Cara Mencinta

“Sembilan bulan saya membawa dia di perut ini, Nak. Saya melahirkan dia. Saya sangat tahu dia.” Mata perempuan setengah baya itu membasah saat bibirnya berucap dengan gemetar, menahan tangis. “Saya sangat kenal anak saya… tapi sekarang dia berubah menjadi orang asing.”

Saya mengulurkan tangan untuk menyentuh jemarinya, mencoba menyalurkan kekuatan yang tidak seberapa bila dibanding kesedihannya.

“Sikapnya berubah drastis. Terhadap kami orang tuanya, terhadap adik-adiknya. Kami kehilangan dia…”

“Dulu adik-adiknya sangat betah ngobrol dan bercanda dengannya. Dia teman diskusi yang menyenangkan untuk Ayahnya. Dan dia selalu menjadi kebanggaan saya. Tapi sekarang… semua berubah. Dia menarik diri dari kami, keluarganya. Kami sering sekali bertengkar. Kami bertengkar hampir setiap hari.” Kerut-kerut di sekitar matanya semakin jelas terlihat ketika pelupuk itu membasah lagi. “Semua gara-gara perempuan itu. Dia berubah sejak ada perempuan itu.”

Saya memberanikan diri mengusap punggung tua itu, memberi dukungan.

“Saya sangat benci perempuan itu, Nak. Seandainya mereka tidak pernah ketemu. Seandainya anak saya tidak pernah berkenalan dengan perempuan nggak beres itu…”

Saya mengangguk. “Ibu sudah punya calon lain untuknya.”

Ia membenarkan. “Tapi kalau pun nggak jadi dengan calon Ibu itu, nggak apa-apa juga, Nak. Yang penting jangan sama perempuan yang satu itu. Ibu nggak rela kalau sama dia.”

“Kenapa?”

“Perempuan nggak bener. Ibu nggak suka sama dia. Masa depan anak Ibu pasti hancur kalau nikah sama dia. Sekarang aja udah nggak beres gitu hidupnya…”

Saya menatap sepasang mata itu lekat-lekat. Yang ada di sana adalah pancaran cinta seorang Ibu, sekaligus kesedihan yang mendalam.

“Ibu cuma pengen yang terbaik buat dia, Nak. Ibu nggak rela kalau dia sampai nikah dengan pacarnya, perempuan itu…”

“Tapi Bu…” Saya menjawab hati-hati, sehalus mungkin agar tidak semakin menyakiti perasaannya, ”Kalau memang tekadnya sudah bulat, mungkin akan lebih baik jika Ibu membiarkannya menjalani keputusan itu, dengan segala konsekuensinya. Mungkin akan lebih baik kalau Ibu menerimanya, berbesar hati…”

“Pokoknya Ibu nggak rela.” Kalimat itu memotong ucapan saya dengan tandas, sukses membuat saya terdiam karena kaget. “Saya Ibunya, dan apapun yang terjadi, saya nggak akan merelakan anak saya nikah dengan perempuan itu.”

Saya tidak berkata-kata lagi.

Ia masih menangis. Masih mencurahkan isi hatinya dalam perbincangan panjang yang saya sendiri tidak tahu kapan akan berakhir. Mata itu masih terus membasah. Lagi dan lagi. Dan saya terus duduk di sana, mengusap punggungnya dan menggenggam jemarinya, mencoba menyalurkan kekuatan yang tidak seberapa.

Seandainya saya bisa mengutarakannya.

Bahwa ada banyak cara untuk mencintai, dan melepaskan adalah salah satunya.

Tapi entahlah. Bagaimanapun, saya bukan seorang Ibu. 🙂

Dipersembahkan untuk seorang Ibu yang sangat mencintai putra tunggalnya.
Semoga bahagia senantiasa. 🙂

The Pursuit of Happiness

Setelah sekian lama mendengar cerita tentang film ‘The Pursuit of Happyness’ dan tergiur menyaksikan akting Will Smith yang konon katanya ‘the best ever’, akhirnya saya berhasil nonton film ini. *deuuu, bangga..* 🙂

Pendapat saya tentang ‘The Pursuit of Happyness’?

Sejujurnya, tidak banyak. Dan saya juga memilih untuk tidak terburu-buru mencantumkannya dalam daftar film favorit di Friendster *wink*.

