Cinta dalam Diam

“Jantungmu berdebar keras sekali.”

Bisikan itu halus, tapi efeknya luar biasa. Ia menelan ludah yang terasa getir, seratus persen sadar bahwa jantungnya baru saja berkhianat. Membongkar rahasia yang mestinya ditutup rapat. Tapi siapa yang bisa disalahkan, kalau kulit mereka cuma terpisah lapisan baju?

Berdebar keras, katanya. Masih bagus jantungnya tidak meloncat keluar dan menggelepar di lantai. Cinta yang dipaksa diam justru paling sulit diredam. Tak percaya? Silakan coba sendiri.

Gadis itu jatuh cinta. Pada pandangan pertama. Kendati seluruh sendi tubuhnya dan setiap sel otaknya membantah konsep cinta pada pandangan pertama. Cinta tak muncul begitu saja seperti hujan di siang bolong, yang mengguyur tiba-tiba tanpa kenal waktu, membuat orang basah kuyup dan ibu-ibu berdaster lari pontang-panting menyelamatkan jemuran. Demikian ia selalu percaya.

Cinta pada pandangan pertama tak ada dalam kamusnya, dan tak bakal jadi penghuni sah di sana. Lucunya, ia sendiri tak tahu mengapa. Barangkali karena cinta pada pandangan pertama menandakan cinta tanpa syarat. Kau tak perlu tahu banyak untuk jatuh cinta. Kau tak menganalisa untuk terjun bebas. Kau tak perlu ini-itu; hatimu sekadar jatuh. Cinta seperti itu cuma ada di negeri dongeng. Cinta yang tak riil dan tak punya masa depan. Cinta yang kalau pun ada, cuma jatahnya remaja.

Laki-laki yang pernah dekat dengannya mulai dari pemilik restoran nomor satu, desainer kawakan, produser, banker, serta nama-nama yang kerap dijumpai di layar kaca. Hanya satu-dua yang sanggup membuatnya meletakkan hatinya di meja judi. Lelaki satu ini datang dengan sandal jepit, kaus tanpa lengan, kulit legam terbakar matahari, dan segala pertahanannya runtuh dalam sekejap. Cinta bukan cuma tak kenal logika, tanpa segan dibuatnya kau gila.

Barangkali sebabnya sederhana saja. Lelaki itu punya mata paling indah di dunia. Jendela jiwa yang lewatnya kau bisa mengintip sekilas derita dan luka, asa dan cinta, tawa dan angkara, dan tak ada yang lebih indah dari sepasang mata yang jujur memberitahu semua.

“Kamu masih berdebar-debar.”

Lidahnya kelu. Susah payah diaturnya napas supaya gugupnya tak terlalu kentara.

Lelaki itu tak perlu tahu. Bahwa setiap ia menyentuhnya, disengaja atau tidak, seluruh engselnya seperti lumpuh. Otot-ototnya kehilangan fungsi. Bahwa gerakan sekecil apa pun sanggup membuat jantungnya mencelat. Bahwa seluruh dunianya mengabur, mengecil, menyempit, dan setiap kali lelaki itu hadir, ia menguasai semestanya. Tanpa perlu berbuat apa-apa.

Ia tak paham kenapa seseorang yang begitu sederhana bisa punya daya yang begitu besar untuk mengacak surga kecilnya—tempat segala sesuatu berjalan teratur, tertata, terencana. Satu tatapan dan ia jatuh. Betulkah? Bahkan Lucifer perlu menarik sepertiga malaikat untuk memporakporandakan surga.

Yang ia tahu, lelaki itu membuatnya tak lagi ingin berlari. Cinta yang lama dijauhi kini dihadapinya dengan pasrah dan berserah. Pada apa pun yang dijatahkan untuknya. Berkah atau kutuk. Bahagia atau sengsara. Senang atau malang. Meski ganjarannya tak mudah; setiap pertemuan butuh upaya ekstra keras untuk meredakan degup jantung dan menyembunyikan semburat salah tingkah. Biarpun dadanya sesak menahan ngilu setiap kali mata mereka bertemu. Cinta yang ditahan bisa menghilangkan kewarasan, namun ia sungguh tak punya pilihan.

