Mencari Bahagia

Di kaki gunung, tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, hidup seorang pemuda yang kerjanya menebang pohon untuk dijadikan kayu api dan dijual di pasar. Pekerjaan itu sudah ia lakukan selama belasan tahun, nyaris seumur hidupnya.


Ketika ia kecil, belum bisa melangkah apalagi bicara, setiap hari orangtuanya menjunjungnya dalam jarit dan membawanya ke pasar. Di sanalah, untuk pertama kalinya, bocah itu mengenal dunia. Dunia yang lebih luas dari sepetak pekarangan sempit yang ditumbuhi ketela dan rumah kayu yang sederhana.


Pasar adalah tempatnya bertumbuh. Setiap hari, setiap jam, bocah itu memperhatikan tingkah laku orang-orang yang lalu-lalang; bertransaksi, sekadar melihat-lihat, sampai berkelahi.


Pasar becek yang kadang menguarkan bau amis itu telah menjadi dunianya selama bertahun-tahun. Ketika orangtuanya meninggal, ia melanjutkan berjualan kayu di tempat yang sama, di pojok yang sama, selama bertahun-tahun.


Ia jauh lebih suka berada di pasar, karena pasar selalu dipenuhi orang-orang yang beraneka ragam, dengan berbagai perangai unik yang memancing rasa ingin tahunya.


Sering, sambil menunggui dagangannya, sang pemuda mengamati keadaan sekitar, berharap menemukan sesuatu yang lain dari biasanya — sesuatu yang menantang indera dan intuisinya.


Ia suka mengamati ibu-ibu bersanggul yang menenteng tas yang tampak mahal, diikuti babunya yang tergopoh-gopoh berusaha mengimbangi kecepatan jalan sang majikan. Mereka tampak kontras di antara pengunjung pasar yang rata-rata berpakaian seadanya dan bersandal lusuh. Sesekali, wanita itu berbicara kepada si babu dengan nada cepat sambil menunjuk sesuatu, dan babu itu akan segera memilih satu dari tumpukan barang yang ditunjuk –yang kualitasnya paling baik, paling besar, paling bagus- dan memasukkannya ke keranjang belanja. Sang Nyonya akan membayar tanpa menawar lebih dahulu.


Si pemuda mengamati semua itu tanpa bersuara. Mungkin memang tak ada gunanya nyonya besar itu menawar. Tas yang dijinjingnya tampak lebih mahal dari semua dagangan di pasar ini dijadikan satu.


Ketika si Nyonya dan babunya berlalu, pemuda itu berpikir,”Bagaimana rasanya memiliki banyak uang? Apa rasanya bisa membeli sesuatu tanpa menawar? Bagaimana rasanya punya babu yang bisa diperintah sesuka hati?”


Menjelang gelap, saat pedagang-pedagang lain membereskan jualan, pemuda itu bersembunyi di pojokan pasar — di tempat yang agak sepi dan jarang dilalui orang. Kayu-kayu dagangannya telah terikat rapi dan disembunyikan di tempat yang aman, siap diangkut kapanpun.


Ia tak perlu menunggu lama. Seorang pedagang kain yang berjalan kaki sambil bersiul-siul menghitung uang melintas di depannya. Dengan cepat ia menarik penutup wajah yang tersampir di kepala, menutupi seluruh mukanya kecuali hidung, dan merampas dompet kulit di genggaman si pedagang.


Pedagang yang kaget itu berteriak, namun si pemuda lebih cepat dari siapapun. Ia berlari berbelok-belok, memasuki gang-gang sempit secepat kilat, mengecoh para pengejar. Ia masuk ke dalam tempat sampah besar dari semen, mengayunkan penutupnya yang terbuat dari besi berkarat, dan bersembunyi di sana, mendengarkan suara para pengejarnya memudar di kejauhan, semakin mengecil ketika mereka memutuskan untuk berpencar ke arah yang berbeda-beda, dan akhirnya lenyap sama sekali.


Ketika hari telah benar-benar gelap, ia keluar, kembali ke pasar untuk mengambil kayu-kayunya, dan berjalan pulang. Sesampainya di pondok, ia melempar gelondongan kayu ke sudut. Ia tak akan membutuhkannya dalam waktu dekat. Uang yang diperolehnya cukup untuk bertahan hidup selama sebulan, jika ia berhemat. Seminggu, jika ia berleha-leha dan membelanjakannya sesuka hati.


