"I Trust You."

Janji ama gue, you won’t get hurt.
I won’t.
I know you can handle everything well. I trust you.
Hehehe… sangkain mo ngomong apah…
Nyet! Serius!
Iyaaa.
Babe, been there done that, and it hurt. Elu, Nyet, elu gak boleh sampe kayak gue. Njis, gue parno.

Pesan pendek itu membuat saya cengar-cengir nggak karuan. Lantas, dengan bodohnya, sukses membuat airmata saya mengalir. (Did I tell you, selain predikat ‘queen of silly things’, saya juga ratu mellow sedunia?)

Alah, di mana sedihnya, coba?

Nggak sedih. Terharu. (eh tolong ya, sedih dan terharu itu, walau sama-sama bikin cengeng, artinya teteub beda. *wink*)

Kalimat-kalimat itu adalah sepenggal konversasi *alah* antara saya dengan seorang sahabat kakak melalui pesan pendek, ketika saya berbawel-bawel ria curhat dan menanyakan pendapatnya tentang sebuah pilihan yang akan saya buat.

Sungguh, saya tidak mengira ia akan menunjukkan respon seperti itu, karena hubungan pertemanan kami selama ini, kalau boleh ngomong jujur, lebih terbangun dari asas bercanda-salingcela-salingledek. Saya ratu mellow sedunia. Dia, ratu nyolot sedunia. Kalau mellow saya sedang kumat, dia akan berkata, “Alah, elo mah cengeng!” dan saya balas mencelanya, “Dasar Gerwani!” 😀 Kenapa kami bisa bersahabat, itu misteri yang tidak pernah terpecahkan. (Hai, Nek, kalo lo baca entri ini!)

Anyway, balasan pesan pendek itu membuat saya tercenung.

She does care… no, she really cares… about me. And in ‘different’ way.

Selama ini, saya telah banyak sering mendengar orang mengatakan, “Ah, jangan macem-macem! Gak usah yang aneh-aneh lah!” – yang diikuti kuliah dan ulasan panjang-lebar mengenai ‘Kenapa lo gak boleh begitu. Kenapa lo harus begini, karena ini yang terbaik buat lo. Dan untuk itu, lo mesti… yadda yadda blah blah…’ jika perbincangan mulai memasuki tahap kritis berjudul Pilihan Hidup.

Selama ini, saya telah banyak sering mendengar ‘petuah’ dalam bentuk kritik, tuntutan, larangan, peraturan dan lain sebagainya, baik yang dialamatkan kepada saya, maupun orang-orang lain di sekitar saya. Semua itu ditujukan untuk kebaikan. Untuk ‘menyelamatkan’ orang yang bersangkutan dari tindakan bodoh yang dampaknya bisa menyakitkan. Untuk memasang garis pembatas, agar orang-orang yang mereka sayangi tidak perlu terjerumus masuk lubang dan terluka karenanya. Untuk menjaga dan melindungi.

Walau terkadang jengkel dengan sikap macam itu dan sering berpikir, ngelarang sih ngelarang, tapi mbok yaaa o…, saya berusaha memandang tindakan itu sebagai wujud kasih sayang yang tujuannya adalah melindungi saya dari ‘bahaya’. Menjaga agar saya tidak perlu terluka. Menyelamatkan saya sebelum terlanjur kejeblos lubang.

Semuanya baik adanya, dan sungguh, saya menghargai setiap perbuatan itu. Saya mencoba melihatnya sebagai sebuah dukungan, walau apa yang disebut dukungan itu kadang membuat saya misuh-misuh sebel. Biar bagaimanapun, setiap tindakan dan perkataan yang ngeselin itu dilakukan karena mereka sayang saya. Mereka menginginkan yang terbaik bagi saya.

Tapi, baru kali inilah, saya mendapat dukungan dalam bentuk yang sama sekali berbeda.

Dukungan yang tidak berwujud kritik, tuntutan, larangan maupun peraturan.
Dukungan yang tidak mengatakan, “Jangan macem-macem lah, gak usah yang aneh-aneh,” melainkan, “Janji, bahwa kamu tidak akan terluka.”
Dukungan yang mengatakan,”Kamu boleh melakukannya. Saya percaya kamu.”