Biarlah peluknya mengungkap semua. Karena cuma itu yang ia bisa.

“Kamu salah tingkah lagi,” lelaki itu menatapnya. Lengan-lengan mereka akhirnya berpisah.

“Mukamu merah seperti tomat,” ia berkilah cepat.

Lelaki itu tak perlu tahu. Barangkali suatu hari ia akan menulis surat cinta yang cuma bakal dilarung di laut atau sungai. Cintanya bukan untuk diumumkan. Cintanya terlalu sederhana sekaligus terlalu megah untuk jadi kenyataan, kendati yang diperlukan cuma sebaris

“Saya sayang kamu.”

JJ

Pulang

Kartono baru menyelesaikan doanya ketika telepon di ruang tengah berdering. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan dan bangkit, namun dering itu keburu terputus. Sayup-sayup terdengar suara Ahdiyat.

Kartono melipat sarungnya. Keningnya berkerut mendengar suara Ahdiyat yang meninggi, seperti sedang berdebat. Saat ia keluar, Ahdiyat sedang duduk termangu di sofa usang di samping meja telepon.

“Itu tadi Pak RT,” jelas Ahdiyat tanpa diminta. “Kita diperingatkan supaya Minggu besok tidak berkumpul, atau tanggung sendiri akibatnya.”

Kartono memijat keningnya yang tidak sakit. Peringatan ini sudah yang ketiga kalinya. Terlalu banyak dalam satu bulan.

“Bapak sudah tahu?” Kartono menuang air es ke gelas beling, memberikannya pada Ahdiyat.

Ahdiyat meneguk air itu dan ketegangan di wajahnya berangsur reda. “Belum. Nantilah.”

Kartono dan Ahdiyat adalah mantan pengangguran, perantau dari Jawa Timur yang nyaris jadi gelandangan andai Pak Sugeng, pemuka agama yang dihormati di kampung itu, tidak menawari mereka bermalam di rumahnya dan membolehkan mereka tinggal di sana sampai mendapatkan pekerjaan. Bahkan setelah Kartono dan Ahdiyat memperoleh pekerjaan, Sugeng dan Rahmi, istrinya, mencegah mereka pergi dari rumah itu karena sudah kadung menganggap mereka anak sendiri.

Kartono pernah menanyakan soal itu kepada Sugeng. Kenapa mereka dilarang berkumpul dan beribadah di tanah mereka sendiri—lebih buruk lagi, rumah mereka sendiri.

Sugeng menatapnya sambil tersenyum, tapi Kartono belum pernah melihat wajahnya sesuram itu.

“Karena kita dianggap sesat.” Penjelasan itu rasanya tak cukup, tapi Kartono tak berkata apa-apa lagi.

Malam itu, meja makan terasa lebih sunyi dari biasanya. Mereka bersantap dalam diam.

“Jadi Minggu besok tidak ada ibadah, Pak?” Kartono memecah kesunyian.

Sugeng menghentikan suapannya. Semua mata tertuju pada pria setengah baya itu. Kartono baru menyadari betapa wajah lelaki yang sudah dianggapnya ayah sendiri itu kini dihiasi kerutan yang membuatnya tampak jauh lebih tua.

“Kita tetap berkumpul dan beribadah seperti biasa,” jawab Sugeng, “tapi kalau kalian ndak mau ikut, ndak apa.”

“Pak, Bapak tahu kami nggak akan ke mana-mana,” tegas Ahdiyat.

Sugeng tersenyum dan meneruskan suapannya.

Jemaah yang hadir minggu itu tak sebanyak biasanya. Sugeng berdiri dan menyampaikan ceramah dengan suaranya yang jernih dan tenang. Ahdiyat dan Kartono duduk di depan. Di dapur Rahmi sibuk menyiapkan jajanan pasar dan teh yang akan dinikmati bersama usai ibadah.

Semua berjalan seperti biasa. Hingga terdengar derap kaki disertai teriakan dari kejauhan. Riuh yang mendekati rumah kecil tempat mereka berkumpul.

