Jatuh Cinta Lagi

Lebih dari 2 dekade saya mengenalmu. Bersamamu. Mengecap intisari keberadaan saya di dunia ini denganmu.

Kita begitu dekat. Kita tak terpisahkan. Kita adalah satu.

Kamu tahu? Saya pernah, lho, benci sama kamu. Kadang saya menganggapmu tak adil, karena kamu tidak selalu memberi apa yang saya inginkan. Beberapa kali (okay, sering malah) saya memakimu. Mengutukmu karena merasa tidak puas dengan apa yang saya dapatkan. Tapi kamu tak pernah marah. Kamu terus mengalir, dan akhirnya saya memutuskan untuk berhenti mencaci dunia, kemudian ikut mengalir bersamamu.

Kamu tahu? Saya menikmati setiap detik kebersamaan kita. Sangat. Walaupun semua itu tak pernah terverbalkan dari bibir saya. Bukankah tidak semua perasaan di dunia ini perlu diungkapkan? Kadangkala kita hanya perlu menyimpannya dan menghayatinya, menikmatinya tanpa perlu kata-kata.

Kamu tahu? Saya sayang kamu. There, I said it. 😉

Maafkan saya, ya, karena kemarin-kemarin sempat jenuh dengan kamu. Saya terjebak dalam kebosanan yang amat-sangat. Saya kehilangan rasa. Kehilangan makna. Kehabisan energi. Saya lelah melangkah dan hanya ingin duduk di pinggir jalan. Tidak menanti siapa-siapa. Saya hanya ingin berhenti berkejaran dengan waktu dan rehat sejenak. Tapi ternyata kamu punya kejutan lain untuk saya.

Saat saya berhenti, kamu justru menghampiri saya dengan sebuket keindahan yang tak pernah terduga. Keindahan yang tak terselami oleh akal yang selalu haus menilik dengan rasio dan mengukur kebahagiaan berdasar apa yang terlihat oleh mata lahiriah.

Dengan caramu sendiri, kamu mengingatkan bahwa saya sudah memiliki cukup. Berlari mengejar mimpi itu baik, namun ada kalanya saya perlu beristirahat. Bagaimanapun, yang terpenting adalah perjalanannya, bukan hasil akhirnya. Melalui berbagai peristiwa, kamu mengingatkan saya untuk bersyukur, lagi dan lagi.

Terima kasih, ya. Untuk keberadaanmu. Untuk setiap makna yang kamu berikan pada saya. Untuk setiap bahagia, tawa, tangis dan keluh yang kita bagi bersama. Untuk derai airmata yang menyimpan rangkaian makna: haru, gembira, senang, sedih, sakit. Terima kasih telah memberikan kesempatan pada saya untuk mengecap semuanya dan mensyukuri setiap detik yang begitu berharga dalam helaan nafas ini.

Kamu tahu? Tak pernah saya merasa begitu bersyukur dapat merasakan semilir angin dingin saat hujan lebat. Tak pernah saya begitu menikmati pagi hari di balkon sambil menonton anak tetangga bermain. Tak pernah saya mengira akan merasa nyaman mendengarkan gemercik air di kamar mandi pukul 6 pagi. Tak pernah saya menyangka akan senang mencium aroma terasi digoreng sambil mendengarkan celetukan-celetukan konyol sana-sini. Tak pernah saya menduga akan menemukan kehangatan di antara persona-persona yang jauh berbeda satu sama lain.

Terima kasih, ya. Untuk segala keindahan yang kamu beri. Untuk setiap bahagia yang kamu bawa. Untuk nikmat yang tersembunyi dalam tiap proses dan pembelajaran. Untuk secercah cahaya yang tak pernah berhenti menyinari hati ini. Sungguh, terima kasih.

Kamu tahu?

Saya jatuh cinta lagi. Dengan kamu. 🙂

*Dipersembahkan untuk Kehidupan. Mari berhenti sejenak dan beristirahat di pinggir jalan. Resapi warna bunga, hayati semilir angin, nikmati hijau rerumputan, dengar kicau burung, dan bersahabatlah dengan mentari dan hujan. Life is beautiful. Indeed. 😉

Original!

