180 Menit

… tanpa koneksi internet, percakapan dengan siapa pun, atau banjir informasi yang tiada berhenti.

180 menit yang sunyi, kendati hiruk-pikuk di sekitar saya mengalahkan keramaian Pasar Minggu.

180 menit bersama secangkir kopi beraroma hazelnut, langit sore, dan koran edisi terbaru.

180 menit yang memberi tahu saya bahwa

Para barista di gerai kopi ini tampaknya sudah melewati seleksi tampang sebelum diterima bekerja.

Barista jangkung berkulit putih dan berambut spikey punya senyum yang melelehkan hati.

Petugas kebersihan berseragam kotak-kotak tak henti-hentinya mengelapi kaca yang sama.

Pengki yang digunakan petugas kebersihan berwarna merah muda.

Arloji lelaki berperut buncit di meja seberang berwarna coklat keemasan yang berkilau ditimpa sinar mentari.

Gadis-gadis pra-remaja yang datang dengan teman atau orangtua hampir semuanya mengenakan Crocs merah jambu dalam berbagai gradasi warna.

Sebagian besar pengunjung menenteng BlackBerry dengan cover beraneka warna. Ungu. Hijau. Kuning. Putih. Biru.

Pria dan wanita di meja sebelah tidak saling bicara sejak mereka duduk.

Masih ada dunia selain semesta maya sumber informasi yang berada dalam jangkauan kita duapuluhempat jam sehari.

Juga bahwa

Senja ini indah sekali, kendati langit tak cerah

Dan saya tak henti-hentinya tersenyum.

—–

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Dear Nuel,

Apa kabar?

Belakangan ini gue sibuk dengan calon buku kedua gue. Buku itu akan terbit tahun depan. Di dalamnya ada artikel tentang elo. Judulnya ‘Farewell’, karena artikel itu gue tulis setelah kita berpisah. Sejujurnya, dari sekian banyak tulisan yang jadi pengisi buku itu, gue lupa bahwa ‘Farewell’ ada di sana. Sampai malam ini, ketika gue mengedit artikel itu.

Nel, gue nggak nangis waktu kita pisah. Gue bahkan nggak nangis waktu ninggalin elo. Gue pikir lo udah bahagia. And I did believe so. Lo tampak tenang sekali di sana, di peti itu. Lo kurus, tapi lo seperti tersenyum. Seakan pingin bilang ke semua orang, “Gue udah nggak apa-apa. Kalian bisa berhenti khawatir.” Tapi sekarang gue nangis. And I cry hard.

Nel, gue kangen elo. Kangen banyolan-banyolan lo. Kangen senyuman lo. Kangen minta tolong lo bawain barang lagi (karena lo yang paling berotot di antara kita semua dan gue yang paling cungkring). Kangen lihat lo ngangkat-ngangkat boom segede dosa itu. Kangen ngelihat lo dan Lala pacaran lagi kayak dulu. Kangen makan bareng lagi. Kangen ketawa-ketawa lagi.

Nel, kenapa gue nangis ya? Kenapa malam ini air mata gue nggak bisa berhenti inget elo? Berapa bulan sejak lo pergi? Sembilan? Sepuluh?

Bahkan sebelum lo pergi kita udah jarang ketemu. Lala bilang, lo sempet nanyain gue. Dan sekarang rasanya gue rela ngasih apa aja supaya bisa ketemu lo sekali lagi… ketika lo masih bisa senyum. Ketika gue masih bisa bercandain elo. Dan kita bisa sama-sama ketawa.

Di atas sana kayak apa, Nel? Indah? Lo ketemu nyokap gue? Sampaikan salam gue buat dia, ya. I miss her so damn much. Tell her I’m happy. Gue tahu dia tahu. Gue cuma pingin bilang aja. 🙂

Nel, gue nggak pernah dapet kesempatan untuk ngomong ini ke elo. Tapi sekarang gue mau bilang.

Terima kasih karena udah ada di hidup gue. Terima kasih udah jadi temen gue. Terima kasih untuk tahun-tahun indah yang kita lewati bareng-bareng. Terima kasih untuk setiap senyum dan tawa yang pernah kita bagi, yang masih bisa gue kenang sampai sekarang ketika lo udah nggak ada. Lo nggak akan pernah tahu betapa berartinya itu semua. Ketika segalanya lenyap, yang tersisa cuma kenangan. Dan kenangan itu kita jaga, karena kita belum mau lupa.

