Lelah

Hai, kamu yang di sana.

Iya, ini untuk kamu.

Maaf karena harus seperti ini. Saya sudah kehabisan energi dan upaya untuk mengomunikasikan ini denganmu. Jadi, jangan salahkan kalau saya menggunakan cara ini demi ‘berbicara’ kepadamu. Saya tak peduli, bahkan jika kamu tak pernah membaca tulisan ini – yang penting saya sudah menyampaikannya, meski ini jalan terakhir yang ingin saya tempuh.

Kenapa saya memilih cara ini? Karena saya masih ingin hidup waras. Saya belum ingin kehilangan akal sehat, alias jadi gila.

Maafkan saya.

Saya lelah. Hidup dalam pengharapanmu, hidup dalam mimpi-mimpimu. Setelah sekian lama, baru saya sadar, saya memiliki impian saya sendiri. Yang ingin saya kejar. Yang ingin saya raih. Saya sudah terlampau penat hidup dalam ekspektasi dan impian orang lain, meski orang itu kamu – yang sangat saya sayangi, dan pernah sangat saya puja.

Sama seperti kamu, saya juga memiliki impian yang ingin saya capai. Saya ingin menjalani kehidupan yang penuh gelora, dan saya rela terbakar di dalamnya. Saya tak lagi peduli apakah saya akan aman di luar sana, apakah saya akan bahagia, apakah saya akan berhasil, atau jatuh terpuruk – seperti argumenmu selama ini. Saya hanya ingin hidup, dan saya akan menjalani keputusan ini lengkap dengan segala resiko dan konsekuensinya.

Mimpi-mimpi ini harus tumbuh. Terlalu lama saya menyimpannya sendiri. Terlalu lama saya membiarkannya tertimbun, terabaikan. Mimpi-mimpi ini layak dibiarkan bertunas, secara alamiah, sebagaimana mestinya. Dan sebagaimana kehidupan terus bergulir, hati ini harus terus mengalir, karena ia cair. Ia tak dapat dibekap dalam sebuah wadah sempit. Kecuali kamu ingin saya mati perlahan-lahan di dalamnya. Dan percayalah, saya masih ingin hidup.

Saya tak meminta banyak. Tolong biarkan saya ‘hidup’. Hanya itu.

Hidup seutuhnya. Terbang bebas bagaikan burung, meski saya tak punya sayap. Saya percaya, saya mampu melayang tinggi tanpa sayap.

Tolong biarkan saya menjadi diri sendiri. Jika menerima saya apa adanya terlalu sukar bagimu, maka saya tak meminta untuk diterima. Lepaskan saya. Biarkan saya terbang. Karena saya bukan milikmu. Saya bukan milik siapapun.

Jangan cegah saya dengan cara apapun, dengan dalil apapun, dengan alasan apapun. Biarkan saya menemukan keutuhan diri saya yang sejati. Biarkan saya bersua dengan separuh jiwa saya yang telah lama terkungkung.

Tolong biarkan saya hidup.

Itu saja.

