Hadiah Paling Sempurna

Senja di taman. Dinaungi pohon rindang, aku bersimpuh. Tidak pada siapa-siapa. Aku sedang memanjatkan doa.

Hatiku rindu dia. Lama aku tak menjumpainya. Tak berbicara kepadanya lewat sembahyang, kendati kutahu ia selalu ada, dan tak perlu ritual untuk menemuinya.

Rindu kini membuncah, membuncit, sampai aku mau meledak. Tak bisa tidak, aku harus bercakap dengannya, meski hanya sepatah. Maka, di sinilah aku. Bersimpuh tidak pada siapa-siapa.

Mataku masih setengah terpejam saat kurasakan ada sosok lain mendekatiku. Aku terperanjat. Taman ini biasanya kosong. Aku tak ingin diganggu.

“Ini aku,” demikian sapa itu.

Aku menghentikan rapalanku, membuka mata, dan di situlah ia berdiri. Cahaya putih dari jubahnya, kulit yang bak pualam, dan wajah bersinarnya, memberi keyakinan tak terbantahkan.

“Aku sudah datang. Apa yang ingin kau tanyakan?”

Matanya begitu lembut, dan aku terpesona.

Sesaat kemudian, kami sudah berbincang akrab, layaknya sahabat lama. Aku punya begitu banyak pertanyaan, dan ia mendengarkan dengan sabar. Dibiarkannya kepalaku bersandar di pundaknya sementara ia meladeni setiap ocehanku. Dipeluknya aku erat, tubuhku aman dalam lengan-lengannya, dan seketika aku merasa nyaman, seperti gadis kecil di dekapan ayahnya.

Mendapati penerimaannya, sirna sudah segala bimbangku. Dan kuberanikan diri mengajukan sebuah pertanyaan yang sudah berabad-abad tabu.

“Haruskah aku mengabdi kepadamu?”

Kini kau tahu mengapa aku menyebutnya tabu. Manusia waras mana yang berani mempertanyakan keyakinan terhadap Sang Maha sebagai satu-satunya jalan sah menuju surga. Tempat peristirahatan abadi yang hanya bisa kau masuki dengan kunci bernama agama.

Di luar dugaanku, ia tertawa. Sembari ia pererat pelukannya di tubuhku, matanya berbinar menatapku.

“Tidak.”

Jawaban itu hanya satu kata. Aku terperangah, namun senyumnya tak terbantah.

“Lalu, apa yang harus kulakukan?” Terbata karena tak percaya, aku kembali bertanya.

“Tidak ada.”

Perbincangan itu tidak lama, karena sisa waktu yang ada kupakai untuk bersandar di dadanya. Pertanyaan telah lama lenyap dari benakku dan yang kuinginkan hanya berada bersamanya. Di sini. Sekarang. Yang lain tidak penting lagi.

Seandainya saja. Seandainya saja bisa kucegat Penjaga Waktu dan kurampas bandul raksasanya agar berhenti bergerak. Seandainya saja bisa kutekan tombol ‘pause’ layaknya pemutar cakram agar momen sempurna ini berhenti di sini, selamanya.

—–

Saat matahari tenggelam sempurna di ufuk barat, ia longgarkan pelukannya di tubuhku. Dengan mata bertanya kuikuti kemana ia bergerak.

Ia bangkit, meluruskan jubah putihnya, dan mengucapkan pamit.

“Jangan pergi,” protesku. “Aku masih ingin bersamamu.”

“Aku tak pernah pergi jauh,” jawabnya. “Aku selalu bersamamu.”

“Tapi sekarang kau akan pergi,” rengekku, seperti bocah kecil yang tidak rela ditinggal ibunya. “Kau akan meninggalkan aku,” tuduhku.

Suara tawanya menggelitikku. Ia membungkuk di depanku, menjajari wajah marahku.

“Jangan cari aku di luar,” diletakkannya tangannya di dadaku. “Temukan aku di dalam sini.”

Dan aku mengerti.

Aku memang mengerti. Aku hanya tidak ingin ia beranjak, karena semenit bersamanya jauh lebih berharga dari tahun-tahun terbaik hidupku.

Namun, kini tiba waktunya untuk melepas. Ia harus kembali. Entah pada siapa. Mungkin pada tugas-tugasnya sebagai penguasa jagat. Mungkin masih banyak orang yang harus dikunjunginya. Mungkin jatahku memang hanya sampai di sini.

Tubuh itu berbalik, pergi.

“Pertanyaan terakhir…” aku tidak kuasa menahan diri.

Ia menoleh. Mengurungkan langkah dan kembali mendekatiku.

“…apa yang kau inginkan dariku?”

Pertanyaan sempurna untuk mengakhiri hari yang sempurna. Dan apa pun yang ia katakan nanti, aku rela berkorban raga dan nyawa untuk memenuhinya.

Berlutut hingga wajahnya sejajar dengan dadaku, ia berbisik,

“Hadiah terbesar yang bisa kau berikan kepadaku adalah dengan menjadi dirimu sendiri.”

Aku memandangnya, tidak percaya.

Aku baru saja menawarkan seluruh hidupku kepadanya. Tidak mungkin hanya itu yang ia inginkan. Namun, matanya, dan senyumnya, berkata bahwa ia tidak menginginkan yang lain.

“Tapi, tidakkah kau ingin aku mengubah dunia bagimu?”

Seumur hidup aku telah diajar bahwa dunia adalah tempat yang rusak. Kejam dan tak berperikemanusiaan orang-orang di dalamnya. Seseorang yang kusebut guru pernah mengajar, karena dunia telah rusak, adalah kewajiban kami untuk memperbaikinya. Menjadikannya tempat yang lebih layak untuk ditinggali bagi semua, dengan menaikkan kebenaran yang kami percayai ke puncak tertinggi.

Berperang dan menjadi martir bagi keyakinan suci. Hanya itu satu-satunya cara, demikian diajarnya kami. Dan aku sungguh percaya.

Namun, kini ia berdiri di depanku. Ia, yang diperkenalkan guruku sebagai Sang Agung yang kekuasaannya tak terbatas, yang untuknya kami harus martir tanpa menyayangi nyawa, baru saja berkata sebaliknya.

Tatapannya lembut. Dan senyumnya bukan senyum seorang panglima. Senyumnya adalah yang tampak di wajah seorang sahabat, dan aku mengenalinya.

“Mengubah dunia? Aku memiliki dunia.”

Seakan menjawab keterkejutanku, ia menambahkan, dan mengulangi,

“Aku memiliki dunia, namun dirimu –engkau— adalah milikmu. Hadiah terbaik yang bisa kauberikan bagiku adalah dengan menjadi dirimu sendiri.”

Dengan kalimat itu, dan dengan senyum yang sama, ia berlalu.

Aku terpekur. Lidahku kelu.

Mendadak, taman itu tak lagi sesepi biasanya. Atau barangkali, jiwaku yang tak lagi sunyi.

