Tentang Pelecehan dan Dilecehkan

Sudah ada entri yang saya tulis dan siap dipublikasikan di sini. Tapi begitu membaca ini, mendadak saya berubah pikiran.

Pelecehan seksual memang bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan korbannya bisa siapa saja *perasaan ini kayak iklan layanan masyarakat apa gitu, ya?*.

I had been there, too.

Pelakunya? Bukan pacar, bukan orang asing, bukan penjahat kelamin. Saya mengalami pelecehan seksual ketika duduk di bangku SD. Pelakunya orang yang sangat dekat dengan keluarga saya dan sudah dianggap keluarga sendiri oleh orang tua saya, sehingga akses keluar-masuk rumah dan kamar (!) terbuka lebar.

Di sisi lain, orang tua saya super-sibuk, mereka hampir tidak pernah ada di rumah dan kualitas komunikasi kami kurang baik (okay, jelek). Saya sendiri, ya namanya juga anak kecil, mau diapain juga terserah.

Peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama, dan saya masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi – boro-boro lapor ke Komnas HAM, mikir aja nggak. Yang saya tahu hanya, setiap kali itu terjadi, saya merasa aneh. Saya merasa tidak nyaman, that’s it.

Waktu saya beranjak besar, saya mulai mengerti… dan akhirnya sakit hati. Ya iyalah, siapa juga yang mau dilecehkan? Kalau mau, mah, namanya bukan pelecehan 😀

Beberapa tahun lalu, seorang teman bercerita kepada saya sambil nangis bombai. Ia mengalami pelecehen seksual di kamar hotel. Usut punya usut, teman saya berterus-terang bahwa ia baru berkenalan dengan laki-laki setanjahanam itu –sebut saja Pak Anu– dan mereka baru bertemu sekali dalam rangka business meeting. Dalam pertemuan kedua, teman saya (yang waktu itu sedang menginap di hotel) tanpa curiga mengiyakan perubahan rencana yang diusulkan Pak Anu (dari yang awalnya janjian di suatu tempat, lalu pindah ke lobby hotel tempat teman saya menginap). Setengah jam berbincang di lobby, Pak Anu mengeluh bahwa suasana yang agak ramai membuatnya tidak nyaman. Dan teman saya, tanpa curiga sedikit pun, mengajaknya pindah ke… kamar.

Halah.

Setelah diinterogasi lebih lanjut (baca: ditanya pelan-pelan dengan penuh simpati), teman saya bercerita bahwa dari awal bertemu, memang ada sesuatu yang tidak beres. Pak Anu, alih-alih membicarakan masalah bisnis, malah merayu teman saya dengan memuji-muji kecantikannya, mengata-ngatai mantan pacar teman saya, sampai akhirnya obrolan nyangkut ke urusan ranjang.

Saya: “Trus, lo gak curiga?”
Teman saya: “Nggak. Ya gue pikir doi simpati aja ama gue, gara-gara gue baru putus.”
Saya: “Lha, terus urusan bisnisnya?”
Teman saya: “Gak kebahas bo, yang ada malah ngomongin gituan deh…”
Saya: “…..”

Kasus lain, sepupu saya –mahasiswa kedokteran nan alim lagi baik budi dan rajin menabung (seriously!)—mengalami pelecehan waktu sedang menunggu taksi dalam perjalanan ke kampus. Dia dibekap dari belakang, sedemikian rupa sampai tidak bisa bergerak, dan payudaranya diremas-remas. Untungnya dia cukup sadar untuk tidak panik berlebihan. Setelah meronta sekuat tenaga, sepupu saya berhasil mencakar tangan si Setanjahanam dan kabur menyelamatkan diri.

Respon pertama keluarga besar saya (selain mencaci maki Setanjahanam itu tentunya):

“Jalanan situ tuh emang bahaya, sepi-sepi gitu, suka banyak orang jahat.”

