Hangatnya Cinta :)


Jam 7 pagi, seseorang menggedor pintu ruangan tempat saya menginap (di lantai 3 gereja). Si penggedor ternyata pembantu sahabat saya, yang terengah-engah lari untuk memberitahu, “Mbak Jenny dipanggil Ibu. Disuruh turun, katanya ada yang kebanjiran!”

Saya bengong sejenak, enggak mudeng. Banjir? Siapa? Kapan? KOK BISA??? Rumah sahabat saya terletak di bagian depan kompleks perumahan Gading Serpong, berpunggungan dengan ruko-ruko yang memiliki direct access dengan pintu keluar tol – atau dengan kata lain, nyaris mustahil disinggahi banjir.

“SIAPA yang kebanjiran?”
(ngos-ngosan) “Nggak tau, Mbak.”
“Banjirnya di rumah?” (belakangan baru nyadar, betapa begonya pertanyaan saya ini!)
“Rumah nggak banjir Mbak, hhh… hhh…”
“Jadi di tempat siapa banjirnya? Staff kantor?”
“Bukan Mbak. Nggak tau, Ibu cuma bilang ada yang kebanjiran.”

Yang kebanjiran adalah jemaat gereja kami, sebuah keluarga kecil dengan dua putri yang masih balita. Seberapa parah banjirnya? Sebatas dada orang dewasa. Ketika mendapat kabar tersebut, Gembala saya (dengan 2 orang teman) langsung menuju lokasi untuk mengevakuasi si jemaat. Rumah jemaat itu terletak di pemukiman sederhana yang memiliki 2 akses masuk. Salah satunya melalui ‘jalan belakang’ (dengan tepian rawa-rawa), satunya lagi akses langsung dari depan perumahan yang arus(banjir)nya deras. Aparat keamanan tidak berani memasuki kompleks tersebut, dan hanya ‘berjaga’ di depan pemukiman. Gembala dan 2 orang teman saya, dengan berani menerobos arus menggunakan ban karet bekas. Bekalnya? Keberanian, dan keyakinan bahwa Tuhan takkan pernah lepas tangan.

Ketika keluarga itu sampai di kantor gereja, yang pertama terlintas di benak saya cuma 2 kata: “YA TUHAN.”
Mereka basah kuyup, gemetar kedinginan dan kelaparan, tanpa membawa apapun kecuali selembar jaket dan handphone. Mata sang Ibu memerah karena menahan dingin dan tidak tidur semalaman. Saat kami menyodorkan teh hangat, matanya berkaca-kaca. Setelah dimandikan, kedua balita kami dudukkan di sofa. Pemandangan yang mengharukan bagi siapapun, melihat kedua bocah itu duduk berdempetan terbungkus selimut dan menatap polos pada orang-orang yang datang. Sayangnya, saya tidak sempat mengabadikan momen berharga itu.

Bantuan demi bantuan tiba, dan terus mengalir. Seorang jemaat datang membawakan pakaian anaknya untuk dipakai bocah-bocah tersebut. Beberapa orang lain, memberi diri jadi sukarelawan dadakan untuk membeli makanan dan membagikan pada korban banjir lain yang masih terjebak di lokasi. Pakaian, makanan, peralatan, sandal, bahkan –maaf- pakaian dalam terus berdatangan. Tuhan mengetahui apa yang dibutuhkan keluarga kecil ini, dan Ia menitipkannya pada orang-orang murah hati yang dengan sukarela memberi yang terbaik dari yang mereka miliki.

Malam itu, mereka sekeluarga tidur nyenyak di lantai 3. Paginya, seorang jemaat dari Bintaro mengetuk pintu gereja, membawa tas besar berisi pakaian anak-anak, selimut bayi, dan sekantung kue kering. Ketika saya naik untuk mengantar benda-benda tersebut, saya tertegun.

Di ruangan itu, di antara tumpukan kasur dan spring bed tua, terletak berkantung-kantung pakaian, buku cerita anak-anak, Alkitab, botol-botol minuman, berdus-dus susu bayi, kue kering, dan banyak lagi. Ruangan luas yang tadinya ‘dingin’, kini terasa hangat oleh aroma minyak kayu putih… dan bergalon-galon cinta.

