Absolut, Kalau…

“Nin, lo udah beli Conan yang bulan ini, kan?”
Sapaan itu terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu penghubung antara ruang makan dan teras belakang. Kolam renang tampak gemerlap tertimpa sinar bulan. Nina duduk di pinggirannya dengan kaki terendam. Ia menoleh sekilas. Steve muncul dari balik pintu geser, berkeringat dan masih memakai baju basket.
“Pinjem dong, Conannya!”

“Selamat malam juga.” Balas Nina sarkastis.
“Yeee, nyindir.”
“Siapa suruh dateng-dateng nyebelin! Jorok lagi!”
“Ini mah bukan jorok!” Protes Steve nggak rela. “Keringetan doang, dan tidak mengurangi kegantengan!”
“Njis. GR banget sih!” Maki Nina. “Jauh-jauh sono, jangan ganggu gueeee!”

Bukannya beranjak, Steve malah duduk di samping adiknya. Melonjorkan kaki dengan malas, membiarkan jari-jarinya menyentuh air kolam. Air itu berkecipak sedikit.

“Awas kalo sengaja nyiprat-nyiprat!” Ancam Nina judes.
“Lo salah makan ya?”
“Bukan urusan lo.”
Steve tertawa mendengar respon yang diucapkan sambil cemberut itu. Ia mengacak rambut Nina. “Napa sih, sensi amat?”
“…”
“Gak cakep lagi tuh, kalo manyun gitu.”
“Emang.”
“He?”
“Mo manyun kek, senyum kek, gak ngaruh. Gue kan jelek.”
“Kok?”
“TADI LO YANG BILANG GITU!”

Steve mengusap wajahnya dengan mimik kocak. “Yang sabar… yang sabar…”
“Kalo gak sabar pergi sana!”
“Gue kan gak bilang lo jelek. Siapapun kalo ngambek plus marah-marah gak jelas, bentakin orang sambil teriak-teriak, pasti gak cakep lagi mukanya.”
“Agnes Monica apa kabarnya?”
“Ya itu mah lain, hehehe…”
“HUH!”

Seriously…” Steve mengubah posisi duduknya sedikit, menghadap Nina yang wajahnya makin tertekuk, “Lo kenapa, Dek?”

Nina membuang muka. Cahaya bulan yang menimpa air kolam menciptakan refleksi indah di wajahnya.
Jeda itu mengambang di antara mereka, dan Steve tidak berusaha mengisinya. Biarkan saja.

“Windy bilang…”
“Windy yang cheerleader?”
“Emang ada berapa Windy di sekolah? Orang lagi ngomong denger dulu kek!”
“…”
“Dia sekarang jalan sama Donnie.”
“Mantan lo itu?”
Nina mengangguk.
“Lo masih sayang dia?”
I’m totally over him,” geleng Nina. “The thing is…” ia menggigit bibir bawah sebelum meneruskan, seolah takut dengan apa yang akan diucapkannya. “Windy nyebarin ke semua anggota cheerleaders… kalo Donnie mutusin gue karena, well… karena gue jelek.”

Steve mengerutkan kening. Cewek tuh, kalo udah sirik, serem ya kelakuannya?
“Lo sakit hati karena itu?”
Nina menggeleng. “Gue udah tau -dari sejak pacaran- secara fisik gue gak memenuhi standarnya Donnie. Dia suka cewek yang putih, rambutnya lurus, hidungnya mancung… semua itu gak ada di gue. Donie sering bandingin gue dengan anak-anak cheers lain, suruh gue rebonding, pake lotion pemutih kulit…”

Tanpa sadar tangan Steve mengepal. Darahnya menderas. That son of bi**h. Kalo gue tau… Kenapa baru cerita sekarang, Nin?!
Tapi ia menahan lidah demi melihat gumpalan bening di sudut mata Nina.
“Gue gak terlalu peduli…” Nina mengusap mata, ”gue bangga dengan diri gue sendiri. Gue nyaman jadi diri sendiri, apa adanya. Dan gue gak mau berubah. Itu yang bikin Donnie mutusin gue. At that time gue masih mikir, kalau cuma itu alasannya, well… berarti dia emang shallow and I deserve better. Gue gak nyesel dia pergi, karena hidup gue jadi lebih baik tanpa dia. Gue malah ngerasa bebas…”

