Nothing Beats the Warmth of A Happy Family


Sepupu-sepupu heboh yang selalu saya kangenin…


Ponakan tersayang yang sumpah cakep banget!


Kakak-kakak sepupu & Nenek tercinta. I love you forever.. 🙂

JENUH. Mungkin itu kata yang paling pas untuk menggambarkan perasaan saya 2 minggu terakhir ini. Setelah berbulan-bulan begadang (hampir) setiap hari hingga lewat tengah malam demi memenuhi deadline, berusaha menyaring ide walau otak sedang butek dan mengumpulkan inspirasi meski pikiran sedang penat, saya sampai pada 1 titik: SAYA BUTUH REFRESHING.

Kebebasan sejenak dari deadline yang menumpuk.
Penyegaran setelah sekian bulan begadang demi mengumpulkan ide segar dan menyatukan mood — yang terkadang malah bikin saya lebih penat dari sebelumnya.

Hal pertama yang singgah di otak saya: LIBURAN.
Yang kedua: PANTAI.
Pantai yang bersih, hangat dan sepi, dengan pasir putih lembut dan laut biru tenang, seluas mata memandang.

Saya membayangkan suara debur ombaknya.
Saya membayangkan senangnya berjalan di atas butiran pasir halus.
Saya membayangkan nikmatnya ‘terisolasi’ sejenak dari segala rutinitas yang menjemukan.
Saya membayangkan bahagianya terbebas (sementara) dari lingkungan yang (kadang kala) begitu penuh basa-basi, tawa dibuat-buat, dan image yang dijaga selangit.
Saya tidak anti dengan itu semua. Saya menghormati mereka yang melakukannya. Tapi kali ini saya bosan dan penat. Saya ingin memisahkan diri, sebentar saja. Saya ingin bisa merasa nyaman tanpa perlu ‘terusik’ dengan polah di sekitar saya. Saya ingin sendiri. Cuma saya, dan diri saya.

Ketika seorang sahabat menceritakan niatnya liburan ke Bandung saat long weekend, langsung saja saya minta ikut. Lumayan, pikir saya. Biarpun bukan pantai, at least saya tetap bisa menghirup segarnya udara luar kota, tidak perlu terus-terusan mengisap hawa Jakarta yang penuh polusi, dan bisa menyegarkan pikiran bersama soulmate tersayang ini. Jadilah kami membuat perencanaan dengan semangat: mau berangkat hari apa? Naik apa? Jam berapa? Nginap di mana? Mau ke mana aja? Ngapain aja selama di sana? … dan banyak lagi.

Semalam, Nenek saya tercinta berulangtahun ke-75, dan dirayakan di restoran sederhana di Jakarta Pusat. Saya ikut hadir, walau sebagian pikiran masih terfokus pada deadline dan lebih banyak ‘pongo’ selama perjalanan. Begitu sampai di tempat, kami tidak bisa langsung menikmati hidangan (jangan tanya kenapa, ‘rusuh’ lah pokoknya ;p), dan walau sempat ngomel-ngomel karena kelaparan, akhirnya saya dan para sepupu memutuskan untuk menerima dengan lapang dada…
*halaah tuh bahasa*
Yang ada, kami jadi ngobrol seru sambil bercanda-canda gila, saling nyela, ketawa heboh tanpa ujung pangkal. Lupa umur, lupa diri. Kegilaan terus berlanjut ketika makanan datang dan kami mulai bersantap. Suasananya agak kacau untuk ukuran pesta makan-meja yang (seharusnya) formil, tapi sangat menyenangkan.

