Refleksi dalam Satu Halaman

Beberapa hari lalu, ketika membuka e-mail, saya melongo jaya membaca nama pengirim yang tertera di inbox.

Dewi Lestari mengirim e-mail ke saya?

Penasaran sekaligus surprised, saya langsung melahap tulisan yang cukup panjang itu. Sejujurnya, saya tak tahu harus berkomentar –atau me-reply– apa. Namun, membaca 2 kalimat pendek yang tertera di akhir e-mail, saya merasa perlu melakukan sesuatu melalui media bernama blog ini.

Tapi apa yang harus saya tulis?

Tak banyak informasi yang saya miliki tentang pemanasan global, penyelamatan Bumi, dan sebagainya. Kendati telah sering membaca artikel dengan topik serupa, hanya sedikit pengetahuan dan tips yang berhasil dijaring otak saya. Sisanya menguap entah ke mana, mungkin ini membuktikan bahwa saya memang penikmat fiksi sejati *yayaya, pembenaran* 😉

Bagaimanapun, e-mail itu cukup ‘mengusik’ saya. Menggugah. Mendorong. Mengingatkan, berkali-kali.

Satu halaman. Satu jam.

—–

Setiap hari Jum’at, kantor saya membolehkan para pekerja mengenakan pakaian kasual demi membebaskan diri dari aturan formil yang menjemukan. Ketika sedang menuju pantry untuk mencuci sendok bekas makan siang, saya menunduk dan membaca sebaris kalimat pada t-shirt yang saya ambil secara asal dari lemari.

I want to save the world. Do you?

Tulisan itu tercetak dengan warna putih mencolok di atas t-shirt hijau gelap.

Mendadak saya tercenung dan memperlambat langkah.

Menyelamatkan dunia? Bisakah?

Rasanya mustahil. Apalah artinya perbedaan yang dilakukan satu orang terhadap dunia yang berisi milyaran orang?

Pertanyaan itu terlintas dan berputar-putar di benak saya.

Apalah artinya sekelumit kesadaran pribadi jika dibandingkan dengan kerusakan massal yang terjadi setiap hari, yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang serakah mengeksploitasi bumi bagaikan monster?

Apalah artinya menahan diri untuk berpuasa daging sementara setiap hari ribuan ternak dipotong untuk dijadikan santapan, mulai dari restoran mewah hotel bintang lima sampai warung pinggir jalan?

Apalah artinya menerapkan pola disiplin diri demi bersahabat dengan alam sementara saya kerap putus asa menyaksikan entengnya tangan-tangan manusia merusak lingkungan yang kita (coba) pelihara ini?

Saya meraba t-shirt itu dengan hati-hati, khawatir mengotorinya dengan minyak yang melumuri jari. Sebelah tangan saya masih menggenggam mug dan sendok. Lalu pertanyaan-pertanyaan itu terhenti.

Bukan oleh jawaban yang mencerahkan, ide spektakuler maupun inspirasi cemerlang.

Kebingungan itu dihentikan oleh pertanyaan terakhir: Akankah dunia yang berisi milyaran orang ini berubah, jika tidak ada satu orang yang peduli?

Saya mempercepat langkah menuju pantry. Saya tak perlu lagi bertanya. Jawabannya sudah jelas. Dan seharian ini, saya sungguh bangga mengenakan kaus hijau itu. Bukan karena warnanya yang cantik atau kata-katanya yang menggugah, namun karena benda itu telah mengingatkan saya akan esensi keberadaan saya di alam semesta: untuk membantu menciptakan dunia yang lebih baik, hari demi hari. Dimulai dari diri sendiri.

Mari berkaca. Bukan pada rusaknya alam yang disebabkan oleh tangan-tangan penuh nafsu. Bukan pada isu pemanasan global dan krisis pangan. Bukan pula pada menjamurnya pemberitaan mengenai Bumi yang semakin menua. Mari mulai dari yang paling sederhana: berkaca pada sepiring nasi dan lauk-pauk yang kita santap 3 kali sehari, kendaraan yang membawa kita menyusuri jalan, dan apa-apa saja yang tercatat dalam shopping list kita setiap hari, minggu, bahkan bulan.