“Cepat! Cepat!”

“Itu rumahnya! Mereka semua di sana!”

Jemaah berpandang-pandangan dengan bingung. Sugeng menghentikan ceramahnya. Ahdiyat yang pertama bangkit. Ia berjalan ke jendela dan menyibak tirai. Wajahnya seketika mengeras.

“Kita diserbu.”

Jemaah serentak bangkit. Mereka berebut melihat melalui jendela. Kerumunan orang semakin dekat. Teriakan semakin jelas terdengar dan dari jendela kusam itu tampak benda-benda yang berada di tangan mereka; parang, bambu, kelewang. Ketenangan musnah sudah.

Sugeng mengangkat tangannya.

“Jangan panik. Kita harus tetap tenang. Kartono, buka pintu belakang. Kita keluar lewat belakang. Jangan ribut.”

Dengan sigap Kartono melakukan perintah itu. Sebagian jemaah langsung mengikutinya, keluar lewat pintu belakang yang menghadap sawah dan melarikan diri secepat yang mereka bisa. Sebagian jemaah masih berkerumun dekat jendela, seperti terbius menyaksikan arak-arakan manusia yang kian dekat, mengacungkan senjata dengan penuh amarah.

“Jangan sampai ada yang lolos! Kepung kafir-kafir itu!”

“Tumpas semuanya! Binasakan!”

“Singkirkan kesesatan! Tolak kemaksiatan!”

“Pak, ayo cepat kita pergi,” Rahmi menarik tangan suaminya. Suaranya bergetar.

“Kamu duluan saja, sama Ahdiyat dan Kartono. Saya pergi kalau semua sudah keluar,” Sugeng menjawab tenang.

“Aku ndak akan ninggalin Bapak,” isak Rahmi, mendekap lengan Sugeng dengan kedua tangan seperti anak kecil memohon pada ayahnya. Sugeng memeluk istrinya. Tidak tersirat takut di wajah itu. Yang tampak hanya kesedihan.

Ahdiyat dan Kartono berhasil mengeluarkan semua orang dari rumah. Mereka merangkul Sugeng dan Rahmi, berjalan secepatnya ke belakang. Terdengar derakan keras disusul suara kaca pecah. Pintu terbentang lebar.

“Mereka kabur!”

“Itu pimpinannya!!”

“Kejar! Tangkap! Bunuh!!”

Kartono tak pernah merasa setegang itu. Lengannya yang merangkul kuat bahu ringkih Sugeng—yang menggandeng Rahmi yang kini tersedu-sedu—bagai mati rasa. Ahdiyat merangkul mereka dari belakang, menggunakan tubuhnya sebagai tameng.

“Itu mereka! Di sawah! CEPAT! KEJAR!”

Puluhan—tidak, ratusan—orang berjubah dan berkopiah putih berlari ke arah mereka. Parang dan bambu teracung ke udara.

“ANJING!” Bertahun-tahun mengenalnya, baru kali itu Kartono mendengar Ahdiyat berserapah.

Untuk pertama kali seumur hidupnya, ia merasakan ketakutan yang begitu hebat. Sekaligus kepasrahan luar biasa.

“Tangkap! Hajar! BASMI!!”

“Binasakan orang kafir!”

“BUNUH!!”

Tarikan kuat di kerah bajunya membuat Kartono terjungkal. Rangkulannya terlepas. Terdengar jeritan Rahmi.

Sesuatu yang keras menghantam kepalanya. Dan punggungnya. Terdengar suara berderak, tulang-tulang yang patah. Kartono tersungkur. Semua menjadi gelap.

* * *

Kartono membuka mata perlahan. Setengah linglung ia berusaha mengumpulkan kesadaran. Ia mengerjapkan mata dan ingatannya berangsur pulih.

Orang-orang berjubah dan berkopiah. Bambu, batu, kelewang, dan parang.

Apakah mereka sudah pergi?

Tidak, belum. Teriakan-teriakan itu masih membahana.