Cintanya selalu tanpa syarat, hatiku menyimpulkan. Manusialah yang membuatnya bersyarat. Dan kini, aku telah menemukan jawabannya.

Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Kamar Mandi

“Nangis lagi?”

“Iyalah. Ngapain lagi coba, udah sejam di dalem. Nguras bak?”

“Hah, sejam?”

“Yo’i.”

Pintu berderit, menampilkan seraut wajah sembab. Tria keluar sambil menjejalkan segumpal tisu ke hidungnya dan langsung masuk ke dalam kamar. Menutupnya keras.

Lila dan Rida saling berpandangan.

“Duh, dia denger gak ya kita omongin?”

“Pastilah denger, bacot lo gede gitu. Kayak pake toa.”

“Sial.”

“Eh, bakpianya tinggal satu nih. Lo mau gak? Kalo nggak, gue embat.”

Mereka sudah terlalu terbiasa. Dengan Tria yang mengurung diri di kamar mandi minimal seminggu tiga kali, dan keluar dengan mata bengkak mirip kodok. Menghabiskan entah berapa bungkus tisu, dan memenuhi tempat sampah dengan gumpalan-gumpalan putih.

Mereka sudah terlalu terbiasa mendengar isakan lirih di balik pintu kayu yang tidak kedap suara itu. Dan hari ini hanya salah satu dari sekian banyak hari yang dihabiskan Tria di kamar mandi. Entah sudah berapa kali ruangan sempit itu menjadi saksi bisu kisah hidupnya yang mirip sinetron. Ditontoni gayung dan ember.

Lila, Rida, Santi, Menik dan anak-anak kos lain sudah hafal kebiasaan Tria yang bisa menghabiskan lebih dari sejam sekali bertandang ke kamar mandi, yang tujuannya jelas bukan untuk membersihkan badan. Mereka sudah terbiasa menggunakan satu kamar mandi bergantian. Toh, percuma, berapa kali pun diketuk, Tria tidak akan keluar kalau belum puas menangis. Dan kupingnya seakan sudah kebal terhadap protes semua orang tentang pentingnya bertoleransi dan memikirkan kebutuhan orang lain.

“Gimana coba, kalau pas lo di dalam, Menik di kamar mandi satunya, terus gue kebelet boker?” keluh Santi. Keluhannya memang bukan karangan. Dia betul-betul pernah nyaris kencing di celana, dan Tria yang asyik dengan tisu dan ingusnya hanya bergeming meski sudah digedor-gedor.

“Atau ada tamu yang perlu ke kamar mandi,” imbuh Menik, yang pacarnya pernah terpaksa meminjam toilet kos-kosan tetangga.

“Atau kalau kita semua lagi buru-buru, yang nggak mungkin banget ngandalin satu kamar mandi doang,” cetus Rida sedikit emosi, mengingat kebiasaan Tria yang memang tidak pernah kenal situasi. Mereka pernah panik lantaran Tria tidak kunjung keluar dari kamar mandi meski sudah pukul setengah tujuh pagi.

“Liat-liat sikon dong, Tri. Kita ngerti lo butuh waktu dan tempat buat menyendiri, tapi nggak gitu caranya dong. Yang punya kebutuhan itu bukan lo doang,” protes ini datang dari Lila, yang paling nyablak di antara mereka semua, sekaligus yang paling eneg dengan kelakuan Tria yang dianggapnya super-lebay.

Semua orang punya masalah, Cin. Nggak perlu jadi cengeng, kan?

Tapi, Tria tetap Tria. Yang hobi menghabiskan puluhan menit di kamar mandi. Yang tidak pernah bosan menjejalkan tisu ke hidung dan matanya yang bengkak seperti kodok. Yang selalu keluar dengan wajah sembab, untuk selanjutnya mengurung diri di kamar hingga esok menjelang.

Tidak terhitung berapa kali ia bolos sekolah, dan tidak terhitung berapa kali mereka mencoba menasehatinya –dengan berbagai cara, dari halus sampai kasar— demi kebaikannya sendiri (dan berfungsinya kedua kamar mandi secara normal), tapi Tria tetap tidak berubah. Seakan-akan kedua telinga itu hanya berada di sana sebagai pelengkap wajah. Aksesori belaka. Tidak berfungsi, alias cacat. Tuli permanen.

Sampai akhirnya, teman-temannya menyerah. Mereka memilih untuk tidak bicara lagi. Karena Tria memang tidak pernah mau mendengar. Dan mereka sudah terlalu terbiasa.

*****

Hari itu, Tria mengurung diri jauh lebih lama. Sudah berjam-jam ia di dalam, dan pintu itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka.

Menik, yang baru pulang sambil menenteng sebungkus Nasi Padang, terheran-heran mendapati kamar mandi masih tertutup.

“Belom keluar dari tadi?” bisiknya pelan, seraya meletakkan bungkusan plastik di atas meja.

Rida menggeleng cuek. “Biasaaa.”

“Tapi gue kan perginya udah tiga jam yang lalu!”

So? Penting gitu?” Lila menaikkan kaki ke atas kursi, membuka bungkusan nasi dan langsung terpekik senang. “Wah, asik! Padang! Bagi ya, Nik.”

“Makan aja, asal jangan diabisin.” Menik memandangi pintu yang masih terkunci rapat. Keningnya berkerut.

Tiga jam? Tuh anak gila kali, ya?

Guys, kayaknya ada yang nggak beres, deh…”

“Tria, maksud lo?” Lila mengerling santai, menjilati jarinya yang berlumuran bumbu rendang. “Biasa aja, kali. Dia gitu loooh.”

“Iya sih, tapi tiga jam?”

“Alah, ngapain dipikirin, nanti juga dia keluar. Makan nih, kalau nggak ntar keburu abis sama gue!”

Pintu geser yang memisahkan ruang makan dan dapur terbuka. Santi keluar dengan rambut basah dan daster belel. Di punggungnya masih tersampir handuk. Matanya sibuk mencari-cari.

“Lo mandi di dapur?” cetus Lila.

Santi hanya menoleh sekilas. “Ada yang liat pisau gue, gak? Yang tadi pagi gue pakai motong sayur.”

“Nggak. Emang lo taruh di mana?”

“Seinget gue sih di sini,” Santi menunjuk bak cuci piring. “Tadinya mau gue cuci, tapi terus kelupaan. Sekarang ngilang.”

“Yakin lo taruh di situ? Ada yang pinjem, kali?”

“Nggak. Anak-anak lain udah gue tanyain semua, nggak ada yang tau. Duh, gue mau bikin jus melon niiih. Gimana motongnya kalau gak ada pisau?”

“Makan langsung aja, San. Lebih sehat, apalagi kalau sekulit-kulitnya,” celetuk Rida garing.

Hanya Menik yang tidak ikut nimbrung dalam percakapan. Mendadak, rasa dingin yang janggal merambat naik, meliputinya dengan perasaan aneh. Entah apa.