Pemuda itu memilih yang kedua. Dengan saku penuh uang, ia berjalan ke rumah makan terdekat, memesan makanan termahal yang bisa diperolehnya dan melahap semuanya hingga kekenyangan. Lalu ia pergi ke rumah pedagang kain, membeli beberapa meter satin dan mengunjungi penjahit terkemuka di seberang jalan, memesan 3 potong pakaian dengan kualitas yang jauh lebih baik dari yang pernah dikenakannya seumur hidup. Belum cukup puas dengan semuanya, ia pergi ke sudut jalan yang lain, daerah kumuh tempat anak-anak gelandangan, dan memanggil seorang anak yang kelihatan agak bodoh.


“Jadilah pelayanku selama seminggu,” katanya. “Pijat kakiku, ambilkan air dari sungai untuk mandiku, cuci pakaian-pakaianku, siangi pekaranganku, masakkan nasi dan lauk untukku, dan tebanglah kayu bagiku,” ia memperlihatkan gulungan uang kepada si anak, yang segera menyambarnya tanpa bertanya sedikitpun.


Malam itu, untuk pertama kalinya, si pemuda menikmati kehidupan bak seorang raja. Ia menghambur-hamburka n air mandi (merasa tak perlu berhemat karena bukan ia yang susah-payah mengangkutnya dari sungai), makan sayuran segar yang dipetik dan dimasakkan si anak untuknya, serta tertidur sambil merasakan pijatan nyaman di kakinya.


Hari demi hari berlalu. Uang di sakunya mulai menipis. Si pemuda menyadari kehidupan mewahnya akan segera berakhir. Ia ingin merampas lagi, namun diurungkannya. Meskipun bisa mendatangkan uang dengan cepat dan mudah, setiap malam tidurnya diganggui ketakutan dan mimpi buruk. Ia selalu bangun dengan rasa bersalah, kepada dirinya sendiri dan kepada orangtuanya yang selalu mengajarnya untuk berlaku jujur.


“Aku tak akan melakukan hal itu lagi,” gumamnya pada hari ketujuh, ketika uang di sakunya tinggal selembar. Ia menyodorkan uang itu kepada si anak yang baru selesai mengikat kayu. “Ambillah, dan pergilah. Aku tak memerlukanmu lagi.” Setelah itu, ia memanggul gelondongan- gelondongan kayu dan berjalan ke pasar, mendirikan tenda jualannya, dan kembali pada aktivitas rutinnya: berdagang sambil memperhatikan orang-orang di sekitarnya.


Suatu hari, datanglah seorang tukang cukur ke pasar itu. Ia menyewa sebuah los kecil tidak jauh dari tempat berjualan si pemuda dan memasang papan bertuliskan: CUKUR RAPI, TUA-MUDA SEPULUH SEN.


Tertarik melihat harga yang diajukan, beberapa orang menghampiri los itu. Terdorong penasaran, si pemuda ikut mendekat. Ia tak mau memotong rambut, hanya ingin melihat seperti apa di dalam.


Si tukang cukur ternyata sangat piawai bicara. Sambil menggunting rambut, ia terus mengajak pelanggannya mengobrol, menceritakan kisah-kisah lucu dan bersenda gurau. Hasil pekerjaannya juga bagus. Setiap orang yang keluar dari los itu merasa puas dan berjanji pada diri sendiri akan kembali ke situ. Apabila tidak memotong rambut, mereka bercerita tentang si tukang cukur kepada orang-orang lain. Dalam sekejap, si tukang cukur kebanjiran pelanggan. Losnya tak pernah sepi pengunjung.


Si pemuda memperhatikan bagaimana laki-laki berperawakan kecil yang agak bungkuk itu selalu tertawa. Wajahnya tak pernah sepi dari senyum. Ia ramah, tak segan mengobrol dengan siapa saja (bahkan anak kecil sekalipun), dan tampak sangat menikmati pekerjaannya. Itulah yang memunculkan senyum di wajahnya, setiap hari, setiap menit.