Salam penuh cinta,

– JJ –

Hening

Ketika jiwamu bak gelombang yang terpecah dan terhempas

Sampai riak beningnya hilang menyisakan keruh yang bergolak

Kembalilah pada hening

Di sana akan kautemukan pancuran jernih yang bukan fatamorgana

Ketika akalmu tertindas kalut

Sampai tak ada ruang untuk logika dan rasio

Kembalilah pada hening

Akan kautemukan jawaban dalam sunyi yang merebak

Ketika hatimu pilu sampai sesak dadamu

Tercekik kerongkonganmu dan tersekat lidahmu

Kembalilah pada hening

Dimana jiwamu sanggup bersuara tanpa batas

Ketika gundah jiwamu

Sampai menangis tak mampu tertawa tak sanggup

Dan senyum enggan mampir bahkan sekadar mengisi celah di antara detik

Kembalilah pada hening

Dan akan kau temukan sejumput damai dalam sunyi tak bertepi

Ketika matamu menjadi nanar dan wajahmu putih

Bukan karena disergap penyakit

Melainkan tercekam galau dan terhimpit nyeri

Kembalilah pada hening

Dan akan kau temukan kesembuhan yang menghapus segala luka

Ketika gelisah kalbumu dan tak kunjung habis pencarianmu

Sampai akalmu lelah bertanya dan jiwamu meranggas

Tersuruk dalam penat tanpa ujung

Melampaui batas daya hingga dirimu tak lebih dari sekeping kaca rapuh

Temukan jawabanmu dalam hening

Jangan takut sendirian dalam hening

Karena justru di sanalah kau akan bertemu separuh jiwamu

Yang telah lama menanti untuk muncul dan menyatu

Sehingga engkau menjadi utuh, sebagaimana adanya

Dan akhirnya engkau akan sanggup

Sepenuh hati berkata kepada Hidup dan Cinta: “Selamat Datang.”

Momen Ajaib di Kelas Hening

Pukul 20:15. Sebuah cafè di bilangan Jakarta Selatan. Jarum detik yang terus bergulir.

Lampu dipadamkan. Setiap peserta berdiri berhadapan, dengan pasangan masing-masing yang tak saling mengenal satu sama lain. Termasuk saya, yang baru mengetahui nama pasangan saya semenit yang lalu. Asing dan canggung terhadap satu sama lain.

Ketika kami diminta saling menatap, yang saya lakukan hanya tersenyum rikuh. Aneh rasanya berhadap-hadapan dengan seseorang yang tidak dikenal, dan saya samasekali tidak tahu apa yang saya harapkan dari momen-momen semacam ini, apalagi membayangkan apa yang akan terjadi. Amatiran kelas berat.

Separuh benak saya mengembara ke tanggung jawab (baca: konsekuensi) yang menanti saya setelah ‘kegilaan’ malam ini usai. Kegilaan yang menggerakkan kaki saya untuk pergi menjemput sesuatu yang bahkan tak saya ketahui dengan pasti. Satu hal yang saya harapkan, seperti yang sudah-sudah, mudah-mudahan kegilaan ini akan membawa manfaat – setidaknya untuk saya pribadi.

Lalu, datanglah momen itu. Sambil terus berhadapan, saya dan pasangan saya melakukan gerakan yang diinstruksikan oleh pengajar. Menarik nafas, menghembuskannya dengan bersuara, membagi gelombang energi kepada satu sama lain. Tanpa ekspektasi apa pun, tanpa berkata-kata sedikit pun, hanya sekadar merasakan, mengamati, membagi dan menerima.

Hanya dalam hitungan detik, saya merasakan kenyamanan dan kelegaan yang sulit dideskripsikan. Tiba-tiba, saya merasa begitu menyatu dengan jagat raya dan seluruh isinya. Seakan-akan alam semesta dan jiwa saya sedang beresonansi dengan sebuah cara yang sangat indah sekaligus tak tertampung akal (tulisan ini hanya sebentuk upaya saya untuk menjabarkan apa yang saya rasakan, yang tentunya masih jauh dari mencukupi).

Saya membuka mata, dan terperanjat melihat sosok di depan saya. Matanya terpejam, namun wajahnya seakan bersinar dengan sebentuk damai yang susah diterangkan dengan bahasa verbal.

Saya terpukau. Barangkali, dari sekian pengalaman yang saya temukan selama beberapa kali mengikuti ‘kelas hening’ ini, inilah pengalaman yang paling meninggalkan bekas, karena saya tak hanya mengalaminya seorang diri – saya membaginya dengan orang lain. Memberi dan menerima dalam setiap helaan dan hembusan nafas.

Selama proses menghayati, mengamati, memberi dan menerima itu berlangsung, tak henti-hentinya saya terpukau. Kata-kata tak lagi cukup untuk menggambarkan apa yang saya rasakan ketika jiwa saya mereguk ‘pencerahan’ itu dengan rakus. Seperti musafir yang tersesat di Sahara, hampir mati kehausan, lalu menemukan mata air yang bukan fatamorgana.

Instruktur memberi isyarat untuk berhenti. Lampu dinyalakan. Saya dan pasangan saya kembali bertatap-tatapan, lalu pecahlah gelak tawa kami. Menit-menit berikutnya kami habiskan dengan bertukar cerita, apa saja yang kami alami dalam momen hening tadi, ketika kami saling membagi dan menerima, mengungkap apa yang kami rasakan tentang satu sama lain.