Mungkin ajakan menjadi vegetarian atau mengganti kendaraan bermotor yang nyaman dengan sepeda terdengar agak ‘menakutkan’. Tapi saya percaya kita bisa memulai gerakan penyelamatan Bumi dari hal-hal yang (tampaknya) kecil namun penuh arti: mengurangi konsumsi daging, menggunakan kendaraan bermotor dengan efisien dan menerapkan tips hemat energi.

Mengurangi kenyamanan? Mungkin iya. Tapi tindakan-tindakan sederhana yang berpotensi mengurangi rasa nyaman itu sesungguhnya tak lain dari uluran tangan penuh keramahan pada Bumi yang telah menghidupi kita semua. Tempat kita berpijak, bernafas, tumbuh dan menjelang hari.

Mari bercermin. Mari bertindak. Sekarang.

🙂

*Tulisan Dewi Lestari yang berjudul ‘Satu Halaman – Satu Jam’ serta informasi berharga mengenai pemanasan global dan penyelamatan Bumi bisa dibaca di sini.


**Ingin mendapatkan t-shirt seperti di atas sambil mendukung pelestarian lingkungan? Silakan mampir ke sini.

Nyanyian Sahabat

Belum habis masa berkabung karena kepergian ayah kawan baik saya, beberapa hari lalu saya kembali dibikin shocked oleh dering telepon jelang jam 10 malam – tepat setelah saya selesai mencuci rambut (ada apa dengan keramas jam 10, sih?).

Ayah sahabat saya baru saja berpulang ke pangkuan Yang Mahakuasa di ruang ICU RS Tebet.

Lagi-lagi saya terhenyak dengan rambut basah dan handuk tersampir di bahu. Kali ini airmata saya benar-benar menetes.

Beda dengan ayah Mira dan Lisa yang belum pernah saya jumpai, saya cukup sering bertemu dengan Pak Andy Azhar, ayah dari Karin Gayatri Azhar, sahabat slash salah satu sumber ide saya dalam menulis novel ‘Triangles’.

Meski begitu, tidak banyak yang saya ingat dari beliau, karena kami jarang bercakap-cakap. Paling banter hanya saling sapa di pagi hari, karena dulu saya sering menginap di rumah Karin untuk mengerjakan proyek bersama (sekaligus ngecengin adiknya, Ariel ‘Nidji’ Harsya, si gitaris tampan *HALAH!* nan kharismatik – Hi, Yel, if you read this ^_^).

Kenangan yang paling jelas terekam di otak saya adalah sosok beliau di sofa ruang tamu, pagi jelang pukul 9, membaca koran dengan kaus kutung dan sarung. Tumpukan DVD yang menemani hari-hari santai beliau, piring-piring berisi aneka makanan yang dihidangkan terpisah di meja ruang tamu, dan wadah plastik berisi obat-obatan juga meninggalkan kesan tersendiri bagi saya. Kesehatan Pak Andy telah mengalami fluktuasi sejak 5 tahun silam, namun beliau menolak untuk pasrah pada keadaan. Beliau tetap suka bepergian seorang diri dan mengontrol studio yang dikelolanya.

– – – – –

Mendadak saya merasa ‘gamang’. Dengan terburu-buru saya mengemasi pakaian seadanya dan memesan taksi. Sambil menunggu, saya menghubungi beberapa teman yang sudah tiba di kediaman keluarga Azhar.

Sampai di sana, saya disambut oleh seorang asisten rumah tangga. Saya naik ke lantai 2, langsung menuju kamar sahabat saya. Ia tersenyum, tapi wajahnya pias. Yang bisa saya lakukan hanya memeluknya erat.

Setelah berbincang beberapa menit, kami turun ke bawah, langsung menuju ruang tamu yang hampir kosong. Sofa-sofa telah dipindahkan. Meja telah diusung keluar. Yang ada hanya hamparan karpet beraneka warna dan ukuran. Di atas spring bed berukuran single, ditutupi kain batik dan renda-renda putih, terbaring jasad ayah sahabat saya.

