Pesan dari Cancun: Kiamat Modern Tak Perlu Datang Lebih Awal

Saya cukup beruntung mendapatkan kesempatan untuk meliput konferensi perubahan iklim internasional yang diadakan di Cancun, Meksiko, November-Desember 2010. Pengetahuan saya tentang perubahan iklim selama ini bisa dibilang cukup, tapi saya tak pernah betul-betul memahami dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global yang sering saya baca di media cetak dan internet. Di Cancun, selama dua minggu penuh, saya melihat dan mendengar banyak hal yang membuka mata dan hati saya.

Perubahan iklim dirasakan oleh seluruh negara di dunia, namun ada negara-negara tertentu yang paling parah merasakan pengaruhnya. Dampak perubahan iklim tidak saja meliputi kekurangan bahan makanan, namun juga berpengaruh terhadap kemakmuran dan kesehatan penduduk—yang dipicu kelaparan dan kekurangan gizi—di daerah yang bersangkutan.

Dalam salah satu sesi di Cancun Messe, delegasi dari Uganda—betul, Uganda, tempat yang selama ini cuma saya dengar di televisi—menceritakan kondisi negaranya di mana bencana alam kian sering terjadi. Temperatur meningkat kurang lebih 0.28 derajat Celcius setiap dekade. Kalikan sepuluh, maka persoalan ini tak bisa dianggap remeh.

Perekonomian Uganda saat ini amat bergantung pada sumber daya alam, namun perubahan iklim telah mengakibatkan berbagai peristiwa cuaca ekstrim yang berujung pada rusaknya lahan pertanian. Kegagalan panen. Hama. Meningkatnya kelaparan dan kemiskinan. Kekeringan, kelangkaan air dan erosi tanah bukan hal asing di Uganda. Dan jangan lupakan pertumbuhan populasi yang mengakibatkan situasi bertambah parah, karena jumlah penduduk tak berimbang dengan ketersediaan air dan pangan.

Belum habis keterkejutan saya mendengar fakta-fakta itu, naik ke podium seorang pria berkulit gelap. Ia memperkenalkan diri sebagai delegasi dari Republic of Seychelles di benua Afrika. Namanya Ronny Jumeau. Dengan pelan ia menjelaskan bahwa situasi yang disebabkan kekurangan air dan kekeringan jauh lebih kompleks dibanding dugaan orang selama ini.

Suara Jumeau meninggi saat ia menegaskan bahwa negaranya bukanlah negara miskin. Kelangkaan air itu disebabkan oleh perubahan iklim. Musim hujan menjadi lebih pendek dan kekeringan menjadi ancaman yang tidak hanya merugikan, namun juga mematikan. Untuk mengatasi masalah ini, penggunaan air terpaksa dibatasi secara ketat. Beberapa daerah malah tidak mendapatkan jatah air sama sekali sehingga penduduk harus mengantri demi seember-dua ember air. Masalah berhenti sampai di sana? Tidak. Meningkatnya harga barang kebutuhan pokok seperti makanan dan minyak amat berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.

Ruangan menjadi hening ketika Jumeau bicara dengan suara bergetar, “Bangsa kami adalah bangsa yang ramah. Kami senang tersenyum. Tidak mudah bagi kami untuk tersenyum, namun senyuman bisa meringankan beban hidup karena kami tidak mampu membayar terapis. Kami tersenyum, namun kami menderita. Seychelles adalah negeri yang indah, namun kami tidak bisa hidup dari keindahan belaka. Kami tidak bisa makan pasir. Kami tidak bisa minum air laut. Perubahan iklim yang disebabkan tingkah laku manusia telah menyebabkan semua kesusahan ini.”

Delegasi yang bercerita tentang kondisi negara mereka tak cuma orang dewasa. Anak-anak—bahkan yang berusia di bawah remaja—yang turut hadir dalam konferensi iklim Cancun tak mau ketinggalan.

