Menemukan Surga

We just can’t be separated.”

Itu jawaban singkat teman saya beberapa minggu lalu, waktu saya keheranan melihatnya gloomy berat akibat ditinggal suami keluar kota selama 4 hari. Gak tanggung-tanggung bo, ‘perpisahan’nya pakai nangis segala.

Pengantin baru?

Nggak juga. Mereka sudah menikah selama 1,5 tahun, tapi (memang) belum pernah berpisah semalam pun.

Awalnya saya nggak habis pikir. 4 hari gitu loh. Saya sempat meledeknya,”Baru juga 4 hari. Kalo 2 minggu gimana coba?”

“Nggak boleh.” Teman saya menjawab tandas. Saya ngakak.

“Lah, tapi kalo tugas kantor kan mau gak mau?” Pancing saya.

I’ll make him say ‘no’.” Lagi-lagi ia menjawab tegas, “kecuali gue boleh ikut,” tambahnya cuek. Singkat, padat dan bikin bengong.

Mendengar jawaban itu, saya jadi terdiam.

Mungkin memang ada orang-orang seperti itu, yang saking cintanya sampai nggak bisa pisah sehari pun — mereka yang menemukan ‘surga’ dalam diri pasangannya dan tidak sanggup ‘kehilangan’ walau sebentar saja. Sejujurnya, saya nggak bisa membayangkan apa jadinya kalau si suami harus pergi selama 10 hari, misalnya. Benar-benar nggak kebayang.

Di sisi lain, saya merasa menemukan ‘hal baru’ yang membuat saya bertanya-tanya: Kalau gue nikah nanti, kira-kira bakal kayak gitu nggak, ya?

*Uhmm… mudah-mudahan nggak. Tersiksa bo! Hehehe.

Anyway, selain gloomy berat, teman saya jadi kehilangan semangat selama ditinggal suami. Males kerja, males makan, males ngapa-ngapain. Kalau kehilangan ‘surga’, hidup rasanya kayak di ‘neraka’ kali ya? 🙂

Tadi siang saya menonton acara TV yang meliput panti perawatan khusus orang cacat mental di Jawa Tengah (namanya lupa). Bukan rumah sakit jiwa, melainkan semacam asrama yang diperuntukkan bagi mereka yang menderita gangguan jiwa. Pendiri sekaligus pengelola panti itu adalah seorang pria berpenampilan ‘nyentrik’ yang sekilas tampak sangar. Tapi, ketika wajahnya di-close up dalam wawancara, sepasang matanya bersinar lembut.

“Dulu panti ini cuma diisi 5 orang,” ia memulai ceritanya, disusul tayangan yang menampilkan aktivitas sehari-hari para penghuni panti: mendengarkan ceramah, melakukan pekerjaan ringan atau sekedar duduk-duduk di beranda.

“Cara kami merawat dan menyembuhkan mereka adalah melalui pendekatan agamis,” ia kembali bertutur. Rambut keriting yang terurai panjang dan jenggot yang dibiarkan dalam keadaan serupa tidak menutupi ketulusan yang terpancar dari matanya.

“Untuk penghuni yang baru datang dan belum bisa mengendalikan tingkah laku, kami siapkan ruangan khusus berbentuk seperti sel. Kami tempatkan mereka di sana selama 3 hari, maksimal 7 hari. Setelahnya kami lepaskan, dengan syarat mereka harus membawa sebuah bangku kemana-mana. Tujuannya untuk menguji dan melihat sejauh mana mereka bisa dipercaya. Setelah itu, kami bebaskan mereka sepenuhnya di dalam panti.”

Kalimat-kalimat itu sempat membuat saya bergidik, ditambah gambar seorang wanita yang menangis keras-keras di balik pintu berterali besi. Tapi, sekali lagi, ada ketulusan dalam suara laki-laki itu. Kedengarannya kejam, tapi apa yang dilakukannya semata-mata demi kebaikan seluruh penghuni panti.

Saya terkesima.

Tidak banyak yang berani bergaul dengan orang gila, namun pria bersahaja ini menghabiskan setengah hidupnya untuk merawat puluhan orang yang terkucil dari masyarakat dan terlunta-lunta akibat gangguan jiwa.