Masalahnya, mau sepi kek, ramai kek, bahaya kek, aman kek, sepupu saya tetap harus melewati rute yang sama tiap kali berangkat kuliah, karena itulah satu-satunya jalan untuk mencapai kampusnya. Tidak ada jalan tikus, tidak ada jalan lain, tidak ada alternatif kecuali kalau dapat tebengan gratis.

Meski sempat trauma, akhirnya sepupu saya kembali menempuh rute yang sama setiap hari. Berdiri di pinggir jalan yang sama (cuma tempatnya bergeser beberapa meter, hehehe), menunggu taksi pada jam-jam yang sama, dan demikian seterusnya. Apa boleh buat. Menyalahkan situasi sudah tidak ada gunanya, yang ada malah bikin tambah stress.

Meski pelecehan yang saya alami tidak pernah berujung pada penetrasi/pemerkosaan, ketika saya beranjak dewasa peristiwa itu menimbulkan bekas yang cukup dalam. Saya terluka dan sakit hati. Saya menghabiskan waktu untuk mengutuki Tuhan, membenci-Nya karena membiarkan hal itu terjadi pada saya. Mau menyalahkan diri sendiri nggak mungkin, karena semuanya terjadi di luar kendali saya sebagai bocah. Saya hanya bisa memaki 2 sosok itu: si pelaku dan Tuhan.

Masalah beres? Boro-boro. Sementara hidup terus berjalan, saya menjelma jadi nenek sihir bitchy yang mengutuk segala sesuatu dalam kemarahan.

Sampai akhirnya saya sadar, tidak ada gunanya menyalahkan siapa pun; Tuhan, diri sendiri, keadaan. Walau kedengaran klise, life goes on. Ketika saya sibuk menyalahkan situasi, kehidupan tidak akan berhenti berputar.

Meski sempat berdarah-darah, akhirnya saya belajar bahwa kejadian itu bukan kesalahan saya, bukan salah situasi, dan sama sekali bukan salah Tuhan. Itu hanya sebuah peristiwa, yang terjadi pada suatu masa dan kurun waktu tertentu dalam kehidupan. Tidak lebih.

Salah si pelaku? Umm… iya juga sih, hehehe.

Intinya, saya cuma mau bilang pada seluruh perempuan di muka bumi yang pernah mengalami pelecehan dalam bentuk apa pun: Stop blaming yourself. Stop blaming your situation. Being abused is bad enough, don’t make it worse. Percayalah, itu tidak ada gunanya. Been there done that 🙂

Dan jangan pernah merasa nista. Nista itu kalau mencuri, menggelapkan uang orang, memfitnah, memperkosa, mencari nafkah dengan cara haram, dan masih banyak lagi yang bisa dikategorikan nista. Tapi menjadi korban pelecehan jelas bukan salah satunya.

Tidak ada yang salah dengan merasa shocked. Menangis bisa melegakan, dan sah-sah saja jadi cengeng. I cried, too. Sepupu saya menangis. Teman saya apalagi. Tapi, jangan lupa bahwa hidup harus terus bergulir.

Hari esok akan tetap menjelang, apa pun yang terjadi. Karenanya, hadapi semua dengan berani dan percaya diri. Tapi, kalau kedua hal itu terlalu sulit untuk dilakukan, setidaknya cara yang satu ini bisa menjadi resep yang ampuh untuk bangkit kembali:

Cry, and get over it.

🙂

PR Liburan

16 hari. Cukup panjang untuk liburan akhir tahun. Saya dan beberapa rekan sekantor langsung membayangkan, enaknya liburan ini diisi dengan apa, mau apa, dan kemana.

17 Desember. Hari terakhir masuk kerja di tahun 2007. Kami semua dipanggil — rapat akhir tahun, sekaligus pembagian hadiah natal. Kado-kado dalam bungkus cantik dibagikan, dengan nama setiap orang di atasnya. Semua hadiah itu berbentuk persegi panjang. Isinya buku.