…..

Hhhh.

Udah, ah. Gue udah selesai mewek. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya. Kalau kata Mitch Albom, gue yang curhat, lo yang dengerin. Ketika waktunya tiba nanti, kita bakal bisa lagi, kok, ngobrol dua arah.

🙂

Nel…

Gue kangen. Banget.

—–

Perkara Tuding-menuding dan Cela-mencela

Malam ini, timeline akun Twitter saya ramai dengan pembahasan seputar para menteri terpilih yang baru saja diumumkan di televisi. Saya, yang dari awal memang tidak tertarik untuk mengikuti, memilih mendem di kamar demi menamatkan Harry Potter, entah untuk keberapa kalinya. Emang ciamik Nyonya Rowling itu, gak ada matinye. Tapi mari kita tidak berfokus pada Harry Potter atau Nyonya Rowling.

Saya terdiam saat membaca tweet demi tweet yang masuk, dan akhirnya, ketika membaca tweet seorang selebriti yang cukup vokal mencela menteri-menteri terpilih, saya pun nyengir kuda.

Saya tidak anti mencela. Namun, entah mengapa, melihat banyaknya celaan yang ditujukan pada kabinet yang baru terbentuk –yang bahkan tidak pernah saya ikuti perkembangannya—mendadak menimbulkan perasaan aneh di hati. Simpati? Entahlah. Rasanya bukan. Simpati apanya, wong saya Golput kok. 😉

Saya termasuk kelompok manusia yang suka mencela, dan di saat-saat tertentu, lidah saya bisa lebih tajam dari silet yang baru dibeli di warung – terutama menjelang awal bulan dimana hormon sedang bergejolak, dan ketika sedang banyak pikiran alias stres. Atas nama kejujuran, bagi saya mencela adalah sebuah bentuk terapi – terserah mau dibilang nista, dangkal, atau apa pun. Mengetahui bahwa ada orang yang lebih buruk dari saya, ada yang bisa disalahkan, mengungkapkan itu sesuka hati, dan dengan cara yang saya kehendaki, selalu memberi kelegaan tersendiri, meski kelegaan itu hanya temporer. Siapa peduli berapa lama lega itu bisa bertahan? Siapa peduli efek jangka panjang dari tindakan tersebut? Yang penting sekarang saya bisa merasa (sedikit) lebih nyaman.

Seorang teman berkata, mencela, menuding, dan menghakimi adalah hal yang paling mudah dilakukan. Dan ia benar. Seperti yang saya sebutkan tadi, tiga hal itu bisa jadi jalan pintas untuk melegakan hati. Itu sebabnya sesekali saya masih menonton program-program televisi yang tidak akan saya nikmati dalam keadaan ‘waras’. Itu sebabnya sesekali saya masih mengikuti pemberitaan infotainment yang penuh fiksi dan drama. Itu sebabnya saya kekeuh sumekeuh memonopoli remote control di rumah ketika RCTI menayangkan sinetron Manohara untuk pertama kalinya.

Orang lain mengatakan, justru di situ serunya. Hidup akan terasa hambar kalau tidak ada orang yang suka mencela. Ia juga benar. Bayangkan betapa membosankannya dunia yang warnanya serbaputih. Namun saya bertanya-tanya, akankah kita mengamini hal yang sama, seandainya kita yang jadi sasaran cela, hujat dan kritik?

Menumpahkan uneg-uneg itu mudah. Meluapkan amarah dan kekecewaan itu gampang. Menghakimi apalagi. Kalau kepala sudah terlanjur panas, mendengar dan berkomunikasi pun ke laut aje. Memaki-maki dulu, yang penting hati lega. Tidak peduli siapa benar siapa salah. Siapa yang patut didengarkan dan demi alasan apa. Tidak penting. Perkara konsekuensi dan perasaan orang lain, bisa diatur belakangan. Kita memang sudah terbiasa. Hidup mengkondisikan kita untuk terbiasa.