Alasannya?

Well.. mungkin pandangan saya tentang arti kebahagiaan sedikit berbeda. Entah benar entah salah, namun bagi saya kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dikejar seperti Will Smith (atau Chris Gardner) memperjuangkannya.

Entah hidup dengan harta berlimpah atau melarat setengah mati, sehat walafiat atau terbaring di rumah sakit, bisa makan di restoran mewah atau makan nasi-kerupuk, tinggal di rumah jutaan dolar atau di penginapan sederhana yang bayarnya pakai ngutang, menikah dengan eksmud super-tampan lagi baik budi dan tidak sombong atau masih single di usia ‘kepala dua lari-lari’; menurut saya, kebahagiaan tidak ditentukan oleh itu semua.

Saya menonton film tersebut sampai habis, dan mendadak teringat pada sebaris kalimat yang dituliskan seorang teman beberapa waktu lalu. Kalimat yang sangat sederhana, namun lebih dari cukup untuk merangkum makna kebahagiaan secara utuh (dan menohok hati saya).

“Kebahagiaan tidak perlu dikejar, karena kebahagiaan timbul dari hati dan pikiran yang senantiasa bersyukur.”

Teman saya bukan ahli filsafat, seniman besar, sastrawan terkenal, pun pembuat film kondang.

Tapi bagi saya, ia telah berhasil menyampaikan arti kebahagiaan melebihi yang dapat diuraikan oleh siapa pun. 🙂

Nunjuk Itu Memang Gampang.

Saya tersenyum ketika membaca sebuah e-mail di mailing list yang saya ikuti. E-mail tersebut mengomentari tanggapan e-mail lain, atas ‘nyasar’nya spam di milis yang cukup mengganggu:

“Ya ini salah satu spam email lagi…abis anggota milis ini aneh2 sih, kemaren rame2 bilang setuju mau difilter aja messagenya.. tapi cuma pada bilang mau, setuju, setuju banget, tapi ga ada yg mengajukan diri menjadi moderator..kl gitu ya silahkan filter emailnya sendiri2 aja.. gampang kann…”

E-mail bernada kesal itu dibalas oleh anggota milis lain, yang membuat saya cengar-cengir nggak karuan:

”Gimana kalau kamu aja yang jadi moderatornya?”

E-mail ini adalah yang e-mail kesekian, yang menanggapi subjek serupa. Saya tergelitik membaca e-mail tersebut, dan seketika naluri nyolot saya (yang bawaan dari lahir dan tidak terlalu ingin saya ubah – karena kadang-kadang berguna juga dalam menghadapi orang reseh *wink*) timbul.

nyilet mode: ON.

Memang jauh lebih mudah melontarkan kritik, daripada memperbaiki sesuatu dengan tangan kita sendiri.
Jauh lebih mudah memberi usul, daripada melaksanakannya.
Jauh lebih mudah menunjuk orang lain, daripada mengerjakannya sendiri.
Jauh lebih mudah buka mulut dan cuap-cuap, daripada menyingsingkan lengan baju untuk mulai bekerja.

Dan, seperti yang kamu baca di entri ini, jauh lebih mudah menuliskan opini, daripada melakukannya. 😀

Lha, kok?
Iya, soalnya saya juga emoh kalau disuruh jadi moderator. Haha. Tapi biarlah. Setidaknya, saya tidak ikut-ikutan ribut dan saling tunjuk karena beberapa spam nyasar di inbox saya. Ada banyak hal yang lebih penting untuk dipusingkan.

*ah, sudahlah…*

nyilet mode: OFF.

Peace, ah! 🙂

I Am Different, and I Am Proud Of It.

Beberapa waktu lalu saya sempat menyinggung sekilas keinginan saya untuk menjadi relawan di daerah konflik pada seorang teman. Sambil cengar-cengir, saya berkata, “Seru lho, mau ikutan gak?”

Ia menatap saya lekat-lekat, dengan pandangan aneh dan kening berkerut, lalu bertanya “Ngapain?!” dengan intonasi meninggi. Padahal sumpah, itu ajakan biasa yang saya lontarkan dengan ringan.