Cinta orangtua yang tidak tidur semalaman demi menjaga buah hati dan menyediakan secercah rasa aman, walau mereka sendiri ketakutan.
Cinta seorang gembala yang rela menempuh arus deras sebatas dada demi menyelamatkan sebilangan kecil jemaatnya.
Cinta para sahabat yang memberi dukungan dan bantuan untuk meringankan kesusahan mereka yang sudah dianggap keluarga sendiri.
Cinta sesama jemaat yang mengulurkan pertolongan tanpa berpikir dua kali demi membagi sekelumit kasih.
… cinta Tuhan yang tak pernah tidur, dan tanganNya yang tak pernah alpa melukis pelangi — di tengah badai terburuk sekalipun.

Ruangan yang tadinya hampa, kini ceria dengan berbagai benda dalam bermacam jenis dan ukuran.
Dari hamparan luas kasur sampai dot bayi yang mungil, saya melihat kehangatan cinta sebuah Keluarga.


Kiara & Egi, semoga bahagia dan sehat selalu, ya

There’s A Kid In Every Grown-Up. Now and Then.


Hari ini, usia saya tambah 1 lagi. Gosh, I couldn’t believe I’m already 23!
Kayaknya baru kemarin saya berangan-angan dalam seragam sekolah, pengen cepat gede! It seemed so fun to be a grown-up. Sampai seorang teman (yang usianya sudah lebih dari kepala 2 kala itu) nyeletuk, “kamu mau cepet-cepet gede? Liat aja nanti, masuk 20 juga kamu pengen balik lagi ke masa kecil!”

Well, kalau ditanya sekarang, pilih mana?
Tentu saya akan mengakui, lebih enak jadi anak belasan tahun dalam seragam putih-abu. Segala sesuatu tampak lebih mudah, dan sederhana. Enggak perlu ribet mikir cari penghasilan, karena setiap bulan ada jatah khusus dari orangtua. Enggak perlu kerja, karena tugas kita hanya sekolah (dan dapat nilai bagus, tentunya, hehe…) Masalah yang dialami, ya paling berkutat di seputar wilayah seragam putih-abu itu. Nilai jeblok, putus pacar, berantem sama teman, diomeli ortu, dan titik. Hidup jauh lebih simpel.

Tapi, kalau kembali ke pertanyaan awal – mau pilih mana? Saya akan memilih kehidupan saya yang sekarang.
Dulu saya naif, sekarang saya lebih bijaksana. Dulu saya kekanak-kanakan, sekarang saya lebih dewasa. Dulu saya cengeng, sekarang saya lebih tough. Dulu saya bertindak sesuka hati, sekarang saya belajar merespon dengan sepatutnya. Dulu saya rapuh, sekarang saya lebih kuat. Dulu saya berada dalam cangkang kayu, kini saya siap menghadapi dunia. Semakin bertambah usia, saya belajar artinya melihat dengan mata yang bijak dan memiliki hati yang besar.

Melalui interaksi dengan berbagai jenis orang dan situasi yang berbeda, saya belajar arti kehidupan. Melalui keberhasilan, saya belajar tetap membumi. Melalui kegagalan dan rasa sakit, saya belajar arti konsistensi dan ketekunan, yang akhirnya menjadikan saya pribadi yang tidak mudah menyerah. Melalui harum bunga dan hangat mentari, saya belajar makna kebahagiaan sejati. Melalui awan gelap, saya belajar bersabar menanti pelangi. Dan hidup itu sendiri –terlepas dari apapun yang saya alami– tetaplah indah, karena hidup adalah hadiah terbesar dari Sang Pencipta.

Sekarang saya sudah 23, dan lebih dewasa. Tapi 1 doa saya, semoga usia yang terus bertambah ini tidak membuat saya kehilangan kesederhanaan untuk menilik hidup dari mata seorang anak kecil. Mata yang penuh ketulusan dan terus berharap. Mata yang selalu murni dan penuh cinta. Mata yang tidak terkontaminasi oleh kerasnya hidup, melainkan sungguh-sungguh percaya. Mata yang tidak memandang badai sebagai sesuatu yang menakutkan, namun justru melihat asyiknya bermain hujan.


