Saat pertama kali menceburkan diri ke dunia bebastusuk (free: bebas, lance: tusuk – HALAH) empat tahun lalu, saya sering menerima pertanyaan, “Duitnya dari mana?”, “Emang bisa?”, “Seneng ya, gak perlu ngantor?”, “Enak dong jalan-jalan mulu?” dan banyak lagi, yang biasanya diikuti decak kagum, gelengan kepala, atau pertanyaan imbuhan, “Udah umur segini, masih demen yang bebas-bebas aja?”. Pertanyaan terakhir berpotensi mengundang reaksi, “Gak usah ngurus idup gue. Lo ngasih makan gue?”, namun lepas dari intensi di balik pertanyaan-pertanyaan tersebut, mereka membuktikan bahwa keputusan menjadi seorang freelancer bukan (belum?) sesuatu yang lazim.
Sekarang? Walah. Sering banget saya mendengar komentar, “Enak banget sih jadi freelancer. Bagi tips dong!”, “Aku juga pengin deh.” “Gimana sih cara memulainya? Ajarin plis!”, atau “Wah, banyak duit yaaa sekarang.” Yang terakhir agak menimbulkan keinginan melakban mulut yang bersangkutan, namun marilah bersabar agar panjang rezeki dunia akhirat. Lepas dari apa pun, komentar-komentar ini menunjukkan bahwa pilihan menjadi freelancer semakin diminati, atau setidaknya mulai banyak dilirik. Kemudahan yang ditawarkan memang cukup menggoda: bekerja dari rumah (atau di mana pun yang kamu suka), tidak harus ngantor (kecuali proyek yang dikerjakan memang mengharuskan datang ke kantor, ini pun biasanya tidak setiap hari), kebebasan memilih job (kalau lagi banyak duit. Kalau lagi bokek ya apa pun disamber toh? Yang freelance mana suaranyaaa~?), bebas dari politik kantor (meskipun tidak jauh dari persaingan antar sesama freelancer), dan banyak lagi.
Tapi, memangnya jadi freelancer seenak dan segampang itu? Yang bener? Masa iya? Gimana? Sudah siap? Hayuk atuh simak poin-poin di bawah ini, kira-kira ‘modal’ kamu sudah cukup atau belum? 😀
Biaya hidup dan cadangan biaya hidup
Sebelum resign dari kantor, hitung total pengeluaran kamu setiap bulan dan siapkan setidaknya bekal untuk hidup selama enam purnama di Jakarta. Usahakan agar cadangan biaya hidup ini tidak terpakai, kecuali untuk sesuatu yang betul-betul penting seperti memperpanjang sewa rumah. Cadangan biaya hidup enam bulan cukup untuk mereka yang single alias lajang, atau yang sering dibayarin makan pacar. Untuk yang sudah berkeluarga, siapkan cadangan biaya hidup untuk satu tahun. Ciyus.
Pos-pos keuangan untuk setiap pemasukan
Jangan simpan semua uang di satu rekening untuk menghindari pemborosan. Pisahkan kekayaanmu (amin!) dalam sejumlah pos. Saya punya pos untuk kebutuhan sehari-hari. ‘Gaji’ tiap bulan dimasukkan ke pos ini. Lalu ada pos Dana Darurat, juga pos Tabungan. Karena semakin senang jalan-jalan, belakangan saya menambahkan satu pos lagi: Dana Jalan! Begitu invoice cair, uang yang masuk segera saya bagi ke dalam pos-pos tersebut. Sekecil apa pun. Kadang rasanya males juga, sih, transferan cuma segini buat apa dipisah-pisah? Dipakai jajan bakso juga abis. Toh, saya melakukannya juga, demi melatih diri berdisiplin.
Mental baja agar tak terpental
Saya pernah ke ATM dan mendapati saldo tinggal 200ribu. Saya tahu rasanya kebingungan karena uang hanya cukup untuk makan sampai akhir bulan … dan hari itu sudah tanggal 25. Saya juga paham rasanya melihat saldo yang cuma sekian ratus ribu melonjak jadi puluhan juta dalam satu jam. Persiapan mental adalah salah satu kunci kesuksesan seorang freelancer, karena selain menghadapi deg-degan menunggu proyek baru, kamu juga harus sanggup menangani limpahan rezeki. Hah? Hubungannya? Coba bayangkan situasi ini: kamu sudah lama bermimpi jalan-jalan ke Eropa dan punya iPhone 6, sementara saldo di rekening hanya cukup untuk bayar kos dan makan sehari-hari. Nggak kelaparan aja bagus. Lalu langit terbuka, sekarung durian jatuh, dan kamu mendapat proyek raksasa senilai limapuluh juta rupiah. Apa hal pertama yang kamu lakukan setelah menerima pembayaran? Ayo, jawab yang jujur. Kalau jawabannya ‘beli iPhone 6 dan tiket PP ke Eropa’, kamu belum siap jadi freelancer.
Seadanya saja, atau bagaimana saja ada?