Nenek, yang semalam tampil jauh lebih muda -baru nyemir rambut bo..- tampak bahagia. Wajahnya berbinar-binar. Katanya, senang melihat cucu-cucunya sudah besar dan dewasa (lah…? Nggak tau aja kerusuhan di meja pojok…). Juga tidak lupa menyelipkan wejangan yang selalu diwanti-wanti pada setiap cucu perempuan: “Cepet dapet jodoh, laki-laki yang baik, yang sayang sama kalian. Popo (sebutan kami untuknya) pengen lihat kalian pada kawin…”

Acara berakhir dengan tiuplilin-potongkue-fotopakeHP-salingtransferviabluetooth yang heboh.
Waktu bergulir sangat cepat dalam derai tawa dan kehangatan (kok gue berasa kayak Ebiet sih nulis beginian).
Saat itu, barulah saya sadar, betapa saya merindukan kenyamanan seperti ini…

Rasa nyaman yang tidak bisa ditukar dengan banyaknya senyum basa-basi. Rasa nyaman yang tidak bisa diciptakan dengan image yang dijunjung tinggi. Tidak juga dengan uang sebanyak apapun, dan liburan kemanapun.

Malam itu, saya pulang dengan secercah kehangatan.
Ternyata yang saya butuhkan bukanlah pantai.
Bukan juga udara sejuk luar kota.
Penyegaran itu datang dari kehangatan sebuah keluarga.
Kebahagiaan itu muncul dari cinta tulus yang tidak mengenal syarat.

Semut Merah Kupret

Kemarin, waktu lagi asyik-asyiknya mencermati laporan stok produk di ruangan manajer (yang harus direvisi karena kecerobohan saya – darn!), mendadak saya digigit semut merah.

Sakitnya nggak seberapa, kayak disuntik zaman TK (doooh!), dan semutnya juga langsung mati tertindih lengan saya. Tapi gatalnya… duh.

I began to scratch, and couldn’t stop. Bekas gigitan yang tadinya hanya bentol kecil, mulai membesar. Akhirnya saya mengoleskan minyak kayu putih dan belagak bego.

Things gone smoothly, saya menyelesaikan tugas-tugas hari itu, pulang, mandi, makan, de-el-el – samasekali lupa tentang si bentol. Sampai tadi pagi saya bangun, dan mendapati –OH, NO— bentol tersebut sudah berubah jadi bengkak merah yang guatelllll tenan

Setelah mengoleskan minyak tawon (yang katanya manjur untuk mengobati segala jenis gigitan serangga – you can write it down… in case ^_^), saya misuh-misuh sejenak sambil mengamati bengkak. Awalnya, semua kesalahan tentu saja ditimpakan pada semut kampret itu. Lalu saya mikir, “Ah sudahlah, udah mati juga. Mungkin gigitannya ini adalah upaya terakhir membela diri sebelum ‘game-over’ ketimpa.”

Kalau melihat dari sudut pandang si semut (yang mungkin sekarang lagi nyukurin saya dari ‘alam sono’), kayaknya ia pantas berbangga hati, karena perjuangannya yang terakhir ini tidak sia-sia – bahkan bisa dibilang membanggakan.


I admired that stupid ant, though.
Badan seuprit itu, gigitannya bisa bikin bengkak kayak gini

’Tuk si semut merah: semoga berbahagia di alam sana… jangan kirim teman-temanmu, ya!

Tentang Nurani, Untuk Semua.


Nurani itu…
Sesuatu yang nggak bakal bisa kita tutup-tutupin
Walau kecil, dia akan tetap berbisik
Cuma kadang-kadang, kita-nya aja yang nggak denger
Atau pura-pura budek.

Nurani itu…
Nggak akan bisa ditipu
Nggak peduli kita pake cara apa, gimana, kapan, dan sama siapa.
Karena dia murni
Dan dia nggak palsu.

Nurani akan selalu berusaha ngomong sama kita
Negur kalo kita salah
Ngingetin kita
Ngasih peringatan ke kita
Dan bikin kita nyaman saat kita ngelakuin sesuatu yang bener.

Tapi inget,
Nurani nggak bisa dibo’ongin
Karena dia adalah bagian terdalam dan tersejati dari kita
Nurani kita, ya diri kita sendiri.

