Buat Sahabat :)

Untuk SMS-SMS berisi salam kocak di pagi hari maupun ucapan tidur sederhana yang selalu berhasil menarik garis lengkung di bibir saya:
Terima kasih.

Untuk percakapan hangat hingga jam 4 pagi via telepon; jam 2:30 subuh di kasur yang nyaman; jam 3 dinihari sambil nonton TV yang menyiarkan acara-acara nggak jelas (siapa juga yang masih melek jam segitu?!):
Terima kasih.

Untuk obrolan santai di Starbucks, JCo, warung tenda pinggir jalan, mobil, kamar tidur, sofa ruang tamu, dan tempat-tempat lainnya:
Terima kasih.

Untuk lelucon-lelucon konyol yang selalu membuat kita ngakak bak orang gila: Terima kasih.

Untuk berbagi tawa saat kita bicara tentang ‘ngeceng’, ‘brondong lucu’, ‘kabur-kaburan’, dan saling mencela tanpa pernah memasukkannya ke hati: Terima kasih.

Untuk celaan-celaan yang tabu di telinga yang lain, namun justru menjadikan kita lebih dekat dari saudara:
Terima kasih.

Untuk telinga yang selalu mendengar dengan sabar dan tak pernah menghakimi:
Terima kasih.

Untuk menceritakan rahasia-rahasia terdalam yang tak seorang pun selain kita yang tahu:
Terima kasih.

Untuk mempercayai saya dengan membuka diri dan mengizinkan saya melihat diri kalian apa adanya:
Terima kasih.

Untuk membuat saya merasa nyaman, diterima dan mampu menjadi diri sendiri tanpa perlu ‘berpura-pura’: Terima kasih.

Untuk mengenal saya luar-dalam, lengkap dengan segala hal ‘ajaib’ yang tersembunyi dari tatapan orang lain dan tetap mengasihi saya seutuhnya: Terima kasih.

Untuk setiap koreksi, kritik dan teguran atas kekurangan-kekurangan saya, dan tetap menghargai apapun keputusan saya:
Terima kasih.

Untuk tidak menuntut dan memaksa saya menjadi ‘seperti yang seharusnya’, namun memandang perbedaan yang ada sebagai warna yang menjadikan hidup lebih semarak:
Terima kasih.

Untuk mengulurkan tangan saat saya terjerembab dan menarik saya berdiri tanpa mengatakan “Tuh, apa gue bilang!”: Terima kasih.

Untuk tidak mengizinkan perbedaan (suku, konsep pikir, sifat, selera, dan sebagainya) menciptakan jurang pemisah di antara kita:
Terima kasih.

Untuk mengizinkan saya menjadi diri sendiri dan menemukan separuh jiwa saya yang lain dalam diri kalian:
Terima kasih.

Untuk secercah kehangatan di sisi terdalam hati saya ketika mengingat kalian, dan untuk rasa syukur bahwa saya memiliki makna terindah dari persahabatan:
Terima kasih.

… untuk setiap senyum, airmata, tawa, senang, takut, dan khawatir yang kita bagi bersama:

Terima kasih.



Starbucks picture taken from: http://aishanatasha.multiply.com

Permisif!

Akhir Agustus lalu, seorang sahabat menelepon sambil menangis dan curhat urusan patah hatinya. Kami ngobrol sampai jam 4 pagi dan saya sempat ikutan mewek — terenyuh dengan ceritanya. Sejak malam itu, hidup sahabat saya bagaikan roller coaster. Bukan cuma harus menanggulangi sakit hatinya; ia juga harus berurusan dengan gosip-gosip yang lumayan ‘sadis’ -secara ia orang yang cukup ‘dikenal’ di komunitas kami (terkutuklah kalian wahai para penggosip!)- dan menanggulangi tekanan dari berbagai pihak.

Di saat-saat seperti itu, banyak orang menghampirinya untuk memberi nasehat. Kebanyakan berupa kritik dan dorongan yang menuntutnya untuk bisa secepatnya keluar dari masalah tersebut.

‘Harus begini, harus begitu. Nggak boleh ini, nggak boleh itu. Pokoknya jalani seperti ini, titik.’

Bukannya sembuh, sahabat saya justru makin tertekan. Kondisinya bertambah buruk bukan karena sakit hati saja, melainkan karena tuntutan-tuntutan yang dirasanya terlalu berat dan ‘sama sekali tidak mengerti kondisinya’.