Pemuda itu mulai berpikir, alangkah enaknya jadi tukang cukur. Uangnya mungkin tak seberapa karena ia tak memasang tarif mahal, namun ia tampak bahagia. Tukang cukur sederhana itu menularkan kegembiraan pada orang-orang dan ia disayangi pelanggan-pelanggan nya. Mencukur juga pekerjaan yang mengasyikkan. Bunyi kres-kres yang terdengar setiap kali gunting digerakkan menggelitik telinga, dan para pelanggan selalu tersenyum puas setiap habis dicukur.


Maka si pemuda meninggalkan pondoknya di kaki gunung, pindah ke kota, menguras pundi-pundinya dan menukarkan isinya yang tak seberapa dengan sewa los selama setahun, persis di seberang los si tukang cukur. Ia memasang papan: PANGKAS RAPI, TUA-MUDA DELAPAN SEN. Ia akan sangat merugi dengan ongkos semurah itu, namun ia tak keberatan apabila hasilnya sebanding dengan pengorbanannya, karena yang dicarinya kini bukan keuntungan, melainkan kebahagiaan. Ia menginginkan senyuman yang dimiliki si tukang cukur.


Tertarik dengan harga yang diajukan, pengunjung pasar berduyun-duyun menghampiri losnya. Mereka duduk dan menunggu gunting cukurnya bekerja, dan mereka menantikan cerita-cerita yang akan dibawakannya. Namun si pemuda tak pandai bercerita. Sehari-hari, ia hanya pedagang yang lebih banyak diam kecuali untuk bertransaksi, dan ia tak punya lelucon-lelucon memikat untuk dikisahkan. Ia juga bukan sosok berkepribadian menarik yang pintar bicara. Maka, ia mengerjakan tugasnya dalam diam. Selesai dipangkas, seorang laki-laki memandang cermin, berpaling ke arahnya dan berkata, “Kau tak bisa mencukur dengan baik, dan selera humormu payah.”


Si pemuda terdiam, hatinya mencelos. Seharian itu ia tak sanggup tersenyum. Pikirannya sering mengembara ke uang tabungan yang dikumpulkan selama bertahun-tahun dan terbuang sia-sia di los sempit itu. Di penghujung hari, tamu terakhirnya, seorang anak kecil dengan rambut ikal yang manis, menangis meraung-raung ketika melihat wajahnya.


Hari-hari berikutnya ternyata lebih buruk dari yang diduganya. Orang-orang kecewa dan menyebarkan berita buruk mengenai salon baru yang murah namun tidak memuaskan. Mereka kembali ke los tukang cukur lama, sekadar untuk bercakap-cakap dan mendengarkan cerita-ceritanya. Mereka tertawa, si tukang cukur tertawa, namun sebaris senyum pun tak tampak di wajah si pemuda.


Kebahagiaan yang dinantikannya tak kunjung tiba. Senyum yang ditunggu-tunggunya tak sudi mampir di wajahnya, walau hanya sesaat. Makin lama, losnya semakin sepi. Dari dalam ia bisa mendengar obrolan-obrolan riang di los seberang, dan hatinya kian merana. Ia patah arang.


Suatu siang, ketika ia sedang duduk menyesali nasib, seorang gadis mengetuk pintu los. Spontan, ia berdiri dan menepis debu di pakaiannya, memasang senyum terbaik yang bisa diusahakannya, dan bersiap-siap memotong rambut si gadis yang panjang sebahu.


Gadis itu duduk dan membuka pembicaraan. Sementara gunting bekerja, mereka terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Si gadis sangat suka berceloteh dan perkataannya segar menggembirakan. Ia juga memiliki selera humor yang baik. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, si pemuda tertawa lepas dan merasa bahagia.


Sepeninggal gadis itu, ia merasa jauh lebih baik. Senyum terus tersungging di bibirnya hingga malam tiba dan ia terlelap. Gadis itu telah membawakan senyuman yang dinanti-nantinya.


Dua hari kemudian, si gadis datang lagi, kali ini membawa seorang bocah laki-laki. Keponakannya. Sementara gunting bekerja, mereka kembali terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Tahulah si pemuda bahwa gadis itu baru pindah ke sana, dan ia memiliki dua keponakan yang lucu-lucu. Ia juga tahu bahwa si gadis sangat menyukai langit senja, pelangi dan aroma tanah menjelang hujan. Yang terpenting, kini ia tahu, gadis itu bisa memberikan apa yang dicarinya selama ini: kebahagiaan.