Nurani nggak akan bisa dikibulin
Dengan perbuatan baik dan kata-kata manis
Karena dia selalu menyuarakan isi hati kita yang terdalam.
Motivasi kita, keinginan kita, alasan-alasan kita.

Kalo kita bersikap manis dengan sikap hati yang salah,
Itu namanya ngejilat.
Kalo kita berbuat baik dengan motivasi yang nggak bener,
Itu namanya nyogok.
Kalo kita ngomong yang bagus-bagus dengan ‘agenda’ terselubung,
Itu namanya muna.
Kalo kita berubah jadi ‘lebih baik’ tanpa disertai keinginan tulus dari hati, itu namanya palsu…

Tanya deh sama nurani elo,
Hari ini, berapa kali elo nggak dengerin dia?
Berapa kali elo nyuekin dia?
Berapa kali elo bilang ke dia, “ah tapi kan yang gue lakuin ini baik!”,
justru di saat dia ngomong, “tapi kan, … (sebut nama elo), walaupun baik, motivasinya salah…”

Berapa kali elo ngebungkam suara nurani elo
Untuk ngedapetin yang elo mau?
Berapa kali elo nyuruh dia diem
Supaya dia gak ganggu-ganggu elo lagi?
Berapa kali elo ngebantah bisikannya
Demi mencapai keinginan elo?

Kalo seandainya nurani bisa ngomong,
Mungkin dia bakal teriak:
“Plis dong dengerin gue.
Gue cuma pengen yang terbaik buat elo.
Nggak lebih…”

Nurani adalah suara kecil yang berbisik
mengingatkan saat kita lupa,
menegur saat kita salah,
menenteramkan saat kita taat,
menguatkan saat kita ikuti,
dan diam saat kita membungkamnya…

Senyum Itu Nggak Mahal, Kok…


Tadi sore saya mampir ke mal Taman Anggrek. Niatnya sih CUMA pengen beli Starbucks lantaran ‘ngidam’ Vanilla Latte-nya, sekaligus cari novel di Gramedia. Yang ada, saya malah ‘nyasar’ di Metro, asyik melototin lilin-lilin lucu, dan end up beli tiga biji, hihihi…

Jadilah saya antri di kasir, di belakang dua ibu-ibu. Awalnya, saya nggak terlalu memperhatikan mereka. Saya sibuk dengan pikiran sendiri. Tapi lama-lama, jadi merasa terusik juga. Tunggu punya tunggu, kok antrian di depan gue ini gak gerak-gerak yaaa… Mandek. Usut punya usut, ternyata ada perdebatan seru di meja kasir.

Yang mengantri persis di depan saya kayaknya ibu rumah tangga biasa (dari cara berpakaian dan belanjaannya – 3 buah piring). Yang di depannya lagi, mungkin ibu rumah tangga juga, tapi yang ‘luar biasa’. Ibu terakhir ini (sebut aja ‘Ibu X’) sepertinya kurang percaya dengan harga belanjaannya, sedangkan para petugas kasir (sekitar 4 orang) yakin bahwa mereka enggak salah harga. Kebayang, dong?

Ibu X bicara dengan nada tinggi.
Mbak di balik meja kasir berusaha tetap ramah dan sabar.

Ibu X mencondongkan badan ke atas meja, melotot.
Seorang karyawan pria mengambil alih kasir, mencoba menjelaskan duduk persoalan se-clear mungkin.

Setelah bermenit-menit…..

Ibu X: “Hhhh… ya udah deh. Gak salah, kan?! Nih.” (membuka dompet, mengeluarkan credit card dengan dagu sedikit terangkat)
Petugas kasir: “Terima kasih, Bu. Barangnya mau dibawa atau dititipkan dulu?” (karena yang dibeli si Ibu adalah beberapa buah kalung)
Ibu X: “Bungkus aja deh! Saya mau langsung ke mobil.”
Sebelum si petugas sempat merespon, Ibu X sudah keluar dari antrian. Dagunya terangkat, keningnya berkerut, wajahnya jutek.