Menyayangi dengan cara melepaskan dan mempercayai. Dan akan selalu mempercayai.

Genangan itu kembali membasahi mata saya saat membaca ulang pesan pendek tersebut.

Once again, I trust you, Big Girl. 🙂

Saya tersenyum.

I won’t fail you. I promise.

And thanks for being a friend sister to me.

Tentang Seorang Sahabat Dan Persilangan Jalan

Pertemanan kami dimulai bulan Januari lalu, ketika saya menghubunginya lewat e-mail dan menanyakan kesediaannya memberi komentar untuk (calon) kumpulan cerpen saya.

Ia menyanggupi permintaan tersebut dengan ramahnya. Sejak itu kami terus berkomunikasi, walau hanya melalui e-mail dan commenting system di blognya. Buat seorang blogger pemula seperti saya, kemampuannya mengurai opini dan merangkai kata betul-betul mengagumkan. Jadilah saya ‘berguru’ secara tidak langsung kepadanya dan dengan excited menunggu-nunggu setiap entri baru (sambil tidak lupa berkomentar tentunya).

Sekali waktu, tidak lama setelah bertukar nomor handphone, saya iseng mengiriminya SMS. Selanjutnya, pertemanan kami terbangun melalui pesan-pesan pendek yang sebagian masih saya simpan hingga sekarang. Kenapa? Karena pesan-pesan itu membuat saya tertawa. Iya, dia orang yang sangat kocak. Kata-katanya selalu berhasil membuat saya senyum-senyum gila.

Melalui pesan pendek yang melelahkan jempol juga, kami sepakat mengerjakan sebuah project bersama. Walaupun project itu belum selesai sampai sekarang (dan tidak tahu kapan selesainya, karena kami berdua sama-sama penunda pekerjaan sejati :D), saya sangat menikmati proses pengerjaan yang dilakukan jarak jauh itu.

Beberapa bulan kemudian -April kalau nggak salah- saya bertemu dengannya untuk pertama kali. Ternyata dia orang yang fun dan sangat suka bercanda. Cerita-ceritanya selalu menarik. Pembawaannya yang cuek dan santai membuat saya betah ngobrol berlama-lama dengannya, mulai dari curhat serius sampai bercanda heboh dan membicarakan hal-hal supertidakpenting seperti:
“Kalau makan pake tambel serasi, minumnya apa?”
“Juk jerus.” 😀

Persahabatan kami terus terjalin. Ketika saya sedang dilanda penyakit jenuh akut, dengan baik hatinya ia memperbolehkan saya menginap di rumahnya dan mendengarkan curhat saya. Ketika penyakit BT kronis saya kambuh, dengan murah hatinya ia kembali membukakan pintu dan meminjamkan telinganya. Ia tidak banyak memberi nasehat, saran ataupun kritik. Yang ia lakukan hanya mendengarkan, dan itu sudah cukup. Ia tidak menghakimi kelakuan emosional saya. Yang ia lakukan adalah menjadi seorang sahabat. Dan ajaibnya, tindakan tersebut justru membuat saya tidak ingin mengulangi kebodohan yang sama.

Saya menemukan figur seorang kakak dalam dirinya. Kakak perempuan yang tidak pernah saya punyai (karena saya anak sulung), sekaligus sahabat yang selalu siap memberi dukungan dan membuat saya tertawa. Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, saya merasa ‘hidup’ oleh sebuah persahabatan.

Melalui spontanitasnya, ia menularkan semangat kepada saya.
Melalui sikapnya yang selalu ceria-optimis-tanpa beban, ia menularkan energi positif kepada saya.
Melalui idealisme dan pemikiran-pemikirannya, ia menularkan passion kepada saya.
Melalui pilihan-pilihan yang dibuatnya, ia menularkan keberanian dan cara pandang baru dalam menilik hidup.

Keberanian untuk apa?
Untuk mendengarkan panggilan hati dan mengikutinya, meski untuk itu ada harga yang harus dibayar dan konsekuensi yang harus dijalani.