Sebagian dari kita mungkin akan mengernyit jika melihat orang gila berkeliaran di pinggir jalan. Sebagian lagi mungkin cepat-cepat menyingkir. Sebagian lagi mungkin memilih untuk cuek. Tidak dengan pria ini, karena orang gila adalah dunianya.

Lagi-lagi saya teringat dengan teman yang mewek karena ditinggal suami selama 4 hari.

Baginya, sang suami adalah segalanya.

Akhir-akhir ini saya sedang dekat dengan Alex, putra sahabat saya (sekaligus satu-satunya anak kecil yang namanya paling beredar di sini ^_^). Belum lama ini, Alex ditinggal daddy-nya untuk perjalanan dinas selama hampir sebulan penuh (tiap minggu pulang, tapi cuma sebentar). Di minggu terakhir, Mommy menyusul. Jadilah saya menginap di rumah mereka, menjaga si kecil bersama nanny-nya.

Sebelum menginap di sana, saya sudah sering bermain dengan Alex, membacakannya buku, menemaninya jalan-jalan atau sekedar nonton TV. Tapi menjumpainya first thing in the morning, mendengarnya mengucapkan “Morning, Auntie” dengan suara cadel, memandikannya karena ia ngotot “Da au bui Ncus, bui Auntie” (terjemahan bebas: Nggak mau mandi sama Suster, mau sama Auntie), membacakannya buku sementara ia bersandar di dada saya, memeluknya, menggendong, memangku dan merasakan tubuh mungilnya bergelung nyaman dalam pelukan saya, adalah hal-hal yang sama sekali berbeda.

Mendengarkan rengekannya, menenangkannya, mengusap punggungnya ketika ia kangen pada Mommy dan Daddy mendadak menjadi sesuatu yang priceless buat saya. Mendengar gelak tawanya saat bermain kereta-keretaan, mendiamkan saat ia menangis dan membujuk sambil mengelus-elus kepalanya tiba-tiba menjadi sangat menyentuh dan meninggalkan kesan mendalam, padahal saya sudah mengenal bocah ini sejak ia lahir.

Bersama Alex menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Merasakannya bersandar di tubuh saya dan membiarkannya naik ke pangkuan saya (lalu meringkuk di sana) selalu memberikan sensasi menyenangkan yang susah diungkapkan. Kalau menurut Mbakyu ini, sepertinya itulah yang dinamakan keajaiban.

Sepotong surga dalam dunia.

Indah, bos. 🙂

Iklan terakhir selesai ditayangkan (iya, ini mikirnya selama jeda iklan :-)). Wajah laki-laki bersahaja itu kembali muncul di layar. Pertanyaan terakhir si pewawancara adalah: Bagaimana rasanya hidup dengan begitu banyak orang gila?

Ia tersenyum.

“Orang gila adalah teman-teman saya. Nafas saya. Orang gila adalah surga saya.” Itulah caranya menjawab.

Saya ikut tersenyum.

Semua orang mencoba memaknai hidup dengan mencari surga dalam wujud yang berbeda-beda, menurut rupa yang terlihat oleh hati. Berbahagialah mereka yang menemukannya. 🙂

Gambar diambil dari gettyimages.com

Bener-Bener Bosen

Pernah nggak merasa bosen BERAT pada pekerjaan rutin yang sudah dijalani selama kurun waktu tertentu?

Saya pernah. Dan nyebelinnya, sekarang juga sedang.

Saya ingat banget, waktu awal-awal bekerja, saya sangat bersemangat karena merasa menemukan tantangan baru (di samping mendapat aktivitas yang membebaskan saya dari perasaan sumpek akibat kelamaan jadi pengangguran). Saking semangatnya, saya nggak keberatan nginep berhari-hari di kantor demi menyelesaikan pekerjaan, malah saya sempat, lho, mikir, “Ini office hour-nya kok cepet amat, ya? Mestinya dipanjangin nih.”