There’s a kid in every grown-up.
Semoga sisi kanak-kanak ini tidak akan pernah hilang dari diri saya.

Kala Mati Lampu

Tadi malam, waktu sedang asyik-asyiknya mengedit cerpen terbaru, tiba-tiba ‘pett…’ lampu mati. Setelah diam beberapa saat dan mata mulai terbiasa dengan kegelapan, saya mengambil handphone (yang untungnya masih nyala, padahal baterainya sudah sekarat), lantas mendial sebuah nomor.

Enggak sampai semenit, saya sudah ngomel-ngomel pada petugas PLN pertama yang cukup apes untuk mengangkat telepon. Si petugas hanya bisa pasrah – atau cuek (mengingat suara belernya yang khas baru bangun tidur), dan meresponi sekedarnya. Sama sekali tidak cukup untuk mengikis kejengkelan saya setelah lampu mati untuk KETIGA KALINYA hari itu.

Tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali cuci muka dan bersiap tidur. Udara supergerah. Akhirnya saya naik ke tempat tidur dan melotot sampai nyaris jam 4 pagi — sama sekali nggak bisa tidur. Well, seperti banyak peristiwa lain yang selalu bisa diambil hikmahnya kalau kita mau, saya lantas memanfaatkan ‘kesempatan’ ini untuk menyepi sejenak.

Saya berpikir. Saya merenung. Saya mencoba menelaah, ditemani iPod yang baterainya tinggal separuh. Yang ditelaah? Macam-macam. Setengah jam pertama, saya sibuk nggerundeng dalam hati, mengutuk kinerja petugas PLN yang sama sekali tidak sepadan dengan nominal yang dibayarkan setiap bulan (menurut saya lho). Bayangkan, dalam seminggu kompleks saya ini bisa 2-3 kali mati lampu. Menyebalkan, terutama karena gardunya beda sendiri dengan kompleks-kompleks tetangga. Kalau mati lampunya massal, masih lumayan. Yang ngeselin kalau tiba-tiba ‘pett…’, dan saudara/teman yang juga tinggal di daerah sini (tapi beda kompleks dan beda gardu) ngeledek, “rumah gue terang-terang aja, tuh!” Tapi sebetulnya, yang paling jadi masalah bukan mati listrik, melainkan peranti elektronik yang otomatis jadi menyusut umurnya kalau terus-terusan on-off macam ini. Mau marah rasanya, tapi sama siapa? Ya paling sama petugas-petugas PLN yang kurang beruntung itu.

Walau jarang terlisan, saya sering menyayangkan etos dan kinerja yang dianut banyak sekali orang di negara tercinta ini. Mulai dari pelayanan di tempat-tempat umum macam minimarket, mal, de-es-be-nya; pekerja profesional (kantor, perusahaan, pabrik, dst); fasilitas milik negara (karena walaupun judulnya ‘punya pemerintah’, kadang kala dijalankan dengan cara yang jauh dari mewakili imej tersebut); sampai para aparat negara — yang sebetulnya punya otoritas untuk selalu membawa pengaruh dan perubahan ke arah yang lebih baik, bukannya ‘ngerampok’ para pelanggar aturan dengan excusewin-win solution’ (BAH!)

Well, sebagai masyarakat biasa yang nggak kuasa berbuat banyak (dan cari aman juga), saya hanya bisa ngomel dalam hati.
Nggak guna memang, tapi mau gimana lagi? Toh nggak penting buat dipikirin juga, batin saya. Setiap orang kan punya cara kerja yang beda-beda. Mungkin memang saya yang saklek.