Tanpa sadar, ia merapatkan kedua tangan menutupi dada. Seperti orang kedinginan.

Tria.

Kamar mandi.

Tiga jam.

Pisau.

Mendadak, semua menjadi jelas. Terlalu jelas.

Menik berlari ke kamar mandi. Menendang pintunya sekuat tenaga, tanpa repot-repot menggedor lebih dulu.

Teman-temannya membeku di kursi masing-masing, terlalu shock untuk mencerna apa yang terjadi. Lila nyaris memuntahkan daging rendangnya, saking kagetnya. Rida melotot. Santi bengong dengan mulut ternganga, tidak mempedulikan handuk yang jatuh ke lantai.

Pintu tersentak, membuka lebar. Menampilkan sosok beku yang terbaring di lantai, bergelimang cairan merah lengket.

Kental.

Pekat.

Amis.

“TRIAAAAA…!!!”

*****

Tria membuka mata. Tersenyum mendapati tubuhnya bergerak begitu ringan, seperti melayang di udara. Gravitasi Bumi seakan tidak punya pengaruh lagi terhadap dirinya.

Atau… memang begitu?

Ah, ya… ia ingat.

Kejadian itu. Ia bahkan masih bisa mendengar jeritan Menik dan teman-temannya sebelum terkulai sama sekali. Sebelum ia terbenam dalam kegelapan total. Sebelum tubuhnya seringan sekarang.

Tria tersenyum semakin lebar. Ia merentangkan tangan, lalu menari berputar-putar.

Enak sekali! Inikah rasanya?!

Tahu begitu… dari dulu saja!

Tapi, ia memang terlalu takut untuk mengalaminya langsung, meski selalu penasaran dan sudah berkali-kali tergoda mencoba. Ingin tahu bagaimana rasanya terbebas dari raga yang terasa begitu mengungkung. Sampai akhirnya, keberanian itu benar-benar muncul.

Akhirnya, monster yang telah sekian lama dikurungnya dalam penjara berteralis jauh di sudut jiwanya berhasil lepas dan memporak-porandakan seluruh kesadarannya. Monster bermata hijau dan bertanduk merah yang mengambil alih dirinya, memaksa tangannya meraih pisau yang ditinggalkan Santi di bak cuci piring, mengunci pintu kamar mandi –kali ini tanpa berbekal segenggam tisu— dan mengiris pergelangannya dalam-dalam.

Ternyata, rasanya sama sekali tidak sakit. Ia malah menikmati sensasi melayang yang timbul ketika cairan lengket yang bau amis itu semakin banyak mengalir, menggenangi lantai kamar mandi.

Ternyata… begini rasanya.

Tria tertawa-tawa. Meloncat-loncat seperti anak kecil. Berjoget tidak karuan. Berputar-putar seperti gasing. Belum pernah ia sebahagia ini.

Sayang, tidak demikian dengan teman-temannya. Mereka berkumpul mengelilingi tubuhnya, berjongkok sambil menangis dan menjerit-jerit — sementara ia bergembira ria.

Seandainya mereka bisa melihatnya. Seandainya mereka tahu, ia justru sangat senang.

Tapi, biarlah. Ia terlalu bahagia untuk mengkhawatirkan mereka. Tidak saat ini. Tidak saat ia sedang amat bersukacita.

Mereka akan baik-baik saja, Tria yakin itu. Sementara itu, ia bisa bersenang-senang, merayakan setiap detik kehidupan barunya. Merengkuhnya sepenuh hati, karena untuk pertama kalinya, entah sejak kapan, ia benar-benar tahu arti bahagia.

Ya. Mereka pasti akan baik-baik saja. Dan esok pagi, akan ada satu lagi kamar mandi yang bisa berfungsi dengan normal.

—–

By the way, ABG sekarang masih pakai ‘Yo’i’ gak sih? Maklum, beda generasi. 😉

?

Seorang anak bertanya kepada Tuhan:

Engkau itu sebenarnya siapa?

Tuhan balas bertanya:

Menurutmu, siapa aku?

Anak itu terdiam, lama. Matanya mencari. Tapi yang ada hanya sosok familiar yang dijumpainya setiap hari sebelum ia berani menanyakan hal paling muskil di dunia.

Sosok itu menemuinya tiap malam saat ia duduk bersimpuh dengan tangan terkatup. Sosok itu mengabulkan doa-doanya dan mewujudkan mukjizat dengan cara yang tak terselami akal. Sosok itu berada di sana, mendengar semua keluhan dan ocehnya yang disampaikan dalam larik-larik kalimat bernama doa. Namun ia masih merasa asing. Hatinya kerap tak puas, sibuk mendamba, entah apa.

Mempertanyakan keberadaan Tuhan yang hakiki sama saja menyangkalnya. Ia tahu itu. Sejak kecil ia telah diajari untuk tidak mendebatkan Tuhan yang mahakuasa. Tuhan itu ada untuk disembah. Untuk diagungkan. Untuk menerima dan menjawab doa. Sejak belum fasih bicara ia telah mendengar itu. Sejak belum lancar berjalan ia telah duduk dalam kumpulan orang-orang suci; mendengarkan kidung yang tak dipahaminya, berdiri tertatih mencoba mencerna dengan akal secuil. Tahun-tahun berlalu, tak pernah sedikitpun ia sangsi dirinya akan masuk surga begitu habis masa kontraknya dengan dunia. Kavling itu telah dipatok atas namanya; orang saleh yang taat beribadah dan tak pernah melenceng dari ajaran agama. Tak sekejap pun ia meragu.

Namun, jiwanya tak pernah berhenti mencari. Sesuatu, entah apa. Ada sepotong rindu yang terus mengusik, mengingatkan bahwa pencarian itu belum selesai, meski ia tak tahu apa yang perlu ditemukan. Karena itu, malam ini diberanikannya dirinya. Mengangkat kepala yang selalu tertunduk. Melepaskan jemari yang selalu bertaut. Berdiri tegak bagai menantang. Menatap sosok dalam balutan putih yang bergeming dalam segala kemahakuasaannya:

Engkau itu sebenarnya siapa?

Sosok itu balas bertanya:

Menurutmu, siapa aku?

Lelah sudah ia. Murka, ditudingnya sosok itu. Sosok yang bertahun-tahun dipujanya. Disembahnya tanpa pertentangan. Diagungkannya tanpa penat dan bosan, meski hatinya tak pernah berhenti mendamba.

Apa susahnya bagimu untuk menjawab?!

Sang sosok tersenyum.

Kau tak memerlukan jawaban. Yang kau butuhkan hanya terus bertanya. Dan lebih banyak bertanya.

Kali ini, gantian si anak bergeming. Matanya menyala. Namun riak hatinya tak sedahsyat tadi. Setidaknya, sosok sialan di depannya sudah bicara lebih dari satu kalimat. Itu sebuah kemajuan.