Kartono tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tubuh-tubuh bergelimang lumpur itu tergeletak tanpa nyawa. Darah menggenang di tanah dan rerumputan. Pemandangan itu mengingatkannya pada hari raya kurban, namun kali ini, yang dipersembahkan adalah manusia.

Kartono tak sanggup berbicara. Tubuhnya seperti beku. Hanya matanya yang terus merekam apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Sugeng, Rahmi dan Ahdiyat tak terlihat. Barangkali mereka berhasil selamat. Barangkali Ahdiyat berhasil membawa mereka kabur. Semoga mereka semua aman.

Kartono merasa seseorang mendekatinya. Ia menoleh. Seseorang berjubah putih berdiri di sampingnya. Ia tak mengenakan kopiah. Sorot matanya ramah.

Sosok berjubah putih itu tersenyum, mengulurkan tangan. Kartono menatapnya dan menyambut tangan itu. Tanpa perlu diberitahu, ia tahu ke mana mereka akan menuju. Pulang.

Sosok itu berbalik. Kartono mengikutinya. Sebelum beranjak, ia menyempatkan diri menoleh ke belakang untuk terakhir kali. Ke bawah pohon akasia tempatnya membuka mata.

Di sana, sekelompok orang berjubah dan berkopiah mengerumuni tubuhnya. Menghantamkan batu sebesar nampan ke kepalanya. Darah muncrat. Orang-orang itu berteriak menyerukan nama Tuhan yang juga ia sembah.

—–

Jakarta, 7 Februari 2011. Sebagai tanda belasungkawa atas mereka yang pergi demi nama Tuhan.

Cerita Gadis

Gadis duduk di sudut tempat tidur, bergelung serupa bola. Di sekitarnya, bola-bola putih tersebar di atas kasur, bantal, lantai.

Gadis mengambil dua lembar tisu sekaligus dan membersit cairan dari hidungnya. Kepalanya pening dan ia baru sadar, sedari pagi perutnya belum terisi makanan. Hanya beberapa butir cokelat warna-warni yang kemarin dibelinya di toko kecil serba ada. Namun ia tak peduli.

Kalender di sisi meja rias penuh coretan merah. Kalender yang nyaris disobek-sobeknya namun urung mengingat akhir tahun masih lama dan ia tak punya kalender cadangan. Kalender tempat ia menghitung bulan, minggu, hari demi hari, menuju sebuah tanggal keramat.

Ulang tahunnya.

Sekaligus tanggal perjumpaannya dengan Lelaki.

Pria yang telah mengisi hidupnya satu tahun terakhir. Yang sudah ratusan kali menjadi alasannya menangis dan membenci hidup. Pria yang dicintainya setengah mati, yang meninggalkannya setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.

Pria yang berjanji menghadiahinya makan malam sebagai peringatan satu tahun perjumpaan mereka. Pria yang menghilang sebulan sebelum tanggal itu tiba, lenyap seperti direnggut angin, membawa hatinya, menyerpih jiwanya.

Berhari-hari, Gadis bagaikan lumpuh. Teman-temannya mulai menyadari perbedaan pada dirinya.

“Kamu kurus sekali sekarang, Dis?”

“Ah, masa sih?” Gadis menjawab ceria, berharap mereka tak menyadari redup matanya. Tak semua orang perlu tahu.

Hari berlalu lambat.

Gadis tak lagi bisa membedakan kekuatan yang membuatnya mampu bangun setiap pagi dan menjelang hari dengan senyum—penyangkalan, perih yang ditutup-tutupi, atau tanda kesiapan bahwa ia bisa meneruskan hidupnya tanpa dibayang-bayangi Lelaki?

Jika itu tanda, mengapa air matanya masih turun setiap malam? Mengapa perih membuatnya menghabiskan lagi setengah pak tisu di tempat tidur, bergelung seperti anak kesakitan dan membuat amarahnya bergolak hingga nyaris dilemparnya benda-benda ke dinding?

Nada dering yang tak asing menggugah kesadarannya. Nada dering itu dipasang khusus untuk orang-orang terdekat—keluarga, sahabat dan siapa lagi kalau bukan Lelaki.