Sepasang manik di wajah pasangan saya berbinar-binar, dan kedamaian itu terus menghangatkan hati saya dengan cara yang tak saya pahami. Baru kali inilah saya membuka hati sejujurnya, setulusnya, dengan seseorang yang baru saya kenal… dan menemukan cinta di sana. Bahkan menuliskan pengalaman ini menjadi sesuatu yang menantang, karena tak pernah sebelumnya saya mencoba menjabarkan peristiwa seotentik ini melalui kalimat-kalimat baku.

Kendati amat sulit diceritakan dengan bahasa tekstual, rasanya tak berlebihan jika saya berkata momen sederhana itu telah menjelma menjadi sebuah pengalaman yang amat menakjubkan untuk saya. Ketika saya menatap seseorang yang tidak saya kenal dan menemukan kesempurnaan di sana. Ketika tangan-tangan kami saling terulur tanpa bersentuhan –memberi dan menerima apa adanya, tanpa secuil pun ekspektasi—dan saya menemukan separuh jiwa saya dalam diri si empunya tangan. Ketika saya membuka mata dan menemukan kedamaian yang tak mungkin dijabarkan dengan kosakata tingkat tinggi. Ketika saya memandang sosok di depan saya yang namanya baru saya ketahui beberapa menit lalu, dan secara ajaib mendapati refleksi diri saya di sana.

It was such a profound and magical moment.

Barangkali kalimat itulah yang paling pas untuk menggambarkan pengalaman sekian menit saya. Dan kalimat yang sama terus bergaung ketika saya membungkukkan tubuh dengan tangan terdekap di depan dada, menghaturkan terima kasih kepada sosok di depan saya. Jiwa saya menaikkan syukur atas sebentuk nikmat tak terduga yang saya temukan dalam keheningan.

Ketika masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan kami ke lantai dasar, saya masih termangu dan tercengang-cengang seperti anak kecil yang baru dibangunkan dari tidur panjang.

Dalam perjalanan pulang bersama dua sahabat saya, di tengah percakapan dan tawa yang saling terlontar, separuh pikiran saya terus mengembara, tak mau diam. Mempertanyakan sesuatu yang sebelumnya tak pernah terlintas di benak ini: mungkinkah konflik, prasangka, amarah, kebencian dan segala friksi yang kita alami sebagai individu yang saling terkait satu sama lain dalam hubungan personal (entah pasangan, sahabat, anak, orangtua, dan sebagainya) dapat diminimalkan, seandainya kita bersedia meluangkan waktu dan melapangkan hati untuk duduk berhadapan, berdua, saling menatap, tanpa ekspektasi dan pencitraan apapun, demi melihat sosok yang berada di hadapan kita apa adanya? Menemukan kesempurnaan dan pantulan diri kita di sana tanpa perlu menjatuhkan penilaian apa pun? Menyingkirkan lapis demi lapis citra demi menyibak kesejatian di hadapan kita?

Mendadak, saya teringat pada kawan-kawan, para sahabat, keluarga dan orang-orang yang saya cintai. Mereka yang dengannya saya membagi hidup. Mereka yang pernah (dan sedang) bersilangan jalan dengan saya. Mereka yang telah mengisi relung-relung hati saya. Mereka yang senantiasa menjadi penerang jiwa kala hidup ini memasuki fase kelamnya. Mereka yang telah menjadi guru sekaligus teman dalam sekolah raksasa bernama Kehidupan ini.

Bila biasanya saya mengenang hal-hal baik dan lebih suka memelihara memori indah, kali ini saya membiarkan ingatan saya tergali lebih dalam; kepada friksi yang pernah timbul (dan tidak terselesaikan, karena seringkali kami memilih untuk mengesampingkan friksi lantaran merasa tak nyaman mengungkapnya terang-terangan), konflik terpendam yang belum tuntas, kesalahpahaman yang disebabkan oleh harapan yang tak terpenuhi, kekecewaan karena pencitraan yang tak sesuai dengan realitas, penghakiman yang kadang terasa begitu absurd, ego yang saling beradu, dan banyak lagi.

Malam ini, sepenuh hati saya berdoa. Semoga kesempatan itu bisa datang lagi – bagi saya dan mereka yang pernah (dan sedang) bersilangan jalan dengan saya di setapak panjang ini.