Apa maksudmu? Jelaskan. Buat aku mengerti.

Belum lagi kalimatnya usai, sosok itu sudah menghilang. Lenyap tanpa bekas bagai ditelan kabut tak berwujud. Menyisakan kebingungan yang kian lama kian hampa.

Si anak menatap nanar. Tak sanggup terisak, apalagi terbahak. Hanya mampu diam, mencoba mencerna penjelasan sepotong dari sosok yang sejak kecil dipanggilnya Tuhan. Yang disembahnya tanpa syarat. Yang diagungkannya tanpa prasangka. Malam ini, seluruh keyakinannya terguncang. Tuhan yang sudah disapanya sejak lidahnya belum fasih berucap bahkan tak sudi diajak berkenalan.

Malam-malam berikutnya, ia langsung naik ke tempat tidur. Tanpa merasa perlu bersimpuh dan mengatupkan tangan. Selimut langsung ditarik menutupi dagu. Mata terpejam rapat. Tak ada lagi larik-larik kalimat bernama doa. Tak terdengar lagi lantunan kidung merdu bernafaskan ibadah. Lantainya terlalu dingin untuk dijadikan alas lutut telanjang. Malam terlalu singkat untuk dihabiskan dengan celoteh-celoteh panjang. Dan kebisuan itu terlalu menyakitkan untuk dilewati sendirian. Yang tersisa hanya kegelapan dan sunyi. Hingga pagi menjelang.

Ia tak menyesal.

Mungkin memang lebih baik begitu. Mungkin teka-teki itu memang tak butuh pemecah. Mungkin pertanyaannya memang tak berjodoh dengan jawaban.

Mungkin yang perlu dilakukannya hanya terus bertanya. Dan lebih banyak bertanya. Sampai tiba waktunya nanti.

Entah kapan.

Mencari Bahagia

Di kaki gunung, tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, hidup seorang pemuda yang kerjanya menebang pohon untuk dijadikan kayu api dan dijual di pasar. Pekerjaan itu sudah ia lakukan selama belasan tahun, nyaris seumur hidupnya.


Ketika ia kecil, belum bisa melangkah apalagi bicara, setiap hari orangtuanya menjunjungnya dalam jarit dan membawanya ke pasar. Di sanalah, untuk pertama kalinya, bocah itu mengenal dunia. Dunia yang lebih luas dari sepetak pekarangan sempit yang ditumbuhi ketela dan rumah kayu yang sederhana.


Pasar adalah tempatnya bertumbuh. Setiap hari, setiap jam, bocah itu memperhatikan tingkah laku orang-orang yang lalu-lalang; bertransaksi, sekadar melihat-lihat, sampai berkelahi.


Pasar becek yang kadang menguarkan bau amis itu telah menjadi dunianya selama bertahun-tahun. Ketika orangtuanya meninggal, ia melanjutkan berjualan kayu di tempat yang sama, di pojok yang sama, selama bertahun-tahun.


Ia jauh lebih suka berada di pasar, karena pasar selalu dipenuhi orang-orang yang beraneka ragam, dengan berbagai perangai unik yang memancing rasa ingin tahunya.


Sering, sambil menunggui dagangannya, sang pemuda mengamati keadaan sekitar, berharap menemukan sesuatu yang lain dari biasanya — sesuatu yang menantang indera dan intuisinya.


Ia suka mengamati ibu-ibu bersanggul yang menenteng tas yang tampak mahal, diikuti babunya yang tergopoh-gopoh berusaha mengimbangi kecepatan jalan sang majikan. Mereka tampak kontras di antara pengunjung pasar yang rata-rata berpakaian seadanya dan bersandal lusuh. Sesekali, wanita itu berbicara kepada si babu dengan nada cepat sambil menunjuk sesuatu, dan babu itu akan segera memilih satu dari tumpukan barang yang ditunjuk –yang kualitasnya paling baik, paling besar, paling bagus- dan memasukkannya ke keranjang belanja. Sang Nyonya akan membayar tanpa menawar lebih dahulu.


Si pemuda mengamati semua itu tanpa bersuara. Mungkin memang tak ada gunanya nyonya besar itu menawar. Tas yang dijinjingnya tampak lebih mahal dari semua dagangan di pasar ini dijadikan satu.


Ketika si Nyonya dan babunya berlalu, pemuda itu berpikir,”Bagaimana rasanya memiliki banyak uang? Apa rasanya bisa membeli sesuatu tanpa menawar? Bagaimana rasanya punya babu yang bisa diperintah sesuka hati?”


Menjelang gelap, saat pedagang-pedagang lain membereskan jualan, pemuda itu bersembunyi di pojokan pasar — di tempat yang agak sepi dan jarang dilalui orang. Kayu-kayu dagangannya telah terikat rapi dan disembunyikan di tempat yang aman, siap diangkut kapanpun.


Ia tak perlu menunggu lama. Seorang pedagang kain yang berjalan kaki sambil bersiul-siul menghitung uang melintas di depannya. Dengan cepat ia menarik penutup wajah yang tersampir di kepala, menutupi seluruh mukanya kecuali hidung, dan merampas dompet kulit di genggaman si pedagang.


Pedagang yang kaget itu berteriak, namun si pemuda lebih cepat dari siapapun. Ia berlari berbelok-belok, memasuki gang-gang sempit secepat kilat, mengecoh para pengejar. Ia masuk ke dalam tempat sampah besar dari semen, mengayunkan penutupnya yang terbuat dari besi berkarat, dan bersembunyi di sana, mendengarkan suara para pengejarnya memudar di kejauhan, semakin mengecil ketika mereka memutuskan untuk berpencar ke arah yang berbeda-beda, dan akhirnya lenyap sama sekali.


Ketika hari telah benar-benar gelap, ia keluar, kembali ke pasar untuk mengambil kayu-kayunya, dan berjalan pulang. Sesampainya di pondok, ia melempar gelondongan kayu ke sudut. Ia tak akan membutuhkannya dalam waktu dekat. Uang yang diperolehnya cukup untuk bertahan hidup selama sebulan, jika ia berhemat. Seminggu, jika ia berleha-leha dan membelanjakannya sesuka hati.


Pemuda itu memilih yang kedua. Dengan saku penuh uang, ia berjalan ke rumah makan terdekat, memesan makanan termahal yang bisa diperolehnya dan melahap semuanya hingga kekenyangan. Lalu ia pergi ke rumah pedagang kain, membeli beberapa meter satin dan mengunjungi penjahit terkemuka di seberang jalan, memesan 3 potong pakaian dengan kualitas yang jauh lebih baik dari yang pernah dikenakannya seumur hidup. Belum cukup puas dengan semuanya, ia pergi ke sudut jalan yang lain, daerah kumuh tempat anak-anak gelandangan, dan memanggil seorang anak yang kelihatan agak bodoh.