Setelah melihat wajahnya untuk yang terakhir kali, saya duduk di undakan tangga. Di samping saya duduk seorang perempuan yang wajahnya sering saya lihat di televisi. Kami bertukar senyum, bercakap sekenanya, dan sesekali membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Malam terus menjelang. Hari berganti tanpa saya tahu. Satu-persatu pelayat berdatangan. Mulai dari kerabat, sahabat almarhum dan keluarganya, rekan sejawat, sampai sosok-sosok yang sering berseliweran di layar kaca – yang pernah saya lihat di iklan A, film B, sinetron C, video klip D, dan sebagainya. Bedanya, kali ini tak ada performa apapun, karena mereka datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada figur yang pernah memberi kontribusi besar bagi berjayanya perfilman nasional di era 70-an.

Kali ini, tak ada jenjang antara ‘masyarakat biasa’ dan selebriti papan atas. Semua bersimpuh di hamparan karpet, duduk sama tinggi, membaca surat Yassin dengan lirih, membisikkan doa untuk menghantar kepergian almarhum. Melebur dalam lantunan ayat-ayat suci.

Wartawan mulai berdatangan. Duduk di sudut dan mohon izin dengan sopan untuk mengambil gambar di ruangan berlampu redup itu, serta mewawancarai anak-anak almarhum. Seorang personil band yang sedang membaca Yassin menundukkan kepala dalam-dalam ketika kamera menyorotnya. Ia menyembunyikan wajah dengan tudung jaket dan merendahkan tubuh, tak ingin terekspos. Sepenuh hati saya menghargai tindakan sederhana itu.

Tamu-tamu terus berdatangan, silih berganti. Peluk tangis mewarnai suasana. Berkali-kali saya merasakan semilir sejuk di hati, melihat banyaknya dukungan yang diberikan bagi sahabat saya dan keluarganya – mulai dari tepukan di punggung sampai peluk hangat nan erat.

Namun, dari semuanya, yang paling menyentuh adalah sekelompok remaja yang datang beramai-ramai -semua berbaju hitam- dan langsung bersimpuh di depan jenazah, membaca doa tanpa dikomando. Mereka duduk cukup lama, kemudian berkumpul di luar, bergerombol memenuhi gang. Rupanya mereka datang berkonvoi dengan motor.

Subuh menjelang dan mereka masih menunggu dengan tertib, tanpa berisik. Entah apa yang dinanti. Mereka bukan kerabat, bukan kawan almarhum maupun keluarga, bukan juga rekan sejawat. Mereka adalah sekumpulan penggemar –Nidjiholic– yang datang untuk menitipkan sebait doa, tulus dari hati.

Pukul 3:30 pagi, diiringi pembacaan ayat-ayat Al-Quran yang terdengar sampai ke lantai 2, saya memejamkan mata. Lamat-lamat terdengar isak lirih dari tempat tidur sahabat saya.

Hampa itu kembali mengusik. Kosong, gamang. Namun setidaknya, saya tahu, apapun yang terjadi, mereka tak akan pernah sendiri. Selama masih ada pelangi bernama persahabatan. 🙂

Saat hidup terasa berat,
genggam tanganku lebih erat,
satukan langkah sehati,
menggapai mimpi-mimpi
Saat air mata membasahi relung jiwamu,
nyanyikan lagu ini denganku
Akan s’lalu ada, seribu tangan, di hatiku
ku tahu begitu pula di hatimu
(Nyanyian Sahabat – Cokelat)

"I Did the Best Already."

Jelang jam 10 malam, ketukan di pintu kamar mandi mengagetkan saya yang sedang asyik jebar-jebur. Saya mematikan keran supaya bisa mendengar dengan jelas. Di luar, Mira, seorang kawan yang membantu saya mencari kamar kos, berseru minta nomor handphone sahabat saya yang juga sepupunya. Ada urgensi dalam suaranya.

Saya menyebut 11 digit angka yang sangat saya hafal sambil bertanya-tanya dalam hati.
Belum sempat saya menanyakan apa-apa, Mira sudah mendahului menjawab.