Bagi saya, tidak ada yang aneh dengan keinginan itu. Saya sendiri mendengar tentang hal ini dari seorang kawan yang sudah melakukannya lebih dulu. Kawan saya kecanduan dengan pengalaman dan pencerahan yang didapatnya saat menjadi relawan. Cerita-ceritanya sangat menggugah, dan menurut saya, sama sekali tidak ada yang salah dengan keputusan untuk mengabdikan diri sesuai panggilan hati – entah itu menjadi relawan, misionaris, biarawati, atau apapun.

Tidak ada yang salah dengan itu, karena setiap orang terlahir dengan tujuan berbeda. Passion yang dimiliki tiap orang pun berbeda-beda, dan saya menghormati keragaman dalam hidup –apapun bentuknya- sebagai sesuatu yang menjadikan dunia ini kaya warna. Hidup ini indah karena berbagai rasa dan warnanya, saya selalu percaya itu.

Sejujurnya, saya sering merasa ‘berbeda’. Saya senang mempertanyakan hal-hal yang jarang dipikirkan (bahkan dilirik) orang lain. Saya mempertanyakan ‘konsep ideal’ yang berlaku di masyarakat. Saya mempertanyakan siklus kehidupan. Saya mempertanyakan implikasi banyak hal, dalam banyak hal (opo toh ‘ki? ^_^). Saya senang dengan segala sesuatu yang membangkitkan rasa penasaran, menggugah nalar dan membedah nurani. Saya tertarik pada hal-hal yang dapat menawarkan alternatif baru dalam menilik makna kehidupan. Saya suka menggali arti tersembunyi dari segala sesuatu; dari yang jelas sampai tidak jelas, penting sampai tidak penting.

Tapi seiring bertambahnya waktu, pelan tapi pasti, saya mulai merasa diri ini ‘aneh’. Kenapa? Karena saya ‘lain sendiri’. Saya berbeda, dan terasing dalam perbedaan itu.

Berkali-kali saya menerima respon tidak enak -bahkan dari orang-orang terdekat saya- semata karena pemikiran saya tidak bisa mereka terima.

Saya tidak menyalahkan siapapun atas hal ini. Sebagaimana saya melihat keragaman sebagai sesuatu yang indah, saya pun menghargai setiap perspektif yang dimiliki masing-masing individu – termasuk usaha mereka untuk mempertahankan ‘keyakinan’ tersebut. Mungkin tatapan aneh, kernyitan dan komentar menusuk yang saya terima hanya salah satu usaha untuk menjaga apa yang mereka yakini sebagai kebenaran.

Tapi, di sisi lain, batin saya mulai ‘terusik’. Jadi berbeda ternyata tidak sepenuhnya enak.

Saya harus siap menghadapi tentangan dari lingkungan yang tidak sepaham. Satu-satunya cara untuk meminimalkannya adalah dengan bicara sesedikit mungkin, agar tidak perlu memancing perdebatan maupun respon bernada aneh. Dan memang itulah yang saya lakukan. Namun akibatnya, saya merasa ‘terpenjara’; bahkan untuk sekedar membuka mulut pun harus dipikir seribu kali dulu. Kebebasan mengutarakan pendapat mulai menjadi sesuatu yang istimewa, karena kesempatan seperti itu jarang saya dapatkan.

Tapi, efeknya adalah, saya jadi mulai meragukan ‘keyakinan’ saya sendiri. Dulu saya tahu saya berbeda, dan tidak ambil pusing dengan fakta itu. Saya merasa nyaman dengan keberadaan dan pemikiran-pemikiran saya, yang seringkali tidak sejalan dengan kebanyakan orang. Saya percaya diri, dan saya bangga. Sekarang kepercayaan diri itu mulai goyah, dan kebanggaan menjadi mahal.

Rasa frustrasi itu perlahan merambat naik. Memberitahu bahwa ‘ada yang tidak beres’ dengan diri saya. Menyadarkan bahwa tentangan-tentangan yang saya alami disebabkan oleh ‘kekeraskepalaan’ saya untuk bertahan menjadi berbeda. Menantang nalar saya dengan pertanyaan, ‘Mau sampai kapan seperti ini?’.

