Memasuki Tahun Ke-24 :-)

Tahun ke-24. Terima kasih, Tuhan.

Lagi dan lagi, tak henti-hentinya saya bersyukur atas semua yang telah saya rasakan dan lalui sepanjang hidup. Atas setiap tetes nikmat dan anugerah yang tidak pernah berhenti tercurah dalam hidup ini. Atas aroma segar tanah sebelum hujan, dan pelangi indah setelah tetes terakhir jatuh ke bumi. Atas hari baru yang dibawa matahari dan embun setiap pagi. Atas kemurahan dan kebaikan Sang Mahabesar yang terjadi dalam tiap detik kehidupan saya, bahkan ketika saya terlalu sibuk untuk menyadarinya. Atas ‘sosok’ Tuhan yang saya jumpai di mana-mana, dan membuka mata hati saya terhadap begitu banyak hal yang sering terlewat dalam cepatnya perputaran roda kehidupan.

Tangan seorang gadis berbaju lusuh yang menjinjing tas kotor dalam bis antarkota yang mengulurkan sekeping rupiah kepada setiap pengamen tanpa terhalang kepapaannya sendiri – itulah tangan Tuhan.

Kerelaan untuk mengabdikan diri di daerah rawan konflik tanpa kompensasi yang memadai; serta kesediaan untuk mengambil dan merawat orang-orang gila yang terbuang untuk menyayangi mereka seperti keluarga sendiri – itulah hati Tuhan.

Cinta seorang Ibu yang rela memberikan nyawa bagi anak-anaknya dan kasih seorang sahabat yang selalu menerima dan mendukung tanpa mengharap pamrih sekejap pun – itulah cinta Tuhan.

Pelangi yang muncul setelah hujan dan mencerahkan Bumi dengan warna-warna indah, bunga yang tumbuh dan mekar setiap hari, sinar mentari yang menghangatkan tubuh dan setia terbit di ufuk, tetes-tetes embun di pucuk daun yang menjadi pertanda datangnya hari baru; itulah kebesaran Tuhan, dan masih banyak lagi ‘sifat-sifat’ Tuhan yang saya temukan setiap hari, dalam berbagai peristiwa dan individu.

Sahabat Mahakeren dan Kekasih Mahabaik yang selalu membuat saya jatuh cinta dengan kasih yang tidak terbatas, tangan yang selalu terulur memberi kekuatan (dan tidak pernah sekejap pun meninggalkan saya, bahkan saat saya berada pada ‘titik terendah’ hidup saya) — itulah Tuhan, bagi saya. Yang berkali-kali membuat saya jatuh cinta. Yang membuat saya mengerti bagaimana menjalani hidup. Yang menguatkan dan selalu menopang, sampai saya dapat berjalan tanpa terjatuh (dan ketika saya tersandung, lagi-lagi Dia ada di sana).

Terlalu sederhana? Mungkin iya 🙂 Yang pasti, saya bersyukur bahwa hati ini masih bisa terus merasakan cinta-Nya, yang akhirnya menjadi mutiara yang membingkai jiwa saya.

Saya bersyukur bahwa mata ini masih dapat menilik kebesaran-Nya yang tersembunyi dalam alam semesta dan sering kali luput dari perhatian.

Saya bersyukur bahwa kepingan jiwa ini masih mampu mengapresiasi makna kebaikan sebelum menjatuhkan penilaian terhadap sesama, dan masih mampu melihat garis keperakan pada setiap awan gelap yang menunjukkan secercah harapan dalam kemustahilan.

Saya bersyukur saya masih bisa belajar dari hal-hal sederhana yang ditawarkan kehidupan, detik demi detik.

Saya bersyukur bahwa kini saya mengerti arti ‘bijaksana’ melebihi tahun-tahun sebelumnya, di mana saya hanya melihat kehidupan dari balik lensa berwarna. Lebih dari saat-saat ketika saya hanya menganalisa dengan subyektif, sementara hidup ini begitu kaya warna.