“Papaku sudah nggak ada, Jen. Kecelakaan…”

Gayung yang siap saya siramkan ke tubuh terhenti di udara. Mendadak tangan saya –tidak, sekujur tubuh saya- kaku.

“Ya ampun, Mir…,” hanya itu yang sempat saya lisankan. Mira sudah turun kembali ke kamarnya di lantai bawah. Saya menyudahi acara mandi dengan terburu-buru, mengeringkan tubuh seadanya dan bergegas menyusulnya. Rambut yang basah saya biarkan tergerai tanpa sempat diapa-apakan.

Di bawah, Mira dan 2 orang teman duduk mengelilingi meja kayu bundar. Saya mendekati mereka tanpa bisa berkata-kata. Hati saya mencelos melihat Mira yang tidak mengeluarkan airmata sedikitpun, namun mulutnya terus komat-kamit melafalkan doa.

Saya duduk, bertukar pandang dengan teman-teman. Kami sama-sama diam. Hanya suara Mira yang terdengar lirih, mengucapkan sebaris ayat dalam kitab Mazmur.

Saya tak tahu harus berkata apa. Yang ada hanya risau yang dalam. Saya mengenal Mira dan Lisa –adiknya- saat mereka pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta, bertahun-tahun silam. Kedekatan saya dengan sepupu mereka membuat kami jadi akrab dalam waktu singkat. Saya, Mira dan Lisa sering sekali menginap bersama dan hang out bareng, layaknya saudara sendiri.

Kini, mendengar mereka kehilangan Ayah dengan cara yang tragis, saya merasa sebagian jiwa saya ikut melayang. Entah kemana.

Mira masih komat-kamit melisankan doa dan segala kalimat untuk menenangkan diri. Saya meraih handphone untuk menelepon Lisa. Telepon tersambung. Di ujung sana, Lisa menangis histeris bahkan sebelum saya sempat berkata apa-apa.

Saya menyerahkan handphone kepada Mira. Mira berbicara dengan lembut, menenangkan adiknya.

“Nggak apa-apa ya, Lisa. Papa sudah di surga. Lisa harus kuat, ya.”

Sejurus kemudian, Mira masuk ke dalam kamar. Saya mengira ia akan menumpahkan tangis di sana, tapi tak lama kemudian ia keluar dengan bungkusan besar yang diletakkannya di atas meja.

Saya memandangi kantung plastik putih itu dalam diam. Teman-teman saya melakukan hal yang sama.

Bungkusan itu berisi 6 kotak susu, minyak goreng dan 2 bungkus besar havermut. Mira yang sudah punya firasat buruk jauh hari sebelum peristiwa itu, menghabiskan simpanan uangnya untuk berbelanja bagi sang Ayah, yang rencananya akan ia paketkan ke Jawa dalam waktu dekat. Sayang, sebelum niat itu terlaksana, Ayahnya telah mendahului menghadap Sang Kuasa.

“Nggak apa-apa ya, Pa?” ucapnya lirih, “Papa sudah di surga sekarang,” kalimat itu terhembus kelu, perih, meski tak ada setitik pun airmata yang jatuh.

I did the best already,” bisiknya. Lagi-lagi dada saya sesak.

“Nggak ada yang aku sesali…” kali ini ada seuntai senyum di wajah Mira. Tipis. Matanya lekat menatapi kotak-kotak susu yang terjajar bisu. “Beneran nggak ada. I did the best already…”

Handphone saya berdering. Sepupu Mira menelepon, meminta saya menguatkan Mira dan memberitahunya untuk bersiap-siap karena sebentar lagi akan dijemput. Mira beranjak masuk ke kamar, sementara kami anak-anak kos sibuk kasak-kusuk urunan seadanya untuk membantu meringankan bebannya.

Selesai menitipkan rupiah yang tak seberapa pada seorang teman untuk diamplopi, saya meraih handphone dan beranjak keluar. Di teras yang sepi, ditemani angin malam yang membelai lembut, saya menekan sebaris angka.

Tak tersambung. Saya menunggu, kemudian menelepon lagi.

Tetap tak tersambung.