Sungguh, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Menyerah dan berkompromi? Ikut menganut paham yang diyakini orang-orang lain? Turut mengamini konsep ideal yang berlaku di masyarakat? Menyerah pada tuntutan lingkungan dan mengubah jalan berpikir saya? … menjadi sama seperti kebanyakan orang?

Konflik batin itu berhenti hari ini, ketika saya menerima jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan pada seorang kawan melalui pesan pendek, “Menurut lo, gue ini aneh gak sih?”

Jawabannya datang dalam sebuah kalimat simpel.

“Kalo lo mikir lo aneh, maka aneh lah elo. :)”

Kesederhanaan itu membuat saya terdiam. Iya, rasanya seperti ditampar.

Selama ini, saya merasa diri saya ‘aneh’ karena tidak bisa memenuhi tuntutan lingkungan sosial untuk bertransformasi –menjadi sama- seperti mereka.

Ternyata saya salah.

Saya merasa aneh, karena saya mengizinkan pikiran saya berkata “Kamu aneh.”

Saya merasa abnormal, karena saya membiarkan benak saya teracuni dengan intimidasi.

Saya merasa tertekan, karena secara tidak langsung saya membiarkan tekanan itu menghimpit diri saya.

Padahal, sebenarnya semua berada dalam ‘kendali’ saya.

Orang boleh memiliki persepsi berbeda, bertindak sesuka hati dan mengatakan apapun yang mereka mau tentang saya, tapi pembentukan citra diri saya yang sesungguhnya tidak bergantung pada semua itu.

Saya adalah sebagaimana yang saya pikirkan.

Pesan pendek itu masih terasa menampar hingga detik saya menuliskan kalimat ini. Namun bedanya, kini saya terbebas dari himpitan konflik batin.

Saya unik.

Saya berbeda, dan saya bangga dengan perbedaan itu.

*Dipersembahkan bagi semua orang yang ‘terasing’ karena berbeda. Tidak ada yang
salah dengan itu, karena setiap perbedaan menciptakan warna yang memperkaya
keindahan dunia. Jadi, mari berbagi pencerahan ini. Kita unik karena kita
berbeda
. 🙂

Untuk Yang Tersayang. :)

Sayang,

Seharian ini saya tersenyum terus. Iya, agak mirip orang gila memang. Mau tahu alasannya? Saya selalu geli jika teringat polahmu tadi siang, ketika kamu berada dalam gendongan saya, dan dengan nyaman merengkuh leher dan pundak saya. Tiba-tiba kamu menggeliat, dengan gerakan yang begitu tiba-tiba sampai saya ngeri sendiri (maklum, lengan saya yang kurus ini agak ringkih untuk menahan gerakan mendadak dari tubuhmu yang semakin berat). Kamu bilang, kamu ingin pipis. Cepat-cepat saya menurunkanmu. Sayangnya, ucapanmu itu terlambat. Kamu sudah membasahi kemeja dan jaket saya dengan sukses. Saya hanya bisa tergelak melihat noda besar yang basah itu.

Tapi tenang, saya tidak marah kok. Mana bisa saya marah padamu? Kamu adalah sosok paling lucu, paling menyenangkan dan paling menggemaskan yang pernah saya temui. Saya tidak akan pernah bisa marah padamu, tidak peduli berapa sering pun kamu ngompol di gendongan saya, menumpahkan kuah sup yang berminyak ke tubuh saya, membasahi saya dengan liurmu, bahkan memukul kepala saya (saya tahu kok, kamu tidak sengaja melakukannya).

Kamu tahu, Sayang, kamu begitu berarti. Bukan hanya untuk saya, namun juga semua orang yang mencintaimu. Kamu sangat berharga. Mungkin kamu tidak ingat, Sayang, 2 tahun lalu, ketika kamu menghirup udara dunia untuk pertama kalinya, kami ada di sana. Menyaksikan kamu menggeliat. Mendengar tangisanmu. Melihat kamu tertidur dengan nyenyaknya. Dan kami merasa jadi orang paling bahagia di dunia. Sesungguhnya, kami sudah bersama denganmu jauh sebelum kamu lahir, Nak. Kalau kamu ingat suara-suara lembut yang berbisik di balik dinding elastis tempatmu tumbuh sebagai janin, itulah kami. Kalau kamu ingat belaian ringan yang menggetarkan dinding itu, itulah kami. Kami menyertaimu sejak kamu masih sangat, sangat kecil. Itu sebabnya, ketika kamu (akhirnya) tiba di dunia, kami bersukacita.