“Baca di rumah, jadikan PR, dan buat ringkasannya. Dikumpul pada hari pertama kerja, awal tahun depan.” Itulah kalimat penutup rapat akhir tahun yang diucapkan atasan kami.

Yang pertama terlintas di otak saya adalah, “PR? Nggak salah?” Berasa balik ke jaman SD. ;D

Kami kembali ke ruangan masing-masing. Kertas kado disobek. Buku dikeluarkan. Hal pertama yang dilihat? Tentu tebal bukunya.

“Punya gue tebal banget,” cetus seorang rekan.

“Punya gue juga lumayan, nih,” cetus yang lain. “Lo, Jen?”

“Lumayan,” sahut saya, setengah nggak konsen.

Saya membolak-balik buku saya, mengamati isinya sejenak sebelum menutupnya kembali. Pikiran saya masih terfokus pada stok opnam yang harus saya lakukan, first thing in the morning. Dan laporan-laporan yang menunggu untuk dikerjakan. Belum lagi komputer yang mendadak ngadat dan berpotensi menyebabkan gangguan jiwa. Seandainya bisa, saya ingin berteriak pada komputer itu, “TOLONG JANGAN RUSAK SEKARANG. GUE MAU LIBURAN!!!”

Minggu berikutnya, saya berkutat dengan kartu stok dan timbunan barang di gudang, sementara kantor sudah sepi. Sejujurnya, saya malah senang, karena suasana sepi membuat saya lebih mudah berkonsentrasi. Tak lupa, demi menghibur diri karena masih masuk saat yang lain sudah libur, saya meluangkan waktu untuk nonton di mal yang tak jauh dari kantor.

Pikiran saya terus beradu. Pada komputer pengacau yang tak berbelaskasihan. Pada laporan yang tak kunjung selesai. Pada stok opnam yang melelahkan. Pada pernikahan seorang saudara yang tinggal menjelang hari, di mana saya bertugas sebagai penerima tamu (dan meskipun judulnya ‘cuma’ menerima tamu, minimal saya harus menyiapkan tenaga untuk stand by seharian penuh, dengan high heels dan kebaya). Belum lagi ringkasan buku ini.

Ah, sudahlah. Makin dipikir, makin numpuk rasanya. Tak usahlah dipusingkan. Kerjakan saja.

Stok opnam selesai. Laporan selesai. Komputer saya crash (aaaarrrghhhh!). Saya hanya punya waktu sehari untuk pulang (yup, selama lembur saya menginap di kantor) dan beristirahat, untuk kembali menggeber tenaga esok harinya di pernikahan saudara.

Saya meriang. Mungkin karena pergantian cuaca. Mungkin juga karena kecapekan. Apa pun penyebabnya, saya tak mungkin minta dikeroki, seperti kebiasaan saya jika masuk angin. Kebaya yang sudah dimodifikasi itu akan menampilkan sebagian punggung atas saya. Tak mungkin saya memperlihatkan loreng-loreng merah dalam resepsi pernikahan.

Sehari setelah pesta usai, saya pergi ke gereja. Bertemu dengan beberapa rekan kantor (yup, kami beribadah di tempat yang sama). Pertanyaan pertama yang saya dengar bukan “Apa kabar?”, melainkan “Bukunya sudah sampai mana?”

Saya cuma cengar-cengir dan menjawab seadanya. Buku saya baru tersentuh seperempatnya.

Esok paginya, saya berangkat ke Puncak untuk liburan selama 5 hari. Tanpa buku. Tanpa ingat bahwa saya punya PR yang harus dikumpulkan pada hari pertama masuk kantor. Saya ingin menikmati liburan dan tak ingin terdistraksi oleh apa pun.

Begitu bis yang saya tumpangi –sekembalinya dari perjalanan- berhenti di terminal, saya jelalatan mencari ojek. Di benak saya hanya ada 1 kalimat: Pulang, mandi air hangat, baca buku. Buku PR, tentunya.