“Jadilah pelayanku selama seminggu,” katanya. “Pijat kakiku, ambilkan air dari sungai untuk mandiku, cuci pakaian-pakaianku, siangi pekaranganku, masakkan nasi dan lauk untukku, dan tebanglah kayu bagiku,” ia memperlihatkan gulungan uang kepada si anak, yang segera menyambarnya tanpa bertanya sedikitpun.


Malam itu, untuk pertama kalinya, si pemuda menikmati kehidupan bak seorang raja. Ia menghambur-hamburka n air mandi (merasa tak perlu berhemat karena bukan ia yang susah-payah mengangkutnya dari sungai), makan sayuran segar yang dipetik dan dimasakkan si anak untuknya, serta tertidur sambil merasakan pijatan nyaman di kakinya.


Hari demi hari berlalu. Uang di sakunya mulai menipis. Si pemuda menyadari kehidupan mewahnya akan segera berakhir. Ia ingin merampas lagi, namun diurungkannya. Meskipun bisa mendatangkan uang dengan cepat dan mudah, setiap malam tidurnya diganggui ketakutan dan mimpi buruk. Ia selalu bangun dengan rasa bersalah, kepada dirinya sendiri dan kepada orangtuanya yang selalu mengajarnya untuk berlaku jujur.


“Aku tak akan melakukan hal itu lagi,” gumamnya pada hari ketujuh, ketika uang di sakunya tinggal selembar. Ia menyodorkan uang itu kepada si anak yang baru selesai mengikat kayu. “Ambillah, dan pergilah. Aku tak memerlukanmu lagi.” Setelah itu, ia memanggul gelondongan- gelondongan kayu dan berjalan ke pasar, mendirikan tenda jualannya, dan kembali pada aktivitas rutinnya: berdagang sambil memperhatikan orang-orang di sekitarnya.


Suatu hari, datanglah seorang tukang cukur ke pasar itu. Ia menyewa sebuah los kecil tidak jauh dari tempat berjualan si pemuda dan memasang papan bertuliskan: CUKUR RAPI, TUA-MUDA SEPULUH SEN.


Tertarik melihat harga yang diajukan, beberapa orang menghampiri los itu. Terdorong penasaran, si pemuda ikut mendekat. Ia tak mau memotong rambut, hanya ingin melihat seperti apa di dalam.


Si tukang cukur ternyata sangat piawai bicara. Sambil menggunting rambut, ia terus mengajak pelanggannya mengobrol, menceritakan kisah-kisah lucu dan bersenda gurau. Hasil pekerjaannya juga bagus. Setiap orang yang keluar dari los itu merasa puas dan berjanji pada diri sendiri akan kembali ke situ. Apabila tidak memotong rambut, mereka bercerita tentang si tukang cukur kepada orang-orang lain. Dalam sekejap, si tukang cukur kebanjiran pelanggan. Losnya tak pernah sepi pengunjung.


Si pemuda memperhatikan bagaimana laki-laki berperawakan kecil yang agak bungkuk itu selalu tertawa. Wajahnya tak pernah sepi dari senyum. Ia ramah, tak segan mengobrol dengan siapa saja (bahkan anak kecil sekalipun), dan tampak sangat menikmati pekerjaannya. Itulah yang memunculkan senyum di wajahnya, setiap hari, setiap menit.


Pemuda itu mulai berpikir, alangkah enaknya jadi tukang cukur. Uangnya mungkin tak seberapa karena ia tak memasang tarif mahal, namun ia tampak bahagia. Tukang cukur sederhana itu menularkan kegembiraan pada orang-orang dan ia disayangi pelanggan-pelanggan nya. Mencukur juga pekerjaan yang mengasyikkan. Bunyi kres-kres yang terdengar setiap kali gunting digerakkan menggelitik telinga, dan para pelanggan selalu tersenyum puas setiap habis dicukur.


Maka si pemuda meninggalkan pondoknya di kaki gunung, pindah ke kota, menguras pundi-pundinya dan menukarkan isinya yang tak seberapa dengan sewa los selama setahun, persis di seberang los si tukang cukur. Ia memasang papan: PANGKAS RAPI, TUA-MUDA DELAPAN SEN. Ia akan sangat merugi dengan ongkos semurah itu, namun ia tak keberatan apabila hasilnya sebanding dengan pengorbanannya, karena yang dicarinya kini bukan keuntungan, melainkan kebahagiaan. Ia menginginkan senyuman yang dimiliki si tukang cukur.


Tertarik dengan harga yang diajukan, pengunjung pasar berduyun-duyun menghampiri losnya. Mereka duduk dan menunggu gunting cukurnya bekerja, dan mereka menantikan cerita-cerita yang akan dibawakannya. Namun si pemuda tak pandai bercerita. Sehari-hari, ia hanya pedagang yang lebih banyak diam kecuali untuk bertransaksi, dan ia tak punya lelucon-lelucon memikat untuk dikisahkan. Ia juga bukan sosok berkepribadian menarik yang pintar bicara. Maka, ia mengerjakan tugasnya dalam diam. Selesai dipangkas, seorang laki-laki memandang cermin, berpaling ke arahnya dan berkata, “Kau tak bisa mencukur dengan baik, dan selera humormu payah.”


Si pemuda terdiam, hatinya mencelos. Seharian itu ia tak sanggup tersenyum. Pikirannya sering mengembara ke uang tabungan yang dikumpulkan selama bertahun-tahun dan terbuang sia-sia di los sempit itu. Di penghujung hari, tamu terakhirnya, seorang anak kecil dengan rambut ikal yang manis, menangis meraung-raung ketika melihat wajahnya.


Hari-hari berikutnya ternyata lebih buruk dari yang diduganya. Orang-orang kecewa dan menyebarkan berita buruk mengenai salon baru yang murah namun tidak memuaskan. Mereka kembali ke los tukang cukur lama, sekadar untuk bercakap-cakap dan mendengarkan cerita-ceritanya. Mereka tertawa, si tukang cukur tertawa, namun sebaris senyum pun tak tampak di wajah si pemuda.


Kebahagiaan yang dinantikannya tak kunjung tiba. Senyum yang ditunggu-tunggunya tak sudi mampir di wajahnya, walau hanya sesaat. Makin lama, losnya semakin sepi. Dari dalam ia bisa mendengar obrolan-obrolan riang di los seberang, dan hatinya kian merana. Ia patah arang.


Suatu siang, ketika ia sedang duduk menyesali nasib, seorang gadis mengetuk pintu los. Spontan, ia berdiri dan menepis debu di pakaiannya, memasang senyum terbaik yang bisa diusahakannya, dan bersiap-siap memotong rambut si gadis yang panjang sebahu.


Gadis itu duduk dan membuka pembicaraan. Sementara gunting bekerja, mereka terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Si gadis sangat suka berceloteh dan perkataannya segar menggembirakan. Ia juga memiliki selera humor yang baik. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, si pemuda tertawa lepas dan merasa bahagia.