Lebih dari segalanya, saya bersyukur bahwa saya terus bertumbuh bersama kehidupan. Tidak berlari, melainkan melangkah setapak demi setapak sambil menikmati keindahan di sepanjang jalan. Merengkuh keyakinan saya erat-erat sambil tetap membuka mata dan hati, karena bagaimanapun, hidup tidaklah terdiri dari hitam dan putih belaka.

Tahun ke-24.

Terima kasih, Tuhan. Untuk selalu berada di sisi saya. Untuk selalu menguatkan dan memberi yang terbaik bagi saya. Terima kasih buat cinta yang tidak pernah berhenti menghangatkan hati dan anugerah yang selalu tercurah, yang memampukan saya untuk menilik hidup dengan bijak dan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Dan yang terpenting, terima kasih karena telah mengajarkan saya tentang cinta, dengan mencintai saya seutuhnya sehingga saya bisa membagikan cinta yang sama kepada orang-orang lain — tanpa tersekat perbedaan. Semoga proses belajar itu tak pernah berhenti… 🙂

Buon Compleanno!

Hari ini, persis setahun yang lalu, saya mulai ‘aktif’ di blogosphere, menjadi satu dari sekian ribu blogger di Indonesia (belum bisa ngomong ‘juta’, soalnya target belum tercapai — bukan begitu, Panitia? *wink-wink*). Terinspirasi ini dan ini, saya mulai menulis entri saya yang pertama. Yayaya, saya memang suka ikut-ikutan, so what? 🙂

Entri ini nggak penting, tapi buat saya penting. Ulang tahun pertama selalu paling berkesan, toh?

🙂

Untuk para bloghopper yang sudah meluangkan waktu untuk mampir dan mengintip blog ini –baik silent reader maupun yang merespon lewat comment box dan emailterima kasih banyak. Dukungan dan masukan kalian besar banget artinya buat saya. Tahu nggak, saya sering banget membaca ulang komentar di blog dan e-mail, dan komen-komen tersebut selalu menyemangati saya untuk tetap menulis saat saya merasa nggak PD. Terima kasih karena telah menjadi energy booster buat saya, jauh melebihi yang dapat kalian bayangkan.

Jadi, selamat ulang tahun, blog tersayang. Semoga ke depannya saya bisa terus mengisi halaman demi halaman dengan hal-hal yang berguna, di samping ngomel-ngomel curhat colongan tentunya. 🙂

Ti amo!

Bener-Bener Bosen

Pernah nggak merasa bosen BERAT pada pekerjaan rutin yang sudah dijalani selama kurun waktu tertentu?

Saya pernah. Dan nyebelinnya, sekarang juga sedang.

Saya ingat banget, waktu awal-awal bekerja, saya sangat bersemangat karena merasa menemukan tantangan baru (di samping mendapat aktivitas yang membebaskan saya dari perasaan sumpek akibat kelamaan jadi pengangguran). Saking semangatnya, saya nggak keberatan nginep berhari-hari di kantor demi menyelesaikan pekerjaan, malah saya sempat, lho, mikir, “Ini office hour-nya kok cepet amat, ya? Mestinya dipanjangin nih.”

*Tsah* 🙂

Setelah 3 bulan, perasaan ‘terbiasa’ itu mulai datang, tapi saya cuek dan tetap menjalani pekerjaan seperti seharusnya. Masuk bulan ketujuh, saya mulai gelisah mirip cacing dituangin garam (belum pernah liat? Coba deh, tapi dikit aja, kasian cacingnya, hehehe). Semua yang awalnya begitu menyenangkan dan penuh tantangan sekarang tidak lebih dari rutinitas yang harus diselesaikan tepat waktu. Bulan kedelapan sampai keduabelas, saya mulai gampang uring-uringan di kantor. Bosen kuadrat pangkat tiga dikali lima.

… sampai akhirnya atasan saya mempercayakan sebuah proyek yang cukup besar untuk saya tangani.

