(Semacam) Surat Terbuka ;-)

Hai, kamu yang di sana.

Makasih, lho.

Hari ini kamu berhasil membuat saya terpingkal-pingkal; antara geli, sebal, jengkel, dan bangga sekaligus.

Kenapa bangga? Karena kamu membuat saya merasa seperti selebritis. Figur publik nan ngetop yang karya-karyanya dianggap penting sampai layak dibajak.

Sejujurnya, awalnya saya mengira hal itu hanya bisa dialami oleh mereka-mereka yang sudah ditahbiskan menjadi seleblog, seperti ibu ini, ibu ini, atau ibu ini. Saya nggak nyangka ternyata blogger kemarin sore kayak saya, yang masih belajar menulis dan mengamati, bisa dianggap ‘layak bajak’, apalagi oleh blogger seperti kamu, yang punya ratusan followers. Aduh, makasih lho… walaupun saya sedikit bingung, kenapa kamu yang punya begitu banyak ‘penggemar’ (yang pastinya menandakan bahwa tulisan-tulisanmu cukup bermutu), mau membajak tulisan orang lain.

Anyway, sebagai ucapan terima kasih karena hari ini kamu berhasil membuat saya senyum-senyum gila, dengan senang hati saya akan menolong mempublikasikan salah satu karya kamu, yang kamu sadur dari blog saya. Mudah-mudahan hal ini akan dapat meningkatkan popularitasmu di ranah maya.

Cuma satu pesan saya, kalau udah terkenal nanti, jangan sombong, ya. 😉

UPDATE 13 AGUSTUS 2009, 00:40 WIB:

Dengan ini saya mengumumken *dibaca dengan gaya Pak Harto* bahwa entri yang tercantum di atas telah resmi dihapusken oleh sang empunya blog, pada waktu tersebutken. Teriring doa dan ucapan syukur dari saya. Syukur karena tulisan saya nggak jadi lama-lama dibajak (wahai Papa, akhirnya tak ada lagi yang menjiplak kado ulang tahunmu). Doa supaya takkan ada lagi pembajakan-pembajakan serupa di ranah maya ini.

However, untuk Neng Ayu yang cantik jelita, berhubung tulisan saya sudah sempat nangkring di blog Anda selama dua hari penuh, saya tidak akan menghapus link ke blog Anda di sini, sekalipun entri yang bersangkutan sudah Anda hilangkan, KECUALI, tentunya, jika Anda bersedia menghubungi saya secara pribadi untuk mengkomunikasikan ‘penyaduran’ ini dengan jujur dan tuntas. Mudah-mudahan ini bisa jadi pelajaran untuk kita bersama.

Ngeblog aja kok nyontek. Malu ateuh. 😉

UPDATE 16 AGUSTUS 2009:

Kemarin saya membaca artikel ini dan ini, dan lagi-lagi tertawa sendiri karena apa yang tertulis di sanandilalah kok ya mirip dengan apa yang beredar di kepala saya.

Saya cukup sering menemukan tulisan saya dimuat ulang di berbagai media online yang kebanyakan dilakukan tanpa seizin saya. Saya tidak mempermasalahkan hal tersebut, selama orang yang bersangkutan mencantumkan alamat blog ini –atau setidaknya nama saya— sebagai ‘identitas’ PENULIS ASLINYA. Mempublikasikan tulisan di internet yang dapat diakses semua orang, bagi saya, bukan berarti menghilangkan identitas tulisan tersebut dan menjadikannya ‘milik bersama’ sehingga bebas dicomot, disadur, dan dipublikasikan sebagai hasil karya ORANG LAIN.

Terima kasih, Ariadne dan Fekhi, karena telah menyuarakan isi benak saya. Sejujurnya, meski saya menanggapi kejadian ini dengan tertawa, saya sangat berharap peristiwa serupa tidak terulang kepada saya atau siapapun di jagat maya ini. Sebuah karya, bagaimanapun sederhananya, tetap sebuah karya. Penyadaran terhadap hal ini barangkali bisa membuat kita berpikir ulang sebelum mematenkan karya orang lain atas nama kita.