Waktu sedang iseng, terlintas di benak saya untuk mengumpulkan SMS-SMS curhatnya dalam 1 folder khusus di handphone. Hanya dalam beberapa bulan, SMS yang terkumpul mencapai 500 lebih, dan call duration saya membentur angka 92 (jam!).

Sekali waktu ia bercerita, seorang kawan meneleponnya (cuma) untuk ngomel dengan nada tinggi. Alasannya, gemas dengan sikap sahabat saya yang dinilai kurang tegas. Level tuntutan itu rupanya sudah berubah. Bukan lagi sekedar saran, namun sudah menjadi ‘perintah’ — yang kalau tidak dituruti, ya siap-siap aja mendapat omelan berikutnya.

Ini terjadi lebih dari sekali. Kawan yang sama juga beberapa kali menanyai saya perihal kondisi sahabat saya itu, sampai akhirnya saya jengah sendiri dan berbohong dengan mengatakan ‘tidak tahu’ (ya maab deeeh…) – daripada diinterogasi terus?! Kalaupun saya punya jawaban atas pertanyaan tersebut (dan emang punya sih, sebenernya.. *wink*), nggak mungkin kaleee saya membocorkan urusan pribadi sahabat sendiri!

Don’t get me wrong here. Kritik dan tuntutan tersebut tidak sepenuhnya salah. Saya percaya hal-hal ini muncul dari niat baik (dan tulus) orang-orang yang bersangkutan. Masalahnya, sahabat saya sedang berada dalam kondisi yang sangat rapuh dan tidak siap dibombardir dengan berbagai hal yang terlampau berat.
Kasarnya, simpati yang dijalankan tanpa dibarengi empati.

Selama masa-masa sulit itu saya hanya bisa membantu semampunya. Saya memberikan advice secara ringan, yang sering kali saya ‘bungkus’ dalam candaan. Buat apa lagi menuntutnya macam-macam? Ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan, dan ia memiliki kehendak bebas untuk membuat keputusan demi kebaikannya sendiri. Tugas saya sebagai sahabat adalah mengingatkannya agar selalu memilih yang terbaik, menghormati keputusannya, mendukung dan mendoakannya; bukan ngomel maupun nuntut ini-itu yang akhirnya malah menambah barisan sakit hati.

Akhir Desember, saya menerima SMS berisi ucapan selamat natal darinya. Isinya sedikit out of topic, tapi cukup ampuh untuk membuat saya senyum-senyum terharu:
Met natal jen..jujur gw seneng bget pny temen yg ga jaim n ngertiin gw bnget..n btw thanks jg y buat smua waktu yg elo sediain buat gw waktu gw ada di titik terendah dalam hidup gw,n thanks buat pengertian yg elo ksih ktika lo ga nuntut gw tuk bgini n bgitu..thanks y jen..

Beberapa hari lalu, saya ngobrol via telepon dengan seorang teman (who seems to be my next best friend ^_^ hai, jeng!), dan ia melontarkan 1 istilah yang nempel di otak saya detik itu juga: Permisif.

“Gue mah orangnya permisif banget, apa-apa boleh!” Cetusnya.

Saya tergelak dan langsung merasa lega.

Ternyata masih ada juga orang yang permisif di dunia ini (baca: di lingkup pergaulan saya) — yang tidak memandang tuntutan, perintah dan omelan sebagai hal terpenting yang harus segera dijatuhkan pada orang-orang yang ‘sedang berada di titik terendah’.

Percayalah, kadang yang mereka butuhkan bukan vonis, kritik pedas maupun teguran mentah-mentah. Yang mereka perlukan hanya telinga yang mendengar dan hati yang cukup luas untuk memberi arahan terbaik — untuk kemudian mengembalikan keputusan ke tangan mereka, membiarkan mereka memilih dan menghormati (serta tetap menerima) mereka, apapun hasilnya.

Saya sendiri sudah mengalaminya.

‘Tuk djeng OP (eh, boleh nyebut nama gak sih?), thanks so much, yup… for being permissive!! 🙂 Our conversation made me feel ‘accepted’ for who I am and it was sooo relieving. Thanks for helping me gain my confidence back! (dan kayaknya gue udah ketularan lo nih.. cari gara-gara –-plus cari ribut– nulis beginian segala! ^_^)

Untuk para penuntut jaya (jika kalian membaca entry ini – walau saya berharap TIDAK), please, understand us. Give us some space. Kami bukan pemberontak, kok. Cuma segelintir orang yang pengen sekali-sekali bisa hidup ‘bebas’ tanpa dibebani urusan-urusan riweh… (dan please jangan bilang, “kalau gitu ngapain masih bareng-bareng kita?!”)