Walter dari Belieze, yang usianya tak lebih dari 10 tahun, dengan berani bercerita tentang banjir yang melanda kotanya dan mengubah hidupnya. Bencana tersebut menyebabkan keluarganya kehilangan hasil pertanian selama berbulan-bulan dan menyisakan trauma mendalam.

“Saya adalah korban perubahan iklim. Saya hidup di daerah yang terus menerus mengalami bencana. Orang-orang kehilangan rumah, hasil panen, bahkan nyawa mereka,” lugas ia bercerita.

“Tolong lakukan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Berikan contoh kepada kami. Anak-anak akan mengikuti apa yang orang tua dan guru-guru lakukan. Tolong berikan contoh yang baik kepada kami.” Permintaan itu sederhana.

Coraline Norris, remaja manis berkulit hitam dari Haiti bercerita tentang badai topan yang menggerogoti negaranya. Juga tentang hidupnya yang tak pernah sama lagi sejak peristiwa tersebut.

“Usia saya baru 14 tahun dan saya sudah mengalami badai topan yang dahsyat. Saya beruntung bisa selamat, tapi setiap malam saya tidur dengan rasa takut karena saya tidak tahu bencana apa lagi yang akan melanda Haiti esok atau lusa,” tutur Norris.

“Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Di Haiti, ada ribuan anak seperti saya—kami selamat, kami bertahan hidup dan menginginkan kesempatan. Impian saya adalah menyumbangkan kebaikan bagi Bumi agar semua orang dapat hidup aman dan damai.” Saat Norris mengakhiri kalimatnya, banyak orang menyusut air di mata mereka.

Coraline Norris membacakan pidatonya


Protokol Kyoto
akan segera berakhir tahun depan. Konferensi Iklim Cancun diharapkan membawa terobosan agar kerja sama internasional yang mengikat negara-negara di dunia dan akan berdampak secara langsung pada eksistensi planet ini dapat tercapai. Sayangnya, bagi banyak negara yang rentan terhadap perubahan iklim, menunggu bukanlah pilihan. Bencana akan tetap terjadi, dengan atau tanpa perjanjian yang mengikat. Kelaparan dan kekurangan mengintai layaknya monster yang bisa menyerbu dan mencabik kapan saja. Negara-negara ini tak bisa menunggu dunia bertindak. Mereka harus menyelamatkan diri sendiri.

“Lepas dari ada atau tidaknya perjanjian yang mengikat, kami memerlukan tindakan nyata. Kami harus beradaptasi dengan perubahan yang terus terjadi. Kami tidak dapat makan pasir dan minum air laut sambil menunggu perjanjian internasional terbentuk. Setidaknya tunjukkan kepada kami apa yang harus kami lakukan.”

Jumeau tahu ia tidak memiliki pilihan. Afrika tidak seperti negara-negara adidaya yang berlimpah hasil bumi, di mana mayoritas penduduk hidup tenteram dan sejahtera. Afrika tidak seperti benua-benua lain yang penduduknya hingga kini masih menikmati mewahnya air bening di rumah masing-masing. Urgensi itu nyata.

Saya terpaku di tempat duduk saya. Semua yang baru saja saya dengar terasa tak nyata, sekaligus mengguncangkan. Bagai tamparan pedas yang tak ingin saya percayai. Di belahan dunia lain, yang selama ini cuma saya saksikan di televisi, jutaan orang menderita kelaparan dan kehausan. Bukan karena mereka miskin, namun karena alam berhenti memberi mereka makan.

Mendadak, saya merasa sangat bersyukur bisa datang ke tempat ini. Di mana mata hati saya dibukakan secara langsung oleh orang-orang yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan. Di mana saya mendapatkan pembelajaran berharga mengenai kelangsungan hidup planet yang kita tinggali bersama. Di mana saya sekali lagi diingatkan.