Tahukah kamu, Nak, kamu muncul di dunia dengan perjuangan panjang. Kehamilan Ibumu tidaklah mudah. Beliau melalui masa 9 bulan itu dengan sukar karena perubahan fisik yang dialaminya. Rasa sakit dan tidak nyaman menjadi ‘makanan’ sehari-harinya selama 7 bulan penuh, sementara kebanyakan orang hanya mengalaminya selama tri semester pertama. Tapi tahukah kamu, Ibumu adalah wanita yang kuat. Sekalipun bergumul dengan kelelahan fisik, insomnia dan sulit menerima makanan, Beliau tetap menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat baik; sebagai istri, pimpinan perusahaan dan ibu gembala sekaligus. Saya ingat malam-malam ketika ia bekerja dengan kaki bengkak dan perut mual. Ia memilih untuk menyelesaikan tanggung jawabnya dan mengabaikan rasa sakit itu. Ibumu wanita yang sangat mulia.

Proses kelahiranmu juga tidak terbilang mudah. Hari kemunculanmu sudah tiba, tapi kamu masih betah bersembunyi di dalam sana. Mungkin kamu masih ingin menikmati kehangatan rahim Ibumu. Yang jelas, sementara kamu berbaring nyaman di dalam sana, kami mulai panik. Sebulan lebih kami menanti, Nak. Sebulan lebih orangtuamu menunggu dengan sabar. Dan ketika saat itu akhirnya tiba, Ibumu bergumul selama belasan jam demi melahirkanmu. Induksi tanpa disertai suntikan epidural membuat Beliau kesakitan luar biasa. Ibumu berjuang melawan rasa sakit dan takut yang hebat, Nak, semuanya demi menyaksikanmu menghirup udara dunia dengan bebas. Demi mendengar tangisanmu yang pertama. Demi menimang dan membesarkanmu.

Ketika kamu berusia 40 hari, sesuatu terjadi. Kamu terkena penyakit bernama Stephen Johnson Syndrome (mudah-mudahan saya menulisnya dengan benar, karena saya tidak paham penyakit apa itu, dan tidak berminat mencari tahu). Penyakit itu membuatmu terbaring berhari-hari di ruang perawatan intensif Rumah Sakit. Dokter bahkan mengatakan, terlambat sedikit saja, kami bisa kehilangan dirimu. Kamu berbaring lemah di sana, Nak, dengan bengkak dan luka di sekujur tubuh. Ketika luka itu mengering, koreng yang ditinggalkan menimbulkan bau anyir yang pekat. Kami menangis melihatmu, namun yang paling menderita adalah orangtuamu. Saya tidak pernah melihat mereka ‘terpuruk’ seperti itu. Mereka orang yang kuat dan selalu ceria, tidak peduli sebesar apapun masalah yang mereka hadapi. Hari itu, mereka tertunduk dan menangis. Tapi itu semua justru menyadarkan saya, sebesar itulah cinta orangtua. Sebesar itulah cinta mereka padamu, Nak.

Dan saya mengingat malam-malam itu seperti baru kemarin. Malam-malam panjang setelah kamu sembuh, di mana orangtuamu tidak tidur demi memantau kondisimu. Malam-malam di mana mereka menyelinap masuk ke kamarmu dan duduk berjam-jam di sana demi memasukkan beberapa cc susu ke perutmu, karena kamu selalu menolak bila disodori susu saat kamu terbangun. Iya, kami tahu, susu hypoallergenic itu memang amit-amit rasanya. Aromanya pun membuat mual, lebih mirip air kaporit daripada susu bayi. Saya ingat, betapa Ibumu mudah sekali sakit karena daya tahan tubuhnya menurun drastis, akibat bermalam-malam tidak tidur. Saya ingat betapa Ayahmu jadi rentan terhadap flu dan pegal-pegal, akibat membuaimu semalaman. Semua agar kamu bisa tidur dengan nyaman dan tumbuh sehat. Nak, mereka sangat mencintaimu.