Last but not least, untuk pengunjung blog tercinta yang mungkin sudah penasaran, dari tadi ngomong ‘tuntutan’, ‘tuntutan’ melulu.. emang kayak apa sih tuntutannya? Maaf saya enggak bisa menjabarkannya di sini, karena: (1) kepanjangan (2) tindakan mempublikasikan hal tersebut secara detil hanya akan menambah kesulitan saya seandainya entry ini dibaca oleh pihak-pihak tertentu. (I know, I know.. ‘kalo takut ngapain ditulis?!’) Ya maabbb… 🙂

Kenalkan, Pahlawan Saya.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika saya masih SMP kalau nggak salah — lagi senang-senangnya menggandrungi bintang film Asia dan membeli berbagai majalah yang memuat profil mereka – saya menemukan artikel mencengangkan tentang sepasang gadis kembar siam yang hidup dengan satu tubuh.

Waktu itu, nama mereka hanya ditulis sebagai Evy dan Betty. Tidak ada keterangan lain, yang ada hanya uraian mengenai kisah sepasang keajaiban ini — yang tidak terlalu panjang karena mereka masih berumur 5 tahun. Tulisan dan foto-foto di sana sangat menyentuh hati sehingga saya menyimpan majalah itu secara terpisah. Bertahun-tahun kemudian kecintaan saya terhadap aktor-aktor Asia memudar, sehingga saya menyingkirkan koleksi majalah yang berdebu itu. Tapi artikel tentang Evy dan Betty tidak saya buang. Saya simpan dan masih ada hingga kini.

Selama bertahun-tahun, saya senang mengeluarkan potongan artikel itu, membacanya ulang, mengamati foto-foto di dalamnya, dan mereguk berbagai inspirasi dari kehidupan sepasang kembar yang unik ini.
Salah satu yang paling menyentuh hati saya adalah komitmen mereka untuk tidak mau dipisahkan melalui operasi. Kenapa? Karena jika pembedahan dilakukan, salah satu di antara mereka akan meninggal, dan yang lainnya hidup cacat.

Mereka ingin tetap bersama selamanya. Gadis-gadis cilik ini tahu mereka tidak akan pernah lepas dari tatapan (bahkan celaan) orang, namun toh mereka ingin terus menjelang hidup. Mereka punya cita-cita dan impian layaknya gadis-gadis kecil lain, dan mereka ingin menggapainya berdua.

Selama itu juga, berkali-kali saya bertanya dalam hati, gimana kabarnya ya mereka sekarang?
Masih hidupkah, atau sudah… ah, saya tidak mau memikirkan itu. Mudah-mudahan mereka masih hidup, dan tentunya sudah beranjak besar. Kalaupun sesuatu yang buruk terjadi, lebih baik saya tidak usah tahu. Karena saya ingin mereka tetap eksis dalam ingatan saya. Saya ingin tetap merengkuh inspirasi dari dua bocah yang lucu-lucu itu.

Semalam, ketika menunggu seorang teman di warnet, iseng-iseng saya membuka e-mail.
Ada 1 e-mail yang membuat jantung saya berdegup lebih kencang. Judulnya ‘Girl With Two Heads’. Saya membuka e-mail tersebut, dan langsung menemukan jawaban atas rasa penasaran saya selama bertahun-tahun.

Itu dia. Evy dan Betty.
Mereka masih hidup, dan sudah tumbuh dewasa.

Selama beberapa menit saya hanya memelototi gambar-gambar pada attachment dengan kegembiraan meluap-luap. Hanya 3 kata itu yang berulang kali singgah di otak saya: Mereka masih hidup.

Nama sepasang kembar siam itu Abigail Loraine Hensel dan Brittany Lee Hensel. Mereka tinggal di Amerika Serikat dan tahun ini genap berusia 17 tahun. Bocah imut-manis-menggemaskan yang saya lihat di artikel itu sudah menjelma jadi gadis remaja yang cantik dan percaya diri.

Saya menatap mata mereka. Di situ masih tersimpan harapan yang sama; mereka akan terus menjelang kehidupan berdua. Tak terpisahkan.

Ketika kembali ke rumah, dengan ‘kalap’ saya mengconnect internet dan membuka Google. Saya menemukan lebih banyak foto (yang langsung saya save di PC dengan eforia berlebihan) dan terus memandanginya. Tersenyum-senyum mirip orang gila dan mengamati foto-foto itu seolah saya bisa bicara pada mereka.