“Gue gak ngerti, Dek,” Steve merendahkan intonasi, berusaha keras terdengar (agak) lembut, “kalo gitu, apa yang bikin elo mewek kayak gini?”
“…”
It’s OK if you don’t want to answer, though.”
“Setelah berita itu nyebar ke anak-anak cheers dan seluruh angkatan –lo tau kan anak-anak cheers sekolah kita kayak gimana mulutnya-…”
Steve mengangguk sambil mendengarkan. Nggak heran. Waktu putus sama Manda aja, gosip yang beredar adalah Manda hamil di luar nikah dan dikeluarkan dari sekolah! Padahal mereka putus karena Manda harus cabut ke luar negeri, ikut Papanya yang pindah tugas ke San Fransisco.
“Cara mereka liat gue, bisik-bisik di belakang gue… somehow itu kayak negesin, bahwa gue emang gak pantes jalan sama Donnie. Gak heran Donnie mutusin gue. Karena gue jelek. Gue gak menarik.”

… …

“Hari gini fisik bukan patokan lagi, Nin.” Steve berkata lembut.
“Tapi itu yang pertama diliat kan, Mas?” Nina berbisik, perih.
Steve menatap adiknya lekat-lekat. Gumpalan bening di mata Nina membuatnya ingin sekali menonjok cowok leboi yang sudah merendahkan harga sebuah hubungan demi penampilan fisik. Tapi itu tidak ada gunanya. Sekarang Nina yang paling penting.
Attitude always comes first, Nin.”
“Fisik kan penting juga! Itu yang pertama keliatan mata!”
“Tapi bukan segalanya.” Steve berkata tenang. “Gue pribadi, kalo menilai cewek bakal lihat dari kelakuannya dulu. Cantik tapi manjanya setengah mati, ya malesin. Atraktif tapi kelakuan minus, ya lewat.”

Nina mengerutkan kening, sama sekali tidak menduga jawaban yang menurutnya ‘dalem’ itu. “Emang apa yang lo lihat dari seorang cewek, selain kelakuan?”
Steve mengulurkan tangan, menyentuh ringan kening adiknya dengan jari telunjuk.
“Otak. Dan hati.”
“…”
“Itu yang menentukan apakah seorang cewek keliatan cantik di mata gue atau nggak.”

“Tapi kan itu kata lo.” Protes Nina.
“He?”
“Iya. Itu kan menurut lo. Di mana-mana juga, cantik itu relatif, jelek itu mutlak.”
“Siapa bilang?” Tangkis Steve, dalam hati bersyukur karena Nina kini tampak lebih tertarik pada objek diskusi mereka yang baru ketimbang mewek. Walau itu adiknya sendiri, Steve paling kagok menghadapi perempuan yang menangis.
“Ada tuh di majalah.”
“Majalah didengerin. Prioritas mereka kan cari duit.” Cibir Steve, yang membuahkan tonjokan ringan di pundaknya. “Makanya pilih bacaan yang bener dong… kayak GameMania, Conan…”
“Heuuuuu, gak lucu!!”

“Eh, tapi seriously, Nin…” Steve menatap adiknya lekat-lekat. “Percaya gue. Kecantikan gak diukur dari fisik doang. Tuhan itu nyiptain setiap manusia spesial. Setiap orang menarik dengan cara sendiri-sendiri. Dan elo…” Ia mengacak lembut rambut wavy Nina, “Lo cantik. Beneran.”

“Trus tentang teori itu, gimana? Cantik relatif, jelek mutlak?”
“Itu salah,” jawab Steve santai, membuahkan kerut kesekian di wajah adiknya. “Yang bener, cantik itu yang mutlak.”
“Kok?!”
“Ya iya. Cantik itu absolut, kalo lo pikir lo cantik. Dan nggak ada yang bisa merubah itu. Nggak orang lain, nggak gosip, nggak apa kata majalah.”
Nina terdiam, mendadak takjub dengan perubahan abangnya malam ini. Kesambet jin bijak kali, ya?

