan suara ombak. Pandangi birunya air. Jatuh cintalah kepadanya.

Selamat mengarungi mimpi. Kalau kita bertemu nanti, panggil saya, ya. Singgah ke perahu saya untuk bercakap sejenak sambil minum teh. Kita bertukar cerita. 🙂

*Nggak usah protes. Wajar atuh setiap emak merasa anaknya yang paling keren sedunia ;-D

Wajah Malaikat

Jam setengah sebelas malam, saya membuka pintu kos-kosan dengan hati-hati, takut membangunkan teman-teman yang pasti sudah terbang ke negeri antah berantah dengan pesawat kapuk masing-masing, karena lampu di ruang tamu sudah gelap.

Begitu membuka kamar, saya langsung disambut aroma pengap. Kamar saya memang lembab karena letaknya berselang dua kamar dari pintu kos-kosan, satu-satunya akses keluar-masuk udara segar. Tapi itu belum seberapa dibanding perut yang kerucukan minta diisi. Saya tidak sempat membeli nasi goreng di tukang mie tek-tek yang mangkal di pinggir jalan seperti biasa, karena selama perjalanan pulang tadi saya tertidur dengan suksesnya di mobil sahabat saya.

*Hei, kamu. Terima kasih banyak untuk tebengan gratisnya tiap Rabu malam… jangan bosen-bosen, ya. Hihihi.*

Setelah menyalakan kipas dan membuka pintu lebar-lebar demi lancarnya sirkulasi udara, saya menggeratak kulkas.

Ah, itu dia! YAY!

Masih tersisa setengah loyang kue pisang milik seorang teman yang bermarkas di lantai dua. Saya senyum-senyum girang dan mencomot dua potong. Dia pasti tak keberatan kue pisangnya ‘dipinjam’, meski saya tak yakin harus mengembalikannya pakai apa. 😉

Sambil makan, pikiran saya lagi-lagi mengembara. Akhir-akhir ini ia memang tak sudi diam untuk waktu lama, kecuali ketika saya sedang berada di Kelas Hening (oh, itu sih bukan diam tepatnya, tapi istirahat).

Dan adegan-adegan itu kembali berhamburan menyerbu otak saya bagaikan film yang bergerak lambat. Adegan ketika untuk kedua kalinya saya berhadap-hadapan berdua dengan seorang partner yang tak terlalu saya kenal.

Kali ini, masing-masing dari kami akan menjalankan dua ‘peran’ secara bergiliran dalam durasi tiga puluh menit. Kami akan bergantian menjadi pendengar dan komunikator. Jatah setiap putaran adalah lima menit, yang artinya kami akan menjadi pendengar sebanyak tiga kali, begitu pula komunikator.

Ketika menjadi komunikator, tugas kami adalah menyibak keheningan untuk memberikan jawaban atas instruksi yang disampaikan oleh pasangan kami – menggunakan ‘pertanyaan’ tersebut sebagai pancingan untuk menyibak kesejatian diri. Ketika menjadi pendengar, tugas kami adalah mengomunikasikan apa yang ingin diketahui tentang diri pasangan kami dalam sebuah instruksi yang terdiri dari kalimat pendek, menyediakan telinga untuk mendengar, dan ‘hadir’ di sana untuknya. Sekadar hadir sepenuhnya, mendengarkan seutuhnya. Tanpa menjatuhkan penilaian, tanpa mencetuskan solusi, tanpa bersentuhan, bahkan tanpa bicara sama sekali (dimana untuk yang satu ini saya berulangkali mengingatkan diri sendiri untuk sejenak melupakan kodrat sebagai spesies ciptaan Tuhan yang paling cerewet).

Dan putaran pun dimulai.

Lagi-lagi keindahan itu merebak, dimulai sejak menit pertama saya dan pasangan saya bertatap-tatapan dan bertukar senyum. Sepercik jengah hadir di antara kami. Saya hanya bisa tertawa nervous selama lima detik pertama, namun rasa itu hilang dalam sekejap ketika pandangan kami kembali beradu.

*WARNING: Entri ini akan banyak mengandung kata ‘indah’, ‘sempurna’, ‘hati’, ‘jiwa’. Maaf atas repetisi ini, karena saya tidak berhasil menemukan kata yang lebih pas. Tolong bersabar. ;-)*

Beritahu saya siapa diri Anda,” pasangan saya berkata, pelan dan sungguh-sungguh. Kalimat yang sama akan dijadikan ‘pancingan’ selama setengah jam ke depan, dan ini adalah giliran saya untuk menjawab.