Semalam, akhirnya saya punya cukup waktu untuk menilik ulang pemikiran tersebut.
Betulkah nggak penting? Kalau nggak penting, kenapa kondisi negara ini tidak juga mengalami perubahan signifikan? (halahh… gue kayak yang kerjaannya bantuin SBY ngurus negara aja) Kenapa dari waktu ke waktu, hal-hal seperti ini justru menjalar seperti kanker yang menggerogoti negara yang (sedang) ingin bangkit dari keterpurukan? Kita ingin membangun Indonesia Baru, tapi mentalitas dan core values yang terlanjur terbentuk dalam masyarakat (saya enggak berani pakai istilah yang lebih tinggi dari ‘masyarakat’) menawarkan ending yang sama sekali berbeda dari terciptanya Indonesia Baru. Sebagian orang bilang, itu namanya mentalitas penjajahan. Menurut sebagian yang lain, itu dampak dari keberadaan kita sebagai bangsa kelas tiga. Komentar-komentar yang lain, terlalu kasar untuk ditulis di sini.

Sebagai warga Indonesia yang mencintai tempat kelahiran ini, saya tidak setuju dengan pendapat yang lebih banyak nyela-nya daripada ngasih solusi. Tapi, izinkan saya mengungkapkan unek-unek yang sudah sekian lama terpendam. Bukan berniat sok-sokan, bukan juga merasa yang paling benar. Hanya sekedar pemikiran pribadi: Tanpa perubahan mendasar pada mentalitas dan values dalam aspek-aspek tertentu di masyarakat, kok ya sepertinya perubahan signifikan masih akan lama sekali kita lihat.

Make-up 4 lapis bisa membuat seseorang kelihatan cantik, tapi tidak membuat wajah aslinya berubah. Mungkin karena itulah kita lebih suka menumpuk foundation dan bedak ketimbang memberi perhatian ekstra pada kulit ini. Kita suka pada perubahan instan yang fantastis. Kita memilih membayar mahal untuk serangkaian produk kecantikan yang bisa membuat kita berkilau dalam hitungan menit, namun ketika kembali ke rumah dan mengoleskan susu pembersih ke wajah, diri kitalah yang paling tahu, apa yang sebetulnya terdapat di balik semua lapisan itu. Tapi, sekali lagi kita mengabaikan yang kita lihat, dan lebih suka menikmati sensasi kecantikan artifisial. Dan seperti itulah kita menjalani hidup, hari demi hari. Memoles permukaan yang kasat mata seapik mungkin, dan mengingkari kebenaran di baliknya.

Kaitannya dengan pembahasan di atas?
Silakan renungkan sendiri.
At least, lepas dari apapun yang bakal jadi perspektif dan pendapat Anda, ada 1 hal yang saya dapat — hasil ‘perenungan’ semalam.
Saya bertanya, ‘kenapa’, ‘kenapa’, dan ‘kenapa’.
Jawabannya muncul dengan amat simpel.
Bukan berupa ‘karena’, bukan juga pernyataan panjang lebar.

Kenapa??’
Untuk itulah kalian ada.’

"Ga Pa-pa-pa-pa!"


Ini adalah Alex, putra sahabat saya. Usianya hampir 1,5 tahun, dan kata pertama yang dikuasainya (selain Mommy, Daddy dan Gukguk) adalah “Ga pa-pa-pa-pa!”

Pasalnya, setiap kali si bocah lari dan terjatuh, itulah kalimat pertama yang diucapkan ayah-ibunya. Sahabat saya selalu menenangkan putranya dengan berkata, ”enggak apa-apa, enggak apa-apa.” Lama-lama, Alex paham. Kalau jatuh, ia akan segera bangkit sendiri, tersenyum lebar sambil berkata, “ga pa-pa-pa-pa!”.

Tahun 2006 bagi saya adalah tahun ‘jatuh bangun’, juga tahun ‘ups and downs’. Saya berusaha keras agar cerpen-cerpen yang selama ini hanya tersimpan di komputer bisa lolos seleksi dan dipublikasikan. Tahun ini juga, saya diterima bekerja, setelah sekian lama jadi ‘pengacara’. Tahun ini saya banyak tertawa, juga banyak nangis. It’d been like a rollercoaster ride to me, and I’m not ashamed to admit it 🙂

Cerpen saya yang pertama dimuat di majalah Cerita Kita, edisi Juni 2006. Akhir Desember, cerbung saya dipublikasikan oleh majalah kristiani remaja, GFresh. Belasan lain, yang saya kirim ke berbagai majalah maupun lomba, sukses ditolak.