Menemukan panggilan hidup dan mengambil keputusan untuk menjalaninya adalah dua hal yang berbeda. Untuk memperoleh yang pertama, dibutuhkan hati yang senantiasa terbuka dan telinga yang peka terhadap bisikan nurani. Untuk menjalani yang kedua, dibutuhkan tekad dan kesungguhan hati yang tidak kecil. Setiap pilihan selalu memiliki resiko, dan bicara tentang panggilan hidup berarti bicara tentang meninggalkan zona nyaman untuk menempuh medan baru – yang kadang kala sulit, berkelok-kelok dan menyakitkan.

Sahabat saya bukanlah pengangguran kurang kerjaan yang bisa pergi kemana pun dan melakukan apa saja sesuka hati. Ia memiliki kehidupan yang mapan, pekerjaan yang bagus dan karir yang mulai menanjak sebagai pekerja kreatif yang karya-karyanya disukai banyak orang. Still, dalam kondisi serbaenak itu, ia memilih untuk mengikuti desakan panggilan hati. Meninggalkan zona nyaman untuk mendengarkan bisikan nurani yang sudah terngiang bertahun-tahun lamanya.

Dia telah mengajari saya banyak hal.

Untuk berdiri dan menyuarakan pendapat.
Untuk yakin terhadap diri sendiri.
Untuk tidak mudah menyerah pada keadaan dan tekanan lingkungan sosial.
Untuk berani berbeda dan tidak takut disebut aneh.
Untuk mencintai hidup dengan segala warna dan rasanya.
Untuk berani membuat pilihan secara sadar, meski konsekuensinya menyakitkan.
Dia telah mengajari saya bagaimana menjalani hidup.

Sebentar lagi kami akan berpisah, karena panggilan hidup sahabat saya mengharuskannya pindah ke tempat lain. Mungkin kami tidak akan berjumpa untuk waktu yang cukup lama. Mungkin tidak ada lagi SMS jenaka yang bisa membuat saya terpingkal-pingkal seperti orang gila. Mungkin tidak ada lagi celaan yang membuat saya cengar-cengir geli dan sebal. Mungkin tidak ada lagi obrolan yang menggugah nalar di tempat tidur, mobil, meja makan, atau di dapur sambil mencuci peralatan masak. Mungkin tidak ada lagi nongkrong santai di depan laptop sambil berkomentar ini-itu dan begadang sampai jam 3 dinihari.

Tapi, lebih dari segalanya, saya bersyukur bisa mengenalnya sebagai seorang sahabat.
Saya bersyukur bahwa –meskipun singkat- garis-garis hidup kami pernah bersilangan.
Saya bersyukur bahwa ia telah (dan akan selalu) menjadi bagian penting dalam hidup saya.

Dan khusus untuknya, saya ingin bilang:
“Ini bukan farewell entry, karena gue percaya suatu saat nanti garis-garis kita akan bersilangan lagi. Jadi bukan ‘Selamat Tinggal’, tapi ‘Sampai Ketemu Lagi’. Sampai jumpa di persilangan jalan berikutnya, Ms. Avonturir!” 🙂

Kamu sangat berarti
Istimewa di hati
S’lamanya rasa ini
Jika tua nanti kita t’lah hidup masing-masing
Ingatlah hari ini.
(Ingatlah Hari Ini – Project Pop)

Resolusi Tengah Tahun: Hidup Bergaya

“Istrinya Pak Fritz meninggal tadi malem.” Lapor seorang teman pada saya, kemarin pagi.

Saya mengurungkan niat mengambil bihun goreng dan balik menatapnya sambil melotot. Tidak mungkin.

Yuliati -istri dari teman saya Fritz Kandori- baru saja bertandang ke komunitas kami sehari sebelumnya, menjenguk putranya yang mengikuti Youth Camp di sana. Kemarin ia masih sehat. Sehar bugar, bahkan bisa mengobrol dengan lepasnya. Informasi itu pasti salah.

Berita itu ternyata benar. Yuli Kandori meninggal pukul 11:30 malam karena pembengkakan lambung. Yuli yang sehari sebelumnya mengobrol dengan kami. Yuli yang kemarin mendatangi komunitas kecil kami untuk menengok anak tercintanya. Yuli yang sama.