Ada orang-orang yang datang ke Cancun sebagai wakil negara untuk bernegosiasi dalam Konferensi Iklim. Ada yang datang atas nama pekerjaan—saya salah satunya. Ada pula yang datang untuk berlibur. Namun tak sedikit orang yang terbang ke tempat ini dengan harapan membuncah. Melintasi ribuan mil karena hanya di sini suara mereka dapat didengar oleh dunia. Mengarungi benua karena cuma di sini jeritan mereka dapat disuarakan. Dan barangkali… barangkali, di suatu tempat, puluhan ribu mil jauhnya, sebuah doa tengah dipanjatkan. Agar kesusahan cepat berlalu. Agar peristiwa alam tak perlu lagi jadi sesuatu yang ditakuti. Agar makanan dan air tak lagi jadi barang istimewa yang dikejar bagai berlian.

Perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata—lebih dari itu, ia tak terhindarkan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanya berupaya agar kiamat modern tak perlu datang lebih cepat dari perhitungan para ahli dan ilmuwan. Merubah gaya hidup bisa merupakan langkah sederhana yang besar artinya bagi eksistensi Bumi. Menanamkan kesadaran akan pentingnya mencintai dan merawat lingkungan hidup bisa jadi penyelamat bagi adik, anak, bahkan cucu kita kelak. Tindakan nyata yang dimulai dari diri sendiri—dari rumah kita sendiri—bisa menyelamatkan jutaan orang di dunia.

Perubahan iklim boleh terus terjadi. Pemanasan global boleh jadi sesuatu yang tak terhindarkan. Namun kita dapat melakukan sesuatu agar Jumeau-Jumeau dan Norris-Norris yang tersebar di seluruh penjuru dunia tidak perlu hidup dalam ketakutan akan hari esok.

Sadari bahwa perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata. Sadari bahwa merawat lingkungan hidup bisa jadi merupakan satu-satunya hal yang memungkinkan planet ini tetap ada bagi kelangsungan hidup anak-cucu kita kelak. Dan bertindaklah.

Saya dan Coraline Norris

—–

9

Entry ini saya tulis pukul dua pagi, sambil merebus air yang akan saya pakai untuk mandi. Hari ini, duabelas jam saya habiskan di sebuah stasiun televisi yang belakangan ini menjadi tempat saya mencari penghasilan tambahan demi menyokong kehidupan di pusat kota.

Dalam keheningan yang menyertai limabelas menit perjalanan saya kembali ke kos-kosan, saya memejamkan mata dan membiarkan tubuh beristirahat. Di luar dugaan, pikiran yang seharian terus berceloteh dan berlompatan ke sana kemari, mendadak ikut meresapi kesunyian.

Alangkah banyak yang ingin saya tuliskan di halaman ini. Berkali-kali saya menerima pertanyaan, “Kapan diisi lagi blog-nya?”, “Kok sekarang jarang posting?”, dan sebagainya. Berkali-kali berbagai pemikiran singgah di otak. Berkali-kali pula saya meniatkan hati untuk menulis barang sehalaman-dua. Toh akhirnya semua niat cuma mengendap.

September nyaris berakhir. Bulan kesepuluh akan segera saya jelang. Rasanya baru kemarin tahun 2009 berlalu. Kadang benak tergoda untuk melontarkan pertanyaan, apa saja yang sudah saya raih selama sembilan bulan? Apa saja pengalaman yang berhasil saya kumpulkan? Pembelajaran apa yang sudah saya petik? Berapa banyak teman yang saya punya? Pencapaian materiil apa yang bisa saya banggakan?

Ada kalanya pertanyaan-pertanyaan ini hadir dan menganggu, tidak peduli sekeras apa pun saya berusaha mengabaikannya. Kadang saya berpikir, jangan-jangan sindrom krisis seperempat abad itu bukan mitos. Tidak jarang pula saya membandingkan diri dengan orang-orang lain dan merasa kecewa—bahkan putus asa—karena sepertinya saya tidak pernah bisa menjadi lebih baik dari mereka.

Namun ada kalanya—ada kalanya—benak yang selalu ribut mengoceh ini menemukan jalan buntu, berulangkali membentur garis pembatas, berputar-putar kebingungan, hingga akhirnya terdiam kelelahan.