Semoga akan tiba momen dimana saya dapat duduk bersama orang-orang yang saya cintai, berhadap-hadapan berdua, menatap ke dalam mata mereka, dan menemukan separuh jiwa saya di sana. Mendapati kesempurnaan tanpa perlu berusaha jadi sempurna. Merayakan kehidupan seutuhnya dengan orang-orang yang telah mengisi hidup saya. Mereguk keindahan ketika hati kami bersua tanpa perlu bersentuhan. Menghayati kedamaian yang menyeruak ketika hati ini mampu menerima setiap orang apa adanya, dengan sepenuh cinta, tanpa pretensi, tanpa ekspektasi, tanpa sebentuk citra.

Ya, apa adanya.

*Ngemeng-ngemeng, kalimat pembuka entri ini kok mirip novel-novel keluaran ‘penerbit pabrik’ itu ya? Hihihi.

Tentang Mengurusi Orang Lain

“Kamu harus ngomong sama mereka, Jen. Supaya mereka berubah. Udah lama saya coba bicara, tapi mereka masih tetap sama. Sekarang giliran kamu.”

Itu yang diucapkan seorang kawan kepada saya belum lama ini, ketika kami terlibat percakapan santai sambil melahap pastel, ditemani sebotol air mineral.

‘Mereka’ yang dimaksud oleh kawan saya adalah dua oknum *halah* berinisial M dan T, teman kami berdua.

Saya bengong, sesaat tidak tahu harus berkata apa. Sejujurnya, reaksi pertama saya adalah geli, karena topik itu tidak cocok untuk dibahas dalam obrolan ringan, apalagi diucapkan dengan nada sangat serius. Saya menutupi tawa sebisanya demi tidak menyinggung si lawan bicara.

Mengubah orang? Saya?

Yaelaaah bok, salah orang kaleee.

M dan T yang disebutkan lawan bicara saya adalah salah dua dari teman-teman terbaik saya, yang selalu membuat saya merasa nyaman dan bisa menjadi diri sendiri setiap kali berkumpul dengan mereka – entah sekadar ngobrol kesana-kemari, berbincang serius, atau bercanda gila-gilaan sambil ketawa ngakak yang membuat kami merasa jadi kuntilanak dadakan.

Dengan kata lain… saya setali tiga uang dengan mereka. ;-D

“Mereka perlu berubah, Jen. Hidupnya masih kayak gitu itu…” sambung lawan bicara saya, sementara saya pura-pura mendengarkan sambil terus mengunyah pastel.

Mau ngubah apaan, Neng? Situ siape? Ingin sekali saya mencetuskan itu, yang lagi-lagi saya tahan demi terjaganya perdamaian dunia.

Saya hanya tersenyum. Dan terus menjaga senyuman itu selama beberapa saat, sampai lawan bicara saya beranjak pergi.

Pesan nyentrik itu saya terima lebih dari dua kali, oleh orang yang sama. Dan setiap saat pula saya tergoda untuk nyeletuk, “Bo, elo salah orang banget kalo nyuruh gue khotbah supaya mereka bisa berubah. Lha gue sama aja kayak mereka.”

;-D

Tapi, kejadian itu lantas membuat saya berpikir.

Memangnya penting, ya, mengubah orang lain untuk menjadi seperti yang kita mau kita anggap baik? Penting, mengubah orang untuk hidup berdasarkan konsep ideal kita?

Bukannya kebenaran itu relatif ya, dan apa yang cocok buat seseorang, belum tentu cocok untuk yang lain? Dan apa kabarnya kepribadian serta karakter manusia yang beragam dan ‘sudah dari sononya’ (lepas dari usaha orang yang bersangkutan untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu)?

Lalu, saya mencoba mengingat-ingat, apa saja yang pernah dilakukan M dan T selama kami berteman -kelakuan, tindak-tanduk, sikap, dan sebagainya- yang sampai membuat kawan saya begitu ‘bernafsu’ mengubah mereka?

Menurut pengamatan saya, tidak ada yang salah dengan mereka berdua. Mereka adalah perempuan-perempuan masa kini yang tengah sibuk meniti karir dan menjalani kehidupan lengkap dengan berbagai rutinitas dan segala warnanya, sama seperti saya dan kebanyakan dari kita. Perempuan baik-baik dan normal seratus persen, samasekali tidak ada yang salah.