“Udah ah, gue mau mandi!” Steve melompat berdiri, membuat Nina terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu. “Mana Conannya?! Pinjem dong!”
“Huh!” Cibir Nina. “Ntar aja abis lo mandi. Nanti komik gue bau kena keringet!”
“Alaaah pelit! Dipegang doang mana bau sih…” Steve mengusap keningnya yang penuh titik-titik air… …dan mencipratkannya ke arah Nina dengan gerakan kilat, “Kalo begini tuh baru!!!”

“STEEEEEEVE… AWASSS LO YAAAAA!!!!!!!!”

———

*Terinspirasi sebuah percakapan di kanal maya. Hey GABAN, kalo lo baca ini; elo bener banget. 🙂

The Power of Love

Setelah terkagum-kagum dengan tindakan heroik Lily Evans Potter untuk melindungi putranya (dan berharap saya bisa punya keberanian yang sama, seandainya dihadapkan pada situasi serupa), semalam saya kembali terbengong-bengong dalam usaha menamatkan Harry Potter 7.


*Mrs. Rowling, if you ever read this, 4 thumbs up for you (kayak mungkin dibaca ajaaa, hihihi).

J.K. Rowling itu jenius.

Dengan senang hati saya mengatakan itu pada orang-orang yang mencela Ibu beranak tiga ini atas kisah Harry Potter yang dianggap menyesatkan dan mengajarkan ilmu hitam (plis dyeeeh). Bukan sok membela seakan kenal, tapi sebagai penggemar Harry Potter yang sudah khatam buku-buku setebel dosa itu, saya tahu apa saja yang tersaji dalam cerita tersebut secara keseluruhan — tidak seperti mereka-mereka (maab) yang sekedar ‘merasa tahu’ dan menjadikan pengetahuan seujung kuku itu alasan untuk mencela seenak perut. (Yang kalau ditanya, “Nyela gitu, emangnya pernah baca?” Maka jawabannya kira-kira: “Nggak sih… tapi ya tau laaah, Harry Potter itu kan penyihir, trus dia pakai mantra-mantra gituuu sama belajar ilmu sihir yadda yadda blablabla…” Idih.)

Maafkan kalimat saya, tapi hal-hal seperti ini sungguh membuat naik darah. Sekali lagi, bukan karena sok membela Ibu Rowling, tapi karena sebagai orang yang sama-sama gemar menulis *ihiwww sedap*, saya menghargai tulisan beliau sebagai sebuah karya. Maka dari itu, please, wahai orang-orang yang demen-asal-nyela, kalau kalian tidak bisa menahan dorongan jiwa untuk mencela Maestro yang satu ini, at least tolong jangan mengucapkannya di depan saya, karena hal tersebut berpotensi memberi pengaruh buruk pada kesejahteraan jiwa. Hahaha. :DD

Anyway, sampai mana tadi…

Oh ya. Saya selalu mengagumi Lily Evans dan jiwa heroiknya. Tapi seiring berjalannya waktu *tsah*, saya mulai berpikir, mungkin faktor utamanya bukan jiwa heroik kali, ya… Sepertinya sih -dan kayaknya ini yang benar- faktor utama yang memicu kejadian dahsyat (yang membuat Harry menyandang predikat The Boy Who Lived sekaligus mengalahkan Voldemort dalam ‘Harry Potter: The Chamber of Secrets’) itu adalah, well…simply the power of love.

🙂

Bahkan J. K. Rowling dengan daya imajinasi dan writing skill yang edhian tenan itu kembali pada prinsip yang sederhana namun kuat ini: the power of love. Dan dalam kasus Mas Harry *gw kok asa ilfil ya nulis gini, hehehe… biarin deh*, kekuatan cinta itu datang dari seorang Ibu.

Seorang Ibu yang membawa anaknya di dalam rahim selama 9 bulan, melahirkannya ke dunia dengan perjuangan antara hidup dan mati (okay, now, don’t tell me they use magic for such thing as birth-processing), membesarkannya dengan segenap cinta… untuk kemudian mengorbankan nyawa demi melindungi si bocah.