Saya termangu, memikirkan begitu banyak hal yang tiba-tiba berserabutan di otak tanpa bisa terkendali.

Ah, hidup. Berapa panjangkah?

Dengan apa saya akan mengisi lembaran hari yang terus berlalu ini? Apa yang akan saya tuliskan pada halaman-halaman bersih yang saya temui setiap pagi? Ketika esok menjelang, akankah saya mengisinya dengan sebait bahagia bersalut syukur? Ketika hari berlalu, akankah saya menengok ke belakang dan menemukan sesal?

Dan bagaimana dengan orang-orang yang saya cintai? Mereka yang mengisi hati ini setiap harinya? Mereka yang saya kasihi, meski rasa itu jarang terverbalkan?

Deru motor menyentakkan saya dari lamunan. Sepupu Mira telah datang, siap membawanya pergi. Berdua, kami menunggu Mira di teras.

Handphone saya kembali berdering. Kali ini dari nomor yang saya tunggu-tunggu sejak tadi.

“Kamu cari Papa?” suara itu bagaikan angin sejuk di telinga saya. “Kenapa?”

Konversasi itu tidak panjang. Tidak perlu bertele-tele. Tidak perlu banyak basa-basi dengan sosok yang telah saya kenal puluhan tahun. Tidak perlu kata-kata indah penuh puisi, karena kami telah saling mengerti.

Malam ini, saya hanya ingin berbagi dengannya. Memberitahu bahwa saya punya cinta untuknya. Selalu.

Di penghujung dialog, saya bisikkan 3 kata sederhana: “I love you.”

Ayah saya membalasnya dengan kalimat yang sama, meski tersirat kebingungan dalam suaranya.

Mira telah selesai berberes. Bertiga, kami bermotor menyusuri malam, menuju rumah sang sepupu yang tak jauh dari situ.

Di atas motor, tak henti-hentinya saya bersyukur. Bahwa saya masih bisa mengucapkan sayang pada orang yang saya kasihi. Bahwa kesempatan untuk memverbalkan cinta masih bisa saya nikmati. Bahwa saya masih diberi peluang untuk mengisi lembar-lembar hidup ini dengan tinta emas yang indah, dengan sebentuk rasa bernama bahagia dan syukur.

Terima kasih, Tuhan.

Tak putus saya melisankan syukur atas sebuah pelajaran berharga yang saya terima malam ini – bahwa sebagaimana kematian memisahkan kita dari kehidupan, kematian juga dapat mendekatkan kita pada kehidupan.

Tentang Mimpi, Pilihan dan Konsekuensi*

“Dia bilang, ‘I have no choice. This is my dream.’”

Itulah yang diucapkan seorang teman kemarin, dalam konversasi singkat sambil menyantap nasi-perkedel, ketika ia bercerita tentang seseorang yang kebablasan ngoyo dalam mewujudkan impian sampai rela menempuh segala macam cara, termasuk yang ‘tidak wajar’.

Saya mengerutkan kening. “No choice?”

Teman saya mengangguk. “Dia bilang gitu. Katanya, cuma itu satu-satunya jalan untuk mendapatkan mimpinya. Tau, lah. Anaknya emang keras, sih…”

Kami meneruskan makan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tidak punya pilihan? Itu hal baru bagi saya, yang selalu mempercayai bahwa hidup ini terdiri dari pilihan dan kesempatan untuk memilih – lengkap dengan segala resiko dan konsekuensinya. Bahkan anak sekecil Alex sudah belajar tentang itu dalam usia yang sangat dini.

Gara-gara ketakutannya pada pesawat, berkali-kali si kecil harus ‘pasrah’ ditinggal Mommy dan Daddy keluar kota selama berhari-hari. Untuk alasan yang tidak jelas, Alex sangat emoh diajak naik pesawat. Jangan coba-coba membujuknya dengan rayuan apapun. Ia bahkan pernah ‘ngamuk’ di bandara sesaat sebelum boarding dan menggigit bahu Ncus sampai jadi tontonan orang.