Sepeninggal gadis itu, ia merasa jauh lebih baik. Senyum terus tersungging di bibirnya hingga malam tiba dan ia terlelap. Gadis itu telah membawakan senyuman yang dinanti-nantinya.


Dua hari kemudian, si gadis datang lagi, kali ini membawa seorang bocah laki-laki. Keponakannya. Sementara gunting bekerja, mereka kembali terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Tahulah si pemuda bahwa gadis itu baru pindah ke sana, dan ia memiliki dua keponakan yang lucu-lucu. Ia juga tahu bahwa si gadis sangat menyukai langit senja, pelangi dan aroma tanah menjelang hujan. Yang terpenting, kini ia tahu, gadis itu bisa memberikan apa yang dicarinya selama ini: kebahagiaan.


Mereka semakin sering bertemu. Terkadang si gadis mampir ke losnya hanya untuk bercakap-cakap. Bila los sedang sepi pengunjung, si pemuda akan menutupnya dan pergi ke rumah si gadis, untuk sekadar melewatkan senja dan mendengarkan jangkrik bernyanyi. Semakin lama, hati pemuda itu semakin dipenuhi perasaan aneh yang tak bisa dijelaskannya. Perasaan itu demikian kuat dan tak bisa digambarkan dengan kata apapun, kecuali cinta.


Ia jatuh cinta.


Malam-malamnya mulai diisi mimpi indah tentang seorang gadis yang membawakan senyuman baginya. Hari-hari sepinya mulai diisi dengan khayalan tentang gadis yang suara renyahnya menularkan gelak tawa. Lamunan-lamunannya mulai diisi dengan wajah manis yang senantiasa berbinar, yang mengajarinya bergurau dan bercerita.


Suatu hari, pada senja yang indah setelah hujan, ketika matahari mulai menghilang di ufuk, si pemuda mengutarakan isi hatinya kepada sang gadis. Ia jatuh cinta, dan berharap sang gadis bersedia menyambut cintanya.


Gadis itu menatapnya dengan mata bulat berbinar. “Kenapa?”


“Karena engkau bisa memberikan kebahagiaan untukku.” Si pemuda menjawab sambil mengulurkan setangkai mawar. “Dan aku ingin kebahagiaan itu kekal adanya, maka aku memintamu menjadi milikku selamanya.”


Tanpa disangka, binar gembira di wajah si gadis meredup. Sedikit.


Hanya itu? Karena aku bisa membuatmu bahagia?”


Pemuda itu mengangguk. Ia meraih tangan si gadis, mengecupnya lembut. “Karena engkau bisa membuatku bahagia. Engkau telah membawakan senyuman yang telah lama kucari.”


Si gadis menarik tangannya. Belum habis rasa terkejutnya, si pemuda menatap pujaannya dan menemukan kaca di mata gadis itu.


Ia terperanjat. Kenapa ia menangis? Apa salahnya?


“Kau tidak mencintaiku. Kau hanya mencintai dirimu sendiri.”


Sebelum si pemuda sempat memahami maksud perkataan itu, sang gadis telah beranjak pergi.


Pemuda itu pulang dengan bingung dan sengsara. Ia merasa jauh lebih merana dari yang sudah-sudah. Untuk sebuah alasan yang tidak dipahaminya, gadis pujaannya telah menolak cintanya. Kini ia hancur berkeping-keping. Rusak dan takkan dapat diperbaiki. Hidupnya sudah berakhir.


Ia duduk di depan losnya, termangu. Mawarnya sudah lama dibuang, dan ia sedang memikirkan cara terbaik untuk mengakhiri hidupnya. Ia sedang menimbang-nimbang, hendak menggantung diri atau menusukkan belati ke lehernya, tatkala si tukang cukur beranjak mendekatinya dan duduk di sebelahnya.


Si pemuda tak menyadari kehadiran tukang cukur itu, sampai ia merasakan tepukan ringan di pundaknya. Si tukang cukur menatapnya sambil tersenyum, dengan binar yang tak pernah lepas dari wajahnya.


“Aku tak mengerti.” cetus si pemuda. Dan kata-kata berhamburan dari mulutnya. Kegalauan dan kepahitan hatinya tumpah ruah. Si tukang cukur hanya diam dan mendengarkan.


“Aku hanya mencari bahagia,” bisik pemuda itu. “Mengapa begitu sulit?”


Si tukang cukur merenung sejenak, lalu tersenyum arif. “Mungkin kau tak perlu mencarinya, Nak. Mungkin kau hanya perlu berdamai dengan dirimu sendiri.”


Pemuda itu menatap si tukang cukur, keningnya berkerut bingung. “Apa maksudmu? Aku tidak bermusuhan dengan siapapun.”


“Kau tidak bermusuhan dengan siapapun,” si tukang cukur mengulangi. “Kau hanya perlu menerima dirimu sendiri, apa adanya, tanpa syarat.”


“Aku tidak mengerti,” gumam si pemuda, kini tampak lelah. Selain patah hati dan sengsara, apakah ia juga telah menjadi dungu? “Aku hanya ingin bahagia. Di mana salahnya?”


Lagi-lagi si tukang cukur tersenyum bijak. “Tak ada yang salah, Nak. Engkau hanya menganggapnya sebagai kesalahan, karena yang terjadi tidak sejalan dengan keinginanmu. Bila bahagia yang kau inginkan, engkau hanya perlu berhenti bertanya apa yang salah.”


Pemuda itu terdiam. “Namun hidupku tidak sempurna,” ucapnya perlahan, teringat pada kegagalan dan perbuatan buruknya di waktu lampau. “Aku bukan orang yang cukup baik.”


“Engkau tidak perlu menjadi sempurna untuk bahagia, Nak, karena hidup ini indah apa adanya.”


Si pemuda mengangkat muka dan menemukan lengkungan lembut di wajah si tukang cukur, yang tiba-tiba kelihatan begitu bijaksana dan berhikmat.


Tukang cukur itu pamit pulang, dan si pemuda tetap duduk di depan losnya hingga lewat tengah malam. Ia memikirkan segala sesuatu, apa yang telah terjadi di masa lalu, apa yang baru saja dialaminya, dan nasehat-nasehat si tukang cukur. Mendadak, ia tidak ingin mengakhiri hidupnya lagi.


—-


Tiga purnama berselang, saat sang gadis menyirami tanaman di kebun mungilnya, pemuda itu menghampirinya. Kali ini tanpa membawa apa-apa. Hanya sebuah garis lengkung di wajahnya yang berbinar.


Si gadis menatapnya, bergeming.


“Aku tak lagi mencari bahagia,” ucap si pemuda. “Aku telah bersua dengan damai, dan aku tak membutuhkan apapun lagi untuk bisa tersenyum.”


“Hidupku tak sempurna,” ia berkata lebih lanjut, “namun aku mencintainya apa adanya. Dan aku tahu, bersamamu, hidupku akan menjadi utuh; begitu pula dirimu. Maukah engkau menjadi sempurna bersamaku?”