Di kantor, saya mengulang monthly report selama 2 bulan karena kesalahan yang cukup fatal, dan pada akhir bulan kewalahan mengerjakan stock opname seorang diri. Tapi, sebagai ‘kompensasi’nya, saya memperoleh begitu banyak pengalaman berharga di tempat kerja saya ini. Selain mengembangkan kapasitas dan mengasah potensi diri, saya belajar menjadi profesional. Saya belajar menjadi orang yang bukan cuma tough, namun juga trained. Saya belajar merespon dengan benar. Saya belajar memposisikan diri. Saya belajar menjadi dewasa.

Tahun 2006 memberi begitu banyak kesan buat saya. Tapi mungkin pelajaran paling berharga dari semuanya adalah, saya belajar melihat dengan mata yang bijaksana. Menyesali diri dan berkubang dalam kekecewaan adalah hal yang biasa. Tapi yang menjadikan kita luar biasa adalah pengambilan keputusan untuk bangkit dari keterpurukan itu. Tidak kabur dari kenyataan, melainkan menerima dengan hati berserah dan bibir tersenyum. Tidak terjebak untuk mengasihani diri sendiri, melainkan berdamai dengannya, dan belajar mencintai hidup apa adanya sebagai anugerah terbesar yang dipercayakan Sang Pencipta kepada kita. Tidak terpaku pada kesalahan maupun kegagalan, melainkan menikmati setiap proses berikut ‘ups & downs’nya dengan jiwa yang besar. Tidak terpesona dengan keberhasilan, namun memandangnya sebagai berkah yang patut disyukuri dan senantiasa ‘dikembalikan’ kepada Si Pemberi Berkat.

Saya percaya tahun 2007 akan sekali lagi memberikan banyak hal –maupun kesan- mendalam bagi kita. Akan ada proses. Akan ada ‘ups & downs’. Akan ada kerja keras, dan mungkin juga airmata. Tapi di balik itu semua, saya yakin keberhasilan dan kebahagiaan sudah menunggu, seperti pelangi menanti kemunculannya seusai hujan.

Jangan takut dengan kerja keras. Jangan pernah menyerah dengan kegagalan. Jangan pernah putus asa. Jangan takut untuk bangkit dan mencoba lagi. Kalau terjatuh, angkat dagu tinggi-tinggi dan tersenyumlah. Sambil berdiri, mungkin enggak ada salahnya sekali-sekali bilang, “ga pa-pa-pa-pa!” kayak Alex.
Trust me, it’s comforting 🙂

Akhirnya…


Hari ini saya dapat kejutan. Waktu sedang asyik menikmati brunch (yaelaa… gaya bener. Bilang aja sarapan sekaligus makan siang, gara-gara ketelatan bangun), saya terusik oleh deru mesin motor dan seruan “Bu… Ibu…” dari pintu depan. Awalnya saya cuek, karena mengira itu suara tamu tetangga. Ketika seruan itu tak kunjung berhenti, saya memutuskan untuk meninggalkan lontong sayur dan membuka pintu. Ternyata bukan tamu tetangga, melainkan Pak Pos – mengantar paket untuk saya.

Saya bisa menebak apa isinya. Dengan tidak sabar saya merobek amplop cokelat besar itu, lupa pada lontong sayur yang masih separuh. Paket itu berisi majalah yang memuat edisi pertama cerita bersambung karangan saya, Kerlip Bintang Shiloh.

Brunch terlupakan. Perhatian saya terfokus sepenuhnya pada judul yang tercetak besar-besar di halaman kuning cerah. Tulisan saya akhirnya dipublikasikan. Setelah menunggu sekian tahun, inilah kedua kalinya saya berbahagia mencium harum majalah baru, mengetahui bahwa dalam lembaran-lembaran halusnya terdapat buah karya saya (yang pertama kali dimuat dalam majalah Cerita Kita, Juni 2006).

Thank you, dear Savior. Thanks a lot. This is for You.
Terima kasih, GFresh.

Untuk pembaca blog tercinta, percayalah, kerja keras dan ketekunan selalu ada hasilnya.