Berkali-kali diajak Mommy dan Daddy plesiran *halah* keluar kota, berkali-kali juga si kecil menolak, meski ia tahu konsekuensinya adalah tidak bisa bobo bersama Mommy, tidak bisa dikeloni Daddy, tidak bisa bermain bersama mereka, tidak bisa bermanja-manja, dan segudang ‘tidak bisa’ lainnya. Still, tiap kali diancamdiingatkan tentang berbagai konsekuensi itu, ia kekeuh menolak.

Saya pernah meneteskan airmata ketika suatu malam Alex terbangun dan menangis hebat karena tidak menemukan Mommy dan Daddy. Ia ngotot ingin masuk ke kamar mereka, dan ketika melihat tempat tidur yang kosong, tangisnya makin bertambah hebat. Saya hanya bisa mengelus punggung kecilnya yang berguncang-guncang (sementara airmata dan ingus berlelehan di wajah mungilnya yang memerah). Saya berbisik, “Alex kemarin diajak Mommy kan nggak mau, jadi Alex ditinggal. Sekarang kita tunggu aja, lusa Mommy sama Daddy pulang. Lain kali kalau Alex diajak, Alex harus nurut…”

Ajaib, tangisnya berhenti dan ia kembali terlelap. Saya memandanginya sampai ikut tertidur. Sekejap, hati saya mencelos. Bocah sekecil itu sudah belajar menjalani konsekuensi dari sebuah pilihan.

Seminggu lalu, out of nowhere, saya tergoda keinginan nggak pakai mikir impulsif untuk ‘hidup mandiri’. Setelah menghubungi seorang teman yang kos di daerah Tangerang dan memastikan ada sebuah kamar kosong di sana, plus melakukan kalkulasi seadanya (sekadar memastikan saya tidak akan terlunta-lunta, minimal gaji cukup untuk hidup selama sebulan), saya mengepak pakaian.

Ketika tahu bahwa saya akan menempati sebuah kamar tanpa AC dan hanya berbekal kipas angin pinjaman, adik saya sempat nyeletuk, “Paling juga langsung sakit!”. Saya hanya menanggapi dengan cengar-cengir.

Dan terbuktilah bahwa selama 24 tahun saya sudah menjadi anak manja yang terbiasa dengan kehidupan serba nyaman. 4 hari kos, entah berapa kali saya memaki-maki (dalam hati) atas semua ketidaknyamanan yang saya rasakan, yang akhirnya bikin saya malu sendiri karena terlalu aleman: Duoooh, biasa aja kaleee Jen…

Tapi, lepas dari semuanya, saya sangat menikmati efek keputusan ini. Saya yang terbiasa pulang kerja-masuk kamar-menyalakan AC-mandi air hangat-nongkrong di depan komputer kini merasakan ngejogrok di pinggir jalan menunggui tukang mie tek-tek, nyasar di gang yang gelap pukul 10 malam, menahan mulut untuk tidak jerit-jerit melihat laci dirubung semut merah yang menyerbu persediaan makanan instan saya, terkunci di depan kamar sendiri dengan dodolnya, berkali-kali ketinggalan barang, berpeluh-ria mengejar angkot saat bangun kesiangan, hidup super-irit ala anak kos sejati *tsaelah*, dan banyak lagi (yang kalau diteruskan bakal semakin membongkar aib, hahaha!).

Tapi semua itu terbayar ketika saya membuka pintu kos-kosan dan mendengar suara tawa teman yang sedang asyik menonton Extravaganza. Kekesalan menghadapi cucian berember-ember menguap begitu saja saat mencium aroma tempe goreng dan percakapan teman-teman yang sedang memasak di dapur. Rasa jengkel gara-gara invasi semut merah lenyap seketika saat bergabung di depan TV untuk melihat babak workshop Indonesian Idol (yang dulu mah boro-boro saya ikuti). Sebal gara-gara udara panas yang membuat keringat terus-terusan mengalir langsung sirna begitu tubuh tersiram air keran yang sejuk. Kembung di pagi hari akibat terpapar kipas angin seperti tidak ada artinya ketika mendengar teman kos jebar-jebur di kamar mandi sambil bernyanyi-nyanyi riang. Seluruh penat hilang ketika saya berdiri di balkon, tepat di depan kamar, ngadem sambil memperhatikan atap rumah tetangga dan menatap langit malam yang tidak pernah berbintang.