Ternyata, buku PR tidak se’rumit’ yang saya bayangkan. Awalnya saya ketar-ketir membandingkan tebalnya dengan sisa waktu yang saya punyai sebelum masuk kerja. Keburu nggak, ya?

Namun kekhawatiran itu tidak terjadi. Ternyata saya bisa menikmati buku itu, jauh melebihi yang saya bayangkan. Isinya bagus dan sangat cocok untuk saya, sampai saya berpikir jangan-jangan atasan saya punya indra keenam. Sekejap saja saya sudah tenggelam dalam keasyikan membaca. Saya lupa bahwa buku itu adalah PR. Yang saya tahu, saya menyukainya. Buku ini sangat bermanfaat dan akan banyak gunanya di kemudian hari.

Lalu saya mulai menulis.

Tulis, tulis, tulis. Ketik, ketik, ketik.

Saya menikmatinya, dan bertekad menjadikan PR ini bukan sekedar ‘tugas’ maupun ‘ringkasan’ belaka. Saya akan membaca ulang hasil pekerjaan saya di kemudian hari, dan saya akan menjadikannya berguna untuk kemajuan diri saya sendiri. Performa dan kinerja saya akan mengalami peningkatan drastis setelah ini, itulah yang saya pikirkan. Dan pemikiran itu menyuntikkan semangat baru bagi saya — setiap waktu, setiap saat.

Tiba-tiba saya sadar: untuk itulah pemimpin saya memberikan buku sebagai hadiah sekaligus pekerjaan rumah.

Buku itu bukan sekadar tugas. Ringkasan itu bukan sekadar PR untuk mengisi liburan. Buku itu berisi prinsip-prinsip dan ‘bekal’ yang besar faedahnya bagi kami semua. Kenapa harus dijadikan PR? Ya iyalah. Kalau saya diberi buku semacam itu ‘hanya sambil lalu’, yang akan saya lakukan paling banter hanya membacanya sebagian, setelah itu bosan dan membiarkannya tertumpuk bersalut debu. Karena ada deadline di penghujung hari, saya jadi terpacu menyelesaikannya dan berhasil memetik manfaatnya.

Saya salah. Atasan saya tidak punya indra keenam. Yang mereka punyai adalah hati yang peduli.

🙂

Hari Minggu tiba lagi. Saya kembali bertemu dengan rekan-rekan sekantor. Pertanyaan yang diajukan masih sama.

“Bukunya sudah sampai mana?”
“Sudah bab berapa?”
“Udah mulai ngeringkas, atau masih baca-baca?”

Saya menjawab sekenanya, dengan cengar-cengir yang sama. Entah kenapa, mendadak saya tak lagi menganggapnya sebagai tugas. Sisa liburan yang sedianya akan saya manfaatkan untuk facial dan potong rambut memang jadi terpakai untuk menyelesaikan dan meringkas buku, tapi rasanya saya tak keberatan. Saya sedang berinvestasi.

Ringkasan tersebut selesai tepat sehari sebelum saya kembali bekerja. Saya sangat bangga. Saya’ menang’ terhadap diri sendiri, walau dalam skala yang kecil.

Lagi-lagi, pertanyaan senada memenuhi udara pagi yang segar di awal Januari, ketika rekan-rekan saya saling bertukar ‘informasi’: sudah sampai bab berapa, sudah meringkas atau belum, bagaimana cara menulisnya, harus sepanjang apa, dan sebagainya.

Pimpinan saya masuk ke ruang meeting. Pertanyaan pertamanya adalah, “Bagaimana PR-nya, sudah dikerjakan atau belum?”.

