Sadisme

Entri ini buat kamu.

Ya, kamu, yang belum sudi saya sebut namanya sampai sekarang.

Harap camkan ini baik-baik, karena dari semua tulisan yang saya buat, ini akan jadi salah satu yang paling sadis, meski kamu takkan tahu kamulah orangnya.

Saya benci kamu. Sangat. Dan sialnya, bukan karena sesuatu yang pernah kamu lakukan terang-terangan pada saya. Kenapa sial? Karena kalau kamu berbuat jahat terhadap saya, akan jauh lebih mudah bagi saya untuk membencimu setengah mampus dan merancang hal-hal kejam untukmu. Mengirim fotomu ke dukun santet Mencekikmu sampai biru dan megap-megap kehabisan napas, misalnya. Atau menculikmu di tengah malam buta, mengikat kepalamu dengan karung dan membenamkanmu di rawa-rawa sampai namamu cuma tinggal sejarah. Dan orang tak perlu tahu kamu pernah ada.

Saya benci kamu. Sangat. Dan ironisnya, kita malah belum pernah bertatap muka.

Saya benci kamu. Sangat.

Kenapa? Karena kamu telah menghancurkan mimpi-mimpi saya. Dan kamu melakukan itu dengan mudahnya, bahkan tanpa perlu banyak usaha. Kamu tinggal merangkai aksara, dan ketika membacanya, saya remuk berkeping-keping.

Hiperbolis? Tidak. Kamu tahu, saya benar-benar nyaris mengubur semua mimpi saya. Dalam semalam. Dan itu semua gara-gara kamu. Kamu dan rangkaian aksaramu, yang ingin saya abaikan, saya anggap sampah, namun tidak pernah bisa.

Saya benci kamu. Sangat.

Tapi malam ini, saya sadar.

Saya salah.

Bukan karena membencimu (memangnya membenci itu salah? Nggak juga. Yah, setidaknya ‘kan saya mengaku :-P), tapi karena pernah berniat menenggelamkan mimpi-mimpi saya.

Bodoh sekali, kalau dipikir-pikir. Memangnya, kamu siapa? Begitu pentingkah kamu, sampai gara-gara kamu, saya harus kehilangan impian yang sudah saya sirami dan pupuki bertahun-tahun?

Saya masih membenci kamu. Sangat. Tapi, malam ini saya tahu, mimpi-mimpi itu tak perlu terkubur. Impian dan harapan hanya bisa mati dalam hati dan pikiran saya. Selama saya bisa menjaganya, mereka akan terus hidup.

Jadi, dengarkan ini baik-baik. Suatu hari nanti, sayap-sayap ini akan mengepak. Saya akan membubung tinggi. Amati dan tunggu sampai saat itu tiba. Dan saya mengatakan ini bukan untuk membuktikan diri kepadamu (memangnya, kamu siapa, sampai saya perlu membuktikan diri segala?). Saya akan terbang tinggi, karena di situlah tempat saya.

Langit biru tanpa batas itu adalah rumah saya. Dan akan saya kepakkan terus sayap-sayap ini sampai mereka cukup kuat untuk membawa saya terbang tinggi.

Sampai ketemu di atas sana. Dan tolong, belajarlah terbang lebih baik. Karena, siapa tahu, ketika kita bertemu nanti, saya masih ingin membunuh kamu.

*Tanpa bermaksud ikut-ikutan, bagi yang membaca ini dan merasa bisa menebak siapa orangnya (atau mencoba menyangkut-nyangkutkan dengan entri ini), tolong simpan energi Anda. Percayalah, Anda salah.

Merindu Dirinya

Malam ini, usai membaca ini, menelusuri tulisan-tulisan di sini, lalu pindah ke arsip lama ini, mendadak teringat pada seseorang.

Yang senyumnya selalu ngangenin. Yang nasehat-nasehatnya tak pernah membosankan, meski diulang puluhan kali dengan titik-koma sama. Yang suaranya menenangkan. Yang telepon-teleponnya selalu dinanti, walau hanya sekadar bilang, “Lagi ngapain? Jangan makan mie instan terus!”

Malam ini, membongkar hard disk tanpa tujuan, baru saya sadar, saya tak punya fotonya. Sebuah pun. Foto adik, saudara, sahabat, kawan, tetangga, semua ada. Dalam jumlah ratusan. Kecuali dia.

Malam ini, membaca ini, menelusuri tulisan-tulisan di sini, lalu pindah ke arsip lama ini, baru saya sadar.

Saya kangen dia. S a n g a t.

Rambut acakacakannya. Telapak tangannya yang kasar tapi selalu hangat. Kaus belel yang ituitu lagi, meski sudah berkalikali diprotes. Kacamata baca yang gagangnya miring sebelah. Jeans kusam yang bernasib sama dengan kaus-kaus belelnya.

Senyumnya. Binar matanya.

Hanya untuknya, saya ingin selalu punya waktu. Untuk bilang saya sayang dia.

Untuk bilang, sampai kapan pun, apa pun yang terjadi, dia tetap pujaan hati nomor wahid. Jawara yang tak ada bandingannya.

Untuk memberitahu, selalu tersedia sebuah kamar di hati khusus untuknya, tanpa kunci, dan dia boleh datang kapan saja.