Mereka semakin sering bertemu. Terkadang si gadis mampir ke losnya hanya untuk bercakap-cakap. Bila los sedang sepi pengunjung, si pemuda akan menutupnya dan pergi ke rumah si gadis, untuk sekadar melewatkan senja dan mendengarkan jangkrik bernyanyi. Semakin lama, hati pemuda itu semakin dipenuhi perasaan aneh yang tak bisa dijelaskannya. Perasaan itu demikian kuat dan tak bisa digambarkan dengan kata apapun, kecuali cinta.


Ia jatuh cinta.


Malam-malamnya mulai diisi mimpi indah tentang seorang gadis yang membawakan senyuman baginya. Hari-hari sepinya mulai diisi dengan khayalan tentang gadis yang suara renyahnya menularkan gelak tawa. Lamunan-lamunannya mulai diisi dengan wajah manis yang senantiasa berbinar, yang mengajarinya bergurau dan bercerita.


Suatu hari, pada senja yang indah setelah hujan, ketika matahari mulai menghilang di ufuk, si pemuda mengutarakan isi hatinya kepada sang gadis. Ia jatuh cinta, dan berharap sang gadis bersedia menyambut cintanya.


Gadis itu menatapnya dengan mata bulat berbinar. “Kenapa?”


“Karena engkau bisa memberikan kebahagiaan untukku.” Si pemuda menjawab sambil mengulurkan setangkai mawar. “Dan aku ingin kebahagiaan itu kekal adanya, maka aku memintamu menjadi milikku selamanya.”


Tanpa disangka, binar gembira di wajah si gadis meredup. Sedikit.


Hanya itu? Karena aku bisa membuatmu bahagia?”


Pemuda itu mengangguk. Ia meraih tangan si gadis, mengecupnya lembut. “Karena engkau bisa membuatku bahagia. Engkau telah membawakan senyuman yang telah lama kucari.”


Si gadis menarik tangannya. Belum habis rasa terkejutnya, si pemuda menatap pujaannya dan menemukan kaca di mata gadis itu.


Ia terperanjat. Kenapa ia menangis? Apa salahnya?


“Kau tidak mencintaiku. Kau hanya mencintai dirimu sendiri.”


Sebelum si pemuda sempat memahami maksud perkataan itu, sang gadis telah beranjak pergi.


Pemuda itu pulang dengan bingung dan sengsara. Ia merasa jauh lebih merana dari yang sudah-sudah. Untuk sebuah alasan yang tidak dipahaminya, gadis pujaannya telah menolak cintanya. Kini ia hancur berkeping-keping. Rusak dan takkan dapat diperbaiki. Hidupnya sudah berakhir.


Ia duduk di depan losnya, termangu. Mawarnya sudah lama dibuang, dan ia sedang memikirkan cara terbaik untuk mengakhiri hidupnya. Ia sedang menimbang-nimbang, hendak menggantung diri atau menusukkan belati ke lehernya, tatkala si tukang cukur beranjak mendekatinya dan duduk di sebelahnya.


Si pemuda tak menyadari kehadiran tukang cukur itu, sampai ia merasakan tepukan ringan di pundaknya. Si tukang cukur menatapnya sambil tersenyum, dengan binar yang tak pernah lepas dari wajahnya.


“Aku tak mengerti.” cetus si pemuda. Dan kata-kata berhamburan dari mulutnya. Kegalauan dan kepahitan hatinya tumpah ruah. Si tukang cukur hanya diam dan mendengarkan.


“Aku hanya mencari bahagia,” bisik pemuda itu. “Mengapa begitu sulit?”


Si tukang cukur merenung sejenak, lalu tersenyum arif. “Mungkin kau tak perlu mencarinya, Nak. Mungkin kau hanya perlu berdamai dengan dirimu sendiri.”


Pemuda itu menatap si tukang cukur, keningnya berkerut bingung. “Apa maksudmu? Aku tidak bermusuhan dengan siapapun.”