Lalu, kenapa kawan saya sangat ‘ngotot’ ingin mengubah mereka?

Ternyata penyebabnya sederhana saja: menurut kawan saya yang bijaksana-arif-baik-budi-lagi-rajin-menabung, M dan T kurang santun dalam berbicara, sering melontarkan kalimat-kalimat bernada nyelekit, bercanda melampaui batas, dan memiliki ‘ketidakberesan’ dalam beberapa aspek hidup.

Mendadak, saya merasa geli. Dan lebih geli lagi ketika kami berempat (saya, kawan saya, M, dan T) benar-benar ngumpul bareng, ngobrol kesana-kemari sambil bersenda gurau.

Kenapa geli? Karena di sepanjang percakapan (yang seharusnya santai dan menyenangkan) itu, kawan saya tidak henti-hentinya berusaha mengoreksi kalimat-kalimat yang dilontarkan dengan ringan oleh M dan T, juga saya sendiri. Candaan yang sebetulnya sangat lumrah dan biasa; seperti mengomentari kebiasaan satu sama lain, tertawa-tawa sambil bertukar cerita tentang kejadian-kejadian konyol di kantor, tayangan infotainmen, sampai berita kriminal yang nggak jelas juntrungannya, dan banyak lagi.

“T mulutnya yaaa, bercandanya gitu.” (Ketika T menceritakan kelakuan kocak teman sekantornya)

“Haduh haduh, M, ngomong apa ituuu?” (Ketika M curhat tentang aktivitas di tempat kerjanya, entah apa saya lupa)

“Jenny ya, menyesatkan orang.” (Ini ketika saya sedang bercanda sambil cekikikan, topiknya lupa, tapi berani sumpah nggak ada kaitannya dengan usaha menyesatkan keyakinan atau menanamkan racun di pikiran orang).

Sepeninggalnya, saya, M dan T saling bertukar pandang, lalu geleng-geleng kepala dan tertawa kecut. Sebal, jengkel sekaligus geli.

Tidak sulit ditebak, percakapan langsung berbelok ke betapa antik, nyentrik dan ‘aneh’nya kelakuan kawan kami yang satu itu.

Atas nama kejujuran, saya mengaku bahwa saya samasekali tidak membela kawan saya. Saya bahkan ikut tersenyum ketika muncul berbagai celaan atas sikapnya yang dipandang berlebihan dan ‘tidak pada tempatnya’. Bukan karena saya tersinggung oleh teguran di atas, namun karena saya merasa kekesalan kami cukup beralasan: sikap merasa diri paling benar dan menganggap orang lain salah (serta harus berubah) itu memang menyebalkan.

Koreksi. SANGAT menyebalkan.

Deuuuh, hari giniiii… *gaabispikir*

Anyway, peristiwa kecil itu jadi mengingatkan saya pada sebuah kasus yang saya temui di blog pribadi seorang artis yang baru-baru ini mengklarifikasi berita perceraiannya. Bukan, bukan masalah perceraiannya yang menarik perhatian saya, melainkan komentar dari para pembaca blog tersebut yang jumlahnya ratusan.

Ada yang mendukung, ada yang netral-netral saja, ada yang tidak setuju, menyebutnya arogan dan egois, mempertanyakan hubungannya dengan Tuhan, membantah alasan yang dikemukakan si selebriti dengan dalil A-B-C, menentang perspektifnya, dan cukup banyak yang ‘berkhotbah’ kesana-kemari tentang Cinta, Tuhan, Hubungan dan Perpisahan dengan tulisan yang puanjang dan bisa jadi satu entri sendiri.

Lucunya, artis yang bersangkutan tampaknya tidak terlalu ambil pusing dengan pendapat orang maupun pemberitaan media yang menggembar-gemborkan perceraiannya secara hiperbola (menurut saya sih berlebihan, nggak tahu ya untuk orang lain). Yang menjadikan kasus ini menarik untuk disimak (lagi-lagi untuk saya pribadi) justru para pengunjung blog yang sibuk berkomentar ini-itu, berpanjang-panjang memprotes keputusan dari seseorang yang belum tentu mereka kenal, di blog pribadi yang samasekali bukan milik mereka.