Lily tidak pernah tahu apakah tindakannya betul-betul sanggup melindungi Harry. Ia tidak pernah tahu bahwa kekuatan cintanya memiliki kuasa untuk menyelamatkan Harry. Lily tidak pernah tahu. Yang ia tahu hanya berjuang sampai titik darah terakhir. Mengorbankan diri demi memperpanjang usia putranya, walau hanya untuk sekian detik. Memilih mati asalkan Harry tetap (memiliki kemungkinan untuk) hidup, walau konsekuensinya ia tidak akan pernah melihat putranya lagi. Tidak akan bisa bermain bersamanya lagi. Tidak akan bisa mengajarinya berjalan. Tidak akan bisa mengantarnya naik Hogwart’s Express. Tidak akan bisa menyaksikan Harry tumbuh dewasa.

Itulah yang dipilih Lily Evans. Asalkan putranya tetap hidup.

Semalam saya kembali terharu-biru membaca dua kisah heroik yang lain. Lagi, kekuatan cinta seorang Ibu dengan suksesnya membuat saya bengong-bengong mellow.

Molly Weasley bertransformasi dari ibu rumah tangga biasa nan cerewet menjadi superheroine yang bertarung satu lawan satu dengan Bellatrix Lestrange (a.k.a powerful -not to mention skillful- witch who killed Sirius Black and managed to turn two Aurors into nothing more than living corpses) ketika melihat Ginny nyaris tewas oleh Unforgivable Curse yang dilancarkan Bellatrix…

‘OUT OF MY WAY!’ shouted Mrs. Weasley to the three girls, and with a swipe of her wand she began to duel.

…bahkan menolak pertolongan dengan gagah berani.

‘No!’ Mrs. Weasley cried, as a few students ran forwards, trying to come to her aid. ‘Get back! Get back! She is mine!’

Keberanian seperti itu hanya bisa dihasilkan dari kekuatan cinta. Dorongan untuk maju membela seseorang tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri hanya bisa dihasilkan dari kekuatan cinta. Dan kekuatan untuk menyelesaikan pertarungan –walau resikonya kehilangan nyawa- tidak bisa tidak, hanya muncul dari kekuatan cinta. 🙂

Narcissa Malfoy memilih untuk mempertaruhkan hidupnya dengan cara yang berbeda, untuk tujuan yang sama.

Is Draco alive? Is he in the castle?’
The whisper was barely audible; her lips were an inch from his ear, her head bent so low that her long hair shielded her face from the onlookers.
Yes,’ he breathed back.
He felt the hand on his chest contract, her nails pierced him. Then it was withdrawn. She sat up.
‘He is dead!’ Narcissa Malfoy called to the watchers.

Mengabaikan tugas pertama (dan mungkin satu-satunya yang pernah diterima seumur hidup) demi menipu Voldemort di depan seluruh Death Eaters, itu juga hanya bisa dilakukan dengan kekuatan cinta. 🙂

Sumpah, saya membenci Lucius Malfoy dengan segala tingkahnya. Pun Draco Malfoy, dengan arogansinya yang selalu sukses bikin naik darah *deuuuwwwhh segitunya*. Tapi khusus untuk Narcissa Malfoy, saya membuat pengecualian, dengan beberapa alasan:

Pertama, karena sejak awal tokoh ini jarang sekali muncul dan hanya berfungsi sebagai pelengkap suasana, sehingga tidak memberi saya alasan untuk bersikap sentimen. *wink*
Kedua, karena saya tidak yakin Narcissa betul-betul jahat. Ia bahkan bukan Death Eater; hanya seorang istri yang ketiban pulung oleh kesintingan suaminya.
Ketiga, tindakan super heroik Narcissa –walau hanya ditulis beberapa paragraf- telah meluluhkan hati saya yang dasarnya sumellow ini. 🙂

Entah antagonis, protagonis atau sekedar ‘wrong person in wrong place’, Narcissa Malfoy sudah jadi salah satu tokoh favorit saya. Karena lepas dari karakter apapun yang dimainkan seseorang dalam hidup, saya percaya nature yang satu itu tidak akan pernah berubah — abadi, tak lekang oleh usia dan semakin bersinar dari waktu ke waktu.

Keajaiban yang ditanamkan Sang Pencipta saat Ia mendesain makhluk bernama Perempuan itu adalah
Cinta Seorang Ibu.

*Entri ini dipersembahkan untuk seorang wanita yang melahirkan saya 23 tahun silam – yang selalu saya cintai, meski beliau tidak lagi berada di sisi saya. I love you, Mom. 🙂


Tangan halus dan suci
T’lah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan.