I love you, Pa.

Mendadak Pengen Nyanyi ;-)

Siang-siang gini biasanya bawaannya ngantuk. Tapi hari ini (tumben-tumbennya) saya nggak ngantuk. Mungkin efek white coffee yang saya minum tadi pagi — pemberian seorang teman yang tiap hari nanya: “ Udah dicobain belum kopinya?” 😉

Atau, mungkin juga efek dari lagu indah yang mendadak bikin saya kangen. Bukan sama siapa-siapa, tapi sama seorang Sahabat yang beberapa hari ini jarang saya ajak ngobrol saking konsennya menyelesaikan pekerjaan kantor & daily chores *halah, alasaaan!*.

Seriously, seandainya aja saya bisa main gitar, mungkin saya udah gejembrengan dari tadi sambil nyanyi-nyanyi ini:

Kau begitu sempurna
Di mataku Kau begitu indah
Kau membuat diriku akan s’lalu memujaMu

Di setiap langkahku
Ku kan s’lalu memikirkan diriMu
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintaMu

Janganlah Kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamaMu ‘ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku
Oh Sayangku, Kau begitu
Sempurna

Kau genggam tanganku
Saat diriku lemah dan terjatuh
Kau bisikkan kata dan hapus semua sesalku

Janganlah Kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamaMu ‘ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku
Oh Sayangku, Kau begitu
Sempurna

😉

Menunda Impian

Hari ini, saya baru saja melepas sebuah impian. Mimpi untuk bertualang, mencicipi keindahan dunia dan memperkaya hidup.

Ooops, mungkin bukan melepas. Menunda lebih tepat. Tapi, tetap saja saya merasa sebagian diri saya ‘hilang’ ketika memutuskannya.

Saya mengangankan ini selama setahun. Selama itu pula saya membuat perencanaan dan mengkalkulasi dengan cermat. Semua sudah tersedia, yang perlu saya lakukan hanya mengemasi pakaian dan berangkat. Namun kenyataan berkata lain *tsah!*.

Ada masalah yang tiba-tiba muncul. Ada tanggung jawab yang harus saya penuhi. Ada kepentingan-kepentingan yang tidak bisa dihindari.

Berkali-kali saya meyakinkan diri bahwa (akhirnya) semua akan berjalan seperti yang saya inginkan. Persis seperti perencanaan yang saya buat 12 bulan terakhir. Tapi akhirnya saya harus mengaku. Bahwa saya tak dapat menentang fakta. Seperti kata sahabat saya: Reality bites.

Mimpi itu, rencana itu, angan-angan itu… sepertinya harus menunda setahun lagi.

…..

Tidak apa-apa.

Bukankah hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan?

Bukankah hidup harus fleksibel?

Bukankah sesekali hidup harus dibiarkan mengalir?

Tidak ngoyo, melainkan dijalani dengan rasa syukur dan tawakal. Lagipula, bukankah memperkaya hidup itu bisa dimana saja? Semua tergantung perspektif dan cara saya menyikapi realita, setiap hari, setiap detik.

Tidak apa-apa.

…..

…..

Tapi… tetap saja perih itu ada. Aaaaarrggggh.

Pengungsi ;-)

(+) “Bo, elo salah sebut..”
(-) “Apanya?”
(+) “Itu.. ‘Gong Xi’ itu mestinya dibaca ‘Kung Si’, bukannya ‘Kiong Hi’.”
(-) “Ha? Masa sih?”
(+) “Serius. Katanya itu yang betul.”
(-) “Ohh…”
(+) “…”
(-) “Kita emang bener-bener pengungsi, ya?”
(+) “…”

Yup, Imlek tahun ini, saya dan sepupu betul-betul menjadi pengungsi – secara pelafalan aksara Cina maupun harafiah ;-D

Sejak Jum’at lalu saya belum pulang ke rumah, karena banjir setinggi pinggang (sekarang air sudah mulai surut, tapi saya dan keluarga masih mengungsi). Tapi itu masih belum apa-apa –or at least I think so—karena kami masih sempat menyelamatkan barang-barang berharga ke lantai dua. Rumah sepupu saya yang berlantai satu digenangi air setinggi dada dan hampir semua barang berharganya tidak bisa diselamatkan.

Moral of the story?

Nggak ada.

Saya cuma mau titip pesan untuk bapak berkumis baplang yang pernah menggembar-gemborkan janji akan ‘Jakarta yang lebih baik’: Bangsa kita memang kuat, Pak, dan soal ketahanan mental boleh lah diadu dengan bangsa-bangsa lain yang tidak pernah ngerasain banjir setinggi dada sampai kehilangan rumah dan barang berharga, tapi mbok yaaa ooo…

Dan satu lagi, Pak, konon nih yaaa, katanya bakal segera dibangun pusat perbelanjaan (lagi) di salah satu area resapan air di Jakarta Utara. Apa betul?

Mudah-mudahan itu cuma rumor ya, Pak 🙂 Tapi kalau sampai kejadian, sepertinya Perda yang mewajibkan SETIAP rumah di daerah rawan banjir Ibukota memiliki MINIMAL SATU PERAHU KARET sungguh layak dipertimbangkan… 🙂