Saya menghabiskan bihun goreng dalam diam. Tidak tahu harus berpikir –atau berkomentar- apa. Pagi itu berlalu dalam hening, ketika saya dan teman-teman melanjutkan aktivitas sambil tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Beberapa jam kemudian, saat saya sudah asyik menekuni deretan angka di buku stok, saya mendengar seruan panik seorang rekan.

Berhubung saya mengenalnya sebagai spesies yang sering membesarkan masalah secara hiperbola, saya tidak begitu menaruh perhatian pada teriakannya. Selang beberapa detik, barulah saya engeh dengan apa yang terjadi.

Ruko tetangga, yang hanya berselang beberapa ruko dari kantor saya, sedang dilalap api.

Kebakaran.

Spontan saya lari meninggalkan cubicle saya, sambil tidak lupa membawa tas berisi segala macam benda keramat penunjang hidup *hihi*. Di luar sudah banyak orang berkerumun, menonton kebakaran sambil memacetkan jalan (dan membuat saya mikir, “Ya elahhh, please duehhhh…”).

Tidak lama kemudian, pemadam kebakaran datang. Semburan air yang pertama tidak cukup kuat untuk mencapai lantai 3, tempat api menjalar. Yang berhasil masuk melalui jendela hanya percikan air yang dalam sekejap membuat api berkobar makin hebat.


Perasaan saya? Campur aduk. Rasa cemas menyatu dengan adrenalin yang bergejolak tinggi. Cemas karena takut kantor saya ikut dilalap api. Bersemangat karena peristiwa ini termasuk langka (baca: jarang-jarang bisa menyaksikan kebakaran sedekat itu). Seluruh kantuk dan bosan yang melanda saya sejak menit pertama membuka buku stok langsung hilang.

Api berhasil dipadamkan. Salut untuk petugas pemadam, satpam dan penduduk sekitar yang bahu-membahu dengan sangat kompak (walau awalnya sempat berantem dan semprot-semprotan air. :D).

Setelah kembali ke kantor, saya merenung lama. Boro-boro mau melanjutkan kerjaan, konsentrasi aja susah. Rekan saya bersandar di kursi sambil menghela nafas. Kakinya gemetaran, bow.

“Hari ini kok kejadiannya begitu-begitu amat ya…” Komentarnya. “Pagi-pagi dikasih tahu Yuli meninggal, padahal baru kemarin ngobrol! Trus sekarang kebakaran…”

Saya terdiam. Mendadak, kenyataan itu menghantui saya.

Belum lagi ditambah SMS dari seorang kawan, yang mengabarkan suaminya mengalami kecelakaan motor – disertai imbuhan, “Untung laki gue selamat. Kalo nggak gue bisa gila kali…”

Saya tertegun membaca pesan pendek itu. Betapa kematian dapat menjadi begitu dekat. Tanpa pernah diduga, tanpa pernah disangka.

Saya tidak takut dengan kematian. Yang paling saya takutkan adalah mati tanpa sempat melakukan sesuatu yang berarti dalam hidup.

Saya tidak takut meninggal. Yang saya takutkan adalah kehilangan nyawa sebelum sempat memberi kontribusi bagi dunia dengan sejumput nafas yang Ia percayakan ini.

Saya tidak ingin pergi tanpa sempat berbagi. Saya tidak ingin pergi sebelum sempat menghasilkan apapun.

Saya tidak sudi mati sebelum sempat memberi kontribusi pada tanah yang saya pijak, dunia yang saya diami, serta orang-orang tempat saya berbagi kehangatan dan belajar menyimak makna hidup.

Dua peristiwa besar yang terjadi berurutan kemarin tiba-tiba menyadarkan saya.

Seperti Jeng yang tulisannya selalu menginspirasi ini, kalau kontrak kerja saya di Bumi sudah habis nanti, saya ingin mati bergaya.