“Kau tidak bermusuhan dengan siapapun,” si tukang cukur mengulangi. “Kau hanya perlu menerima dirimu sendiri, apa adanya, tanpa syarat.”


“Aku tidak mengerti,” gumam si pemuda, kini tampak lelah. Selain patah hati dan sengsara, apakah ia juga telah menjadi dungu? “Aku hanya ingin bahagia. Di mana salahnya?”


Lagi-lagi si tukang cukur tersenyum bijak. “Tak ada yang salah, Nak. Engkau hanya menganggapnya sebagai kesalahan, karena yang terjadi tidak sejalan dengan keinginanmu. Bila bahagia yang kau inginkan, engkau hanya perlu berhenti bertanya apa yang salah.”


Pemuda itu terdiam. “Namun hidupku tidak sempurna,” ucapnya perlahan, teringat pada kegagalan dan perbuatan buruknya di waktu lampau. “Aku bukan orang yang cukup baik.”


“Engkau tidak perlu menjadi sempurna untuk bahagia, Nak, karena hidup ini indah apa adanya.”


Si pemuda mengangkat muka dan menemukan lengkungan lembut di wajah si tukang cukur, yang tiba-tiba kelihatan begitu bijaksana dan berhikmat.


Tukang cukur itu pamit pulang, dan si pemuda tetap duduk di depan losnya hingga lewat tengah malam. Ia memikirkan segala sesuatu, apa yang telah terjadi di masa lalu, apa yang baru saja dialaminya, dan nasehat-nasehat si tukang cukur. Mendadak, ia tidak ingin mengakhiri hidupnya lagi.


—-


Tiga purnama berselang, saat sang gadis menyirami tanaman di kebun mungilnya, pemuda itu menghampirinya. Kali ini tanpa membawa apa-apa. Hanya sebuah garis lengkung di wajahnya yang berbinar.


Si gadis menatapnya, bergeming.


“Aku tak lagi mencari bahagia,” ucap si pemuda. “Aku telah bersua dengan damai, dan aku tak membutuhkan apapun lagi untuk bisa tersenyum.”


“Hidupku tak sempurna,” ia berkata lebih lanjut, “namun aku mencintainya apa adanya. Dan aku tahu, bersamamu, hidupku akan menjadi utuh; begitu pula dirimu. Maukah engkau menjadi sempurna bersamaku?”


Gadis itu tersenyum. Senyuman termanis yang pernah tampak di wajahnya. Dan kali ini, si pemuda tahu, ia benar-benar tak butuh apapun lagi untuk menjadi bahagia.

Bintang yang Senantiasa Bersinar

Punya sahabat itu… gokil, Jendral.

😉

Minggu lalu, handphone saya berdering ketika saya sibuk mengutak-atik laptop, (sok) menyibukkan diri supaya pikiran teralihkan *baca: nggak kebablasan mikir yang macem-macem* karena belakangan ini saya sering mumet jaya menghadapi persoalan yang cukup berat dan kompleks – lebih ribet dari benang kusut basah.

Telepon tak terduga itu berasal dari seorang sahabat. Saya tak menyangka ia akan menelepon, karena setahu saya ia sedang sibuk menyiapkan diri untuk mengikuti ujian farmasi (dimana ujian dilaksanakan dalam 3 tahap dengan sistem gugur – yang agak mengingatkan pada kontes-kontes pemilihan idola Indonesia *wink*). Kebanyakan mahasiswa yang menempuh ujian ini sudah menyiapkan diri sejak setahun sebelumnya (!), tapi ia belum melakukan persiapan apa-apa karena kegiatan yang superpadat.

Selain kerja praktek di Rumah Sakit, ia juga memimpin kepanitiaan dari sebuah konferensi internasional, plus mengemban tanggung jawab penting di organisasi mahasiswa internasional (baca: mbenahin segudang masalah-njelimet-ruwet-edan dengan bonus begadang setiap hari).

Saya pernah menemaninya bekerja menjelang akhir pekan, memperhatikannya berkutat dengan laptop sampai lewat tengah malam untuk menjawab e-mail-e-mail dengan subyek yang bikin kening berlipat-lipat (beda banget dengan e-mail saya yang isinya obrolan-obrolan nggak penting via milis dan joke garing ‘Humor di Tempat Kerja’ ;-D), meeting via messenger dan sebagainya, sementara sejak pagi ia sudah sibuk di Rumah Sakit.