Membaca komentar-komentar tersebut menjadi sebuah ‘hiburan’ tersendiri untuk saya. Dagelan yang membuahkan senyum kecut, karena ternyata hare gene masih banyak orang yang ‘nekat’ memaksakan persepsi, pendapat dan keyakinan kepada orang lain, bahkan yang tidak dikenal secara pribadi.

Meski komentar-komentar yang masuk dimoderasi, si empunya blog tampaknya cukup berbesar hati mempublikasikan semua pendapat dan ‘khotbah’ yang terang-terangan menyudutkan dirinya, dan sejujurnya, saya malah salut akan hal itu.

Kalau saya jadi dia, mungkin saya akan menutup comment box selamanya. Toh blog itu adalah milik saya pribadi, wadah personal yang bebas diisi apa saja sesuka saya, dengan apa yang saya anggap penting dan layak muat (syukur kalau orang lain kecipratan manfaat, kalau tidak ya sudah). Toh, saya yang bercerai. Saya yang paling tahu kondisi rumah tangga saya, saya yang paling mengerti masalah di dalamnya, saya yang berjuang mati-matian mempertahankan pernikahan dan akhirnya harus menyerah – tentunya karena alasan yang sangat signifikan… dan para komentator bijaksana ini samasekali tidak mengenal saya secara pribadi untuk bisa mengetahui dengan objektif duduk perkara sebenarnya. Who are you to judge?

Itu kalau saya jadi dia. *wink*

Lalu, ada lagi kasus yang lumayan bikin ‘bengong’, yakni ketika sahabat saya memutuskan untuk keluar dari sebuah komunitas beberapa tahun silam karena ia diterima bekerja di luar pulau. Ketika ia mengambil keputusan itu (yang notabene murni karena pekerjaan, bukan karena konflik atau apapun yang negatif), semua orang beramai-ramai menghakimi dan menjauhinya. Bahkan ada yang tega berkata, “Bakal jadi apa kamu kalau keluar dari sini?”

Hal ini sempat membuat sahabat saya stres, tapi (untungnya) ia sadar bahwa hidup harus terus berlanjut dan ia tetap konsisten di jalur yang dipilihnya. Sekitar 3 tahun kemudian, ketika ia berhasil ‘membuktikan diri’ dengan meraih jabatan manajer di kantornya, barulah orang-orang di komunitas lamanya ‘mengakui’ pencapaian sahabat saya dengan kalimat, “Yah… mungkin memang jatahnya dia di situ, mungkin memang tempatnya.”

HALAH.

Bo, kenapa nggak dari dulu ngomong gituuuu? Kenapa tidak sejak awal kalimat itu diucapkan, sehingga tidak perlu membuat sahabat saya ‘berdarahdarah’ dan stres berat? Begitu sulitkah mempercayai seseorang untuk mengambil sebuah keputusan pribadi (yang by the way, tidak merugikan orang lain samasekali) dan sekadar mendukungnya tanpa menjatuhkan penghakiman?

Atau contoh kasus lain, dimana seorang teman (sebut saja namanya E) dikucilkan oleh lingkungannya karena memilih untuk menikah dengan seseorang yang tidak disukai oleh orang-orang di lingkungan tersebut. Selama mereka berpacaran, berkali-kali saya melihat E stres karena berbagai perlakuan yang memojokkannya, sampai berat badannya menyusut dan wajah gantengnya *ehem* jadi tampak lebih tua. Pada hari pernikahan E, tidak ada satu pun sahabat dari komunitasnya yang hadir.

Drama.

Hidup ini memang panggung drama. Penulis favorit sekaligus guru saya pernah berkata, “Dalam perjalanan ini, kita punya peran-peran untuk dimainkan. Di sinilah pentingnya kesadaran, keelingan. Lakon apa pun yang kita pilih, lakukan dengan sepenuh-penuhnya hati. Jalankan dengan kesadaran sebisa-bisanya.”

Di pentas raksasa ini, setiap orang berusaha memainkan lakon masing-masing dengan sebaik mungkin. Dan itu bukan hal yang gampang. Lalu, jika memainkan peran sendiri pun tidak mudah, mengapa harus berpusing-pusing mengurusi peran orang lain? Mengapa harus ribet dengan dialog, pembawaan dan lakon orang lain, sementara mengurus lakon sendiri saja belum tentu becus?