JRENG–JRENGGG…

Semangat yang tadinya redup –kayak bohlam 5 watt yang udah mau putus- lantaran kurang pasokan listrik mendadak berkobar-kobar lagi. Saking semangatnya dengan proyek baru ini, saya sampai nggak tidur berhari-hari, memikirkan segala macam hal dan merancang semua detil, sampai sekecil-kecilnya.

Proyek itu memakan waktu sekitar 1,5 bulan. Setelah selesai, beberapa teman melontarkan pujian, karena konon proyek serupa pernah dipercayakan kepada seorang (mantan) staff dan butuh setahun (!) untuk menyelesaikannya. Setelah larut dalam euforia selama beberapa minggu, perasaan familiar durjana itu lagi-lagi menyerang, dan saya kembali dilanda kejenuhan akut.

Akhirnya saya memberanikan diri mengajukan ide kepada atasan untuk melakukan inovasi pada job description, yang –edannya- disetujui. Sambil mikir, “Giling ih, ternyata gue mantep juga,” saya keluar dari ruangan beliau dengan cengiran lebar. Semuanya kembali terasa menyenangkan dan menggairahkan. Saya bekerja seperti kelinci kebelet beranak selama beberapa bulan…

…dan bosan lagi (!!!).

Buseeeeeet.

Dengan memasrahkan diri pada kehendak Yang Di Atas, saya pun kembali nekat mengetuk kantor pimpinan.

Usul diterima, dan saya bergembira ria.

Itu terjadi beberapa minggu lalu, ketika saya keluar dari ruangan atasan sambil siul-siul senang.

Sekarang?!

Udah jenuh LAGI…!

Alamaaak… TOBATTT!!!

MAYDAY, MAYDAY… Help me please!

*suntuk mode: on (kali ini nggak bisa di-off-in, tombolnya lagi rusak)*

*sigh*

By the way, kalau ada yang ngerasa inisial judul entri ini mirip nama grup musik atau film tertentu, emang sengaja, kok *wink wink*.

The Pursuit of Happiness

Setelah sekian lama mendengar cerita tentang film ‘The Pursuit of Happyness’ dan tergiur menyaksikan akting Will Smith yang konon katanya ‘the best ever’, akhirnya saya berhasil nonton film ini. *deuuu, bangga..* 🙂

Pendapat saya tentang ‘The Pursuit of Happyness’?

Sejujurnya, tidak banyak. Dan saya juga memilih untuk tidak terburu-buru mencantumkannya dalam daftar film favorit di Friendster *wink*.

Alasannya?

Well.. mungkin pandangan saya tentang arti kebahagiaan sedikit berbeda. Entah benar entah salah, namun bagi saya kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dikejar seperti Will Smith (atau Chris Gardner) memperjuangkannya.

Entah hidup dengan harta berlimpah atau melarat setengah mati, sehat walafiat atau terbaring di rumah sakit, bisa makan di restoran mewah atau makan nasi-kerupuk, tinggal di rumah jutaan dolar atau di penginapan sederhana yang bayarnya pakai ngutang, menikah dengan eksmud super-tampan lagi baik budi dan tidak sombong atau masih single di usia ‘kepala dua lari-lari’; menurut saya, kebahagiaan tidak ditentukan oleh itu semua.

Saya menonton film tersebut sampai habis, dan mendadak teringat pada sebaris kalimat yang dituliskan seorang teman beberapa waktu lalu. Kalimat yang sangat sederhana, namun lebih dari cukup untuk merangkum makna kebahagiaan secara utuh (dan menohok hati saya).

“Kebahagiaan tidak perlu dikejar, karena kebahagiaan timbul dari hati dan pikiran yang senantiasa bersyukur.”

Teman saya bukan ahli filsafat, seniman besar, sastrawan terkenal, pun pembuat film kondang.

Tapi bagi saya, ia telah berhasil menyampaikan arti kebahagiaan melebihi yang dapat diuraikan oleh siapa pun. 🙂