*Tsah* 🙂

Setelah 3 bulan, perasaan ‘terbiasa’ itu mulai datang, tapi saya cuek dan tetap menjalani pekerjaan seperti seharusnya. Masuk bulan ketujuh, saya mulai gelisah mirip cacing dituangin garam (belum pernah liat? Coba deh, tapi dikit aja, kasian cacingnya, hehehe). Semua yang awalnya begitu menyenangkan dan penuh tantangan sekarang tidak lebih dari rutinitas yang harus diselesaikan tepat waktu. Bulan kedelapan sampai keduabelas, saya mulai gampang uring-uringan di kantor. Bosen kuadrat pangkat tiga dikali lima.

… sampai akhirnya atasan saya mempercayakan sebuah proyek yang cukup besar untuk saya tangani.

JRENG–JRENGGG…

Semangat yang tadinya redup –kayak bohlam 5 watt yang udah mau putus- lantaran kurang pasokan listrik mendadak berkobar-kobar lagi. Saking semangatnya dengan proyek baru ini, saya sampai nggak tidur berhari-hari, memikirkan segala macam hal dan merancang semua detil, sampai sekecil-kecilnya.

Proyek itu memakan waktu sekitar 1,5 bulan. Setelah selesai, beberapa teman melontarkan pujian, karena konon proyek serupa pernah dipercayakan kepada seorang (mantan) staff dan butuh setahun (!) untuk menyelesaikannya. Setelah larut dalam euforia selama beberapa minggu, perasaan familiar durjana itu lagi-lagi menyerang, dan saya kembali dilanda kejenuhan akut.

Akhirnya saya memberanikan diri mengajukan ide kepada atasan untuk melakukan inovasi pada job description, yang –edannya- disetujui. Sambil mikir, “Giling ih, ternyata gue mantep juga,” saya keluar dari ruangan beliau dengan cengiran lebar. Semuanya kembali terasa menyenangkan dan menggairahkan. Saya bekerja seperti kelinci kebelet beranak selama beberapa bulan…

…dan bosan lagi (!!!).

Buseeeeeet.

Dengan memasrahkan diri pada kehendak Yang Di Atas, saya pun kembali nekat mengetuk kantor pimpinan.

Usul diterima, dan saya bergembira ria.

Itu terjadi beberapa minggu lalu, ketika saya keluar dari ruangan atasan sambil siul-siul senang.

Sekarang?!

Udah jenuh LAGI…!

Alamaaak… TOBATTT!!!

MAYDAY, MAYDAY… Help me please!

*suntuk mode: on (kali ini nggak bisa di-off-in, tombolnya lagi rusak)*

*sigh*

By the way, kalau ada yang ngerasa inisial judul entri ini mirip nama grup musik atau film tertentu, emang sengaja, kok *wink wink*.

Ramah-Tamah

“Penting ya, beramah-tamah sama pimpinan?”

Meta berhenti mengaduk vanilla latte-nya yang baru dituangi brown sugar. Ia nyengir sambil menatap Ninda yang balik menatapnya dengan sedikit cemberut.

“Emang kenapa?”

“…”

“Kantor elo, ya?”

“He eh. Malesin.”

Meta menyesap vanilla latte-nya. Ia meletakkan gelas styrofoam sambil memaki kecil. “Sial! Panas banget.”

“Beramah-tamah itu penting kaliii, Nin. Dalam hidup bersosialisasi, kita per…”

“Gak usah sok bijak,” tukas Ninda, bertahan dalam ekspresi sebalnya. “Lo tau apa yang gue maksud.”

Lagi-lagi Meta nyengir innocent. “Idealisme lo?”

Ninda tidak menjawab. Ia menyeruput mochacinno-nya seraya membuang pandangan ke luar jendela. Suasana Coffee Corner sore itu sangat comfy. Café mungil ini adalah tempat favorit Meta dan Ninda. Ambiance-nya selalu membuat mereka kangen ngopi-ngopi sambil curhat sana-sini.

Beberapa bulan terakhir, kebanyakan sesi ngopi Meta-Ninda diwarnai curhat Ninda tentang suasana kantor yang ditempatinya 10 bulan ini. Meta hanya nyengir-nyengir kuda mendengar curhat sahabatnya yang kali ini bukan tentang cowok super ganteng pacar barunya, dosen nyebelin nan genit yang hobi colak-colek seenak jidat atau cardigan Zara yang sudah lama diincarnya, melainkan setumpuk cerita tentang rasanya kerja kantoran, senangnya menerima gaji pertama, serunya belanja dengan uang hasil keringat sendiri, sampai tingkah rekan-rekan sekantor yang (menurutnya) super-duper-ngeselin.

