Bareness

have you ever looked in the mirror
bare-faced, exposed, vulnerable
and still think,
my goodness, I’m beautiful?

’cause one of the best things in the world
is to realize that who you are is enough
and if you haven’t
would you be willing to try?

who you are
is
more
than
enough.

who you are
– scars
and
all –
is
beautiful.

Apa itu JEPRUT?

Beberapa minggu lalu, saya yang kurang enak badan dan bosan Netflix-an membuka medsos, berharap menemukan sesuatu yang menghibur, jokes receh, apa pun lah yang bisa menghibur hati.

Instead, I found CELUP. Kampanye oleh sekelompok mahasiswa—yang katanya tugas kuliah—yang bertujuan merekam kemesraan di publik dan mempublikasikannya di medsos untuk mempermalukan oknum yang bersangkutan, dengan harapan mengurangi ‘tindak asusila’.

Rasa pertama yang muncul adalah amarah. Reaksi kedua yang timbul adalah lelah. Gerah. Gelisah. Tak perlu saya jelaskan mengapa.

Tak lama setelahnya, seorang teman berkomentar, “Mungkin sudah saatnya ada yang bikin versi baik dari CELUP, lamtur dan akun-akun sejenis—memperlihatkan kebaikan, bukan melulu gosip atau keburukan.”

Malam itu saya membuka laptop dan membuat akun Instagram @jeprutid.

Kenapa pilih nama JEPRUT? Karena itu kata pertama dalam Bahasa Sunda yang terlintas di benak. Saya senang dengan Bahasa Sunda meski nggak bisa ngomong apa lagi nulis, karena mendengarnya selalu bikin suasana jadi ceria dan menyenangkan (setidaknya buat saya).

Tujuannya apa?

JEPRUT dibuat untuk menyejukkan medsos yang belakangan ini panas melulu. Untuk mengendurkan otot-otot wajah dan jempol yang kerap tegang karena banyaknya hoax, twitwar, bullying, debat kusir, dan segala hal lain yang tak henti-hentinya membombardir kita dengan kecepatan tinggi.

JEPRUT juga merupakan sebuah eksperimen: Kalau kita sudah segitu bosan dan gerahnya dengan huru-hara di belantara maya, maukah kita jadi bagian dari mereka yang menciptakan perubahan positif? Will good things attract more attention than bad things? Do we care enough?

JEPRUT terbuka untuk siapa saja yang ingin berbagi kebaikan di sekitarnya—kebaikan yang dilakukan dalam wujud apa pun, sesederhana apa pun. Semua orang bisa berpartisipasi membagikan kebaikan lewat foto dan cerita melalui e-mail di jeprut.id@gmail.com. Tidak ada hadiah bagi pengirim yang foto dan caption-nya dimuat, karena saya percaya kebaikan layak disebarkan tanpa mengharap imbalan.

Overall, I guess what I really want to see is some goodness in this world full of anger, hatred and darkness… and those who will strive for it.

Karena setitik nyala lilin lebih baik dibandingkan kegelapan total.

Jadi, mari lakukan ini bersama-sama.

Alasan Jatuh Cinta dengan Meal Prep

Creamy Lemon Pepper Chicken with Mushroom

Baru sebulan lebih mealprep-an, saya sudah berkali-kali jatuh cinta. (Apa itu meal prep? Silakan tanya ke Bang Google.) Berkali-kali ngomong ke diri sendiri, tau gini dari dulu ajaaa.

Saya nggak suka masak (dulu), dan nggak bisa masak. Kemampuan masak saya amat standar, goreng-goreng tumis-tumis, itu pun juaraaang buangeeet karena males kecipratan minyak. Sampai bulan Oktober, ketika saya memutuskan untuk membeli sebuah oven. Katanya, masak pakai oven itu praktis dan hemat tenaga. Saya juga menemukan ratusan resep makanan yang dibuat menggunakan oven. Gampang dan praktisnya lumayan bikin bengong. Prep time 10, 15 menit? Hajegile. SOLD!