Setelah mengkalkulasi biaya hidup, yang perlu kamu lakukan berikutnya adalah menentukan: ingin jadi freelancer yang seperti apa? Yang hidupnya sepenuhnya bergantung pada keberadaan proyek (seadanya saja), atau sanggup berdisiplin untuk menggaji diri sendiri tiap bulan (ada job atau tidak, hidup tetap terjamin selama kurun waktu tertentu)? Saya memilih yang kedua. Maksudnya menggaji diri? Kan, pembayaran yang masuk sepenuhnya hak kita? Terus, apa gunanya dong jadi freelancer kalau tiap bulan masih nungguin gaji? Eits, sabaaar. Gaji yang dimaksud adalah besaran uang sesuai estimasi biaya hidup yang saya transfer secara rutin ke pos Sehari-hari untuk digunakan selama satu bulan penuh. Bayar internet, beli pulsa, ngopi-ngopi cantik, belanja bulanan, saya ambil dari pos ini. Walaupun uang yang masuk setiap bulan lebih dari yang saya butuhkan, sebisa mungkin saya berusaha agar pengeluaran tidak melampaui jumlah yang sudah ditransfer ke pos Sehari-hari. Lalu, kelebihan uangnya dikemanakan? Diinvestasikan, ditabung untuk membeli sesuatu yang sudah saya incar, untuk jalan-jalan, atau disimpan untuk biaya hidup bulan-bulan berikutnya. Kedengarannya ribet? Nggak sama sekali, tuh. Berkat terbiasa berdisiplin dan menggaji diri sendiri, simpanan saya saat ini sudah cukup untuk hidup sampai satu tahun ke depan—dengan catatan saya bisa menjaga pengeluaran tetap di angka yang sama. Asik, kan?
Bidik sasaran dengan cermat
Ini tips freelancer apa sekolah nembak? Anyway. Sebelum resmi menjadi pekerja (yang mudah-mudahan nggak) serabutan tanpa penghasilan tetap, usahakan kamu sudah mengenali para ‘target’ alias mereka yang kira-kira berpotensi menjadi calon klien. Minimal, teman-teman yang tidak mudah ngambek ditanyai, “Ada kerjaan buat gue nggak, Sis?” atau diceletuki, “Kalau ada job boleh oper-oper lah, Bro!” seminggusekali.
Your attitude determines your altitude
Lagi bete? Moody? #ZBL #KZL #GMZ? Klien nggak perlu tahu. Ini cukup jelas, ya. Karyawan yang angot-angotan aja bisa dengan mudah diganti, apalagi freelancer yang tidak punya ikatan apa-apa dengan perusahaan/klien. Kalau proyek yang sedang berlangsung mengharuskan kamu datang ke kantor setiap pagi selama 3 bulan dan kamu bukan morning person, tinggalkan muka bantal di rumah. Kalau klien terlambat mencairkan invoice—yang mana akan sering terjadi, percayalah—nggak perlu nyindir-nyindir di medsos. Tahan juga keinginan untuk menjelek-jelekkan mantan klien ke klien lain, apalagi kalau keduanya berada di industri yang sama. Kalau sampai tersebar dan nama kamu kesebut, selamat tinggal reputasi baik!
Rajin pangkal kaya
Untuk langgeng sebagai freelancer dengan rate yang terus bertambah (nggak mau dong, 10 tahun rate nggak naik-naik?), kamu harus memiliki keunggulan yang tidak dipunyai orang lain. This also goes without saying. Caranya? Belajar. Ambil kursus. Ikut workshop. Rajin memanfaatkan informasi yang tersebar di ranah maya. Jangan segan bertanya. Jangan sungkan meminta opini dan masukan senior. Gunakan segala cara untuk memperkaya diri. Oke? Sip!
Tebarkan jaring di mana-mana
Dunia adalah ‘kantor’ saya. Secara literal maupun harafiah. Tempat bertemu calon-calon klien baru. Tempat mendiskusikan segala macam hal, mulai dari sekadar bertukar pikiran sampai membahas ide-ide penting. Tempat menimba ilmu, mendulang pengalaman, sekaligus wahana bermain dan relaksasi. Ke mana pun saya pergi, saya terus belajar. Di mana pun saya meletakkan ransel, di situ saya bertumbuh. Tebarkan jaringmu sejauh mungkin. Kumpulkan teman sebanyak-banyaknya. Berkenalan dengan orang-orang di sekitar maupun mereka yang berbeda benua, bahasa dan budaya. Perkaya diri dengan kemampuan, ilmu dan relasi-relasi baru. Percaya, nggak, saya pernah dapat job dari mantan pacarnya mantan gebetan? Yuk, mariii.
Kesehatan lebih berharga dari berlian
Sederhana saja: sakit = tidak bisa bekerja = tidak ada pemasukan. Karenanya, jadikan kesehatan prioritas tertinggi yang tidak boleh dikompromikan dengan alasan apa pun. Sebagian besar freelancer memilih asuransi untuk menjaminkan kesehatan mereka, bahkan ada yang mewajibkan kepemilikan asuransi. Kalau nggak punya asuransi, ya pastikan kamu nggak sering sakit. Kalau punya riwayat penyakit tertentu, pastikan kamu mengimbanginya dengan gaya hidup sehat. Saya memilih pengobatan secara natural dan menjaga kesehatan sealami mungkin, dan saya rajin berkonsultasi dengan ahli ilmu gizi, pakar homeopati sampai akupunturis.
Last but not least: punya kompor dan magic jar!
Selamatkan dompet dan kesehatan dengan masakan rumahan karya sendiri. Saat ini, saya punya magic jar kecil dan kompor satu tungku yang sudah lebih dari cukup untuk kegiatan masak-memasak sederhana, berhubung saya nggak hobi ke dapur. Itu pun sudah sangat membantu untuk berhemat setiap bulan. Daripada untuk makan di luar setiap hari, kan mendingan uangnya buat beli tiket dan ransel baru. Bener, nggak? Bener dong!
😀
Terima kasih kepada Papih Glenn—senior, guru, ‘saudara sepadepokan’—yang saya hormati dan tulisannya menginspirasi artikel ini.
Masih penasaran? Yuk, simak wawancara dengan para freelancer di sini!
*) dari freelancer junior. 😉