Yang ada di otak saya cuma satu, kasihan bener nasib karyawan nggak bersalah itu. Sudah capek melayani orang sepanjang hari (berdiri di meja kasir berjam-jam bukan pekerjaan enteng, apalagi pas weekend begini. FYI, di Metro lagi ada sale. Kebayang kan ramenya..), harus nerima omongan sinis dan wajah jutek mentah-mentah, dan setelahnya tetap harus melayani pembeli dengan ramah.

Saya cuma bisa maklum ketika Mbak kasir tidak bersikap seramah biasanya. Ketika menyerahkan kembalian saya, ia mengucapkan terima kasih dengan lirih dan senyum dipaksa.

Saya membawa belanjaan kecil saya menuruni eskalator. Di sana, sambil memandang orang yang sibuk lalu-lalang di antara tulisan sale dan karyawan-karyawan berseragam putih, muncul pemikiran kedua:
Apa salahnya, ya, kalau kita bersikap baik terhadap orang-orang yang sudah melayani kita dengan ramah? Nggak ada salahnya, kan? Being nice to customers memang sudah jadi kewajiban mereka, tapi kayaknya, seulas senyum yang kita berikan dengan tulus bisa membuat hari-hari mereka yang melelahkan terasa lebih berarti…


Ponakanku yang super ngguanteng —>
Nothing compares to your smile, Beyb! *halahhh*
Miss you so much 🙂

Gerimis. Mendung. Kelam.


Satu hal yang bikin saya suka naik angkot: bisa ketemu banyak orang, mengamati mereka, dan (syukur-syukur) bisa mengambil 1 atau 2 pelajaran — kalau pas ada peristiwa berkesan.

Rabu kemarin, cuacanya enak banget untuk tidur. Gerimis, agak dingin, dan saya duduk pas di seberang pintu angkot. Waktu sedang enak-enaknya ngehayal, wah enak nih kalo di rumah. Leyeh-leyeh di ranjang sambil nonton DVD, minum teh anget, sambil nyalain lilin arometerapi… mendadak HP penumpang di sebelah saya berbunyi.

Saya selalu takjub dengan para penumpang yang nggak segan-segan ngobrol pakai HP di angkot. Berhubung angkot yang saya tumpangi (dulu) pernah dinaiki 5 orang preman di tengah jalan -dan mereka mengambil dompet seorang penumpang yang hendak turun- saya selalu menganggap tindakan ber-HP ria dalam angkot adalah perbuatan yang super berani. Termasuk penumpang di sebelah saya itu.

“Elu kemaren dateng ke kawinannya si Putri? Nggak, gue gak dateng. Pas dia married kan banjir, gue gak bisa kemana-mana. Elu dateng?”

Saya memilih untuk pura-pura budek dan memejamkan mata. Anginnya enak banget.

“Tadi si Putri SMS gue. Dia bilang, ‘jahat lo, pas gue kawin gak dateng. Sekarang suami gue udah meninggal’. Iya Ji, dia beneran SMS gitu ke gue. Elo sebenernya tau gak sih dia udah married??”

….. –> ngedengerin dengan khusuk sambil pasang tampang innocent dan ngadep ke arah supir. Okay, okay, nguping obrolan orang emang perbuatan terlarang, tapi kalo elo jadi gue juga pasti tertarik kan? Lagian nih orang duduk persis di samping gue.

“Putri lagi di mertuanya sekarang. Ntar malem kita ngelayat ya? Ajak yang lain juga, bareng-bareng. Kasian tu anak, baruuu married kemaren. Gue kaget banget pas dapet SMS-nya… Kenapa? Suaminya? Kalo gak salah, sih, paru-paru basah…”

Mendadak gerimis di luar jadi terasa begitu suram buat saya.