“Gue gak ngerti kenapa orang-orang itu demen banget beramah-tamah sampe berlebihan sama pimpinan. Bikin sakit mata. Gerah.” Omel Ninda.

“Menjilat, maksud lo?”

Sort of.”

“Ngapain dipusingin, Neng. Biarin aja. Yang penting kan elo nggak,” cetus Meta geli.

“Gue gerah aja,” Ninda melipat kedua tangannya di dada, persis anak kecil yang merajuk. “Awalnya gue berusaha cuek. Tapi karena gue seruangan rame-rame, lama-lama ganggu banget. Dan mereka ngelakuin itu terang-terangan tiap kali atasan nongol. Pengen gue sambitin satu-satu,” Ninda bersungut-sungut, membuat Meta ingin sekali ngakak sepuasnya di depan fresh grad berlidah cabe rawit itu.

“Lo bayangin, ada gitu, yang tiap boss nongol, cara ngomongnya udah kayak ketemu menteri. Ngerunduk-runduk, nada dibikin semanis mungkin, intonasi direndah-rendahin biar terkesan hormat.”

“Hehehehe…”

“Ada juga yang kerjaannya ketawaaa melulu. Gue rasa dia digaji buat ketawa daripada buat kerja.”

“He?” Meta melongo bodoh. “Maksud lo?”

“Yaaa… boss gue kan orangnya ramah. Suka banget cerita. Apa aja diceritain. Jadi tiap boss gue cerita, lucu ga lucu, seru ga seru, dia selalu KETAWA. All the time.”

“Kok aneh sih?”

“Tau. Biar disayang, kali.”

“HUAHAHAHAHAHA.”

“Trus ada juga yang pendekatannya lewat anak boss.”

“Hah?”

“Iya. Pimpinan gue punya anak perempuan umur 5 tahun. Abis pulang sekolah, ‘ni anak sering diajak ke kantor. Ada satu staff yang selalu nurutin kemauan ‘tu anak. Minta apapun dikasih, mau apapun dibolehin. Padahal ya bo, gue ngeliat sendiri boss gue justru ngelarang hal-hal yang dibolehin itu. Otomatis ‘tu anak jadi deket sama staff yang satu itu. Nempel mulu. Dan ‘tu anak cerita deh ke nyokapnya kalo staff itu baik banget sama dia.” Ninda misuh-misuh panjang lebar. Embun di gelasnya sudah lama membentuk genangan di atas meja.

“Ya biarin aja lah, Say. Mau mereka licking ass pemimpin, itu urusan mereka. Yang penting kan lo nggak gitu.”

“Iyaaa, tapi gue jadi ngerasa gak fair ajaaa.” Bibir Ninda semakin maju. Meta tertawa geli. Di saat-saat seperti ini Ninda lebih mirip anak SMU yang lagi ngambek sama pacar ketimbang karyawan perusahaan swasta.

“Gak fair gimana maksud lo?”

“Gak fair, karena mereka ngedapetin perhatian lebih dari pimpinan dengan cara-cara kayak gitu, sementara mereka-mereka itu sebenernya pada gak becus kerja.”

“Dih, segitunya amat sih,” Meta menukas. “Sah-sah aja lo sebel, tapi ga usah segitunya kali.”

Seriously, Met.” Ekspresi Ninda berubah sungguh-sungguh. ”Gue kan seruangan sama mereka. Gue tau kualitas dan cara kerja mereka kayak gimana. Tipe yang dikit-dikit nanya, dikit-dikit minta tolong, dikit-dikit ngeluh. Trus kalo diajak diskusi, keliatan banget telminya. Gue sampe capek.”

“HUAHAHAHAHAHA. Nasib lo, Nin.”

Yeah,” Ninda menghela nafas pasrah. “Itu sebabnya gue mati-matian nge-push kapasitas gue. Pokoknya kinerja dan kualitas gue harus di atas rata-rata. Gue pengen –dan harus- nunjukin prestasi lebih dari mereka-mereka itu.”