Gadis itu tersenyum. Senyuman termanis yang pernah tampak di wajahnya. Dan kali ini, si pemuda tahu, ia benar-benar tak butuh apapun lagi untuk menjadi bahagia.

The Dreamers

“Adududuh, panasnyaaa!”

Amira menoleh sekilas kepada Erin yang sibuk menaungi wajah dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri sibuk mengipasi tengkuk dengan selembar brosur les Inggris yang dilipat dua. Tindakan yang sia-sia karena matahari siang itu memang nggak main-main gaharnya.

Di samping Erin, Katya juga sibuk menurunkan suhu tubuh dengan gerakan yang tidak kalah demonstratif, membuat Amira geleng-geleng geli.

“Duh, gue berasa bau,” keluh Katya. Kaus olahraganya yang bersimbah keringat tampak lengket. Bagian depannya kotor oleh bola basket yang dipeluknya.

“Bentar lagi juga bisa pulang, terus mandi,” timpal Amira. “Tinggal 1 pelajaran lagi.”

“Kenapa sih mereka nggak bisa pake otak dikit?” cela Erin, kali ini ditujukan pada tim guru penyusun jadwal pelajaran. “Kenapa juga jam olahraga gak ditaruh pas deket-deket pulang sekalian, biar kita bisa langsung cabut? Konyol banget kalo kayak gini, udah bau-keringetan masih harus belajar Sejarah!”

Amira menyetujui celaan itu. Emang keterlaluan, sih. Bayangin, jam setengah duabelas siang, dengan tubuh penuh keringat dan bau matahari (belum lagi kalau ada yang lupa pakai deodoran… iiih!), perut lapar dan capek, masih harus ngikutin pelajaran Sejarah yang amit-amit nyebelinnya.

Untung, guru olahraga mereka siang ini cukup pengertian dengan membubarkan murid-muridnya 15 menit sebelum pelajaran berakhir, sekadar memberi mereka waktu untuk mendinginkan badan dan ganti baju.

Mereka juga diizinkan untuk keluar dari area sekolah dan membeli jajanan yang tidak tersedia di kantin -seperti es kelapa muda dan siomay- asalkan tidak terlambat masuk kelas. Pak Sugiri –si guru olahraga—sudah mewanti-wanti dengan ancaman squad jump 100 kali jika ada murid yang nekat cabut dan tidak kembali ke kelas.

Dan di situlah mereka bertiga nyangkut – di tukang minuman dingin yang menjual berbagai softdrink dan jus, membersihkan gelas masing-masing dari es kelapa muda. Minum dengan kecepatan tinggi, karena setelah ini mereka masih harus ganti baju.

“Balik, yuk,” ucap Amira. “Ntar nggak keburu gantinya, lho.”

Belum habis kalimatnya terucap, 2 orang cowok berpostur tinggi-besar dan berkaus kutung lusuh nongol di samping gerobak jualan si tukang es.

“Kacang ijo satu,” ucap salah satu dari mereka. Erin melirik sekilas. Lengan atas cowok itu dihiasi tato ular berwarna hijau-merah. Rambutnya yang semi-gondrong tampak lengket dan berminyak. Lagaknya sejuta banget, petantang-petenteng. Temannya, yang memakai 3 anting di telinga kiri dan rantai perak di celana, sebelas-dua belas gayanya.

“Eh, ada nona-nona cantik,” siul si cowok ketika menyadari kehadiran mereka bertiga.

Sambil membayar minuman mereka, Katya melirik Amira. Wajah Amira berubah tidak nyaman, sementara Erin santai saja menghabiskan sisa buah kelapa di gelasnya.

“Cepetan, Rin,” desak Amira. Erin menurut dan meletakkan gelasnya.

“Eh, kok udahan? Buru-buru amat,” sergah si cowok bertato. Temannya cengengesan di sampingnya. “Temenin kita dong!”

Refleks, Amira menggamit lengan sahabat-sahabatnya, mengajak pergi. Gestur itu ditangkap oleh si cowok yang kemudian berjalan maju dan mem-blok langkah mereka.

Dengan cepat Katya melirik si tukang minuman, minta bantuan. Laki-laki itu langsung buang muka, pura-pura sibuk meracik es kacang hijau.

“Permisi,” Erin berkata dingin. “Kita mau balik ke sekolah.”

Teman si cowok bertato ikut melangkah maju. “Anak Bina Mulia?” ia meneliti postur Erin dan teman-temannya. Ditatapi begitu, Amira kontan mengkeret, risih. Ia yang cuma memakai kaus olahraga dan celana pendek sepaha tiba-tiba merasa salah kostum banget.

“Sekolahnya orang kaya,” komentarnya lagi. “Yang anak-anaknya pada belagu.”

Erin berjalan memutar, namun langkahnya lagi-lagi diblok oleh si cowok bertato.

“Cantik juga lu,” cetus cowok itu dengan tampang mupeng, yang bikin Erin tergoda menaboknya. “Seksi, lagi. Walo rada bau keringet.”

“Tolong minggir,” kali ini Katya bersuara. “Gue dan temen-temen gue udah telat masuk.”

Si cowok beranting bersiul, melecehkan. “Sapa suruh maen jauh-jauh.”

“Lo mau duit?” tanya Erin, tapi bukan dengan gestur ketakutan. Malah sebaliknya, menantang.

Amira merasa telapak tangannya berkeringat. Duh, Erin, Katya… udah dong jangan ditantangin. Kasih aja apa yang mereka mau, biar bisa cepetan pergi

Angka di jam tangannya sudah menunjukkan pukul 11:20. Bentar lagi mereka nggak nongol di kelas, alamat squad jump 100 kali deh!

Si cowok bertato menggeleng-geleng sambil nyengir. “Duit? Lu kira gua mau duit lu, hah? Dasar cewek kaya belagu…”

Digertak begitu, Erin sama sekali tidak mundur. “Kalo gitu tolong minggir,” ucapnya, kali ini dengan intonasi yang lebih hati-hati, mengingat 2 cowok preman ini bisa saja berbuat yang lebih fatal pada mereka.

Cowok bertato itu tidak menjawab. Ia malah berjalan maju, dan sebelum Erin sempat menghindar, ia mengulurkan tangannya yang besar dan kotor …dan memegang payudara Erin.

Amira menjerit tertahan, ketakutan setengah mati, sementara Katya sontak melangkah mundur dan Erin mati-matian berusaha menahan diri untuk tidak berteriak.

Ditatapinya cowok itu dengan sorot setajam silet, dan tanpa ragu-ragu Erin meludahi wajahnya.

Si cowok bertato terperanjat. Temannya bersiul lagi, antara kaget dan senang. Katya melirik sadis ke arah cowok beranting yang tampak sangat menikmati scene itu, tapi juga tidak berani berbuat apa-apa. Salah-salah nanti gantian ia yang kena!