Selesai rapat, semua segera berhamburan ke meja masing-masing. Berkutat dengan buku dan komputer sampai jelang makan siang, bahkan ada yang lembur sampai malam, lantaran bukunya nyaris belum tersentuh sama sekali.
Atasan saya geleng-geleng kepala. Saya sempat mendengar beliau bergumam, “Gimana sih.. itu buku kan dikasih buat dikerjain di rumah.”
Saya tersenyum lebar.

Ringkasan saya, sepanjang 6 halaman dengan font 11 dan spasi 1,5, sudah tergeletak manis di atas meja.

🙂

Perjalanan Dadakan dan Pilihan Tahun 2008

“Milih aja lama.” cetus seorang teman ketika kami mengantri di sebuah gerai kopi, tepat di belakang remaja-remaja bawel yang ribut memilih pesanan sambil bercanda.

Beberapa sibuk memilih kopi, membatalkan pesanan untuk memilih yang lain, kemudian berdiskusi muffin mana yang paling enak. Sisanya sibuk ngobrol dengan berisik tanpa berniat menyingkir, menyebabkan antrian mandek di situ.

“Baru milih kopi, belum milih hidup.” tambah teman saya, yang langsung saya setujui.

Beberapa minggu terakhir, banyak banget kejadian menyebalkan yang saya alami (entah memang nyebelin, atau saya-nya aja yang mulai senewen), mulai dari komputer rusak, berurusan dengan manusia-manusia paling ngeselin sedunia yang kelakuannya bikin pengen garuk-garuk tanah, sampai hal-hal sepele yang dengan mudahnya bikin saya naik darah dan bawaannya pengen nyolot.

Demi kesehatan jiwa, saya memutuskan untuk berlibur.

Awalnya saya berniat pergi ke Jawa Tengah. Traveling sendirian, keliling-keliling sampe bego, miskin-miskinan kalau perlu (yang diketawain semua orang dan bikin saya bolak-balik mikir: Emang salah gitu, kalo gue jalan-jalan bukan buat shopping?).

Niat itu agak goyah setelah saya ngobrol via SMS dengan seorang kawan yang baru kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan masa jabatan di Belanda. Setelah lama tidak berjumpa *alah*, saya pikir seru juga kalau ketemuan, mumpung liburan dan Neng Supersibuk ini sedang punya waktu luang.

Niat ke Jawa Tengah sama sekali berubah ketika kawan lain mengajak jalan-jalan ke Puncak. Saya mengiyakan dan langsung mengepak pakaian untuk perjalanan selama 5 hari dengan rute Puncak-Bandung-Sukabumi.

(FYI, keputusan diambil sehari sebelum perjalanan. Super dadakan. Don’t ask why.)

24 Desember, pukul 9 pagi, saya turun dari mobil dan menarik nafas dalam-dalam, menghirup kesegaran hawa Puncak. Saat yang lain asyik melihat-lihat kaktus mini dan anggrek, saya menyelinap ke kamar mandi dan membasuh wajah dengan air dingin. Segar sekali. Tidak lama kemudian, poffertjes manis-gurih dan secangkir cokelat mengepul datang –- sajian pertama dalam liburan-menyejukkan-hati.

Saya menyesap cokelat panas, mengunyah sepotong poffertjes, melihat rimbunan pohon dan pucuk gunung di luar jendela, dan merasa kepenatan saya pelan-pelan menguap. Sebagian.

Udara sejuk. Titik-titik gerimis di kaca mobil dan di permukaan kulit. Hujan lebat yang membasuh bumi dari debu polusi. Kuda-kuda yang ditudungi plastik agar tak kedinginan. Rumah peristirahatan aneka rupa dan bentuk. Nasi timbel hangat dan teh panas. Pisang goreng bersalut keju dan cokelat. Puding nikmat diguyur vla dan kue dengan rhum yang banyak. Chardonnay dengan es batu. Bercanda dan tertawa sampai sakit perut. Mengobrol sampai mulut terasa kering. Semuanya menyegarkan hati.

Esok paginya, saya sampai di Bandung. Kali ini sendirian.