“Supaya lo eksis di mata boss?”

“Sebagian, iya. Sebagiannya lagi, karena gue pengen buktiin kalo gue bisa berhasil tanpa perlu licking ass.” Ninda menuntaskan mochacinno-nya. Ia menghempaskan gelas kosong ke atas meja, membuat genangan air di atasnya terpercik kemana-mana.

Meta manggut-manggut sambil menyapukan tisu ke lengannya yang basah kena air. “Moral of the story…” ia mengembangkan senyum kocak, “Kalo gak bisa beramah-tamah sama pimpinan, mendingan punya prestasi.”

“Ember.” Ninda mengangkat alis sambil bertopang dagu. “I know I can do it.” sambungnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Buktinya, ada satu produk -namanya Concept- yang sama anak-anak disebut produk gagal. Penjualannya amblas, tapi sejak gue handle 3 bulan ini, penjualan mulai naik dan ordernya lumayan.”

Meta tersenyum. Bangga akan pencapaian sang sahabat yang belum genap setahun bekerja di kantor barunya. Bangga akan sifat keras kepala Ninda yang tidak takut menentang arus dan berani berkompeten secara sehat. Sesuatu yang sama sekali tidak mudah — Meta tahu itu, karena ia pernah tersingkir dari area persaingan yang sama, di mana ia tidak sanggup bertahan. Tapi Ninda adalah cerita lain. Ninda, dengan kapasitas otak dan idealismenya yang sekeras batu, akan mampu bertahan, bahkan terus naik.

I know you can.”

Hei… Kamu.

Hei, kamu yang di sana…

Lagi ngapain?

🙂

I know this is ridiculous. Baru 1 jam lalu kita pisahan, tapi saya sudah ngerasa kangen sama kamu.

Kamu yang selalu mengisi hati saya dengan cara-cara yang unik, dari dulu sampai sekarang. Anehnya, saya sering, lho, nggak sadar bahwa kamu ada di situ — di sudut terpencil itu. Saya sangat jarang berpikir tentang kamu, tapi setiap habis bertemu kamu, otak saya pasti dipenuhi khayalan-khayalan menggelikan. Tentang kamu. Tentang kita.

Kamu adalah pahlawan masa kecil saya. Kamu selalu jadi ksatria buat saya, walau tidak ada naga yang harus dikalahkan atau musuh jahat yang harus ditumpas. Kamu ada di sana, dan itu cukup untuk membuat saya merasa seperti putri yang dijagai ksatria. Aneh sebetulnya. Kalau saya bertengkar dengan anak lain, kamu tidak terlalu membela saya. Malah, kamu lebih banyak diam. Tapi kamu ada di sana, dan kehadiran kamu selalu lebih dari cukup.

Kamu ingat nggak, waktu saya SMP (eh, atau SD tingkat akhir ya?), mereka mengolok-olok saya waktu saya bilang saya suka kamu. Mereka ngetawain saya habis-habisan, sampai saya ogah ketemu mereka selama berhari-hari. Malu! Saya sempat sebal pada mereka, tapi saya nggak bisa berbuat apa-apa karena saya tahu mereka punya alasan untuk berbuat seperti itu. Dan sialnya, alasan mereka benar.

Konyolnya, gosip bahwa saya suka kamu sempat tersebar luas, dan saya kembali jadi bulan-bulanan. Saya cemas banget, kuatir kalau kamu mendengarnya. Bukan, saya bukan takut kamu akan marah atau menjauhi saya. Saya hanya tidak mau kamu mendengar itu dari orang lain.

Mereka bilang itu cuma cinta monyet, dan saya percaya. Saya yakin perasaan itu hanya bagian dari sebuah fase hidup yang akan hilang dengan sendirinya ketika saya menapak ke fase berikutnya. Dan memang itu yang terjadi. Seiring bertambahnya usia, kamu mulai tenggelam dalam dunia kecilmu, begitu juga saya. Kita tak lagi sering bertemu. Kita tak lagi bermain bersama, karena kita telah tumbuh besar. Hidup tidak sesederhana dunia kanak-kanak di mana segalanya tampak begitu mudah. Hidup tidak sesimpel masa-masa di mana kita tak perlu bersusah-susah memikirkan karir, cinta dan tetek-bengek kehidupan yang menyebalkan (heran, kenapa dulu kita pengen banget cepat-cepat tumbuh dewasa, ya?).