Lalu tiba saatnya kamu belajar bicara. Betapa mata ayahmu berbinar bangga saat kamu mulai menyebutkan suku kata pertamamu, disambung dengan ‘Dad’, kemudian ‘Mom’. Betapa wajah Ibumu bersinar-sinar saat bibir mungilmu mengeluarkan kata-kata lucu. Pemandangan seperti itu takkan bisa dibeli dengan apapun, Sayang.

Kami semua heboh ketika kamu mulai belajar berjalan. Kami heboh menyemangatimu, berlomba menuntunmu dan menjadi ‘penjaga’ di sampingmu – agar kamu tidak terpelanting. Bayangkan betapa bahagianya kami saat kamu mulai menyusuri lantai, setapak demi setapak, dengan langkah-langkah mungilmu. Bayangkan betapa berisiknya kami, ketika kamu terjatuh dan menangis. Selanjutnya, kami akan heboh berseru menenangkanmu dengan kalimat sakti: “Nggak apa-apa, Alex kan hebat!” sehingga kata-kata itu menjadi ‘mantra’mu di kemudian hari (“Ga pa-pa-pa-pa!”).

Waktu berlalu begitu cepat, Nak, seperti pusaran angin yang tak berkompromi. Kamu semakin besar. Kamu semakin lincah, lucu dan berat (hehehe). Tahukah kamu, rasa sayang kami padamu tidak berkurang. Justru semakin bertambah, karena ketika kamu tumbuh dalam kehangatan cinta, kami juga turut bertumbuh bersamamu.

Hari ini, Sayang, saya memutuskan untuk menulis sesuatu yang dapat kamu baca (dan kenang) di kemudian hari. Ketika kamu cukup besar untuk memahami isi tulisan ini, kami pun sudah semakin tua. Mungkin saat itu memori akan masa kecilmu sudah berlubang-lubang, sehingga lebih baik jika saya menuliskannya sekarang.

Ingat selalu, Nak… kamu ada di dunia ini untuk sebuah tujuan yang besar. Kamu tercipta untuk menjadi luar biasa. Kamu ada berkat doa yang tidak pernah berhenti, yang terus dipanjatkan orangtuamu dan orang-orang yang menyayangimu. Kamu besar dalam kehangatan cinta, dan cinta yang sama akan terus menyala dalam dirimu. Jangan pernah lupakan malam-malam sunyi ketika Ayah dan Ibumu duduk di sisimu dan mendoakanmu. Jangan pernah lupakan rasa nyaman dalam dinding elastis itu, ketika Ayahmu menumpangkan tangannya yang hangat dan berdoa bagimu. Jangan lupakan masa-masa dimana tangan mereka membelai lembut tubuhmu, mengusap sayang keningmu, mengayunmu dalam lengan-lengan kokoh dan menciummu dengan segenap cinta. Jangan pernah lupakan itu, walau mungkin kamu masih terlalu kecil untuk mengingatnya. Jika kamu belum dapat menyimpannya dalam memorimu, setidaknya ingatlah cinta itu.

Jika waktu berlalu dan kamu semakin dewasa, banyak hal akan berubah, Sayang. Akan tiba waktunya kamu terlalu besar untuk kami gendong dan ciumi. Akan tiba saatnya kamu menapaki fase hidup yang tidak dapat kami masuki. Akan tiba saatnya ketika segala hal yang biasa kami lakukan bagimu tidak dapat kami lakukan lagi. Karena kamu telah tumbuh dewasa.

Satu pesan kami, Nak… teruslah bertumbuh. Bertumbuh dalam cintaNya. Bertumbuh dalam anugerahNya. Bertumbuh dalam kekuatanNya. Temukan Dia dalam sosok orangtuamu, dan teruslah bertumbuh menjadi seperti mereka, karena orangtuamu adalah teladan terbaik yang dapat kau jumpai (bahkan kami pun belajar dari mereka).

Dan pesan kami yang terakhir, Nak (okay, pesan saya tepatnya)… kalau kamu sudah besar nanti, jangan lupakan tangan-tangan yang pernah menggendongmu. 🙂

Kami mencintaimu, selalu.

Salam sayang,

Auntie Jenny

*Sebuah persembahan untuk Merpati kecil yang selalu
tersenyum, dan mereka yang disebut ‘Ayah’ dan ‘Ibu’. Tabik. 🙂