(Bunda – Melly Goeslaw)

pictures taken from www.fotosearch.com

Just In Case…

Bo, setaun itu lama ya.
Halah. Promise me you’ll always be fine. Gue bakal kangen ama loe. I mean it. 🙂
Thank you ya Bebe, you’re really my sister. 🙂
Happy rock ‘n roll. Take care!


Anyway, just in case… Nice knowing you. And I do care about you.

Jempol saya berhenti di tombol ‘options’.

JUST IN CASEEEEEE???

Maksudnyaaaa?!

Saya menekan ‘reply’ dan dengan cepat membalas SMS sahabat saya itu, dengan sejumlah kalimat protes yang intinya mengatakan ‘jangan-ngomong-yang-aneh-aneh!’.

Message Sent.

Delivered.

Just in case.

Tadinya saya pikir kalimat seperti itu hanya ada di film. Semacam dramatisasi untuk menggugah suasana emosi penonton yang biasanya dilanjutkan dengan acara peluk-cium-nangis-‘I’ll be waiting for you’ walaupun pada endingnya yaaa… teteub aja si tokoh utama kembali dengan selamat meski agak berdarah-darah. Membuat airmata yang tumpah di awal film tampak sia-sia. 😛

*Eh, saya kok mulai kedengaran seperti Gerwani berkutang hitam ya? 😀

Anyway, saya yang kerap kali mencela “Alaaah, sok dramatis, paling ntarannya juga selamat, gak kenapa-napa, secara dese tokoh utamanya gitu loooh…” mendadak berhadapan dengan situasi serupa… tapi bedanya, yang ini BENERAN!

Respon pertama?
Panik jaya.

Respon kedua?
Ya, itu… protes dan ‘memaksa’ sahabat saya berjanji untuk kembali dengan selamat.

Sumpah, saya betul-betul panik, apalagi ketika SMS terakhir yang saya kirim tidak berbalas. Pikiran yang aneh-aneh langsung memenuhi otak dan sukses membuat saya insomnia mendadak (okay, agak hiperbola, tapi wajar dong, namanya juga panik :p)…

… sampai besok paginya, ketika sebuah SMS mampir di inbox:

Bo, maab, semalem gue ketiduran. Hehe..

Halah.

Sekali lagi, halah.

:DD

Setelah puas ketawa, saya meletakkan HP dan tiba-tiba… …kok jadi kepikiran yaaa tentang ‘just-in-case’ itu? Dan jadi teringat pada ini, ini dan ini. (Saturation of blogosphere eh, Jenk? :D)

Just in case.

Semalam, sahabat saya yang mengatakan itu. Tapi gimana, ya, kalau posisinya dibalik dan saya-lah yang harus mengatakan hal serupa kepada orang-orang yang saya tinggalkan?

Katakanlah saya berada di posisi sahabat saya itu. Atau lebih sederhana, seandainya Sang Mahakuasa memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak kerja saya di dunia ini, what would I say… just in case…?

Saya menekan tombol ‘reply’.

Jaga diri baik-baik. I’ll see you next year. Kita bakal bercanda gila lagi. Ngakak edan. Cela-celaan. Ngeceng makhluk ganteng. Ngomongin yang gak penting. All when we meet again, next year.

Message Sent.

Delivered.

Yup, my dear Sister, kita akan lakuin itu semua lagi. Kegilaan dan kecacatan yang sama. Tahun depan. Bareng-bareng.

But, anyway…

just in case

Thank you for everything. 🙂

Eh, ya, satu lagi… lain kali TOLONG YA, jangan ketiduran setelah bikin shock orang. :DD

*Gue nyerah deh Jeng May, emang mellow-gumellow udah ngalir di darah kayaknya. Hahaha!

Tentang Menikah, Reproduksi dan Sebuah Proses Bernama Kehidupan

kawanlama: Lo udah harus siap buat berkeluarga dong.
kawanlama: Untuk ukuran cewek, loe udah ada umur lah.
kawanlama: Cewek umur 25 – 27 biasanya udah merit.
jennyjusuf: ? Emangnya kenapa?
kawanlama: Karena kalo nggak, nanti punya anaknya susah.

