Jika Aku Mati

Jika aku mati
Tak perlu tangisi aku berlama-lama
Karena lihatlah, aku tak pernah jauh
Langit dan udara adalah caraku berbicara
Aku tak lenyap, hanya berganti

Jika aku mati
Tak perlu tangisi aku berlama-lama
Kenang aku dengan senyummu
Dan tiap kali kau mengingatku
Kau akan tahu aku ada

Jika aku pergi
Tak perlu sesali kehilanganmu
Aku tak mau mengisi harimu dengan mendung
Aku ingin bercahaya di hatimu

Tak perlu tangisi aku
Aku tak ke mana-mana
Aku hanya pulang
Karena rumahku itu kamu.

*untuk mengenang mereka yang telah pergi.

—–

Rotan

Suatu senja di Jahanjang, Kalimantan Tengah
Dia membersihkan rotan dengan sarung kumal dan rantai
Pakaiannya seadanya, mukanya masih tersaput bedak
Hasil beramai-ramai menyambut rombongan yang datang dari Jawa

Dia bekerja sambil tersenyum
Sadar bahwa kamera mengintai, siapa tahu nanti bisa masuk TV
Ketika ditanya upahnya
Dia menjawab lugas

“Seharian begini bisa dapat empatpuluh sampai enampuluh…”

Ribu rupiah, maksudnya
Untuk empat ratus pucuk rotan berukuran tiga kali lipat tinggi badannya
Yang dibersihkan dengan cara ditarik dan digerus rantai
Sehari penuh, tak henti, tanpa jeda

Matahari terik menyengat
Tak sanggup ditahan terpal rombeng di atas kepala
Kakinya beralas sandal usang
Barangkali sudah kebal disengat duri rotan

Saya tergugu
Kamera cuma mampu mengambil sebuah gambar
Mata saya membasah
Teringat segelas kopi berharga sama yang mudah saya reguk tanpa kerja keras

Hidup memang tidak adil buat sebagian orang,
Mungkin kau bilang begitu
Tapi senyum di wajahnya
Tak bisa kau beli, kawan.

Sederhana

Kamu bagaikan gula-gula kapas
Manis, legit, memikat
Membuat ketagihan
Kendati kutahu kehadiranmu tak bertahan lama

Kamu seperti pasir
Datang dan sirna dibawa ombak
Lepas berhamburan
Jika terlalu erat digenggam

Kamu layaknya api
Membakar dan menghanguskan
Namun tetap saja aku mendekat kepadamu
Mencari hangat dan pijarmu

Kamu tak ubahnya rembulan
Hanya bisa dipandangi
Tak tergenggam,
Tak sanggup kumiliki.

Aku tak paham puisi-puisi rumit
Dan aku bukan penggemar Sapardi
Namun kamu membuatku mengerti isi hati pujangga
Dan mengapa mereka bisa mencipta larik seindah bunga.

Izinkan aku menyayangimu dengan sederhana
Entah kamu gula-gula kapas, pasir, api, atau rembulan
Karena dengan kamu dalam dekapku
Aku tak lagi peduli akan siapa dan mengapa

Maka, biarkan hatiku jatuh bebas
Entah ia terjun, menukik, berputar
Terjerembab, tersandung, terpelintir
Biru lebam, berdarah, atau berkilau

Biarkan rasa ini ada
Selama aku masih diizinkan menggenggam
Selama ia masih ingin berlabuh
Selama ia masih mampu mengalir

Dan izinkan aku menyayangimu dengan sederhana.

~ Februari 2010, untuk Hari Kasih Sayang. Terinspirasi oleh puisi ini. ~

—–

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

13

Tigabelas bulan sudah
Dan saya masih bermimpi tentang kamu

Saya masih mendengarkan apa yang kamu katakan
Saya masih melakukan apa yang kamu pinta
Saya masih mengiyakan setiap ucapmu
Dan hati ini masih punyamu

Kamu tahu,
Berapa lama saya bertanya kapan mimpi ini berakhir
Dan tidur saya akan benar-benar nyenyak?

Kamu tahu,
Betapa ingin saya menjalani operasi bedah otak
Hanya untuk menghapus segala kenangan tentangmu?

Tigabelas bulan sudah
Dan saya masih bermimpi tentang kamu

Mungkin kamu memang bukan untuk dilupakan
Mungkin kamu memang bukan untuk dihapuskan
Mungkin kamu memang bukan untuk ditiadakan
Mungkin memang jatahmu untuk terus ada di sini

Kamu tahu,
Saya telah belajar berdamai
Dan kamu boleh selamanya ada di hati

Kamu tahu,
Saya telah berhenti bergumul
Dan kamu boleh terus menyelinap ke mimpi-mimpi saya

:

Tigabelas duapuluhtiga tigapuluhtiga
Tinggallah selama kamu mau.

—–

13

Tigabelas bulan sudah
Dan saya masih bermimpi tentang kamu

Saya masih mendengarkan apa yang kamu katakan
Saya masih melakukan apa yang kamu pinta
Saya masih mengiyakan setiap ucapmu
Dan hati ini masih punyamu

Kamu tahu,
Berapa lama saya bertanya kapan mimpi ini berakhir
Dan tidur saya akan benar-benar nyenyak?

Kamu tahu,
Betapa ingin saya menjalani operasi bedah otak
Hanya untuk menghapus segala kenangan tentangmu?

Tigabelas bulan sudah
Dan saya masih bermimpi tentang kamu

Mungkin kamu memang bukan untuk dilupakan
Mungkin kamu memang bukan untuk dihapuskan
Mungkin kamu memang bukan untuk ditiadakan
Mungkin memang jatahmu untuk terus ada di sini

Kamu tahu,
Saya telah belajar berdamai
Dan kamu boleh selamanya ada di hati

Kamu tahu,
Saya telah berhenti bergumul
Dan kamu boleh terus menyelinap ke mimpi-mimpi saya

Tigabelas, duapuluhtiga, tigapuluhtiga…
Tinggallah selama kamu mau.

—–