Lagipula, hey… sebagus-bagusnya KW-1, tetep bagusan barang aslinya dong ah. Semua juga tahu. 😉

UPDATE 26 AGUSTUS 2009:

Terima kasih Ayu, untuk mengontak saya secara pribadi dan meluruskan masalah ini. Link ke blog kamu sudah saya hapuskan dari entri ini. Mari sama-sama belajar. 🙂

—–

Tentang Dia yang Saya Panggil ‘Ayah’

Ayah saya adalah seorang jagoan. Disimpannya rapat-rapat airmatanya dan hanya menangis ia jika sendirian. Bukan karena tak mau membagi rasa, namun karena ia tak ingin saya bersusah hati. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Orang tua harus tahu kapan anaknya susah, tapi anak tidak perlu tahu kalau orang tuanya susah.”

Ayah saya adalah seorang pencinta. Masih lekat dalam ingatan sebuah pigura berbingkai gelap berisi foto almarhumah Ibu yang selalu dipeluknya erat sebelum tidur. Ia sanggup tidur tanpa kasur dan selimut, namun tak pernah sedetik pun dilepasnya foto itu. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Kalau lagi kangen Mama kamu, jadi nggak bisa tidur.”

Ayah saya adalah seorang pahlawan. Tak pernah ragu menolong yang kesusahan dan tak sedetik pun menunda membantu yang lemah. Meski tindakannya ini kerap membuat saya dan adik mengomel, karena kebaikannya sering disalahgunakan oleh orang lain. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Biarin lah, kasihan…”

Ayah saya adalah seorang dokter. Dan ia menyembuhkan bukan dengan obat-obatan. Ia menyembuhkan dengan dering telepon yang rutin di malam hari dan sapaan yang menghangatkan seperti selimut tebal. Mendengar suaranya, saya selalu yakin, semua akan baik-baik saja. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Jangan banyak pikiran, jangan kecape’an kerjanya. Udah makan belum? Udah mandi?”

Ayah saya adalah seorang penyair. Dua kalimat favoritnya adalah ‘I love you’ dan ‘take care’ yang kami pertukarkan nyaris setiap hari. Meski kalimat-kalimat itu tak dibubuhi embel-embel puitis lain, di telinga saya mereka laksana syair pujangga ulung.

Saya sangat beruntung.

Bukan karena memiliki seorang jagoan, pencinta, pahlawan, dokter, sekaligus penyair sebagai ayah, namun karena mengetahui, bahwa di dunia yang bisa gelap, keras dan menyakitkan ini, cintanya selalu ada.

Selamat ulang tahun, Papa. Saya sayang Papa. Sangat.

—–

Di Pihak Siapa?

Mari maju, maju, maju
Ke medan peperangan
Tiada waktu untuk santai

Mari maju, maju, maju
Ke tanah perjanjian
Puji nama-Nya dan rebut kemenangan

S’bab Tuhan ada di pihak kita
Kuasa-Nya selalu menolong kita
Maju, kemenangan bagi kita

Biarlah dunia ‘kan melihat
Biarlah dunia ‘kan mendengar
Biarlah dunia akan tahu
Bahwa Allah kita gagah perkasa

Gagah perkasa
Gagah perkasa

Lagu di atas pernah menjadi favorit saya beberapa tahun silam. Lagu yang selalu diiringi hentakan drum itu senantiasa berhasil memicu adrenalin dan membuat saya bersemangat. Saya meloncat-loncat tanpa jeda sepanjang lagu dinyanyikan (yang bisa diulang berkali-kali dari awal sampai akhir), berteriak sampai suara parau dan leher sakit, bertepuk tangan sekeras-kerasnya sampai telapak dan pergelangan saya memerah, dan berjingkrakan sampai tubuh terasa panas.

Hingga pada satu titik, saya tersadar.

Jika ada ‘kita’, berarti ada ‘mereka’.

Jika ada ‘Allah kita’, berarti ada ‘Allah mereka’.

Siapa yang dimaksud dengan ‘mereka’? Apakah Tuhan lebih dari satu?

Jika Tuhan lebih dari satu dan mereka berperang, lantas siapa yang akan menang? Adakah Tuhan yang satu lebih kuat dari Tuhan lainnya?