Nasi goreng sosis yang gurih. Milkshake cokelat yang menyegarkan. Menitipkan tas di sebuah factory outlet supaya bisa jalan-jalan dengan santai. Numpang men-charge handphone di tempat yang sama (mokal? Iya lah. Abis gimana lagi, kepepet, hahaha!). Berburu oleh-oleh untuk si kecil Alex sambil harap-harap cemas, mudah-mudahan tas saya aman. Bertemu si Jeng yang baru kembali dari misi-menunaikan-panggilan-hati. Mencicipi Starbucks lagi, setelah berbulan-bulan (kayak di Jakarta nggak ada aja :D). Lukisan seniman tattoo yang bikin terkagum-kagum. Cerita-cerita kocak sambil cekikikan. Menghitung mobil berplat B di parkiran mal. Membahas segala hal yang tak penting. Semuanya menenteramkan hati.

Malamnya saya berangkat ke Sukabumi.

Bertemu lagi dengan Jeng ini. Shocked mendapati ternyata dia memelihara DELAPAN anjing, sementara saya paling takut dengan hewan satu itu. Sok Berakrab ria dengan anjing-anjing demi menghilangkan fobia, dan jerit-jerit ketika diterjang sampai jatuh dan digigit (nggak sakit sebenernya, malah lebih kerasa malunya, hehehe), serta belajar menghafal kebiasaan masing-masing anjing. Nasi uduk ungu plus teh panas. Pangsit pengantin dan soto mie di pinggir jalan. Lapis legit dan tiramisu lembut dengan Bailey. Menyimak foto dan cerita perjalanan. Menyusuri Sukabumi di bawah siraman air dari langit pukul 3 sore. Ngobrol sampai jam 4 pagi. Maraton menyetel dorama sampai jam 2 subuh.

Ketika saya tersadar, semua penat sudah hilang. Lenyap entah ke mana. Mungkin terbawa hembusan angin dingin yang membuat saya merapatkan jaket. Mungkin pergi bersama uap teh panas dalam hujan bulan Desember. Mungkin menyingkir ketika saya larut dalam alur dorama. Atau ketika saya cengar-cengir norak campur senang setiap kali anjing-anjing menggemaskan itu datang untuk minta disayang (dan menjilati saya dengan lidah yang basah dan hangat)…

—–

Saya memandang keluar dari balik kaca mobil.

Kabut mulai turun. Makin lama makin tebal, sampai tidak terlihat apa-apa kecuali gumpalan putih yang membatasi jarak pandang. Beberapa orang yang tadinya tidur terbangun, duduk tegak sambil mencoba memperhatikan jalan – dan sia-sia karena kabut sangat pekat dan nyaris tidak bisa ditembus lampu mobil. Mobil-mobil lain tidak terlihat. Pohon dan pembatas jalan lenyap dari pandangan, tertutup kabut putih dingin yang bergulung-gulung.

Mobil terus bergerak. Pelan dan hati-hati. Menembus kabut tanpa suara. Merayap pasti.

Menjelang tikungan, kabut mulai menipis. Setelah melewati tikungan, gumpalan putih itu hilang sama sekali, meninggalkan pemandangan yang bersih dan jernih. Semua orang dalam mobil mendesah lega.

Sambil memandang keluar –ke jalanan yang basah oleh rintik dari langit, saya membuat sebuah keputusan untuk tahun yang akan datang. Bukan resolusi dengan daftar panjang, bukan rancangan hebat disertai target, bukan pula rencana liburan selanjutnya. Hanya sebuah pilihan sederhana untuk 2008 yang akan segera menjelang.

Saya telah menetapkan untuk terus melangkah maju, ada atau tanpa kabut.

Feliz Navidad y Año Nuevo!
Merry Christmas and Happy New Year! 🙂

Si Nyolot Janet

“DUUUH, DUNIA SEMPIT BANGET SIH!”