Jantungnya berdetak cepat.

Mungkinkah itu Lelaki?

Mungkinkah nuraninya tergugah?

Mungkinkah ia menelepon untuk mengucapkan maaf, atau sekadar menyapa?

Sigap, Gadis meraih benda mungil seukuran tak lebih dari telapak tangan itu.

Di seberang sana terdengar isak tangis.

Jantungnya bagai membeku.

Isak tangis itu semakin keras. Gadis menggenggam telepon dengan hati tak karuan.

Sahabatnya, seorang perempuan, baru saja kehilangan bayinya. Sepuluh menit lalu dokter meninggalkan kamar rumah sakit tempatnya berbaring dengan sebuah vonis: bayi mungil mereka tak lagi punya denyut nadi. Lilitan tali pusar di lehernya telah mengambil nyawanya.

Delapan bulan usia janin itu, siap menjenguk dunia, yang harus pergi hanya beberapa hari sebelum ulang tahun ibunya. Hadiah paling berharga yang sudah dinanti-nantikan itu kini harus direlakan, entah bagaimana caranya.

Gadis tergugu. Tak sepatah kata pun sanggup terucap.

Embun hangat jatuh pelan-pelan. Menyusuri pipinya. Menderas, jatuh ke pangkuan.

Mendadak, perihnya lenyap tak tersisa. Mendadak, yang ia inginkan hanya berlari, secepat kedua kakinya sanggup membawa, atau terbang sekalian kalau bisa, ke sisi sahabatnya untuk memeluk dan menggenggam tangannya.

Mendadak, segala kalut dan sengsaranya tak lagi punya arti.

Mendadak, Gadis tersadar.

Barangkali, air matanya malam ini, adalah cara Semesta memberitahu.

—–

Jarak

Sinar keemasan sudah menerobos dari tadi, tak mampu dibendung tirai coklat yang menjuntai sampai lantai.

Kamu menggeliat. Bisa kudengar desahanmu karena punggung kita cuma terpaut belasan senti. Desah panjang pertamamu di pagi hari.

“Jam berapa?” kamu bergumam. Separuh nyawamu masih di dunia lain. Aku tak menyalahkan. Semalam memang cukup melelahkan.

Aku sudah bangun satu jam lalu, menatapi ruangan gelap yang perlahan menjadi terang.

* * *

Tidak satu hari pun berlalu tanpa kucoreti angka-angka di kalender yang tergantung di kamar. Setiap hari kuhitungi jarak ke pertemuan berikutnya di mana aku bisa menatapmu, mendekapmu, dan merasakan hangat napasmu di leherku. Tubuhku yang telanjang. Jiwaku yang merindu.

Tak satu hari pun kulewatkan tanpa mengingatmu. Sekadar menyebutkan namamu dalam hati, atau tersenyum saat melewati foto dalam pigura di meja kopi. Foto yang kerap kau protes, “Taruh di kamar aja lah, Say. Nggak enak kalau kelihatan orang.”

“Cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda,” itu yang sering kau bilang. Dan aku setuju.

Kau kemari setiap bulan untuk memuaskan yang kedua.

Payudara kanan istrimu tak mampu lagi merasa. Pengangkatan dan implantasi telah mengubah segalanya. Mengubah hidupnya, dan pernikahan kalian. Tubuh ringkihnya sudah menggemuk sejak pertemuan pertama kita di lorong rumah sakit empat bulan silam, namun semuanya memang tak pernah sama lagi.

Penyakit itu muncul setahun yang lalu. Jam-jam panjang penuh duka, air mata, rintihan dan keluhan terlalu lama menderamu. Mengurasmu. Kini ia kembali ke sisimu. Tempat tidurmu tak lagi terlalu luas, namun ada jarak lain yang lebih sukar diseberangi.

* * *

Setiap bulan kita mengulangi ritual yang sama.

Kau akan muncul di apartemen ini, mendekapku erat dan mengatakan betapa rindunya kau padaku. Aku akan tersenyum dan membuka sebotol anggur yang tak pernah absen tersedia di meja makan.