Sebelum DVD original-nya beredar, dapatkan dulu kerudungnya.

Siapa tahu sebentar lagi terbit mukena original, sajadah original… atau mungkin sekali, tasbih original. Ingat, jangan beli bajakan!

😉

Mendadak Pengen Nyanyi ;-)

Siang-siang gini biasanya bawaannya ngantuk. Tapi hari ini (tumben-tumbennya) saya nggak ngantuk. Mungkin efek white coffee yang saya minum tadi pagi — pemberian seorang teman yang tiap hari nanya: “ Udah dicobain belum kopinya?” 😉

Atau, mungkin juga efek dari lagu indah yang mendadak bikin saya kangen. Bukan sama siapa-siapa, tapi sama seorang Sahabat yang beberapa hari ini jarang saya ajak ngobrol saking konsennya menyelesaikan pekerjaan kantor & daily chores *halah, alasaaan!*.

Seriously, seandainya aja saya bisa main gitar, mungkin saya udah gejembrengan dari tadi sambil nyanyi-nyanyi ini:

Kau begitu sempurna
Di mataku Kau begitu indah
Kau membuat diriku akan s’lalu memujaMu

Di setiap langkahku
Ku kan s’lalu memikirkan diriMu
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintaMu

Janganlah Kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamaMu ‘ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku
Oh Sayangku, Kau begitu
Sempurna

Kau genggam tanganku
Saat diriku lemah dan terjatuh
Kau bisikkan kata dan hapus semua sesalku

Janganlah Kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamaMu ‘ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku
Oh Sayangku, Kau begitu
Sempurna

😉

Sepotong Keindahan dari Langit

“Itu petir?”

Saya bertanya blo’on sambil menatapi langit malam yang kembali pekat, yang sedetik lalu diterangi oleh kerjapan cahaya, membuat atap-atap rumah dan pucuk pohon terlihat jelas.

Teman saya mengiyakan. Kami mempercepat langkah dan masuk ke dalam kos-kosan, menyapa seorang laki-laki yang sedang duduk menunggu istrinya di teras, masuk ke kamar dan tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Saya membawa ember ke kamar mandi, mengisinya dengan air dan deterjen, lalu merendam pakaian kotor yang sudah beberapa hari tak terjamah. Air mengucur dengan suara ribut. Saya menunggu sampai ember nyaris penuh dan kembali ke kamar untuk menyapu.

Selesai membersihkan lantai, saya menyeterika beberapa potong pakaian. Peluh bertetesan di dahi, pipi, leher. Di luar, rintik hujan mulai membasahi bumi. Saya terus melicinkan kemeja kusut saya. Di bawah terdengar suara ribut. Teman-teman mulai pulang dan saling menyapa.

Saya menyimpan pakaian di laci plastik dan turun ke ruang tamu, bergabung dengan 3 orang teman yang duduk mengelilingi meja bundar dengan kursi-kursi kayu dan beberapa piring plastik berisi makanan kecil. Pintu terbuka lebar, membebaskan angin sejuk masuk ke dalam rumah.

Hujan semakin deras. Sesekali langit diterangi oleh kilatan cahaya. Tidak ada gemuruh atau gelegar yang menakutkan, hanya kerjap megah di sela atap rumah dan cabang-cabang pohon. Alam sedang bercanda ria, menunjukkan kemahakuasaannya tanpa berniat mencelakakan.

“Suka udang mayoinase?” teman saya menyodorkan piring hijau berisi udang bersalut tepung dengan krim putih menggoda. “Abisin aja, kenyang nih.”

Dengan senang hati saya mencomot sepotong. Sambil mengunyah, saya mendengarkan obrolan (tepatnya, curhat) mereka tentang kelakuan seorang teman kos yang menyebalkan. Karena tidak terlalu akrab dengan objek pembicaraan, saya hanya mendengarkan sambil terus mengunyah.