Kalimat terakhir itu membuat saya cengar-cengir di depan monitor persis orang sinting. Kalimat yang diucapkan seorang teman pria dalam kontak cakap maya itu tiba-tiba menstimulasi saya untuk menanggapi topik yang biasanya saya hindari dalam percakapan-percakapan sejenis.

FYI, saya menghindar bukan karena nggak bisa menjawab… tapi ya karena malas aja.
Saya membuka diri seluas-luasnya untuk makhluk bernama Bina Hubungan. Tapi (saat ini), saya masih memilih untuk tutup mata dari segala sesuatu yang berkaitan dengan Pernikahan.

Alasannya sederhana saja: Saya belum siap.

Walau secara medis kantung rahim saya sudah matang dan siap dibuahi untuk menghasilkan calon penerus bangsa, sumpah, hal terakhir yang ada di pikiran saya (sekali lagi, untuk saat ini) adalah pernikahan. Nanti dulu, Jendral. Itu masih jauh sekali.

Kenapa?
Karena bagi saya, pernikahan membutuhkan tingkat kematangan dan kedewasaan tertentu dari masing-masing pihak yang terlibat (baca: calon suami dan calon istri). Saya termasuk spesies yang selalu percaya bahwa kedewasaan seseorang tidak bisa diukur dari umur belaka. Karenanya, tolong jangan kutuk saya bila saya tidak setuju dengan dalil ‘menikah-karena-desakan-usia’ atau ‘kantong-rahim-tuh-punya-expired-date-makanya-buruan-kawin. Saya adalah pendukung sejati konsep ‘menikah-karena-sudah-siap’.

Saya tidak membantah fakta bahwa usia 25-27 tahun adalah usia reproduksi paling ideal bagi perempuan (lagian, emangnya bisa gitu, membantah fakta medis? *wink*). Tapi, kalaupun di usia 35 tahun saya belum juga merasa siap untuk menikah, percayalah, saya lebih memilih menunda dan banyak-banyak berdoa di ruang bersalin daripada menghabiskan seumur hidup untuk mendoakan anak saya yang mbeling’e pol lantaran saya menjadi Ibu dalam kondisi belum siap (mental dan emosional), sehingga tidak bisa mendidik anak saya dengan baik.

kawanlama: Gua rasa pendidikan yang kita tempuh udah cukup membantu dalam proses kematangan dan kedewasaan.
jennyjusuf: Pendidikan gak menentukan kematangan. How a person live his/her life, that does.
kawanlama: Tapi seiring dengan waktu, pasti kita terus berkembang.
jennyjusuf: That’s right. Makanya sekarang gue mengizinkan WAKTU untuk mendidik gue. Gue berkembang dalam WAKTU. Makanya gue gak merasa perlu cepet-cepet married hanya karena desakan umur.
kawanlama: Tapi gua tetep sama pendirian gua (cewek umur 25 – 27).
kawanlama: Untuk cewek, maksimal 30 lah. Udah korting tuh.

@$#@$#^&…!!!

KORTIIIIING??

GIGI LO KERITING!! LO KIRA NAWAR BAYEM DI PASAAAR???

Halah.

Jujur, saya sempat tergoda untuk bilang, “Dasar COWOK!” dengan gaya nyolot-hiperbolis. Tapi, mendadak sebuah pemikiran mampir di kepala saya.

Ini kali, ya, yang menyebabkan banyak perempuan lajang berusaha mati-matian dengan ‘segala cara’ untuk mendapatkan Prince Charming sebelum usia 30 tahun?

Karena 30 angka kiamat. Karena 30 identik dengan stempel perawan tua. Karena 30 adalah …well, let’s say… saat untuk menggelar mid-life sale?

Saya lantas teringat pada seorang teman yang ngotot ingin menikah sebelum usia 30 tahun. Ketika ‘deadline’ itu belum tercapai, ia mengundur tenggat waktu sampai 30 pas. Semacam tawar-menawar yang sering terdengar di antara pembeli dan penjual di ITC Mangga Dua:

“Tigapuluh, Neng.”
“Ah, mahal banget! Limabelas aja!”
“Nggak dapet, Neng. Modalnya aja gak segitu.”
“Ya udah, pas-nya aja deh berapa…”

:))

Ketika deadline tidak terpenuhi menjelang ulang tahun ke-30, teman saya mengundur tenggat waktunya lagi: maksimal sampai 31 tahun. Kali ini, karena tidak sudi kebablasan untuk kesekian kali, ia melakukan usaha preventif dengan mengumpulkan brosur wedding organizer, mengoleksi foto gaun pengantin dan mencari informasi tentang kisaran harga wedding package.