Jika Tuhan hanya ada satu, lalu ‘kita’ dan ‘mereka’ berperang, lantas kepada siapa Ia berpihak?

Lantas, adakah gunanya dunia tahu Tuhan siapa lebih berkuasa atas Tuhan siapa? Adakah gunanya dunia sadar mana yang lebih kuat mana yang lebih lemah?

Dan apa yang dimaksud dengan kemenangan? Pihak yang satu menduduki pihak lainnya? Pihak yang satu berkuasa atas pihak lainnya? Lantas, apa yang akan dilakukan kepada pihak yang kalah?

Lagu itu pernah menjadi kesukaan saya, sampai saya mulai bertanya.

—–

*Hhh. Susah emang kalau punya bakat cari gara-gara. Berserah sih berserah, penasaran teteub, nanya-nanya jalan terusss.

**Cuma sebuah pemikiran iseng di Jum’at sore. Nggak usah ditanggap serius, tapi kalau ada yang berminat ngasih jawaban, monggo lho.

***Maaf nggak mencantumkan nama pencipta lagunya, karena saya nggak tahu siapa.

Malaikat Kecil

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Saya pernah memandangnya dengan iba. Ayah-ibu saya sudah lama bercerai, dan saya bisa memahami rasanya tinggal bersama orangtua yang tak lagi lengkap. Ternyata saya salah. Orang bilang, perpisahan selalu berujung luka. Tidak bagi dia. Untuknya, perpisahan adalah sebuah awal baru. Dari keluarga besar yang dulu tidak dimilikinya. Dari kebahagiaan yang semakin bertambah seiring bergulirnya waktu. Dari seorang ayah dan seorang ibu, kini dia punya dua ayah dan dua ibu, seorang adik laki-laki, dua calon adik bayi yang belum ketahuan jenis kelaminnya, dan seekor kucing bernama Tjondro.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Senyumnya menerbitkan hangat di hati, layaknya mentari yang tak pernah jemu membagi sinar. Jika anak-anak seusianya sering malu bertemu orang baru, dia takkan segan mempertontonkan segala jenis keahlian, mulai dari bergoyang dombret, bernyanyi lagu Batak keras-keras, menggebuk drum di udara, sampai berjoget-joget lincah. Rambut kriwilnya tak pernah diam, sama seperti tubuhnya yang selalu bergerak kesana-kemari.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Rabu malam pukul sepuluh adalah saat yang selalu saya nantikan, karena malaikat kecil itu akan berjingkrak-jingkrak di depan pintu begitu mendengar suara mobil mendekati rumah. Dia akan menunggu dengan manis, lalu menyambut kami layaknya pahlawan pulang dari medan perang. Hangat, gembira, penuh kebahagiaan. Setelah itu, ia akan mengucapkan kalimat pendek yang selalu diulangnya: “Mbak Jenjus, peluk.” Dan saya akan mendekapnya erat sambil membaui rambutnya yang wangi.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Dia bercahaya, dan dia benderang. Kehangatan itu tak pernah habis untuk dibagi. Dia akan segera tumbuh dewasa, dan sinarnya akan berpijar semakin terang. Dia tak perlu mentari, karena dialah sang empunya surya. Sayap-sayapnya akan menjadi kuat dan mengepak. Dia akan membubung tinggi dan ketika saat itu tiba, saya berharap saya bisa mengantarnya sambil tersenyum lebar.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Lihatlah dia di sana. Tertawa riang sekali.

Di bangku-bangku itu, empat orang tak lepas menatapinya dengan senyum bangga. Bukan cuma dua.

🙂

*Picture taken from Keenan’s Fan Page.

A Ship That Never Sinks

Hari ini, saya masuk ke teras rumah mayanya, dan tersenyum membaca guratan terbarunya. Perlahan, airmata saya mengembang. Dan saya tertegun sendiri. Sejak kapan kebahagiaannya menjadi kebahagiaan saya, dan kesedihannya kesedihan saya? Sejak kapan tawanya menjelma menjadi tawa saya, dan lukanya luka saya?