“Cewek bangsat,” desis si Tato murka. “Berani lu ngeludahin gue.”

“Tangan lo perlu disekolahin,” balas Erin enteng, “dan tadi itu pelajaran pertama.”

“BERANI LU AMA GUA, HAH?! LU GAK TAU GUA SIAPA?!”

“Erin? Katya?”

Suara itu membuat mereka berenam –termasuk tukang minuman yang dari tadi cuma menonton adegan itu tanpa berani ngapa-ngapain—menoleh.

Pak Sugiri berjalan ke arah mereka, setengah berlari. Ekspresinya campuran antara kaget dan marah, entah karena fakta bahwa 3 muridnya yang ngilang begitu aja dari pelajaran Sejarah ternyata ada di sini, atau karena melihat mereka dikepung oleh 2 preman cap kapak.

Tidak jauh di belakang Pak Sugiri, muncul Parto dan Bahri, satpam sekolah.

Si cowok bertato mendengus kesal, lalu meraih gelas kacang hijaunya dan berjalan pergi, seolah tidak terjadi apa-apa. Temannya mengikuti.

Amira mendesah lega, hampir menangis. Tinggal si tukang minuman yang panik, karena 2 begajulan itu membawa pergi gelas-gelasnya, tanpa bayar pula!

Ajaibnya, Pak Sugiri tidak bertanya apa-apa. Mungkin karena melihat Amira yang mukanya sudah seputih mayat. Digiringnya mereka bertiga kembali ke sekolah, dan –sama sekali di luar dugaan—ia menyuruh mereka istirahat di kantin.

“Gila banget,” gumam Katya sambil menyedot es teh manis.

“Kamu… nggak pa-pa, Rin?” tanya Amira hati-hati.

Erin mengaduk-aduk orange juice-nya, sesaat tampak geram. “Dasar anjing,” makinya pelan. “Otak mesum. Babi goblok.”

Amira menatap sahabatnya, heran. Kalau ia yang mengalami pelecehan kayak gitu, mungkin sekarang ia sudah nangis-nangis nggak karuan, merasa kotor dan helpless. Tapi Erin sama sekali tidak kelihatan terpukul — ‘cuma’ marah.

“Gue udah pernah ngalamin beginian juga, pas SD,” ucap Erin. “Tapi waktu itu gue gak bisa ngapa-ngapain. Kalo yang tadi, seenggaknya masih sempet ngasih cinderamata,” ia nyengir membayangkan wajah berang si Tato waktu diludahi.

Amira melotot sampai es batu yang dikulumnya nyaris loncat keluar.

“Dan kamu nggak kenapa-napa ngalemin hal kayak gitu?”

“Marah, sih. Abis itu gue ngadu ke nyokap, dan nyokap nerusin perkara itu ke Kepsek sampe si brengsek itu dikeluarin dari sekolah. Puas banget gue,” Erin bercerita santai.

“Kamu nggak stres? Nggak down? Nggak ngerasa hina?” Amira terus mencecar walau ia tahu sebenarnya itu tidak sopan, apalagi sahabatnya baru mengalami hal yang sama — sekali lagi.

“Ngapain?” Erin merespon balik, sama santainya. Kali ini bahkan sambil membuka sebungkus roti cokelat-keju. “Buat apa juga ngerasa hina, bukan gue yang salah kok.”

“Tapi kan kamu yang jadi korbannya.”

“Justru itu,” ucap Erin sambil mengigit roti. “Gue korban, bukan penjahat. Hina itu kalo ngelakuin sesuatu yang kotor, yang jahat. Ngapain ngerasa hina untuk sesuatu yang bukan salah lo. Mereka aja yang otaknya kotor.”

“Setuju!” timpal Katya. “Sepupu gue juga pernah kayak gitu tuh, padahal dia gak ngapa-ngapain, cuma lagi nunggu bis di pinggir jalan. Dasar orang-orang sinting gak pake otak, gak punya nurani.”

Lagi-lagi mata Amira membulat, shocked.

“Ngerasa kotor, hina dan stres hanya bikin kita ngabisin lebih banyak energi. Ruginya 2 kali lipet,” tandas Erin.

“Tapi… kamu nggak nyesel pernah digituin?” Amira tidak habis pikir. Kalau ia yang ngalamin itu, mungkin seumur-umur ia bakal menyesali diri, kenapa itu bisa terjadi, di mana salahnya, mengapa harus ia yang mengalami, dan seribu pertanyaan lain.

Erin mengerling. “I have better things to do,” ia menjawab keheranan yang terpancar di wajah sahabatnya dengan kalem. “Gue punya mimpi dan cita-cita. Mendingan gue ngabisin energi untuk ngejar mimpi gue daripada nyeselin keadaan dan mikir yang nggak-nggak.”

And what is your dream?” Katya meraih sisa roti di tangan Erin dan memakannya.

Ditodong begitu, Erin malah nyengir.

My dream is… bahwa suatu hari nanti dunia bakal berada dalam genggaman gue.”

“Hah?” lagi-lagi Amira melongo dengan suksesnya.

“Caranya?” Katya –si cuek yang mulutnya setajam silet—bertanya sambil nyengir, dengan ekspresi sedikit menantang.

Erin tersenyum balik. Ia merogoh saku celana olahraganya dan mengeluarkan selembar kertas yang terlipat empat. Katya meraih kertas itu dan membacanya, lalu ternganga heran.

No kidding, Rin! Ini kan…”

“Gue berhasil masuk semifinal ‘HighLite! Look’. Doain, ya,” Erin menatap ketiga sahabatnya penuh semangat, sementara Amira merebut kertas itu dari Katya dan membacanya dengan ekspresi yang nggak kalah dodolnya. “Kalo gue jadi model ngetop kan elo-elo juga yang bangga.”

“HEBAAAT!” Katya bersorak dan melebarkan tangan, memeluk erat-erat sahabatnya yang bau keringat.

“Selamat ya, Rin,” Amira berkata tulus, salut banget akan sahabatnya yang punya determinasi kuat dan semangat juang tinggi ini.

Erin tertawa gembira. “Thanks. Gue juga seneng banget. Ini tahap awal pencapaian mimpi gue.”

“Hidup para pemimpi!” Katya mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. “Gue juga, ah, mau berjuang buat ngewujudin mimpi gue bertualang keliling dunia! VENICE, INDIA, NEPAL, HERE I COOOME!”

“Untuk para pemimpi,” Katya mengangkat orange juice-nya yang tinggal seperempat. “Semoga mimpi kita jadi kenyataan!”

Mereka bersorak heboh sampai Ibu Kantin melongok keheranan.

“Kalo elo, mimpi lo apa, Mir?” tanya Erin setelah mereka menghabiskan minuman masing-masing.

Mimpi aku…?

Amira berpikir-pikir. Sejenak kemudian ia tersenyum lebar, sangat yakin. “Jadi penulis besar kayak Dewi Lestari dan Seno Gumira Ajidarma!”