Kalau waktu saya sudah tiba, saya ingin bisa berkata dengan songong pada malaikat maut yang menjemput saya, “Bentar ya. Lagi sibuk nih, nanggung. 5 menit lagi deeeh.” *hehehe*

Karenanya, berdasarkan pemikiran tersebut dan bulan Juli yang baru saja dimulai (yayaya, sudah hampir lewat setengah bulan :D), saya memutuskan untuk membuat Resolusi Tengah Tahun.

(Percayalah, ini terobosan besar. Aslinya saya paling muales disuruh bikin begini-beginian, karena saya beranggapan, resolusi –yang biasanya dibuat pada awal tahun- diciptakan untuk dilanggar begitu memasuki bulan ketiga. Haha!)

Anyway, Resolusi Tengah Tahun saya yang pertama seumur-umur adalah: Hidup Bergaya.

Iya dong, untuk mencapai niat mulia mati bergaya itu, tentunya saya harus mulai dengan hidup bergaya dulu, kan?

(Iya, berani mati itu memang keren, tapi berani hidup jauh lebih keren lagi, karena tidak semua orang sanggup menghadapi realita dan tetap memilih bertahan.)

Lantas, hidup bergaya yang kayak gimana?

Beginilah, saudara-saudaraku, ‘hidup yang bergaya’ versi saya *tsahhh* :

Mengeksplorasi berbagai sisi kehidupan dan mengapresiasi setiap warnanya dengan bijak.
Menikmati setiap proses yang berlangsung dan tidak patah semangat menghadapi airmata dan rasa takut.
Memberi perhatian lebih pada bisikan nurani dan tidak mengabaikannya begitu saja.
Berani memilih, dan berani juga menanggung konsekuensi (dan resiko) dari setiap pilihan.
Belajar membuka mata, hati dan telinga untuk peka terhadap panggilan hati dan tidak berlambat-lambat memenuhinya.

Dan yang tidak kalah penting, mengisi setiap detiknya dengan penuh rasa syukur. 🙂

Paling tidak, saya percaya itu semua akan bisa membuat saya hidup penuh gaya, sebelum kontak kerja saya dengan dunia ini berakhir. *wink*

Bagaimana dengan kamu? Apa ‘hidup bergaya’ versimu?

(Eh bo, nanya gini kok saya jadi ingat pertanyaan esai waktu ulangan PMP zaman baheula, yang jawabannya bisa berlembar-lembar demi dapat nilai bagus. Hahaha.)

Pesan Buat Kawan

Tadi siang saya melihatmu duduk di ruangan itu. Punggungmu begitu dekat, hanya dipisahkan kaca buram dan sandaran sofa.

Kamu duduk pasrah di situ, dengan kepala setengah tertunduk. Betapa inginnya saya menghampirimu, sekedar menyapa atau menepuk pundakmu. Tapi saya tak bisa, karena ruangan itu tertutup.

Berkali-kali saya berjalan melewati ruangan itu, berkali-kali pula saya menoleh untuk memastikan kamu masih di sana. Kamu masih duduk di sofa hijau itu, posisi dudukmu tetap sama.

2 tahun lalu, saya juga duduk di ruangan itu. Bersandar pada sofa yang sama, dengan kepala yang juga tertunduk. Saya tahu seperti apa rasanya. Dan saya bertanya-tanya, apakah kamu juga merasakan hal yang sama?

Baik-baikkah kamu?

Saya telah berjanji pada diri sendiri, untuk tidak menghakimi siapapun lagi atas keputusan yang mereka buat dalam hidup. Saya percaya setiap orang punya hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri – apapun wujudnya, dan bagaimana pun.

Ketika melihatmu duduk di tempat yang sama tadi siang, saya kembali diingatkan pada janji itu.

Saya tidak akan menghakimi siapapun lagi, termasuk kamu. Karena kamu berhak memilih jalan hidupmu sendiri.

Kalau kamu membaca tulisan ini, Kawan, cuma satu harapan saya:
Apapun keputusan yang kamu buat, semoga kamu selalu bahagia. 🙂

Mendidik Alex (Cara Mencinta – 2)

Menyayangi dan mendidik seorang bocah ternyata 2 hal yang berbeda. Baru kemarin saya menyadari itu.