Ketika ia terdiam—dalam waktu yang kadang tak lebih dari sekian menit—batin saya mengambil alih. Dengan ketenangan yang tak pernah saya duga ada. Dalam kesunyian yang mendamaikan. Dalam keheningan yang menyejukkan. Ia hadir dan berbisik, “Tidak apa-apa…”

“Tidak apa-apa.”

Dan sepotong kalimat pendek itulah yang membuat saya kembali berdiri.

Malam ini, kesunyian itu hadir lagi. Dalam limabelas menit perjalanan pulang saya. Kesunyian yang sama, yang akhirnya menggerakkan saya untuk menyalakan komputer dan menuliskan ini.

Bukan sebuah artikel. Bukan tulisan penuh kalimat indah. Hanya sepotong curhat singkat disertai sebuah doa. Beberapa orang menyebutnya harapan.

Apa pun yang terjadi selama tiga bulan ke depan, sebelum akhirnya kita bersama-sama melepaskan tahun 2010 ini, saya berdoa agar kita semua senantiasa diingatkan—melalui peristiwa sehari-hari, keajaiban-keajaiban kecil yang kita alami dan siapa pun yang kita temui—bahwa sesungguhnya hidup tidak pernah berhenti menawarkan hadiah. Bahkan tanpa kita perlu berusaha menggapainya.

Bahwa sesungguhnya segala pedih akan berlalu pada waktunya. Kesedihan akan sirna jika sudah saatnya, dan getir tidak akan tinggal tetap. Pun kebahagiaan, kegembiraan dan sukacita.

Bahwa cinta adalah sesuatu yang nyata, ada dan layak dipercayai. Tanpa perlu diwadahi. Tanpa perlu dipaksakan. Tanpa perlu diundang, atau diusir.

Bahwa sesungguhnya, di mana pun kita semua berada, dan kapan pun, Anda dan saya tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.

Itu saja.

—–

Indonesia65

“Lu mah bukan orang Indonesia. Lu orang Cina.”

“Woy, ada amoy! Amoooy!”

“Eh, Cokin. Mau ke mana?”

“Weee, yang matanya sipiiit…”

—–

Darah yang mengalir di tubuh ini barangkali berasal dari negeri di seberang lautan, nun jauh di sana. Namun kedua kaki ini berpijak di tanah Indonesia, dan paru-paru ini menghirup udaranya setiap hari.

Saya orang Indonesia. Sampai kapan pun.

Selamat Hari Jadi, Negeriku.

*Gambar dipinjam dari: http://www.indonesiapusaka.info/wp-content/uploads/2010/03/bendera.jpg

10 Things I Learn About Me

Saya tidak bisa menyenangkan semua orang, namun melihat orang lain terluka akibat perbuatan saya adalah sesuatu yang menyakitkan.

Menyakiti orang lain, apa pun alasannya, sama saja dengan menyakiti diri sendiri. Dan pada akhirnya, diri sendirilah yang paling menderita.

Kebahagiaan bukan untuk dicari. Ia datang dan pergi dengan sendirinya.

Sekuat apa pun saya berusaha mempertahankan sesuatu, ia akan pergi jika sudah waktunya.

Saya bisa lari menjauhi apa pun di dunia, kecuali diri saya sendiri.

Penghakiman terbesar tidak datang dari orang lain, melainkan diri sendiri.

Kejujuran dan meminta maaf bukan sesuatu yang sulit, dan ia menyembuhkan.

Berdamai dengan diri sendiri jauh lebih penting ketimbang bersahabat dengan seisi dunia.

Saya rindu diri saya yang lama. Yang polos, bodoh dan tidak menghakimi dunia.

Ya, saya tersesat. Saya ingin pulang.

—–

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Pemandangan Sudut Jembatan

Hari ini, seperti hari-hari lain yang belakangan sering saya habiskan di pusat Jakarta, saya menaiki jembatan penyeberangan untuk mencapai kantor baru saya di bilangan Thamrin.