Masalahnya cuma satu: dia belum punya pacar, bow. Mau nikah sama siapa, mbuh. Pokoknya sedia payung sebelum hujan. Karena itu tadi, 30 bagaikan angka kiamat. Identik dengan cap perawan tua. Identik dengan mid-life sale. Identik dengan Top Three Questions yang diajukan secara intimidatif pada setiap reuni dan acara keluarga: Pacarnya mana? Kok nggak dibawa? Kapan nikah??

kawanlama: Jangan-jangan loe nyari cowok yang nurut sama kemauan loe.
kawanlama: Kacau, kacau…
jennyjusuf: Nggak. Gue nyari cowok yang bisa jadi partner dalam hidup.
jennyjusuf: Gue nyari cowok yang bisa jadi suami buat gue, dan ayah untuk anak-anak.
kawanlama: Loh, tapi kan tiap cowok kalo udah merit ya jadi suami, dan kalo udah punya anak ya jadi ayah.

Saya terdiam. Maafkan kalimat saya, tapi gara-gara konversasi terakhir ini, somehow saya merasa sudah salah memilih teman berdebat. 🙂

Life is a process.

Itu yang selalu saya percayai. Dan dalam proses tidak ada kata instan, kecuali dalam pembuatan semangkuk mie. Bahkan mie instan pun memerlukan setidaknya 3 menit untuk betul-betul matang.

Karena menikah, otomatis menjadi suami (atau istri).
Karena punya anak, otomatis menjadi ayah (atau ibu).

Plis dong ah.

Sekali lagi maafkan saya, tapi untuk urusan satu ini, saya memilih untuk tidak menggunakan kata ‘menjadi’. Saya lebih suka memakai kata ‘disebut’.

Karena menikah, otomatis disebut suami (atau istri).
Karena punya anak, otomatis disebut ayah (atau ibu).

Hmmmpfff…

Setelah percakapan di kanal maya itu berakhir, saya termenung lama. Memuaskan diri dengan memikirkan hal-hal nggak penting seperti:
Kenapa oh kenapa status lajang di usia tertentu bisa membuat seseorang tampak nista?
Kenapa oh kenapa tampilan lahiriah selalu dijadikan parameter untuk menilai keberadaan seseorang?
Apa kabarnya ‘don’t judge a book by its cover’?
Apakah kalau seseorang (dalam hal ini perempuan) tidak bisa memenuhi standar ideal kecantikan, tidak bisa mendapatkan Prince Charming dan belum bisa menghasilkan calon penerus bangsa sebelum usia 30, lantas ia layak disejajarkan dengan tumpukan kaus berlabel ‘UP TO 50%’?

Mendadak saya ingat pada sebuah kalimat dalam novel Beauty Case karya Icha Rahmanti.

“…mungkin pelajaran sesungguhnya adalah waktu kita masih bisa tersenyum dan bersyukur, berpikir bahwa kita sempurna apa adanya…”

… …

Dia benar.

Lepas dari ‘kenapa’ dan ‘bagaimana’; lepas dari berbagai perspektif dan konsep ideal yang simpang-siur; kehidupan itu sendiri tetaplah patut disyukuri dengan senyuman, karena ia berharga apa adanya.

Hidup adalah hadiah terbesar yang diberikan Sang Pencipta -entah dijalani sendirian atau berpasangan; pada usia 25-27 atau di atas 30; dengan Prince Charming atau sekedar the-boy-next-door; dengan kantung rahim yang segar atau mendekati expired date– … karena ia sempurna, apa adanya.

Entri ini dipersembahkan untuk setiap makhluk bernama Perempuan.
Banggalah dengan dirimu. Kamu sempurna, karena kamu berharga.

Untuk Kawanlama: Kalau elo baca entri ini, jawaban gue masih tetep sama, Jendral. 🙂