Mendadak saya merasa ‘bebas’. Hidup ini milik saya seutuhnya, dan apapun pilihan yang saya buat akan menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya, lengkap dengan segala konsekuensinya.

Saya memilih untuk tidak melihat konsekuensi sebagai ‘akibat’ dari keputusan yang ‘harus’ saya jalani, melainkan memandangnya sebagai sebuah pembelajaran. Sama seperti ketika saya mengejar mimpi-mimpi saya dan menemui begitu banyak kegagalan. Saya memilih untuk tetap berjalan. Saya memilih untuk bangkit dan terus mencoba. Saya menolak untuk dikalahkan oleh rasa jenuh dan putus asa. Saya menolak untuk berhenti ketika menghadapi tembok. Saya berjalan memutar. Saya mendaki. Saya memanjat.

Dalam saat-saat paling sukar dimana saya merasa tidak ada gunanya meneruskan perjalanan, impian-impian itu menopang semangat saya – menuangkan bensin pada nyala api yang mulai redup. Saat saya mulai mempertanyakan keputusan yang saya buat, saya diingatkan bahwa tidak ada gunanya menyesali sebuah pilihan, karena hidup diciptakan untuk terus dijalani; ke depan, bukan ke belakang. Saat saya merasa kehabisan energi untuk terus melangkah, saya membuka kembali lembaran-lembaran mimpi yang tersimpan rapi di dasar hati dan menemukan tenaga untuk kembali berjalan.

Sederhana saja. Saya memilih untuk bertahan.

Saya selalu percaya pada kekuatan mimpi. Mimpi yang ‘menghidupkan’ saya. Mimpi yang memberi makna dalam tiap jengkal langkah saya. Mimpi yang menyediakan masa depan dan menyalakan sinar dalam malam-malam tergelap saya. Saya tidak akan berhenti bermimpi, dan saya tidak akan jera mengejar mimpi-mimpi itu sambil terus berharap pada Sang Pemilik Kehidupan yang berkuasa mewujudkan setiap impian — menurut cara-Nya sendiri.

Saya selalu percaya Ia akan memeluk setiap harapan, dan karenanya saya tidak pernah takut untuk bermimpi. Saya selalu yakin, Ia yang berkuasa menilik hati setiap manusia, yang telah memberi kekuatan pada kaki-kaki saya, juga akan membukakan jalan ketika saya terus menapak dengan hati yang senantiasa terbuka untuk belajar dari kesalahan serta mengisi hidup dengan rasa syukur.

—–

Saya bersuara pelan. “Mimpi memang bisa ngasih arti di hidup kita, tapi ngeri banget kalau mimpi sampai bikin kita jadi ‘buta’ dan nggak sanggup ngeliat konsekuensi di depan.”

“Atau punya ambisi berlebihan,” teman saya menimpali. Lagi-lagi kami membisu, melanjutkan makan siang dengan benak mengembara.

Tidak punya pilihan? Bukankah tindakan menjalani hidup yang tanpa pilihan itu juga sebuah keputusan?

Entri ini hanya ditulis dari sebuah percakapan singkat saat makan siang. Kontemplatif? Mungkin tidak. Sok bijak? Sepertinya. Menggurui? Mudah-mudahan tidak.

Mungkin yang saya tulis ini tidak ada artinya untuk sebagian orang, bahkan nggak jelas ujung pangkalnya. Tapi, bagi artis muda cantik nan berbakat seseorang yang sedang mengejar mimpi untuk berjaya di dunia internasional dengan cara memperpanjang kaki dan menggunakan tulang artifisial sepanjang 15 senti demi menambah tinggi badan (dengan resiko osteoporosis dini, kelumpuhan setelah 1 dekade, plus pantang berolahraga), mudah-mudahan tulisan ini akan punya arti.

Semoga. 😉

*Entri pertama yang saya tulis di ‘rumah baru’, pukul 1 malam, dengan jendela terbuka sambil mendengarkan rintik hujan.. yes, nggak penting ;-D