Sekali lagi, saya tidak anti mencela. Saya tidak anti menuding. Setiap akhir pekan saya masih setia nongkrong di depan televisi untuk menikmati guilty pleasure saya: reality show populer slash ajang cari jodoh yang dipandu seorang MC Batak nan tampan. Sebuah tayangan yang selalu berhasil memancing celaan demi celaan dari mulut saya. Bahkan setelah saya tahu pahala saya tidak akan bertambah (defisit iya!), saya tetap suka menontonnya.

Entri pendek ini tidak bertujuan untuk mengurangi populasi kaum pencela, karena saya belum ingin punah dari muka Bumi. Entri ini hanya bertujuan untuk mengingatkan diri saya sendiri, bahwa ketika saya menudingkan jari kepada orang lain, empat jari lainnya menuding diri saya sendiri. Mudah-mudahan itu cukup.

—–

*Gambar diculik (lagi) dari gettyimages.com

Cambuk

Dalam perjalanan, aku melihat seorang lelaki menyeret keluar sesosok makhluk dari dalam kandang. Keempat kakinya dirantai, sehingga pendek-pendek langkahnya. Makhluk itu besar dan tampak kuat, namun sekujur tubuhnya dipenuhi luka. Darah merembes dan mengering di bulu-bulunya, menciptakan duri-duri kecil yang lengket.

Aku tidak berani mendekat. Dia tampak menyedihkan. Luka-lukanya seperti tidak pernah diberi kesempatan untuk sembuh. Makhluk itu memandangku, menyadari kehadiranku. Aku mendapati diriku mundur selangkah dan mengambil ancang-ancang untuk lari. Namun ia hanya memandangiku sesaat, sebelum meraung keras.

Aku terkesiap. Belum lagi hilang kagetku, setitik darah jatuh di punggung tanganku. Lelaki itu baru saja menciptakan luka baru di tubuhnya. Cambuk itu kini bernoda darah.

Aku gemetar. Cambuk apa yang bisa melukai separah itu?

“Hentikan.” Susah payah aku bicara.

Lelaki itu bahkan tidak menoleh. “Dia harus dihukum. Dia telah gagal.”

Cambuk kembali mendarat dengan bunyi ‘plak’ keras. Bulu romaku bangkit ketika makhluk itu kembali meraung.

“Kau menyiksanya!” Aku memekik.

“Tidak,” lelaki itu menjawab tenang, “Aku melatihnya. Setiap cambukan mengajarinya sesuatu. Setiap cambukan membuatnya bertambah kuat. Setiap cambukan akan membuatnya berterima kasih padaku kelak.”

Ia pasti melihat kedua tanganku mengepal, karena ia memberiku isyarat untuk mendekat.
“Kemari dan lihatlah sendiri. Dia bertambah kuat.”

Aku menggerakkan kakiku yang gemetar. Menghampiri makhluk yang kini berdiri tidak bergerak. Mengamati darah yang menetes-netes dari luka barunya.

Si lelaki mengacungkan cambuknya, menunjuk garis merah tua di punggung makhluk itu. Bilur yang baru akan sembuh.

“Setiap luka menciptakan parut tebal yang melindungi dirinya dari serangan badai, cuaca dingin, sengatan matahari, dan cakar makhluk lain. Kau lihat, aku melakukan yang terbaik untuknya.”

“Kau gila.”

“Tidak,” lelaki itu tersenyum menatapku, “Aku tahu yang kulakukan. Mungkin kau harus belajar dariku, Anak Muda.”

Aku tidak mengindahkan kata-katanya. Kutelusuri bulu-bulu kasar makhluk itu dengan telapak tangan. Kusentuh darah lengket yang menyatukan bulu-bulunya, merasakan cairan hangat yang amis mengalir melalui jari-jariku.

Aku bergerak maju. Mendekati kepala makhluk itu. Ia bergeming. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat. Mata kami bertemu.

Aku terhenyak.

Aku menjerit.

Aku meraung.

Kesadaranku lumpuh. Tungkai kakiku kehilangan kemampuan menopang. Aku terbanting ke tanah. Debu beterbangan. Sakit yang hebat menderaku sampai ke sum-sum.

Aku mengerang.

Aku meronta.