Berbekal bimbingan Twelvi si Ratu Meal Prep yang sabarnya luar biasa dan rela di-WA dan ditelepon kapan saja, saya mulai rutin bertandang ke dapur. 

I love it.

Let me repeat.

I LOVE IT.

Here’s why:

Mengikuti proses bahan-bahan mentah menjadi masakan yang siap disajikan itu luar biasa menyenangkan. Menyaksikan daging ayam mentah yang dingin-dingin licin dan kulitnya yang berkeriput jadi ayam goreng empuk yang luarnya krispi itu menggembirakan. Mendengarkan suara berdesis ayam yang ‘digoreng’ lemaknya sendiri dari dalam oven itu bikin deg-degan hepi. Melihat kentang yang tadinya keras dan dingin jadi hangat dan lembut kayak bapaknya gebetan kamu setelah tiga bulan rutin ngapel bawa sate kambing itu membahagiakan.

I can take care of myself”. Sebagai manusia yang dulunya sangat menggantungkan hidup pada babang-babang ojek online, mas-mas gerai fast food dan mbak-mbak restoran, bisa masak untuk diri sendiri itu melegakan. Lapar tengah malam, tinggal buka kulkas dan hangatkan makanan sehat. Di luar hujan deras dan kelaparan, tinggal buka kulkas, repeat (kadang kan suka nggak tega ya, ngebayangin babang ojek hujan-hujanan membelikan pesanan kita), dan sebagainya.

Honey Glazed Bacon with Baby Beans

Beneran praktis. Meal prep memungkinkan saya menyantap masakan sendiri tanpa harus memasak setiap hari. Misalnya, enam potong Honey Lemon Chicken saya bagi menjadi 3 porsi untuk makan malam. Makan siangnya, Creamy Lemon Pepper Tuna, juga sebanyak 3 porsi. Simpan dalam kontainer cantik warna-warni, masuk kulkas deh.

SEHAT. Masak sendiri memungkinkan kita me-manage apa saja yang masuk ke tubuh. Mau pakai mecin dua kilo? Bebas. Pengin bebas penyedap? Yuk. Nggak pakai karbo? Silakan. Makanan berlemak tiap hari? Monggo. Banyakan sayur daripada daging? Mari. We are in charge of what we put in our body to the tiniest details. Hal yang sama tidak berlaku ketika makan di luar. Tidak ada yang bisa mengontrol berapa sendok penyedap rasa yang dimasukkan ke makanan kita. Tidak ada yang bisa memastikan pecel ayam langganan kita menggunakan ayam segar dan lalapan bebas pestisida, juga minyak yang belum dipakai menggoreng sebanyak 1.523 kali.

Last but not least, masak sendiri membuat saya berhasil menghemat uang dalam jumlah yang lumayan bikin bengong, meski ini tidak direncanakan. Ketika memulai, saya sekadar melihat meal prep sebagai sesuatu yang menantang, sehingga menjalaninya tanpa beban. Sebulan berlalu, saya mengeluarkan kalkulator dan mulai menjumlah… kemudian melongo. Pengeluaran saya untuk meal prep hanya sepertiga dari anggaran makan (di luar) setiap bulan. Padahal saya belanja di supermarket dengan bahan-bahan kualitas terbaik, bahkan impor.

Cajun Shrimp pedes nan endolitaaa

Lalu, ada saat-saat bengong ketika saya menyadari harga bahan makanan mentah bedanya bisa jauuu…h buanget dengan harga makanan di restoran, padahal bagi saya makanan itu nggak mahal. Contoh: setengah ekor ayam panggang favorit saya harganya empatpuluh ribu rupiah. Bagi saya ini sama sekali tidak mahal, malah murah. Lalu saya ke supermarket dan melihat seekor ayam mentah dihargai tigapuluhlima ribu rupiah. Ebuset! MURAH AMAT? Steak apa lagi, jangan ditanya. Karena saya penggemar rasa daging alias nggak suka steak yang dibumbui atau pakai saus macam-macam, kombinasi garam-lada-minyak zaitun sudah nikmat warbyasak. Steak model begini bisa saya masak sendiri dengan budget di bawah limapuluh ribu rupiah. Makan sepuasnya sampai begah dan nggak pengin lihat sirloin dua minggu ke depan.