Sepanjang malam handphonenya terus-terusan berbunyi. Sempat tergoda juga untuk mencelupkan HP-nya ke dalam gelas – baru kali ini saya mendengar telepon sesering itu dalam waktu yang tidak lazim untuk menelepon. Ternyata dampaknya buruk untuk kesehatan jiwa, karena bikin senewen. ;-D Jam 12 malam nelepon untuk meeting? Gila kali. I mean, for God’s sake, she is 23, not 32. Tapi, menurutnya, memang itulah ‘makanan’nya sehari-hari.

“Ini masih mending. Waktu di Belanda, tahun lalu, gue sering tidur 2 jam semalem. Atau, malah nggak tidur samasekali,” cetusnya.

Ketika kami (akhirnya) naik ke tempat tidur, saya berkomentar, “Kerjaan lo serem.”

Ia hanya tertawa. “Udah banyak yang bilang begitu,” jawabnya simpel.

Namun, lepas dari kesibukan yang segudang, ia tetap menyempatkan diri untuk menelepon dan menanyakan kabar saya, serta masalah yang sempat saya ceritakan dalam konversasi terakhir kami di rumahnya.

Meski cukup lama bersahabat, saya sering enggan merepotkannya dengan masalah saya, mengingat segala aktivitasnya yang menuntut energi dan fokus penuh. Tapi ia tak menutup telepon. Ia di sana, mendengarkan. Dan akhirnya isi perut saya berhamburan juga. Ia tetap mendengarkan.

Sorry jadi curhat-curhat gini,” gumam saya, agak malu karena merasa ‘salah tempat’ – curhat pada orang supersibuk, “padahal lo banyak kerjaan.”

Ia tertawa kecil. “Untuk yang kayak gini, gue bakal selalu ada.”

Tiba-tiba saya teringat pada kejadian setahun lalu, ketika ia menelepon untuk curhat dan menangis karena masalah keluarga. Waktu itu, saya mendengarkannya sambil pelan-pelan (berusaha) menenangkan. Kini, lucunya, tiba giliran saya. Bedanya, ketika ia menangis, saya mendengarkan dalam kondisi santai, tidak sedang ngapa-ngapain. Ketika saya curhat, ia sedang menghadapi timbunan tugas, masalah, serta deadline. Dan ujian itu…

“Lo kan belum belajar? Ntar gue ganggu.”

Lagi-lagi ia tertawa. “Gue akan selalu ada kalau buat elo. Lo udah kayak keluarga gue, dan gue nggak akan ‘menghilang’ untuk hal-hal seperti ini. Kapanpun.”

Beberapa hari kemudian, kami kembali bersua, kali ini di kanal maya. Usai berbincang ngalor-ngidul –mulai dari lagu-lagu keren paporit, youtube sampai diskusi basi tentang film Fitna- saya pamit untuk sign-out, sekaligus mengucapkan terima kasih atas telepon dadakannya beberapa hari lalu.

Hening sejenak, lalu kalimat ini muncul di baris terbawah percakapan virtual kami:

“I’m always ready for you anytime.”

Mendadak, saya seperti menemukan bintang di langit pekat.

🙂

—–

Malam ini, saya kembali melihat ke atas. Ke langit yang belakangan ini selalu gelap, nyaris gulita.

Ah, itu dia.

Setitik cahaya -kecil, namun nyata- bersinar di sana. Menyapa ramah, hangat, membuat kegelapan di sekitarnya sedikit bias.

Saya menajamkan penglihatan, ingin melihat lebih jelas.

Lalu, cahaya mungil lain mulai menampakkan diri, tersenyum malu-malu. Berkelip terang, seakan mengacungkan jari, “Aku di sini.”

Lalu muncul kerlip ketiga, mengedip jenaka. Disusul yang keempat. Kelima. Dan seterusnya.

Kemudian saya sadar. Di sekeliling saya ada banyak bintang. Tak hanya satu. Tak cuma segelintir. Dan mereka terus bercahaya.

Bintang-bintang itu selalu ada di sana. Tak pernah berhenti bersinar meski saya mengalihkan perhatian. Mereka ada, sepanjang malam, di langit terkelam sekalipun. Bersinar dalam kegelapan yang paling pekat. Menemani tanpa pernah pudar.