Evy dan Betty –bukan, Abigail dan Brittany–, teruslah hidup. Teruslah memberi inspirasi. Kita tidak saling kenal, namun kalian telah menularkan semangat dan makna baru dalam diri saya. Saya ingin kalian tetap hidup. Bahagia berdua, selamanya, sampai maut menjelang.”

Akhirnya, saat hendak mengetikkan beberapa address untuk memforward email tersebut, saya tercenung.
Saya menghapus judul yang tertera di sana –‘Girl With Two Heads’—dan menggantinya dengan ‘Two Heads, One Body’.

Abigail dan Brittany bukan hasil rekayasa alam yang gagal; juga bukan ‘makhluk aneh’ yang layak dijadikan tontonan. Mereka sama seperti saya; seperti kita semua.
Yang membedakan hanya, mereka telah belajar arti kehidupan sebelum Anda dan saya memahaminya.



Lala, makasih ya atas kiriman e-mailnya. You’ve been such a blessing to me! 🙂

Badai Pasti Berlalu

Kalimat itulah yang saya ketikkan di SMS untuk menguatkan seorang sahabat yang sedang gundah.
Setelah berkali-kali disakiti oleh orang yang disayanginya, akhirnya ia mengambil keputusan tegas untuk berpisah. Bukan hal yang mudah bagi sahabat saya. Walau tidak banyak bicara, saya tahu ia terluka.

Kalimat itu juga yang diucapkan seorang teman kala saya meneleponnya sambil menangis, akhir Oktober lalu. Saya masih ingat betul apa yang ia katakan: “Badai pasti berlalu, enggak mungkin selamanya. Setelah ini akan ada kesenangan, juga badai-badai lain…

Saya mengingatnya seperti baru kemarin, karena kalimat itu selalu terngiang di benak saya saat menghadapi berbagai masalah yang sulit diatasi; yang sering kali membuat sedih, kesal, kecewa, bahkan frustrasi (hayyyahh…).

Sahabat saya terpaksa melepaskan orang yang disayanginya karena ada terlampau banyak luka dan masalah yang tidak terselesaikan di antara mereka berdua. Saya yakin, sangat menyakitkan berpisah dengan orang yang sekian waktu lamanya ia sayangi dan percayai dengan segenap hati. Namun, seandainya sahabat saya tetap berpegang pada rasa ‘sayang’nya, badai itu (mungkin) tidak akan berlalu dari hidupnya.

Kadang ada badai yang tidak bisa kita hindari, betapapun kita mencoba menangkisnya.
Kadang ada airmata yang tetap luruh, betapapun kita mencoba menahannya.
Kadang ada peristiwa tidak enak yang terjadi, betapapun kita mencoba menghindarinya.
Dan kenyataan tetaplah kenyataan, betapapun kita mencoba mengingkarinya.

Dalam kasus sahabat saya, keputusannya untuk berpisah-lah yang akan menyelamatkannya dari badai yang lebih besar. Dalam kasus Anda maupun saya, mungkin dibutuhkan cara penanganan dan perspektif yang berbeda.

Apapun itu, tetap dibutuhkan sebuah pengambilan keputusan.

Saya tidak mengatakan pengambilan keputusan Anda akan membebaskan Anda dari badai tersebut sepenuhnya; namun setidaknya, Anda akan terhindar dari badai-badai lain yang lebih besar. Itu kalau Anda mengambil keputusan dengan benar.

Sahabat saya memilih untuk mengesampingkan perasaan emosionalnya, menilik dengan bijak dan mengambil keputusan yang tepat.
Hal yang sama bisa kita lakukan.
Anda dan saya.
Pertanyaannya, maukah kita?

Saya membaca penggalan kalimat itu sekali lagi, dan sambil nyengir menambahkan kalimat berikutnya:
‘at least, bersyukur bahwa pembawa badai itu sudah tersingkir‘.

Saya membaca SMS tersebut untuk terakhir kali, tersenyum dan menekan tombol ‘send’.

Tuhan tidak pernah berjanji langit akan selalu cerah.
Namun justru saat langit tidak cerah, kita bisa melihat pelangi.

Semalam Bersama Sahabat

Mau nangis.
Itu yang saya rasakan beberapa hari ini. Entah karena PMS yang mulai menggila, entah karena banyaknya pressure (halah, pressure!) yang akhir-akhir ini rasanya tidak pernah berhenti menghantui (bo, ada apa sih dengan bahasa gue?)

Pagi ini, seorang teman menemui saya dengan pesan dari atasan:
“Nanti sore, kita semua ke rumah duka rame-rame.” (ada rekan yang ayahnya meninggal, dan malam ini diadakan ibadah penghiburan terakhir)

Oh, no. OH, NO.