Aku merintih.

Hewan itu bergeming.

Ia tidak melakukan apa pun. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat.

Ketika pandangan kami bertemu, ketika matanya menyambut mataku, aku tahu,

Akulah makhluk itu.

*****

Maafkan saya, Jenny, atas penderitaan yang saya timbulkan karena menuntutmu untuk

sempurna
cerdas
bijaksana
terstruktur
manis
berbakti
mendedikasikan hidup
tunduk
taat
patuh
normal
menjadi ‘baik-baik saja’
berpasangan di usia sekian
memiliki kondisi hidup tertentu
memiliki suasana hati tertentu
memiliki sekian rupiah
menyenangkan orang lain
bersimpati pada penderitaan orang
bersukacita atas kebahagiaan orang
bertahan pada satu titik spiritual
terus mengalami peningkatan
terus menulis
kreatif
eksis/dikenal
sehat
dicintai
diprioritaskan
diterima
dihargai
menjaga perasaan orang
setia pada norma sosial
jadi juara
meneladani orang lain
meredam emosi
bertindak hati-hati
meyakini sesuatu
setia
berperforma maksimal
bekerja keras
memiliki keluarga ‘normal’
menjadi sama dengan orang lain
meraih mimpi
menguasai konsep spiritual tertentu
berbuat baik
beramal
tersenyum
tertawa
berbasa-basi
merasa aman
percaya diri
teratur
bersih
rapi
mendapat pencerahan
merasa lega
merasa nyaman
berhemat
diperhatikan
diperlakukan istimewa
diberi
dipuji
diperlakukan baik
menolong
menyelamatkan
bertanggung jawab
berbuat sesuatu demi orang lain
tidak merepotkan orang lain
tidak mengatakan ‘tidak’
mencapai target
tidak melekat dengan apa pun
berwawasan luas
bersosialisasi
berdisiplin
bahagia
benar
dewasa
bersikap sopan
menjaga sikap
berlaku adil
berkorban
menyukai orang lain
melepas ekspektasi
menemukan jalan keluar
memecahkan masalah
sembuh
lebih banyak memberi
mencapai sesuatu
berhasil/sukses
kuat
tidak menangis
produktif
rajin
tekun
pantang menyerah
bebas konflik batin
bebas masalah
meringankan beban orang lain
menerima apa adanya
bertumbuh
mencari nafkah
memiliki status sosial tertentu
ikhlas
pasrah
menjadi anak yang dibanggakan
menjadi kakak teladan
menjadi teman yang baik
menjadi pekerja yang budiman
menjadi penulis yang menginspirasi
menemukan cinta
memiliki semangat
membalas budi
menjalani rutinitas
memprioritaskan orang lain
sependapat
stabil
bertenggang rasa
menepati janji
tidak berubah
konsisten
sembuh
waras
masuk akal

…dan banyak lagi.

Maaf atas segala luka yang saya timbulkan ketika saya mengharuskanmu menjadi seperti yang saya inginkan. Maafkan saya karena telah menderamu. Maafkan saya karena berpikir tahu yang terbaik bagimu, sedang kamu sudah begitu lama kesakitan.

Maafkan saya karena tidak menghapus airmatamu saat kamu mengaduh dan mengeluh. Maaf atas segala persyaratan yang saya tetapkan hanya untuk bisa menerimamu. Maaf karena telah mencintaimu dengan segudang harap dan pinta.

Beri saya kesempatan untuk mencintaimu lagi. Kali ini apa adanya.

Dengan penuh cinta,

Dirimu Sendiri

—–

Tips Mengirim Naskah ke Endorser

Semua penulis yang sudah menerbitkan buku –atau bercita-cita menerbitkan buku— pasti tidak asing dengan kata ‘endorsement’, kecuali dia tinggal di ujung dunia. Beberapa tahun lalu, sebelum kata ini sering digunakan, istilah yang familiar di telinga kita adalah ‘paperback comment’.