Kita makin jarang bertemu, sampai akhirnya tidak pernah sama sekali. Saya hanya mendengar berita tentang kamu dari adik-adikmu. Kamu lulus kuliah. Kamu diterima di sebuah perusahaan jasa. Kamu menjalin hubungan dengan seorang perempuan berkacamata minus (pssst, mereka bilang, perempuan itu mirip saya!). Kamu putus dengan dia (yaaay!). Karirmu terus menanjak. Kamu mendapat promosi yang cukup besar dengan jabatan dan fasilitas yang membuat saya terkagum-kagum. Saya sangat bangga mendengarnya. Kamu hebat.

Ketika akhirnya saya bertemu lagi denganmu, sumpah, saya kaget melihat ‘penampakan’mu. Kamu, yang dulu bermain bersama saya dengan kaus oblong dan celana pendek, sekarang mengenakan kemeja lengan panjang dan dasi. Raut lugu dan cupu (maaaaap!) yang dulu selalu menghiasi wajah kamu, sekarang digantikan aura maskulin dan kematangan pria dewasa. Hanya satu yang tidak berubah dari kamu: ketulusan yang selalu terpancar dari mata jernih kamu. Kebaikan hati yang selalu membuat saya leleh sama kamu.

Saya tersentak.

Mereka bilang itu cuma cinta monyet. Tapi kenapa hati saya jadi deg-deg-serrr nggak jelas begini? Kenapa pipi saya jadi panas? Dan kenapa juga saya jadi tergoda memasang foto kamu sebagai wallpaper HP saya?!

O-H M-Y G-O-D.

Nggak. Nggak boleh. Pokoknya NGGAK.

Saya terus menggaungkan kata-kata itu pada diri sendiri — berkali-kali, demi mengusir imaji yang terus menyelinap usil di otak saya. Imaji tentang kamu. Tentang KITA. Konyol.

Saya merasa sangat bodoh. Memelihara cinta monyet sampai setuir ini, padahal jelas-jelas itu mustahil terwujud.

Jadi, saya kembali berusaha menguasai diri, sekuat tenaga. Saya mencoba segala cara untuk melenyapkan pikiran tentang kamu dari sel-sel otak ini.

Saya cukup berhasil. Selama berbulan-bulan, kamu hanya singgah sesekali di benak saya, dan itu tidak mengganggu saya. Saya lumayan repot dengan berbagai hal sehingga tidak punya banyak waktu untuk memanjakan diri dengan bayangan kamu.

Sampai saya ketemu kamu lagi, hari ini.

DAMN.

Semua usaha saya jadi mentah begitu saja, karena dengan bodohnya saya kembali termehe-mehe dengan kehadiran kamu. Saya kembali deg-deg-serrr nggak penting ketika berada di dekat kamu. Saya kembali salting seperti anak SMP baru pacaran.

Ah, sungguh tolol.

Sekarang saya harus berusaha ekstra keras (lagi) untuk melupakan kamu; kali ini untuk seterusnya.

(Eh, atau sebaiknya nggak usah berusaha terlalu keras aja, ya? Soalnya ada yang bilang, semakin diusahakan, malah makin susah lupanya.)

Kamu tahu, saya sering berkhayal nakal: alangkah enaknya kalau kita tidak pernah tumbuh dewasa. Kita bisa terus bermain-main. Saya jadi putri, dan kamu adalah ksatria; meski tidak ada naga yang harus dikalahkan dan musuh jahat yang harus ditumpas.

Sayangnya, itu nggak mungkin.

Kita tetap tumbuh dewasa, dan kita tetap tidak bisa bersama-sama.

Kenapa?

Karena kamu sepupu saya.