Saya paling anti dengan 2 tempat itu: rumah sakit dan rumah duka.
Entah kenapa. Mungkin sebagian disebabkan ‘trauma’ yang saya alami saat Ibu tercinta sakit (dan akhirnya meninggal) karena kanker.
Mungkin sebagian karena saya memang nggak suka aja dengan ‘hawa’ kedua tempat itu — yang selalu penuh kesedihan dan rasa takut.
Pokoknya, saya ogah ke rumah sakit, apalagi ke rumah duka.
Mendingan saya diajak ke mall, pantai, atau luar negeri, daripada harus ke 2 tempat itu! *eh, salah ya?!*

Saya mencoba bernego dengan atasan.
Mulai dari alasan ‘kemaleman’, sampai jurus paling mutakhir yang (saya sangka) ampuh: Salah Kostum!!! (hari ini saya memakai kemeja warna merah ngejreng. Cari gara-gara aja kan, ngelayat pakai kostum begituan)

Usaha saya gagal. Saya tetap harus ikut.
Dan jadilah, kami sekantor beramai-ramai ke rumah duka.

Entah sugesti atau bukan, trauma saya langsung kambuh begitu melihat ruangan yang didekor putih itu. Semua kenangan muncul ke permukaan, dan saya mencoba meredamnya begitu rupa demi tidak kelihatan ’aneh’. Tidak mudah melakukannya, apalagi saat duduk di deretan kursi untuk mengikuti kebaktian. Mengingatkan saya betapa dulu saya harus duduk di tempat serupa setiap hari, selama Ibu disemayamkan. Berjabat tangan dengan para pelayat dan berusaha tetap tegar di depan semua orang. Menabahkan diri untuk tidak menangisi kepergian beliau, padahal saya sama hancurnya dengan Ayah dan adik saya. Saya tidak menangis. Saya berhasil tersenyum pada semua orang. Saya bahkan bisa tertawa. Saya hanya menangis di kamar, saat sendirian dan semua lampu sudah dimatikan. Tidak ada yang tahu, hanya saya dan Sahabat saya.

Hari ini, ketika saya duduk di sana dengan peti jenazah hanya beberapa meter di depan saya, semua kenangan itu muncul lagi. Saya merasa tersiksa.

Selama khotbah disampaikan, saya hanya mendengarkan tanpa sekalipun memandang wajah si pembicara. Saya bergumul dengan diri saya sendiri: trauma saya, kesedihan saya, ketakutan saya.
Begitu khotbah selesai, saya meraih tas dan pulang. Saya tidak sanggup tinggal lebih lama.

Selang beberapa jam, setelah merasa nyaman di kamar sendiri, saya menyalakan komputer. Ada deadline yang harus saya selesaikan, dan ada beberapa email yang belum sempat saya baca. Saya mengconnect ke internet, dan sambil menunggu inbox Yahoo! terbuka, saya iseng masuk ke blog djeng ini.

Ada entry baru di sana. Judulnya ‘Jatuh Cinta Pada Sahabat’.
Saya membaca, terus membaca, dan tidak bisa berhenti sampai kalimat terakhir.

Saya terdiam lama. Dan menangis.

Selama beberapa menit saya tidak bisa melakukan apa-apa kecuali memelototi entry tersebut. Saya kembali ke Yahoo!, namun otak saya blank. Saya tidak tahu harus membuka email yang mana, membaca yang mana, membalas yang mana. Asli, blank. Akhirnya saya kembali ke halaman tadi, dan terus membacanya. Menikmati setiap kalimatnya, menghayati keteduhannya, dan (lagi-lagi) menangis.

Alangkah mellownya saya malam ini.
Tapi, mellow yang ini berbeda dari mellow-mellow kemarin.
Saya merasa hangat sekaligus sejuk pada saat yang sama.

‘Jatuh Cinta Pada Sahabat’ telah membuat saya jatuh cinta lagi.

Akhirnya, saya memutuskan untuk melupakan sejenak semua beban (dan deadline) yang menghimpit.
Itu bisa menunggu.
Malam ini, saya ingin bersama Sahabat tercinta.

Draw me close to You
Never let me go
I lay it all down again
To hear You say that I’m Your friend

You are my desire
No one else will do
Cause nothing else could take Your place
To feel the warmth of Your embrace

Help me find the way
Bring me back to You

You’re all I want
You’re all I’ve ever needed
You’re all I want
Help me know You are near

Makasih ya djeng Okke, buat inspirasinya… :))

Song lyrics by: Kelly Carpenter