Saya tidak suka kegelapan, kecuali saat mematikan lampu semenit menjelang tidur. Kegelapan selalu memberi kesan mencekam dan membatasi jarak pandang. Saya bertekad kalau punya rumah sendiri nanti, setiap ruangan harus terang-benderang. Nggak ada cerita lampu temaram. I even hate the idea of ‘cozy, romantic date’ with dim light. 😉

Namun kali ini, khusus kali ini, saya tak keberatan menghadapi gelap. 🙂

Gelap itu masih mencekam. Menyesakkan. Menakutkan, karena saya tak bisa melihat jauh ke depan. Membuat saya bertanya-tanya, ada apa di depan sana, dan seperti apa perjalanan saya nantinya. Namun kegelapan yang sama, entah mengapa, kini tak terlalu ingin saya hindari…

…karena kegelapan itu membuat saya bisa melihat bintang-bintang yang senantiasa bersinar. 🙂

When you’re down and troubled
And you need some loving care
And nothing, nothing is going right
Close your eyes and think of me
And soon I will be there
To brighten up even your darkest night

You just call out my name
And you know wherever I am
I’ll come running to see you again
Winter, spring, summer or fall
All you have to do is call
And I’ll be there
You’ve got a friend

If the sky above you
Grows dark and full of clouds
And that old north wind begins to blow
Keep your head together
And call my name out loud
Soon you’ll hear me knocking at your door

Ain’t it good to know that you’ve got a friend
When people can be so cold
They’ll hurt you, and desert you
And take your soul if you let them
Oh, but don’t you let them

You just call out my name
And you know wherever I am
I’ll come running to see you again
Winter, spring, summer or fall
All you have to do is call
And I’ll be there
You’ve got a friend

(You’ve Got a Friend – Salena Jones)

Mendengarkan Orang Pintar

Percakapan (tidak) bermutu siang ini, dengan seseorang jelas ya, bukan hewan pemamah pisang, ketika membahas sebuah kasus dilematis yang meresahkan jiwa-raga:



+ “Gimana yah… gue bingung. Kata orang pinter gue harus begitu, gak bisa nggak.”

– “Yah bow, itu kan ‘cuma’ kata orang pinter, gak usah terlalu dipusingin.”

+ “Tapi ini tentang masa depan euy.”

– “Justru itu. Kalo udah nyangkut masa depan, gue mah mending dengerin rasio, pake logika, berdoa sama Tuhan, daripada dengerin orang pinter.”

+ “Yah… kalo gitu bilang Tuhan lo deh biar nolongin gue.”

– “Ih, sembarangan.”

+ “Abis gue capek kayak gini mulu!”

– “Seriously neng, elo dikit-dikit ke orang pinter, apa-apa orang pinter, tapi dari dulu juga nggak terlalu nolong, kan?”

+ “Yah… iya sih.”

– “Nah.”

+ “…sebenernya gue juga gak terlalu gimana-gimana sih, sama orang pinter…”

– “Nah.. prioritasin aja apa yang ada di depan elo, kerjain apa yang lo bisa kerjain. Omongan orang pinter mah urusan belakangan.”

+ “… yang gue tau, orang pinter minum Tolak Angin.”

– “…..”

Oleh-oleh dari Masa Depan

Salut buat kalian, wahai para pembajak, karena ternyata kalian tak hanya pandai membajak, tapi juga mampu menciptakan mesin waktu. Hebat lah. ;-D
*Gambar diambil dari sampul CD installer milik seorang kawan. Tentunya bajakan. *Yyya iyyyalah!*

Kunjungan 120 Menit

“Hayu’ aja. Ntar janjian kalo lo udah nyampe di sini.”
Itu yang saya katakan kepada seorang sahabat pertengahan minggu lalu, ketika ia menelepon dan berkata akan ke Jakarta, sekaligus mengajak saya bertandang ke rumah kenalannya.

Bukan ‘kenalan’ biasa. Tepatnya seorang taipan *alah, taipan!* kondang yang mengingatkan saya pada keluarga Hanafiah di novel-novel Mbak ini.