Selain memberi nilai tambah bagi sebuah karya, endorsement dari seseorang yang ‘sudah punya nama’ –apalagi yang termasuk kategori ‘Penulis Dewa’— sanggup membuat orang tergoda membeli, atau minimal, mengundang rasa penasaran terhadap buku yang bersangkutan. Siapa yang tidak tertarik mengambil buku yang sampul depannya memuat endorsement dari Andrea Hirata atau Dewi Lestari? Siapa penikmat novel remaja yang tidak terpancing mengambil teenlit yang memajang endorsement dari Sitta Karina? Siapa penyuka cerita komedi yang tidak tertarik dengan buku yang di-endorse oleh Raditya Dika?

Sebagai orang yang sudah menerbitkan buku, saya tahu rasanya mengirim naskah kepada penulis-penulis senior; memohon kesediaan mereka untuk memberi sepatah-dua patah kata bagi ‘calon anak’ saya, berharap-harap cemas menanti hasilnya, dan sebagainya. Di sisi lain, sebagai orang yang pernah menjadi endorser untuk beberapa buku –serta menjadi ‘perantara’ bagi mereka yang ingin mendapatkan endorsement dari Ibu ini— saya juga berkesempatan membaca berbagai naskah dengan genre dan penulisan yang sangat bervariasi.

Menerima dan membaca naskah merupakan kegiatan yang menarik, namun tak selalu menyenangkan. Ada kalanya saya mendapatkan ‘naskah emas’ yang memikat perhatian. Saya sanggup begadang semalam suntuk dan melewatkan jam makan hanya untuk menamatkan naskah tersebut. Saya pernah membaca naskah yang sama sebanyak tiga kali dalam sebulan karena jatuh cinta dengan isi dan cara penulisannya. Namun tidak jarang pula saya menerima naskah yang membuat kening berkerut-kerut saking standarnya, saking mentahnya, atau saking absurd-nya. Jenis naskah yang terakhir ini biasanya membuat saya menarik napas panjang sambil membatin, “Duh bo… plis deh,” sebelum menutupnya tanpa menamatkan bab pertama.

Kedengaran belagu? Mungkin, tapi memang itu yang terjadi.

Selain konten, ada hal-hal lain yang memicu keengganan saya untuk membaca sebuah naskah sampai tamat (boro-boro mengomentari, kalau membaca aja nggak selesai). Kemalasan adalah salah satunya. Sisanya adalah beberapa faktor eksternal yang akan saya uraikan di bawah ini.
Apa yang saya tuliskan di sini adalah hasil dari pengamatan pribadi dan bertukar pikiran dengan sesama rekan penulis –maupun figur publik— yang pernah menjadi endorser untuk sebuah buku. Mudah-mudahan bisa bermanfaat. 🙂

Tips pertama: pastikan naskah yang kamu kirim ke endorser sudah diterima terlebih dahulu oleh penerbit. Menggunakan endorsement untuk ‘menjual’ naskah ke penerbit memang bukan sesuatu yang salah, namun ini bisa jadi sesuatu yang menyebalkan bagi endorser. Pertama, karena tidak adanya kepastian terbit. Kedua, ada waktu dan energi yang harus diluangkan oleh endorser untuk membaca dan mengomentari karya kamu. Ketidakpastian tersebut akan membuat usaha yang dilakukan endorser tampak sia-sia.

Kedua, yakinlah bahwa ketika karya kamu diterima oleh penerbit, karya tersebut memiliki ‘kekuatan’ dan nilai plus yang menjadikannya layak terbit. Pahami juga bahwa setiap penulis mempunyai ciri khas dan kelebihan masing-masing. Karena itu, miliki rasa percaya diri dan hindari mencantumkan kalimat-kalimat berikut dalam permohonan endorsement kamu: “Saya tahu tulisan saya tidak sebagus Mbak…”, “Memang tulisan ini tidak sebanding dengan karya Mbak…”, dan sebagainya. Saya tidak tahu dengan penulis lain, namun permohonan endorsement semacam ini membuat saya kehilangan minat untuk membaca naskah. Jika endorser yang bersangkutan merasa cocok dengan karyamu, ia akan memberikan endorsement dengan senang hati. Tanpa kamu perlu ‘merendah’.