Atau, barangkali, kita melakukannya demi secercah kepastian yang seakan-akan mengonfirmasi ‘keabsahan’ dari apa yang kita pegang dan yakini selama ini? Jangan-jangan kita sibuk menilai, berkomentar, mengkritik, dan berkhotbah mengatasnamakan kebaikan orang yang bersangkutan, namun sesungguhnya apa yang kita perbuat tak lebih dari upaya meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang kita genggam masih layak dipertahankan dan dijaga erat – bahwa kita masih benar? Dan untuk apa semua itu? Supaya kita bisa merasa lebih nyaman untuk menghadapi realitas? Agar kita mampu lebih tabah menjalani lakon kita sendiri?

Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan kebenaran sejati? Dan siapakah yang sedang berbicara di balik setiap komentar dan penilaian yang kita jatuhkan pada lakon yang diperankan orang lain di pentas ini? Kejujuran murni dari hati yang senantiasa terbuka lebar, atau ego yang berlomba memenangkan diri?

Saya bukan pengkhotbah dan tak ingin menjadi guru bagi siapapun, namun sebagai seorang teman, izinkan saya mengajak kita semua meluangkan waktu untuk sesaat merenung. Sejenak, dalam keheningan, mari menengok ke dalam diri sendiri untuk bercermin pada sosok paling jujur yang kita temui di sana, dan cobalah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas serealistis mungkin.

Bila kita tak dapat menjawabnya dengan sempurna, mungkin ini saatnya memalingkan perhatian dari hal-hal yang bukan urusan kita dan mulai mengurusi diri masing-masing. Memainkan lakon kita sebaik-baiknya, dengan kesadaran dan sepenuh hati, sambil terus membuka mata batin. Mencari kebenaran sejati yang otentik dan tidak menjejalkan kebenaran personal yang kita miliki ke dalam wadah yang samasekali bukan milik kita.

Ya, ini juga berlaku untuk saya. 🙂

*Terinspirasi dari entri ini dan percakapan jelang tengah malam dengan ibu yang sama, difasilitasi oleh promo-telepon-gratis dari sebuah provider seluler yang mati tiap 3 menit sekali. ;-D

Janggal

Ada sesuatu yang janggal saat aku melihatmu malam ini. Bukan sesuatu yang tak menyenangkan, hanya sedikit janggal yang memercikkan berbagai rasa di hatiku.

Janggal itu singgah ketika aku melihat ke dalam matamu dan menemukan nyaman di sana, padahal kita baru dua kali bertemu. Dan pertemuan pertama kita, dimana aku menjumpaimu dengan wajah kusut, bau matahari dan rambut berminyak adalah sesuatu yang tak bisa kubanggakan.

Janggal itu muncul ketika aku mendengarmu bicara dan menemukan kehangatan yang telah lama kucari. Hangat yang kurindukan walau aku tak pernah kehilangan selimut rajut merah muda yang selalu menemaniku tiap malam. Mungkin bukan tubuhku yang mendamba hangat itu. Mungkin jiwaku.

Janggal itu terasa ketika mendengarmu tertawa dan menyimak perkataanmu, seolah aku bisa ikut menyelami setiap kata yang kau ucapkan dan menghayati setiap gelak yang meluncur dari mulutmu. Barangkali di situlah aku menyadari, telah lama aku membutuhkannya.

Janggal itu hadir ketika aku mendapati diriku bisa ikut tergelak bersamamu. Melontarkan apa yang tak mampu terverbalkan kepada orang lain, terbahak geli tanpa beban, mencabut sumbat-sumbat hati yang telah lama menyumpal jiwa.

Malam ini, jiwaku bersuara lagi ketika mendengar kata-katamu.

Malam ini, jiwaku tersenyum menyibak tawamu yang bening.

Malam ini, jiwaku menyambut separuh diriku, ketika kita bersua sekaligus berjalan sendiri-sendiri dalam hening.

Malam ini, kutemukan lagi secercah nyaman dan hangat yang didamba hati dan ragaku, ketika kusadar aku tak perlu menjadi orang lain untuk bisa bersamamu.

Terima kasih.

*Hei, kalian. Iya, kalian berdua, thanks for being an inspiration. 😉