Seharusnya saya memusatkan perhatian untuk menjawab kalimat itu, tapi saya hanya termangu sambil berusaha mencerna apa yang sedang saya rasakan. Sungguh janggal, karena ini terjadi dalam menit pertama, yang sejujurnya, sangat berada di luar perkiraan.

Saya memejamkan mata, menenggelamkan diri dalam hening, namun hati saya terus beriak. Indah sekali bisa duduk berhadapan, tanpa perlu benar-benar mengenal sosok di depan saya, bisa mendengar “Beritahu saya siapa diri Anda” yang bukan basa-basi, bisa belajar membuka diri seutuhnya tanpa pretensi …dan diterima apa adanya.

Namun, momen yang paling indah adalah ketika kami berganti peran; saya sebagai pendengar, dan pasangan saya komunikatornya. Saya menyampaikan instruksi yang sama, kemudian sepenuh hati menunggu jawaban – hanya menanti tanpa tahu apa yang saya harapkan.

Pasangan saya membuka mata dan mulai berucap. Suaranya sangat pelan sampai saya harus mencondongkan tubuh demi menangkap kata-katanya. Lagi-lagi saya bergetar oleh keindahan yang merasuk tanpa ampun saat tatapan kami beradu. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya adalah kesempurnaan yang tak terselami akal. Tak peduli apapun isinya. Seolah yang mampu dipancarkan oleh pasangan saya hanya kesempurnaan semata, dan tak kurang dari itu.

Saya hanya bisa terpaku. Ternyata semua orang sama sempurnanya. Dan kita berjuang mati-matian mencari apa itu sempurna, karena kita menyangka dengan kehidupan yang sempurna kita bisa bahagia.

Sekian menit mendengarkannya bertutur, pikiran saya kembali lolos.

Seumur hidup, sejak mengenal lingkungan sosial dan pergaulan, entah sudah berapa kali saya duduk bersama seseorang dan bercakap-cakap, mulai dari bersenda gurau tak tentu arah, mengobrol ringan, sampai curhat panjang-lebar. Saya selalu meresponi setiap orang dengan cara yang sama: sepanjang ia bercerita, pikiran ini tak henti-hentinya bekerja mengevaluasi, merumuskan penilaian, merangkai pemecahan masalah, dan setelah orang yang bersangkutan selesai bicara, dalam sekian detik saya langsung bisa menawarkan solusi terbaik yang (saya anggap) bisa menolongnya keluar dari masalah tersebut. Apabila ia bercerita tentang dirinya sendiri, pikiran saya langsung bekerja membuat profiling dan menyimpan semua data yang dibutuhkan dalam bank memori.

Tak pernah saya sekadar duduk di sana, hadir, menyediakan telinga dan hati apa adanya, untuk menerima segala sesuatu yang dikatakan orang lain, sepenuhnya, seutuh-utuhnya, tanpa berusaha membuat penilaian apapun, merumuskan apapun, merangkai apapun. Baru saya sadar, tak pernah sebelumnya saya betul-betul ‘ada’ untuk lawan bicara saya.

Ya, hanya hadir. Menatap sepenuh hati. Berfokus. Menunggu. Memperhatikan. Mendengarkan. Tanpa pengharapan. Tanpa menilai. Tanpa reaksi. Tanpa evaluasi. Menerima seutuhnya.

Sebuah perasaan yang sulit dilukiskan kembali singgah ketika mendadak saya sadar, apapun yang dikatakan oleh partner saya, entah dia mengaku baru saja membunuh orang atau melakukan kejahatan terbesar di dunia, saya tak akan peduli.

Sungguh, saya tak akan peduli. Saya terlalu terpukau oleh keindahan yang hadir ketika jiwa kami saling menyibak lapisan demi lapisan keberadaan masing-masing. Saya diliputi haru ketika saya sadar diri ini mampu menerima orang lain apa adanya.

Saya tahu rasanya tidak diterima apa adanya, ketika lingkungan dan pergaulan menuntut saya untuk ‘menjadi bukan Jenny’ demi memenuhi konsep ideal dan ekspektasi orang lain. Saya tahu rasanya berusaha mati-matian hanya demi bisa diterima. Dan tanpa sadar saya menerapkan pola yang sama kepada orang lain.

Tak jarang saya memiliki pengharapan yang begitu tinggi dan muluk atas seseorang, dan menjadi kecewa ketika pengharapan itu tak menjadi kenyataan. Tak jarang saya menyimpan citra tentang orang lain dan berharap citra itu akan abadi selamanya, lalu kecewa bukan buatan ketika mendapati bahwa orang yang saya temui telah berubah. Tak jarang saya menyimpan konflik batin atas sebuah situasi yang terjadi bertahun-tahun silam. Menjadikannya masalah hanya karena saya tak menyukai situasinya. Menjadikan diri saya sendiri tempat sampah atas segala kemarahan dan kepahitan yang tidak berujung.