Suara hujan yang makin keras mendera membuat saya menoleh. Angin dingin masuk ke dalam ruangan, kesejukan pertama yang saya rasakan sejak menempati hunian baru ini. Di luar, air bertemperasan tanpa ampun. Di telinga saya, mereka seolah bermain. Kejar-kejaran satu sama lain, berlomba menghantam tanah, siapa duluan dia yang menang. Nyaman sekali.

2 orang teman baru saja tiba, nekat menerobos hujan dan angin bermodal sebuah payung. Setelah menyapa sekenanya, mereka bergegas naik ke atas. Saya beranjak ke teras, meresapi udara yang basah dan dingin, mereguk sepuasnya kesejukan yang ditawarkan malam. Nikmat sekali.

Diam-diam, saya berharap agar hujan ini tak pernah berhenti, meski saya tahu, dari segala doa yang saya panjatkan, doa yang satu ini takkan mungkin terkabul.

Setidaknya, biarkan saya mengecapnya lebih lama lagi, mohon saya, entah pada siapa. Permohonan itu dikabulkan. Hujan bertambah lebat. Desir-desir angin membelai leher saya. Suara ribut itu mungkin terkesan suram dan mengintimidasi, namun bagi saya, hujan deras bagaikan musik alam yang melatari babak awal kehidupan saya di hunian sederhana ini.

Ternyata keindahan tak hanya bisa ditemukan di pegunungan tinggi yang menawarkan panorama hijau nan menyegarkan, pantai indah berair jernih dengan langit bersih dan bentangan horison… pun hujan rintik di sore hari jelang matahari terbenam. Keindahan juga tersimpan di langit kelam yang riuh-rendah oleh permainan alam, ketika semua makhluk berlindung dari siraman air dan udara menggigit. Keindahan ada dalam percakapan santai mengelilingi meja bundar sambil menikmati gorengan dan cemilan. Keindahan terdapat dalam tawa hangat dan obrolan ringan sesama penghuni kos yang berbagi hidup dalam sepetak rumah.

Malam semakin pekat. Seorang teman masuk ke kamar untuk belajar. Yang seorang lagi beranjak ke kamar mandi untuk mencuci. Satunya lagi melangkah ke dapur untuk menggoreng tempe. Saya masih duduk di kursi kayu, menyandarkan punggung di sandaran yang keras, berbekal sebuah buku dan biskuit susu.

Malam ini ada bahagia. Malam ini ada kehangatan. Malam ini ada sejuk yang memberi nyaman. Hidup memang indah. 😉

Menunda Impian

Hari ini, saya baru saja melepas sebuah impian. Mimpi untuk bertualang, mencicipi keindahan dunia dan memperkaya hidup.

Ooops, mungkin bukan melepas. Menunda lebih tepat. Tapi, tetap saja saya merasa sebagian diri saya ‘hilang’ ketika memutuskannya.

Saya mengangankan ini selama setahun. Selama itu pula saya membuat perencanaan dan mengkalkulasi dengan cermat. Semua sudah tersedia, yang perlu saya lakukan hanya mengemasi pakaian dan berangkat. Namun kenyataan berkata lain *tsah!*.

Ada masalah yang tiba-tiba muncul. Ada tanggung jawab yang harus saya penuhi. Ada kepentingan-kepentingan yang tidak bisa dihindari.

Berkali-kali saya meyakinkan diri bahwa (akhirnya) semua akan berjalan seperti yang saya inginkan. Persis seperti perencanaan yang saya buat 12 bulan terakhir. Tapi akhirnya saya harus mengaku. Bahwa saya tak dapat menentang fakta. Seperti kata sahabat saya: Reality bites.

Mimpi itu, rencana itu, angan-angan itu… sepertinya harus menunda setahun lagi.

…..

Tidak apa-apa.

Bukankah hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan?

Bukankah hidup harus fleksibel?

Bukankah sesekali hidup harus dibiarkan mengalir?

Tidak ngoyo, melainkan dijalani dengan rasa syukur dan tawakal. Lagipula, bukankah memperkaya hidup itu bisa dimana saja? Semua tergantung perspektif dan cara saya menyikapi realita, setiap hari, setiap detik.

Tidak apa-apa.

…..

…..

Tapi… tetap saja perih itu ada. Aaaaarrggggh.