Sabtu pagi, saya bolak-balik rebahan di ranjang, mendadak malas pergi karena di luar hujan deras. Tapi janji yang sudah dibuat itu terus terngiang-ngiang. Akhirnya saya meraih handuk dan berjalan ke kamar mandi.

Ajaib, tepat setelah saya mandi, hujan berhenti.

Setengah jam kemudian, kami sudah berada dalam mobil dan meluncur ke rumah si taipan (bo, aneh banget sih istilah ini). Sepanjang jalan, saya sibuk mengunyah crackers sambil sesekali meraba rambut yang tidak kering-kering.

Setengah jam berikutnya, kami sudah duduk manis di ruangan berlantai marmer yang dipenuhi kursi lipat putih, siap mengikuti acara yang diselenggarakan tuan rumah. Acara itu adalah sebuah kebaktian sederhana yang terdiri dari pembagian kesaksian, pembacaan Alkitab, puji-pujian singkat dan khotbah.

Saya melayangkan pandangan ke luar jendela. Rasanya tidak seperti di Jakarta. Danau berair tenang yang teduh dengan pepohonan rindang dan padang rumput luas terasa menyejukkan. Pemandangan indah yang luarbiasa mahal harganya.

“Orangnya yang mana, sih?” saya berbisik penasaran. Maksud saya tentu si empunya rumah.

Sahabat saya menggeleng. “Belum dateng.”

Sejurus kemudian, ibadah dimulai. Saya menyimpan pertanyaan itu dalam hati dan memusatkan perhatian pada kebaktian, meski sesekali tergoda untuk lirak-lirik pada sekumpulan pemuda bertampang yummy yang duduk di pojok ruangan 😉

Setelah lagu pujian selesai dinaikkan, seorang hamba Tuhan naik ke podium kecil yang tersedia di depan. Penampilannya kontras dengan sebagian besar orang yang hadir di situ, yang rata-rata mengenakan pakaian dan aksesoris yang sekali lirik saja ketebak berapa harganya (dan memakai parfum mahal yang superwangi sampai kepala saya nyut-nyutan. Mungkin makenya bukan disemprot, tapi DITUANG).

Si hamba Tuhan hanya mengenakan kemeja kotak-kotak yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana panjang cokelat muda. Rapi namun samasekali tidak glamor, dan –sejujurnya- agak kebanting bila dibandingkan dengan para jemaat yang duduk di depannya dengan penampilan shiny dan serba bling-bling.

Di sela-sela khotbah, saya masih sempat-sempatnya berbisik penasaran, “Yang mana orangnya?”

Sahabat saya menyahut dengan gumaman tak jelas. Saya bersandar di kursi dan melupakan pertanyaan itu, karena merasa tidak pantas membahas sesuatu yang kurang penting di sela kebaktian.

Setelah khotbah usai, si hamba Tuhan beranjak dari podium dan duduk di barisan paling belakang. Sejenak saya merasa ‘kasihan’. Dalam ibadah-ibadah yang pernah saya ikuti di beberapa gereja, biasanya hamba Tuhan memperoleh kursi terbaik di barisan terdepan, bersama majelis gereja yang terhormat. Namun, di sini, yang terjadi adalah kebalikannya.

Setelah lagu pujian terakhir dan doa selesai dinaikkan, para jemaat bangkit dan menuju meja panjang di luar ruangan, dimana hidangan disajikan. Makan dan mengobrol sambil menikmati pemandangan indah.

Perut saya yang sudah kerucukan semakin lapar mencium aroma bakso. Tapi saya masih penasaran dengan pertanyaan yang belum terjawab itu.

“Orangnya yang mana, sih?” lagi-lagi saya berbisik sambil jelalatan. Mengira-ngira, sosok mana yang paling cocok untuk mewakili figur pemilik kerajaan bisnis raksasa.

“Dia itu yang tadi khotbah di depan.” jawab sahabat saya.

Saya tersenyum lebar.

Mendadak, kunjungan singkat itu menjadi begitu berharga. Bukan karena kesempatan bertemu dengan figur yang disegani (hampir) semua orang yang pernah mendengar namanya, melainkan karena hari itu saya belajar satu lagi makna kerendahan hati dari sosok besar yang tak merasa perlu menjadi ‘besar’.