Saya menatap pasangan saya lekat-lekat. Mendadak mata saya basah.

Kamu cantik sekali hari ini. Betapa ingin saya melafalkan itu.

Saya tidak sedang bergurau, dan ini bukan pertanda penyimpangan preferensi seksual. Saya hanya melihat keindahan itu sebagaimana adanya, seperti yang tertangkap oleh indera saya: kesempurnaan dalam diri.

Saya sangat tergoda untuk bertanya apakah pasangan saya telah menjalani laser surgery, facelift atau apapun yang membuatnya tampak jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Saya ingin menemukan rahasia yang membuat wajahnya berbinar-binar. Barangkali saya bisa mencobanya belasan tahun dari sekarang, jika saya telah resmi dinobatkan sebagai tante-tante berumur kepala empat. Saya sungguh ingin tahu produk anti-aging apa yang mampu memusnahkan kerut dan penuaan hanya dalam tujuh hari, karena ketika kami berjumpa minggu lalu, ia tak sebercahaya ini.

Dan mata saya terus membasah, meski tak ada setitik air pun yang mengalir. Selama sekian menit, di ruangan yang berisik oleh suara-suara lain, deru kendaraan dan pengeras suara dari mall di seberang, mendadak Bumi berhenti berputar. Waktu berhenti. Atau apapun itu. Yang ada hanya saya dan dia.

Dan bibir saya terus mengembang. Tak bisa berhenti tersenyum.

Ya Tuhan, indahnya. Indahnya sekadar hadir dan ada. Indahnya berada di sana, bahkan untuk seseorang yang tak saya kenal. Indahnya meminjamkan telinga untuk mendengarkan tanpa perlu terdistraksi oleh suara-suara pikiran sendiri. Indahnya menyadari bahwa selama sekian menit, saya tak lagi hidup untuk diri saya sendiri. Tak ada lagi ‘Jenny’ ketika saya membuka hati untuk menyimak sosok di depan saya tanpa pretensi, tanpa evaluasi.

Mendadak, saya merasakan cinta yang luar biasa. Terhadap momen ini. Terhadap diri saya sendiri. Terhadap partner saya. Saya ingin melompat dan memeluknya. Tanpa sebuah alasan spesifik. Tanpa perlu banyak cakap. Saya hanya ingin merengkuhnya seerat yang saya bisa. Mengungkapkan ‘aku sayang kamu’ tanpa banyak kata.

Terima kasih, Tuhan.

Hanya itu yang dapat dibisikkan batin saya, ketika lagi-lagi pikiran saya terlepas selama beberapa detik. Baru saya menyadari, betapa hausnya saya akan pengalaman-pengalaman otentik seperti yang direguk jiwa saya dua minggu terakhir.

Terima kasih karena saya mampu menangis menghadapi seseorang yang tak saya kenal. Bukan karena iba mendengar curhatnya. Bukan karena jengkel, sebal atau marah; melainkan karena menyelami keindahan yang tak terperi. Bahwa jiwa ini mampu menyambut seseorang apa adanya, seutuhnya, setulusnya. Bahwa saya sanggup mengungkap keberadaan saya tanpa takut dinilai, dikritik, dihakimi. Dalam kesunyian, kami tahu bahwa kami telah diterima. Oleh pasangan kami. Oleh diri kami sendiri.

Bel tanda pergantian peran berbunyi.

Kami saling membungkuk dengan tangan terkatup di dada. Sepenuh hati saya melafalkan dua kata itu: Te-ri-ma ka-sih.

Pasangan saya mengulangi instruksi yang sama, “Beritahu saya siapa diri Anda.”

Saya memejamkan mata, menyibak hening untuk mendengarkan suara yang muncul dari dalam sana. Ah, ya, saya tahu apa yang akan saya ungkapkan. Sebuah sisi yang jarang terverbalkan dan kini muncul dengan leluasa.

Perlahan saya membuka mata …dan terhenyak.

Mendadak, susunan penjelasan tentang ‘siapa saya’ menjadi blur. Mendadak, deretan kata yang terangkai di benak ini tak mampu lagi membentuk sebuah kalimat utuh. Mendadak, saya merasa tak ingin berkata-kata. Mendadak, yang ingin saya lakukan hanya duduk diam, menghabiskan lima menit ke depan menatapi sosok di depan saya, tatkala indera penglihatan ini menemukan surganya dan jiwa saya kembali terpukau menyambut keindahan yang tak terukur logika.

Wajah di depan saya adalah wajah seorang malaikat.