🙂

Kekuatan Sang Pemimpi

Saya tidak pernah bisa mengetik sepuluh jari. Satu-satunya kesempatan di mana saya belajar mengetik adalah saat duduk di kelas 3 SMU, di mana syarat kelulusan mutlak adalah mengantongi sedikitnya SATU dari dua ijazah ujian nasional: Akuntansi dan Mengetik.

Sebagai pembenci angka sejati, saya mengandalkan kelulusan pada ijazah mengetik, yang sialnya, sama sekali tidak saya kuasai. Alhasil, selama 3 jam setiap minggu -di ruangan sumpek di sudut gedung sekolah- saya berkutat dengan mesin tik butut yang huruf-hurufnya ditempeli stiker hitam, merelakan mata saya ditutup dengan kain buluk dan belajar menghafal letak huruf di bawah ancaman hukuman. Jangan tanya kenapa. Itulah metode mengajar guru saya yang herannya terbukti efektif membuat kami lulus hanya dengan persiapan selama 6 bulan, walau tentu saja, sebagai efek sampingnya kami membenci beliau setengah mati.

Setelah belajar mati-matian, saya lulus dengan nilai seadanya. Sangat tidak sebanding dengan jerih lelah selama 6 bulan, tapi itulah hasil yang didapat jika terbalik memasang kertas stensil pada ujian mengetik berstandar nasional. 🙂

Saya bertekad tidak akan menyia-nyiakan ‘ilmu’ yang didapat dengan susah payah itu. Saya selalu ingin menjadi penulis. Sejak belajar mengetik, saya menguasai satu-satunya mesin ketik di rumah dan saya bertekad akan mengoptimalkan kinerja mesin tua itu. Jadi, mulailah saya menulis, eh, mengetik. Tidak tanggung-tanggung. Saya mengetik cerpen sepanjang 9 halaman.

Pekerjaan itu memakan waktu semalaman. Hasilnya adalah berlembar-lembar kertas HVS yang penuh tipp-ex dan jari telunjuk yang pegal setengah mati. Tim penilai ujian nasional telah melakukan kesalahan besar dengan meluluskan saya. Berulang kali saya menjebloskan jari ke sela-sela tombol huruf dan membuat kesalahan konyol yang (sialnya) tidak bisa di-undo.

Dengan penuh percaya diri saya mengirim cerpen itu ke majalah; mahakarya pertama yang dibuat dengan mesin ketik usang. Saya sangat bangga. Optimis luarbiasa. Redaksi majalah itu pasti terkesan.

*Sebelum ditanya, mending saya jawab dulu: Nggak tuh, saya nggak mikir panjang sama sekali. Dengan bego polos saya berasumsi, kalau redaksi menganggap naskah saya bagus, ya tugas mereka dong untuk ngetik ulang. Hihihi.

Cerpen tersebut saya tulis lebih dari 5 tahun yang lalu. Sampai sekarang tidak ada kabar apapun dari majalah yang bersangkutan. Sejujurnya, saya bahkan ragu naskah itu DIBACA, secara penuh tipp-ex dan ‘lo-taulah-gimana-hasil-ketikan-mesin-tik-butut’.

😀

Menjadi penulis adalah cita-cita terbesar saya. Melihat karya saya diterbitkan adalah mimpi yang selalu saya jaga baik-baik agar tidak layu. Sayangnya, berapa kali pun mencoba, saya tidak pernah melihat mimpi itu terwujud.

Saya melihat mimpi berbunga di pekarangan rumah orang. Mimpi saya sendiri tetaplah berupa benih dalam pot yang tidak kunjung bertunas.

Bahkan setelah saya mengganti mesin ketik dengan seperangkat komputer, bunga yang saya lihat tetap tumbuh di pekarangan orang. Novel atas nama orang. Cerpen atas nama orang. Artikel atas nama orang. Mimpi saya tetaplah benih yang bersemayam jauh di dalam lapisan tanah kotor dan lembap.

Awal 2006, saya menemukan sebuah majalah yang langsung membuat liur saya bertetesan. Majalah itu adalah sebuah kompilasi cerpen yang terbit setiap bulan dengan mengusung penulis-penulis kawakan sebagai editor: Putu Wijaya, Seno Gumira, Jujur Prananto dan entah siapa lagi.