Saya menoleh, spontan mencari sumber suara itu. Teriakan itu terasa agak mengganggu, karena diucapkan dengan nada tajam dan *ehem* nyolot di antara kerumunan anak Sekolah Minggu berusia antara 2 sampai 12 tahun yang memadati aula gereja dalam rangka perayaan Natal.

There she was, duduk di atas tempat tidur dengan beberapa anak perempuan lain, sibuk menghias kaus kaki Natal dengan bahan seadanya. Dalam perayaan kali ini, semua anak diwajibkan menghias kaus kaki flanel yang nantinya akan diisi hadiah dan mereka semua menginap di aula yang sudah disulap jadi lautan matras.

Namanya Janet. Rambutnya pendek dan ia satu kepala lebih tinggi dari anak-anak seusianya. Sekilas melihat saja, ia sudah tampak menonjol. Begitu ia buka mulut, semua orang menoleh.

Sumpah, cara bicaranya sangat nyolot untuk ukuran anak SD.

Beberapa anak yang sudah selesai dengan pekerjaan masing-masing menghampiri kerumunan kecil itu dan asyik menonton sambil berceloteh ribut.

“KITA HARUS SABAR YA LON, BIKIN PRAKARYA DI RUANGAN KAYAK GINI!”

Ilona -anak yang diajak bicara- tidak menyahut. Beberapa pasang mata menatap Janet dengan sorot terganggu, tapi ia tidak peduli. Nggak nyadar, malah.

Semakin banyak anak yang datang berkerubung. Matras dan bantal diinjak-injak. Janet melirik matrasnya yang tidak jauh dari situ.

“TERUS AJA INJEK-INJEK RANJANG GUA! BIKIN TANGAN GATEL AJA PENGEN MUKUL!”

Saya menoleh ke arah yang dimaksudnya, dan melihat bocah yang dengan inosen enjot-enjotan di atas matras Janet.

Si kecil Alex.

Hayyyah.

“Janet, kamu itu terlalu jujur kalo ngomong,” cetus Ilona, yang pembawaannya halus dan sangat lembut.

“Emang.” Janet membalas cuek.

“Menurut aku kamu terlalu kasar,” sela adik Ilona.

Janet diam saja. Saya sempat mikir, “Dalem bo, daleeeem” dan menyangka Janet akan menghentikan polahnya.

Seorang guru Sekolah Minggu menghampiri Janet, memperhatikan pekerjaan tangannya dan berkomentar di depan anak-anak lain, “Ini manik-maniknya kalo ditempel di sini, warnanya jadi mati.”

(FYI, guru Sekolah Minggu ini adalah seorang bapak dua anak yang mengajar di kelas Senior.)

“TERUS AJA KASIH TAU SEMUA ORANG!!”

Buset dah.

Setelah puas melihat-lihat, saya meninggalkan mereka.

Tadi pagi, saya kembali untuk menonton anak-anak itu berburu kado Natal dan menghias ginger bread.

Setiap anak mendapat sepotong ginger bread, whipped cream, permen dan cokelat aneka bentuk untuk menghias kue masing-masing. Setelah berkeliling, saya kembali nyangkut di tempat Janet dan kawan-kawan.

Cukup lama Janet menunggu giliran untuk menyaluti kuenya dengan whipped cream, karena sendoknya hanya satu. Ketika tiba gilirannya, Janet memulas kuenya dengan hati-hati dan rapi. Setelah seluruh permukaan kue tersalut whipped cream, ia mulai mengambil cokelat mungil berbentuk bulat.

Saya terus mengamatinya bekerja. Boleh juga. Sangat cermat dan telaten, jauh lebih rapi dibanding teman-temannya.

Lumayan deh, biar galak seenggaknya kerjaannya bagus, pikir saya usil.

Tiba-tiba, seorang gadis cilik menghampiri kelompok Janet dan langsung berjalan ke arahnya.