Kau akan bercerita, kadang dengan kelelahan di wajahmu, kadang dengan senyuman. Tentang pekerjaanmu, tentang anak-anakmu. Si Sulung yang mulai menyesuaikan diri di sekolahnya yang baru. Si Bungsu yang sudah lincah dan tidak bisa duduk diam barang semenit. Dan, kadang, tentang istrimu. Aku akan mendengarkan dengan antusias. Cerita-ceritamu selalu menarik, dan yang terpenting, kau membaginya denganku.

Sambil bercerita, sesekali kau melirik telepon genggam.

Kau tak pernah meninggalkan benda itu barang sekejap. Satu meter maksimal jaraknya darimu, bahkan ketika kita sedang memadu nafsu. Teleponmu akan berdering minimal satu kali, pada waktu yang nyaris selalu sama. Sikapmu biasa-biasa saja, namun tak bisa kau bohongi gerak gesitmu saat nada dering yang kau pasang khusus untuknya berbunyi, dan tak bisa kau pungkiri betapa tuturmu menghalus saat berbicara dengannya. Betapa matamu berbinar penuh cinta meski kalian tidak sedang bertatapan.

“Aku masih meeting. Tidurlah. Besok aku pulang,” demikian ucapmu selalu. Diakhiri dengan tiga kata yang memang menjadi jatahnya. Yang sudah kau ukir di hatimu sebelum kau memintanya mendampingimu seumur hidup.

Kau menutup telepon dan meletakkannya di meja kecil di sisi tempat tidur agar mudah dijangkau. Lalu kau merengkuhku, menciumku. Aku mendekapmu, membiarkanmu beristirahat, merasakan desah napasmu di pundakku yang telanjang. Napasmu yang perlahan memburu.

Selama beberapa jam berikutnya, kau menjadi milikku sepenuhnya. Selama itu pula, cuma aku yang ada di pikiranmu. Bukan pekerjaanmu. Bukan anak-anakmu. Bukan dia. Cuma namaku yang akan kau sebutkan, cuma harumku yang akan kau hirup, bercampur dengan erangan dan peluh yang menetes. Beberapa jam yang rela kutukar dengan mencoreti kalender setiap hari, dengan menyebut namamu, dengan memandangi fotomu.

30 hari yang kadang bagai neraka, namun takkan kutukar dengan apa pun.

30 hari yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan beberapa jam keberadaanmu di sini. Meskipun setelahnya kau membalikkan badan dan tertidur pulas, membiarkanku terjaga sendirian. Meskipun esoknya kau tergesa-gesa meninggalkan kamar ini untuk mengejar pesawat terpagi.

Cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda. Kau datang ke sini setiap bulan untuk memenuhi yang kedua, lalu kau akan pulang untuk memberikan cinta pada dia yang menunggumu.

Dan sejauh itulah jarak yang bisa kuarungi untuk pulang ke hatimu.

Jarak

Sinar keemasan sudah menerobos dari tadi, tak mampu dibendung tirai coklat yang menjuntai sampai lantai.

Kamu menggeliat. Bisa kudengar desahanmu karena punggung kita cuma terpaut belasan senti. Desah panjang pertamamu di pagi hari.

“Jam berapa?” kamu bergumam. Separuh nyawamu masih di dunia lain. Aku tak menyalahkan. Semalam memang cukup melelahkan.

Aku sudah bangun satu jam lalu, menatapi ruangan gelap yang perlahan menjadi terang.

* * *

Tidak satu hari pun berlalu tanpa kucoreti angka-angka di kalender yang tergantung di kamar. Setiap hari kuhitungi jarak ke pertemuan berikutnya di mana aku bisa menatapmu, mendekapmu, dan merasakan hangat napasmu di leherku. Tubuhku yang telanjang. Jiwaku yang merindu.

Tak satu hari pun kulewatkan tanpa mengingatmu. Sekadar menyebutkan namamu dalam hati, atau tersenyum saat melewati foto dalam pigura di meja kopi. Foto yang kerap kau protes, “Taruh di kamar aja lah, Say. Nggak enak kalau kelihatan orang.”

“Cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda,” itu yang sering kau bilang. Dan aku setuju.

Kau kemari setiap bulan untuk memuaskan yang kedua.

Payudara kanan istrimu tak mampu lagi merasa. Pengangkatan dan implantasi telah mengubah segalanya. Mengubah hidupnya, dan pernikahan kalian. Tubuh ringkihnya sudah menggemuk sejak pertemuan pertama kita di lorong rumah sakit empat bulan silam, namun semuanya memang tak pernah sama lagi.

Penyakit itu muncul setahun yang lalu. Jam-jam panjang penuh duka, air mata, rintihan dan keluhan terlalu lama menderamu. Mengurasmu. Kini ia kembali ke sisimu. Tempat tidurmu tak lagi terlalu luas, namun ada jarak lain yang lebih sukar diseberangi.

* * *

Setiap bulan kita mengulangi ritual yang sama.

Kau akan muncul di apartemen ini, mendekapku erat dan mengatakan betapa rindunya kau padaku. Aku akan tersenyum dan membuka sebotol anggur yang tak pernah absen tersedia di meja makan.

Kau akan bercerita, kadang dengan kelelahan di wajahmu, kadang dengan senyuman. Tentang pekerjaanmu, tentang anak-anakmu. Si Sulung yang mulai menyesuaikan diri di sekolahnya yang baru. Si Bungsu yang sudah lincah dan tidak bisa duduk diam barang semenit. Dan, kadang, tentang istrimu. Aku akan mendengarkan dengan antusias. Cerita-ceritamu selalu menarik, dan yang terpenting, kau membaginya denganku.

Sambil bercerita, sesekali kau melirik telepon genggam.

Kau tak pernah meninggalkan benda itu barang sekejap. Satu meter maksimal jaraknya darimu, bahkan ketika kita sedang memadu nafsu. Teleponmu akan berdering minimal satu kali, pada waktu yang nyaris selalu sama. Sikapmu biasa-biasa saja, namun tak bisa kau bohongi gerak gesitmu saat nada dering yang kau pasang khusus untuknya berbunyi, dan tak bisa kau pungkiri betapa tuturmu menghalus saat berbicara dengannya. Betapa matamu berbinar penuh cinta meski kalian tidak sedang bertatapan.

“Aku masih meeting. Tidurlah. Besok aku pulang,” demikian ucapmu selalu. Diakhiri dengan tiga kata yang memang menjadi jatahnya. Yang sudah kau ukir di hatimu sebelum kau memintanya mendampingimu seumur hidup.

Kau menutup telepon dan meletakkannya di meja kecil di sisi tempat tidur agar mudah dijangkau. Lalu kau merengkuhku, menciumku. Aku mendekapmu, membiarkanmu beristirahat, merasakan desah napasmu di pundakku yang telanjang. Napasmu yang perlahan memburu.

Selama beberapa jam berikutnya, kau menjadi milikku sepenuhnya. Selama itu pula, cuma aku yang ada di pikiranmu. Bukan pekerjaanmu. Bukan anak-anakmu. Bukan dia. Cuma namaku yang akan kau sebutkan, cuma harumku yang akan kau hirup, bercampur dengan erangan dan peluh yang menetes. Beberapa jam yang rela kutukar dengan mencoreti kalender setiap hari, dengan menyebut namamu, dengan memandangi fotomu.

30 hari yang kadang bagai neraka, namun takkan kutukar dengan apa pun.

30 hari yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan beberapa jam keberadaanmu di sini. Meskipun setelahnya kau membalikkan badan dan tertidur pulas, membiarkanku terjaga sendirian. Meskipun esoknya kau tergesa-gesa meninggalkan kamar ini untuk mengejar pesawat terpagi.

Cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda. Kau datang ke sini setiap bulan untuk memenuhi yang kedua, lalu kau akan pulang untuk memberikan cinta pada dia yang menunggumu.

Dan sejauh itulah jarak yang bisa kuarungi untuk pulang ke hatimu.