Alex bukan anak yang sulit diajar. Justru kebalikannya. Di usia 1,5 tahun, dia sudah lancar berhitung 1 sampai 20 dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (FYI, belajarnya bukan dari playgroup, melainkan dari kami – para Auntie dan Uncle yang tiap hari wara-wiri ke rumahnya untuk mengajak bermain dan menjadi ‘guru’ dadakan). Di usia segitu pula, ia sudah bisa menyebutkan nama-nama binatang dalam bahasa Inggris dalam setiap buku yang dijumpainya (termasuk karakter-karakter Sesame Street favoritnya: Elmo, Ernie, Bert, Oscar The Grouch, dll). Dia menggilai segala jenis bacaan, mulai dari buku cerita anak-anak, katalog supermarket, brosur, label, sampai komposisi yang terdapat pada kemasan sambal sachet.

Mengajari Alex tidaklah sulit, karena dia bocah yang cerdas. Mendidiknya, itu soal lain. Bukan karena dia nakal atau susah diatur, tapi karena saya sama sekali tidak punya pengalaman dalam mendidik anak-anak. Awalnya saya pikir, menyayangi thok sudah cukup. Karena saya menyayanginya, otomatis saya juga sanggup mendidiknya. Ternyata oh ternyata, saya salah besar.

Kalau Alex menginginkan sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan, biasanya yang saya lakukan adalah mendekatinya dan berkata dengan jelas dan tenang, “Alex, jangan yang ini, ya…” dan saya akan mencoba mengalihkan perhatiannya dengan benda lain (yang seringnya gagal, karena bocah ini adalah anak berusia 1,5 tahun dengan strong will terkuat yang pernah saya temui. Sekali perhatiannya terfokus pada sesuatu, dia akan mengejarnya sampai dapat.)

Kalau Alex melakukan sesuatu yang tidak boleh ia lakukan, saya akan menggoyang-goyangkan telunjuk sambil berkata, “Alex, no…” atau berjongkok di sisinya, merengkuh punggungnya dan berbisik, “Sini Auntie bilangin… Alex jangan bla, bla, bla…”. Dan Alex selalu menjawab “Ya” dengan patuhnya, karena sejak ia mulai belajar bicara, orangtuanya mengajarkan untuk selalu menjawab “Ya” bila namanya dipanggil ataupun diberitahu sesuatu.

Kalau Alex mencoba melarikan diri dari kursinya saat ‘sesi’ makan yang membosankan, saya akan memutarkan DVD Sesame Street kesukaannya dan menemaninya bermain, sementara sang Ncus menyuapinya.

Kalau Alex merengek karena emoh didekati orang yang asing baginya, saya akan memeluknya dan berbisik di telinganya, “Eh nggak apa-apa, itu kan Oma, Oma baik, sayang sama Alex…”

Seperti itu. Dan saya mengira telah berhasil mendidiknya (dalam beberapa hal).

Sampai kemarin, ketika saya bertindak ceroboh (I’m queen of silly things, remember?) dengan meletakkan gunting besar di atas meja setelah memperbaiki buku-buku Alex yang sobek, dan lupa menyimpannya kembali.

Saya sama sekali lupa benda tajam sepanjang 30 senti itu tergeletak di sana, sampai saya melihatnya berada dalam genggaman si kecil. Spontan saya panik.

Saya mengambil gunting itu dari tangannya dan menyembunyikannya di tempat yang cukup tinggi sambil berdoa supaya Mommy dan Daddy (yang sedang ngendon di kamar) segera keluar, karena pasti sebentar lagi si bocah merengek.

Harapan saya tidak terkabul. Mommy dan Daddy tidak keluar ketika Alex mulai merajuk. Tapi setidaknya, gunting itu kini berada di tempat yang aman (baca: tidak terjangkau dan tidak terlihat). Ncus memutarkan Sesame Street, dan saya bernafas lega saat Elmo mulai beraksi dan perhatian Alex teralihkan.