Saya tak pernah tahu. Kami tak pernah sadar. Namun cinta telah memungkinkan segalanya. Dalam persahabatan yang terus tumbuh, jarak hati itu tak lagi ada, meski kami terpisah ruang dan waktu.

Tahun ini adalah tahun kesepuluh kami, dua sosok yang amat berbeda; yang seringkali membuat kami tertawa sendiri karena rentang yang terlampau mencolok justru mampu mengawetkan persahabatan selama satu dekade. Persahabatan yang tak terduga, setelah sekian banyak pertengkaran dan adu mulut yang seolah tiada habisnya. Persahabatan yang dulu kerap dipandang sebelah mata, karena kami tak ubahnya hitam dan putih digandengkan jadi satu.

Perbedaan itu nyata dalam segala hal: usia, warna kulit, selera, karakter, pembawaan. Satu-satunya kesamaan di antara kami barangkali hanya apresiasi terhadap keberadaan satu sama lain; sebuah ikrar tak tersurat yang tersimpan di hati masing-masing untuk saling menyayangi dan menerima apa adanya, meski kejujuran kadang bisa jadi hal paling menyakitkan di dunia.

Dia orang pertama yang hadir ketika Ibu saya meninggal bertahun-tahun silam. Dia menemani saya hampir setiap hari, menyisihkan waktu sepulang kantor dan menunda jam istirahat agar saya punya tempat menuangkan segala sedih dan lelah.

Dia satu-satunya orang yang berkata, “Apapun keputusan yang lo buat, gue bakal tetap jadi sahabat lo,” ketika kawan-kawan saya yang lain ‘gugur’ satu persatu karena tak bisa menerima pilihan saya yang berseberangan dengan keyakinan mereka.

Dia satu dari sedikit sahabat yang saya percayai untuk mendengar segala rahasia yang tak berani saya bagi kepada dunia. Bukan karena petuah sakti maupun wejangan berharganya, namun semata karena ia pendengar yang baik. Dan saya tahu, kepercayaan saya terjaga aman dalam tangannya, begitu pula sebaliknya.

Dia orang pertama yang menerima SMS saya dalam begitu banyak hal, mulai dari tebakan tak penting, lelucon garing, celoteh absurd, diskusi serius, sampai curhat patah hati. Meski saya tak selalu menjawab telepon-teleponnya, nomornya selalu berada di urutan teratas daftar prioritas –berjajar dengan keluarga saya— untuk dihubungi kembali segera setelah saya punya waktu.

Dan dia satu dari sangat sedikit orang yang betul-betul tahu luar dan dalamnya seorang Jenny Jusuf. Bukan karena persahabatan yang terjalin selama satu dekade, melainkan karena keterbukaan untuk saling menerima apa adanya telah memberi ruang yang cukup bagi terciptanya kebebasan dan rasa nyaman.

Kami tak perlu tahu segalanya tentang satu sama lain. Ranah privat itu tak perlu dipangkas. Saling menyayangi tidak lantas menjadi alasan untuk menghakimi dan menjajah area paling pribadi yang sama-sama kami miliki. Pada akhirnya, rasa sayang itu tak lagi mengenal kata ‘karena’, karena tak ada syarat di sana. Dari sanalah persahabatan ini tumbuh. Dari dermaga itulah perahu mungil ini meluncur.

Kini, saat angka itu genap sepuluh, begitu banyak hal telah kami lalui bersama. Hidup membawa kami menempuh jalur masing-masing, dan sebelas digit nomor telepon adalah satu-satunya penghubung kami sekarang. Kendati terbatas, jalur itu tak pernah tertutup. Kendati terpisah, senyum dan cerita itu tak pernah habis untuk dibagi. Dengan cinta, Jakarta-Batam tak terlampau jauh untuk diseberangi.

Persahabatan adalah perahu yang tak pernah tenggelam. Saya tak tahu apakah itu benar. Tapi satu hal yang saya tahu pasti, dari berjuta perahu bernama persahabatan yang ada di dunia, milik kami masih tetap mengapung hingga hari ini. Dan saya mensyukuri setiap detiknya.

Congratulations, Ine. To you. To us. I am so proud.


*Gambar dipinjam dari gettyimages.com