Ketiga, jangan mengirimkan naskah dengan tenggat waktu yang terlalu sempit. Dua minggu sampai satu bulan adalah tenggat yang cukup ideal bagi endorser untuk membaca dan mengomentari calon bukumu, apalagi jika kamu mengirim naskah kepada ‘Penulis Dewa’ yang punya segudang kesibukan. Sadari bahwa mereka memiliki pekerjaan yang lebih penting daripada membaca naskahmu. And for the love of God, jangan donder. Saya pernah menerima draft dari seseorang yang mengirimkan e-mail dua hari sekali untuk menanyakan apakah draft tersebut sudah dibaca. Kali ketiga ia mengirim e-mail, saya tidak lagi membalasnya. It’s just annoying. Saya hanya tersenyum masam mendengar alasan yang diajukannya: “Minggu depan sudah mau naik cetak, Mbak.” Sebagai orang yang pernah menerbitkan buku, saya tahu ada tenggat waktu yang cukup panjang dari diterimanya naskah oleh penerbit, proses produksi (editing, lay-outing, desain cover, dsb), sampai naik cetak. Keseluruhan proses tersebut bisa makan waktu 3 sampai 5 bulan. Kemane aje lo, baru ngirim draft seminggu terakhir?

Keempat, kirimlah naskah yang sudah ‘matang’, dalam arti sudah melalui proses editing setidaknya satu kali. Selain memudahkan endorser untuk menilai naskah tersebut secara keseluruhan, tindakan ini menunjukkan bahwa kamu menghargai endorser. Kesalahan ketik dan kesalahan tata bahasa adalah sesuatu yang sangat lazim terjadi, dan saya rasa endorser tidak akan mempermasalahkan hal ini. Namun isi naskah yang masih ‘mentah’ dan kasar akan sangat mengganggu untuk dibaca. Tunjukkan bahwa kamu menghargai endorser yang sudah bersedia meluangkan waktu dan energi untuk membaca naskahmu.

Kelima, gunakan font yang nyaman dibaca dan spasi yang tidak melelahkan mata. Hal ini juga bisa diterapkan untuk mengirim naskah ke penerbit. Saya pernah menerima naskah yang ditulis dengan font Arial Narrow dan spasi single yang panjangnya lebih dari 400 halaman. Saya berusaha membacanya sebanyak tiga kali dan akhirnya menyerah sebelum menyelesaikan bab pertama.

Keenam, kirimkan naskahmu kepada orang yang tepat. Jangan mengirimkan naskah novel pop kepada penulis cerita komedi. Jangan mengirimkan naskah kumpulan blog remaja kepada penulis fiksi ilmiah. Dan demi Tuhan, jangan mengirimkan naskah cerita horor murahan atau drama-komedi berbau seks kepada siapa pun. Kasihanilah kami.

Last but not least, berbesar hatilah jika naskahmu ditolak oleh calon endorser. Tidak usah ngambek. Tidak perlu membujuk calon endorser untuk mempertimbangkan ulang keputusannya dengan berkali-kali menghubunginya. Mereka tentu memiliki pertimbangan tersendiri untuk memberikan (atau tidak memberikan) endorsement. It’s nothing personal. Naskah saya pernah ditolak oleh beberapa penulis. Saya mengucapkan terima kasih atas waktu yang mereka berikan untuk membaca dan membalas e-mail saya, lalu mencari penulis lain yang bersedia meng-endorse buku saya. Sesederhana itu.

Sekarang, izinkan saya menghancurkan secercah harapan yang kamu miliki. Tips-tips di atas tidak menjamin kamu akan memperoleh endorsement sesuai harapan, bahkan tidak menjamin naskahmu akan dibaca oleh calon endorser.

Tips-tips tersebut hanya bentuk lain dari uneg-uneg yang saya (dan beberapa rekan penulis) miliki dari pengalaman menerima dan membaca naskah yang dikirimkan kepada kami. Sama seperti perjuangan untuk menerbitkan buku, ada banyak hal yang menentukan keberhasilan seseorang dalam mendapatkan endorsement – salah satunya keberuntungan. Saran yang bisa saya berikan adalah: lakukan yang terbaik yang kamu bisa, silangkan jari-jarimu, dan berharaplah keberuntungan ada di pihakmu. Kalaupun tidak, well, akan selalu ada kesempatan lain, selama kamu terus menulis. 😉

Selamat berburu endorsement!

—–