Tapi kelegaan itu tidak bertahan lama. Ketika saya lengah dan berpikir bahwa Alex sudah tidak menginginkan si gunting, kok ya bisa-bisanya dia berjingkat-jingkat menuju tempat persembunyian itu dan (dengan cara yang hanya dia dan Tuhan yang tahu) berhasil mengambilnya! Ealaaah.

Dan kali ini, dia cukup cerdas untuk tidak membiarkan saya mengambilnya lagi.

Alex tertawa-tawa, memainkan gunting besar yang hampir sepanjang lengannya dengan riang.

Di matanya, benda itu tidak lebih dari mainan baru yang mengasyikkan.

Di mata saya, benda itu adalah alat berbahaya yang dalam sekejap bisa membuat lengan kecilnya berdarah-darah, jemarinya terpotong, tergores, tertusuk.

Saya tidak punya waktu untuk menghampirinya, berbisik lembut di telinganya, menggoyang-goyangkan telunjuk sambil bilang “No” atau membujuknya.

Saya meminta gunting itu dengan tegas.

Alex menolaknya.

Matanya tertuju pada Elmo, tapi tangannya terus menggerakkan gunting tanpa arah. Dan Mommy maupun Daddy tak kunjung keluar kamar.

Tidak ada pilihan. Saya mendekatinya, berjongkok di sisinya dan merebut gunting itu secepat kilat.

Tangis Alex pecah ketika saya melarikan gunting itu ke dapur. Saat saya kembali, ia sedang menjerit dan menangis dalam gendongan Ncus. Airmata dan ingus berlelehan di wajahnya yang memerah.

Jujur, saya tidak tega. Seandainya yang ia inginkan bukan gunting. Seandainya ia menginginkan buku, mainan, kertas atau benda-benda lain, tentu saya akan memberikannya dengan senang hati.

Tapi di sisi lain, saya mulai berpikir. Lepas dari gunting itu benda berbahaya atau tidak, seorang anak tetap harus dididik, bahwa tidak semua hal yang ia inginkan dapat diperoleh begitu saja. Tidak semua yang ia kehendaki dapat terwujud — entah sekarang, entah nanti, atau tidak sama sekali.

Setelah tenang, saya mencoba mengajak Alex bermain. Ia tidak mau. Ia menolak saya dekati. Ia meraih pensil saya yang tergeletak di atas meja dan melemparnya jauh-jauh; aksi protes atas perbuatan nista saya merebut mainan barunya.

Sebersit rasa ngilu singgah di hati saya. Tapi saya tidak akan menyesali tindakan saya, bahkan jika ia tidak pernah mau lagi bermain dengan saya.

Saya lebih memilih menerima kemarahannya, daripada melihatnya berdarah-darah tertusuk gunting. Saya lebih memilih dimusuhi olehnya, daripada melihatnya terluka. Saya lebih memilih ditolak olehnya, daripada melihatnya menangis kesakitan.

Sekarang Alex sudah melupakan kejadian itu. Ia sudah bermanja-manja lagi, mengajak saya bermain dan meminta saya membacakan buku ‘What Zebra Likes’ favoritnya. Tapi kejadian siang hari itu tidak akan saya lupakan, dan ingin saya simpan selamanya.

Itulah saat di mana saya menyadari, betapa tidak mudah mendidik seorang anak.

Itulah saat di mana saya menyadari, saya rela mengorbankan apa saja –termasuk perasaan dan kepentingan saya sendiri- demi bocah yang saya sayangi.

Itulah saat di mana saya merasakan –walau hanya sekilas- perjuangan orangtua dalam merawat dan membesarkan anak, yang sering kali dibalas dengan gerutuan dan ketidakpuasan si anak.

Itulah saat di mana saya betul-betul mensyukuri (dan mengagumi) segala jerih-lelah yang dialami orangtua saya bertahun-tahun silam; saat mereka mendidik saya dengan penuh cinta dan saya membalas dengan bertingkah seenaknya dan tidak mempedulikan perasaan mereka.

Saya tidak akan melupakan peristiwa sederhana di siang hari itu.
Itulah saat di mana –untuk pertama kalinya- saya sungguh-sungguh menghargai mereka yang berkata, “Saya hanya menginginkan yang terbaik untuk dia.”