Hari ini, yang duduk di sudut jembatan itu adalah seorang ibu muda bersama bayi yang tertidur lelap tepat di sampingnya. Bayi yang usianya takkan lebih dari beberapa bulan. Tangan mungilnya masih tersembunyi dalam sarung putih. Pantatnya masih terbungkus popok. Bayi yang terlalu kecil untuk menghirup udara kehitaman Jakarta dan tersengat terik matahari.

Dalam ketergesaan, saya hanya melirik singkat kepada mereka dan terus berlalu. Namun pikiran saya memutar ulang pemandangan di sudut jembatan yang sama, yang saya temui sebelumnya.

Beberapa hari lalu, sudut itu diisi seorang ibu gemuk dengan rambut dicepol. Bocah di sampingnya barangkali berusia satu tahun. Ketika saya melintasi jembatan di siang hari, sang bocah sedang lelap tertidur. Ketika saya kembali sore harinya, bocah tersebut sedang bermain sambil tertawa-tawa. Sang ibu menggoda anaknya sambil tersenyum lebar. Tak urung saya ikut tersenyum menyaksikan pemandangan yang cuma sekilas itu. Mendadak, perjalanan pulang selama dua jam terasa lebih ringan.

Sudut jembatan itu juga pernah ditempati seorang kakek yang menggenggam wadah plastik bekas air mineral. Sorot matanya kosong, dan seperti kebanyakan orang yang melintasi jembatan itu dengan langkah-langkah cepat, saya pun berlalu begitu saja.

Hari ini, ketika pikiran saya sedang berpacu dengan jemari untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, sebuah kalimat muncul di layar komputer. Saya tidak kenal penulisnya. Kalimat tersebut diteruskan oleh seorang kawan dalam jaringan pertemanan yang saya ikuti.

They say go for your dreams, don’t compromise for anything else. How do you know which one is the “dream” & which one is “anything else”?

Saya terdiam. Lama.

Mimpi-mimpi.

Saya selalu tahu apa yang saya inginkan. Ajukan pertanyaan itu kepada saya dan saya akan menjawabnya dengan sebuah daftar lengkap.

Semua orang bisa bermimpi. Mimpi itu tidak bayar, maka gantungkan cita-citamu setinggi langit. Bahkan anak Sekolah Dasar yang paling bodoh tahu itu. Namun apa yang saya lihat di sudut jembatan beberapa hari terakhir telah memberitahu saya, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengejar mimpi.

Kakek yang menggenggam wadah plastik bekas air mineral mungkin cuma bermimpi bisa tidur nyenyak dengan perut kenyang malam ini.

Wanita gemuk dengan bocah berwajah sumringah itu barangkali bermimpi bisa menyekolahkan anaknya, setidaknya sampai lulus SMU.

Beberapa jam sebelum menuliskan entri ini, saya melintasi jembatan yang sama untuk menaiki bus merah-kuning yang akan mengantarkan saya pulang ke rumah—tempat yang nyaman di mana saya bisa beristirahat di kamar yang sejuk usai membersihkan tubuh dengan air hangat.

Ibu muda dan bayinya masih ada di sana. Mereka tertidur pulas di atas selembar kardus. Saya menatap mereka dan bertanya dalam hati, adakah perempuan ini punya mimpi. Barangkali mimpinya sederhana saja: bisa terlelap di ranjang yang hangat dan punya tempat tinggal yang layak agar esok si mungil tak perlu menghirup udara kotor dan tersengat matahari.

Semua orang bisa bermimpi. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengejarnya.

Hari ini, saya ingin berterimakasih pada seseorang yang tak saya kenal namanya. Atas sebuah pertanyaan yang mengusik hati dan mengingatkan saya akan sesuatu yang sudah lama saya lupakan.

Mimpi-mimpi saya. Saya sudah hidup di dalamnya.

Dan untuk itu, sepatutnya hari ini ditutup dengan ucapan syukur.

—–