Janet sedang berkonsentrasi menyusun cokelat supaya tidak merusak lapisan whipped cream yang mudah sekali tercecer. Badannya membungkuk, keningnya berkerut-kerut.

Bocah itu duduk persis di sebelah Janet, nyaris menempelkan tubuh ke lengan Janet, mengacungkan ginger bread yang bentuknya nggak karuan sambil berseru lantang:

“CICI JANET, LIAT DEH PUNYA AKU.”

Mampus dah.

Saya sungguh iba pada nasib si bocah tak berdosa.

Tapi Janet tidak berteriak.

Ia menoleh, memperhatikan ginger bread yang nggak jelas wujudnya itu dan berkata pelan, ”Iya, nanti ya, lagi ngerjain ini dulu.”

Bocah itu menarik tangannya dan duduk nyaman di sisi Janet, masih dengan posisi hampir lendotan di lengan Janet.

Bocah kedua datang dan melakukan hal yang sama: menunjukkan hasil karyanya kepada Janet dan menunggu komentar gadis itu.

Lalu bocah ketiga datang, dan begitu seterusnya. Janet meladeni mereka dengan sabar sambil terus berkonsentrasi menyelesaikan ginger bread-nya.

Akhirnya kue berbentuk boneka itu selesai dihias. Janet menyingkirkan sisa cokelat dan memandang ‘prakarya’nya dengan bangga. Saat itu, di sekelilingnya sudah berkumpul anak-anak kecil yang usianya tak lebih dari 5 tahun.

Saya melongo bego.

Kemana monster kecil yang tadi malam?

Usai perayaan, saya duduk di meja makan dan ngobrol dengan seorang guru Sekolah Minggu yang juga kawan saya. Saya bertanya tentang Janet dan sikapnya semalam.

“Oh, Janet. Iya tuh, semua orang nanyain tentang Janet.” Ucap kawan saya sambil cengar-cengir. “Anaknya emang gitu, tapi sebenernya dia baik. Sama anak kecil ngemong banget, malah.”

Saya kembali bengong dengan blo’on.

Di pojok ruangan, Janet sedang sibuk berfoto dengan Ilona dan adiknya memakai kamera handphone dalam berbagai gaya. Setiap kali kamera selesai dijepretkan, mereka akan berebut mengamati hasilnya sambil tergelak-gelak seru. Semuanya, termasuk Janet.

Dia tidak ada bedanya dengan anak-anak lain. Polos, heboh, ceria dan sama berisiknya.

Saya memandangnya, dan langsung merasa malu karena terlalu cepat menghakimi.

🙂

Buon Compleanno!

Hari ini, persis setahun yang lalu, saya mulai ‘aktif’ di blogosphere, menjadi satu dari sekian ribu blogger di Indonesia (belum bisa ngomong ‘juta’, soalnya target belum tercapai — bukan begitu, Panitia? *wink-wink*). Terinspirasi ini dan ini, saya mulai menulis entri saya yang pertama. Yayaya, saya memang suka ikut-ikutan, so what? 🙂

Entri ini nggak penting, tapi buat saya penting. Ulang tahun pertama selalu paling berkesan, toh?

🙂

Untuk para bloghopper yang sudah meluangkan waktu untuk mampir dan mengintip blog ini –baik silent reader maupun yang merespon lewat comment box dan emailterima kasih banyak. Dukungan dan masukan kalian besar banget artinya buat saya. Tahu nggak, saya sering banget membaca ulang komentar di blog dan e-mail, dan komen-komen tersebut selalu menyemangati saya untuk tetap menulis saat saya merasa nggak PD. Terima kasih karena telah menjadi energy booster buat saya, jauh melebihi yang dapat kalian bayangkan.

Jadi, selamat ulang tahun, blog tersayang. Semoga ke depannya saya bisa terus mengisi halaman demi halaman dengan hal-hal yang berguna, di samping ngomel-ngomel curhat colongan tentunya. 🙂

Ti amo!