Saya berdiri di depan rak Gramedia sambil memegangi majalah itu. Ketika saya membawanya ke kasir, semua kegagalan saya terlupakan. Saya tahu, nama saya akan tercatat dalam majalah tersebut.

Beberapa minggu setelahnya, saya pergi mengunjungi kawan di Jakarta Selatan. Ketika berhenti untuk membayar tol, pandangan saya singgah pada si penjaga loket; wanita berusia awal duapuluhan berambut sebahu yang wajahnya superkecut. Malamnya, saya duduk di depan komputer dan menulis cerita berjudul ‘Anugerah Terindah’ dengan tokoh utama gadis jutek penjaga loket. Saya mengirim cerpen itu ke redaksi majalah impian, dan memasrahkan diri pada hasilnya.

Que sera-sera. What will be, will be.

3 bulan kemudian, menjelang malam, sebuah e-mail mampir di inbox saya. Cerpen saya diterima.

Malam itu menjadi malam yang ajaib dalam hidup saya. Saya tersenyum-senyum di depan komputer warnet selama setengah jam penuh.

Saya membayar ongkos warnet sambil tersenyum lebar.
Saya berjalan ke tempat parkir dengan senyum superlebar.
Saya berhenti di tukang jagung bakar –untuk membelikan pesanan si Papah- masih dengan senyum lebar.
Saya menunggui jagung matang sambil cengar-cengir. Encik paruh baya penjual jagung tampak begitu cantik, dan pengipas arang berkaus kumal menjelma menjadi pangeran tampan.

*Okay, okay, HIPERBOLA. Hehehe.

Malam itu, saya mengalihkan pandangan dari pekarangan tetangga. Benih di pot saya mulai bertunas.

Beberapa minggu lalu, saya mampir ke toko buku dan iseng membeli novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata: Sang Pemimpi. Karena sibuk, saya mengabaikan novel itu selama beberapa hari. Ketika akhirnya punya waktu luang, saya mulai membaca dan tidak bisa berhenti.

Ikal dan Arai, tokoh utama dalam kisah nyata ini, adalah sosok-sosok yang bukan hanya memahami makna ‘bermimpi’. Mereka bertahan demi mimpi. Mereka mengejar mimpi. Mereka hidup untuk mewujudkan mimpi.

Ikal dan Arai hanya 2 dari sekian banyak pemuda Melayu pedalaman yang terpaksa pasrah menerima kenyataan terlahir sebagai rakyat miskin di daerah terpencil yang penduduknya bahkan belum pernah melihat kuda. Dalam kondisi serba sulit, mereka tidak punya pilihan selain berjuang mempertahankan hidup sambil menggali keindahan sebuah mimpi. Menahan berat peti dan bau amis ikan sebagai konsekuensi dari pekerjaan kuli angkut pelabuhan sambil terus memeluk mimpi-mimpi.

Tekad untuk tidak mendahului nasib telah menghantar 2 pemuda yang hingga lulus SMA tidak pernah mengenal Kentucky Fried Chicken ini ke Sorbonne, Perancis, sebuah tempat yang bertahun-tahun silam digaungkan oleh seorang guru dan menjelma menjadi sebutir benih dalam hati mereka. Benih yang terus dipelihara dan dijaga dengan setia, tidak peduli semustahil apapun tampaknya, sesukar apapun kondisinya.

“Bermimpilah, sebab Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”

Itulah kalimat yang selalu mereka ucapkan. Kalimat yang kesaktiannya menyaingi daya magis ilmu madraguna — bukan karena jampi bertuah, melainkan karena kata-kata sederhana itu telah memberi kekuatan pada kaki-kaki mereka untuk terus berlari.

Saya menutup buku dengan perasaan campur aduk; antara terharu, senang dan geli.

Mereka benar.

Kekuatan yang sama telah membuat mimpi saya bertunas, walau saya tetap tidak bisa mengetik sepuluh jari. 🙂

* Untuk versi ‘serupa tapi tak sama’ dari tulisan ini, silakan klik di sini.

*Makasih banyak ya Ami, atas kesempatannya.. I really appreciate it! 🙂

Gambar diambil dari www.fotosearch.com