 So yeah, this is why I fell in love with meal prep. It makes life better—and easier, in a way—if you’re willing to do what it takes to make it happen. Hal terpenting di hidup ini bagi saya sekarang cuma dua: kedamaian pikiran/ketenangan batin dan kualitas hidup yang terjaga. Meal prep menolong saya meraih keduanya.

Keping-keping Terakhir dan Sebuah Perjalanan

FullSizeRender (1)

Dear Ibu Alien,

Hari ini keping-keping terakhir resmi kuterima. Pelengkap teka-teki yang usianya lewat limabelas tahun. Keping-keping itu kubawa dengan selamat sampai ke rumah. Tempatnya kini di atas pembaringan, di mana ia kuletakkan tanpa tersentuh. Kupandangi tanpa terbaca.

Bagaimana bisa aku memulai sesuatu yang ujungnya adalah perpisahan? Perjumpaan itu kuawali bertahun-tahun silam saat aku membawa pulang keping pertama, hanya untuk kusingkirkan satu jam berselang karena akal belum cukup kuat mencerna isi kepalamu yang menampung rahasia alam semesta. Perjumpaan itu terulang bertahun-tahun kemudian, saat kita duduk bersisian di halaman pengadilan. Di sanalah pertama kalinya kau memperkenalkanku pada Elektra dan Bodhi. Meyakinkanku bahwa keberadaan mereka patut disimak. Hari itu aku pulang membawa keping-keping gratisan. Malamnya aku berkenalan ulang dengan Puteri, disusul menyapa Akar dan Petir sekaligus.

99 keping bagiku bukan sekadar cerita. Bukan hanya teka-teki yang harus dilengkapi pada waktunya. Bukan juga rangkaian kisah penuh rahasia yang sudah saatnya diselesaikan. Keping-keping yang tercecer belasan tahun adalah bagian dari perjalanan hidupku, perjalanan kita.

Aku tahu kita berdua masih akan terus bersisian meski dalam bentuk yang senantiasa berubah. Kau masih akan ada di sana, sejauh sebuah pesan singkat atau panggilan telepon. Namun semua takkan lagi sama, karena setelah kupasangkan keping terakhir ke teka-teki besar ini, ada bagian dari ‘kita’ yang menemui akhirnya. Entah kenapa ini jadi begitu personal.

Ibu Alien,

Malam ini aku pergi tidur tanpa menyentuh keping-keping di pembaringan. Biarlah aku menyimpan mereka selama yang kubisa, sejauh yang kumampu… sampai hati sanggup mengucap selamat tinggal.

 

Salam hangat,

Mantan Asisten

The Wingless Angel

She was exhausted and slightly ill from a long yoga training. She slept the whole day, woke, got ready and rode her scooter to watch my silver screen debut, sat on hard cement floor and stayed until the movie finished. She apologized for coming just in time for the movie and not before to accompany me. She offered to take my backpack when I was called to the front. She sat in the same spot watching me and following the whole discussion even though she barely speaks Indonesian.

She waited until I finished talking with everyone. She asked if I was hungry and drove me to a restaurant. The restaurant was almost closed so she held my helmet while I ran down the street to find some food. I ate my food, bumped into some friends and chatted some more. She waited until we’re done talking. She drove me to the place where I parked my scooter, then she went home. She checked if I got home safe.

That wasn’t the first time she went the extra mile to be there for me. Cheering me all the way, supporting me, reminding me that I am loved. She uses the words ‘brilliant’, ‘amazing’, ‘beautiful’ more than I can remember. Because sometimes it’s hard for me to love myself.

When you have friends like that, keep them. Keep them in your heart and soul and never let them go. You don’t call them besties or sisters. They are wingless angels sent from above because Someone up there knows how difficult it could get sometimes.

They are here to remind us that we are loved. Massively.

DSC_2784