Reno dan Bella

“Stop di sini, Pak.”

Taksi berwarna biru metalik yang kunaiki berhenti di depan rumah besar bercat putih. Bangunan yang sangat familiar dan kurindukan selama setahun terakhir.

Pak Marno bergegas membukakan pintu pagar untukku. Senyum gembira merekah di wajahnya. “Non Delia. Pulang, Non?” sapanya ramah.

“Iya, Pak.” Aku balas tersenyum dan membiarkan koper-koperku diambil alih oleh tukang kebun berwajah sumringah itu.

Aku meraih handel pintu utama dan baru akan membukanya, ketika telingaku menangkap suara-suara asing di balik pintu.

… itu?

Aku menoleh, baru hendak mengajukan pertanyaan kepada Pak Marno ketika pintu membuka, menampakkan seraut wajah yang sangat kurindukan.

Mama tersenyum lebar dan mengembangkan kedua tangannya. Aku memeluk Mama erat-erat sementara beliau mengusap kepalaku penuh sayang. Akhirnya aku bisa mencium aroma tubuh Mama lagi. Aroma yang harum dan selalu ngangenin.

Tapi Mama tidak sendirian menyambutku. Di belakangnya ada satu …tidak, dua sosok yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku mengerutkan kening. Mama bergeser. Sosok-sosok itu melangkah maju dan menatapku dengan ekspresi polos dan penuh semangat. Mata mereka membulat, seakan-akan mempelajariku dengan seksama. Aku balas menatap mereka, bergantian.

“Kenalin, Del. Ini Reno. Umurnya 3 tahun,” Mama mengusap kepala salah satu dari mereka. “Yang ini Bella. Dia baru 2 tahun.”

Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, Papa muncul dan langsung memelukku erat-erat. “Welcome home, Sayang…” ia menjauhkanku sedikit agar bisa mengamati wajahku, “wah, putri Papa udah gede!”

Aku nyengir. “Delia udah 23, Pa.”

Aku menangkap kerling jenaka di wajah Papa dan tertawa. Kerlingan usil itu berarti: ‘You-will-always-be-my-little-girl’.

Reno menyeruak di antara aku dan Papa. Senyumku segera menghilang. Mama-Papa berhutang penjelasan padaku.

Melihat perubahan pada wajahku, Papa segera berkata, “Tentunya kamu sudah kenalan dengan Reno dan Bella. Mulai sekarang mereka bagian dari keluarga kita, Delia.”

“Sejak kapan?” aku tidak bermaksud begitu, namun suara yang keluar dari tenggorokanku terdengar dingin.

“Sejak Oma Rheine meninggal bulan lalu.” Papa menjawab seraya menatapku penuh arti.

Oma Rheine adalah wanita tua yang tinggal tidak jauh dari rumahku, hanya berselang beberapa blok dari sini. Wanita tua yang sedih dan merana, menurutku, karena menantu dan anak satu-satunya tewas dalam kecelakaan setahun lalu. Belum termasuk penyakit diabetesnya yang perlu mendapat perawatan serius dan kondisi keuangannya yang tidak menentu. Untuk alasan yang tidak kuketahui, Papa menyayangi Oma Rheine seperti ibu kandungnya sendiri dan sering sekali menjenguk wanita itu, sekedar untuk bercakap-cakap atau memberi bantuan materi kepadanya.

Aku menghela nafas. Papa menyayangi Oma Rheine. Kasihan padanya. OK. Tapi, masa sih sampai segitunya?

“Reno dan Bella tidak punya siapa-siapa lagi, Del.” Aku mengenali ketegasan yang tersimpan di balik intonasi lembut itu. Aku memandang Papa. Tarikan di wajahnya tidak memberiku pilihan selain menerima kedua monster cilik itu.

Great.

Well, mungkin aku berlebihan, menyebut Reno dan Bella monster. Aku bahkan belum kenal mereka. Tapi bukan salahku kalau sejak awal aku membenci mereka. Papa dan Mama harusnya tahu kalau aku tidak akan menyukai keputusan itu.

Pikiranku buyar ketika Papa mendaratkan ciuman di keningku dan membelai rambutku dengan sayang. Dia selalu tahu bagaimana membuatku luluh. Kurasa dalam hal itu Papa memang benar: I will always be his little girl.

Aku tersenyum dan memeluknya. Mata Papa bersinar-sinar di balik kacamatanya kala ia merangkulku menuju ruang makan. “Sekarang kamu harus cerita. How’s Chicago? Om Rianto sama Tante Sarah? Semua baik-baik?”

* * *

Now I officially hate those little monsters.

Liburan yang seharusnya indah rusak total gara-gara dua monster itu: Reno dan Bella.

Tadinya aku membayangkan hari-hari yang tenang, nonton DVD seharian sambil ngemil segala makanan di kulkas, bangun siang, bersantai di rumah, dan sebagainya.

Santai apanya!

Setiap pagi, waktu aku masih lelap, Reno akan membuat keributan di depan kamar sampai aku terbangun dan membukakan pintu. Setelah itu dia akan melenggang masuk dengan santai seolah-olah kamar ini miliknya. Kalau aku nekat tidak membuka pintu, dia akan terus ribut. Di dalam kamar Reno hanya mondar-mandir sambil mengambili barang-barang yang tergeletak di lantai (dia tidak bisa menjangkau barang-barang di atas meja rias karena terlalu tinggi baginya – syukurlah!) seperti slippers atau sisir yang terjatuh, dan memainkannya dengan berisik. Damn.

Pernah aku lupa mengunci pintu kamar, dan terbangun jam 5 pagi dengan slippers di samping bantal. Reno mengambilnya, menjatuhkannya di sebelah kepalaku dan menarik bed cover sampai aku nyaris menjerit. Aku sudah siap meneriakinya karena jengkel, tapi Mama buru-buru mencegah, “Reno nggak bermaksud mengganggu kamu, Del. Dia hanya ingin main sama kamu. Salah sendiri kamu tidur nggak ngunci-ngunci pintu.”

Yeah right. Now I’m the bad guy. Aku menarik bed cover sampai menutupi kepala, uring-uringan. Mama dan Papa membuat keputusan sepihak dengan mengambil Reno dan Bella tanpa memberitahuku sama sekali, dan sekarang mereka mengharapkan aku berbaik-baik pada kedua makhluk itu, padahal mereka tahu aku sangat benci…

…ah, sudahlah. Percuma.

* * *

Aku menaikkan kaki ke atas sofa dan sedang bersiap menggigit sandwich ketika Bella menghampiriku dan menatapku dengan matanya yang bulat besar, menampilkan ekspresi minta dikasihani. Dasar perayu!

Aku mengunyah sarapanku dengan cuek, tidak mempedulikannya. Bella terus menatapku tanpa bergerak sama sekali. Matanya tidak lepas dari sandwich di tanganku. Dasar rakus. Padahal dia sudah sarapan!

Aku membawa piringku ke dapur. Bella membuntutiku, tapi aku menutup pintu keras-keras tepat di depan wajahnya. Sukurin!

Sorenya, kejadian yang sama terulang lagi. Aku baru membuka lapisan alumunium pembungkus cokelat –bahkan belum sempat menggigitnya—ketika Bella muncul di depanku, lagi-lagi dengan ekspresi minta-mintanya.

Please deh.

“Nggak ada cokelat buat kamu,” ucapku ketus. “Pergi sana, main aja sama Reno!” aku membuat gerakan mengusir dengan tanganku, tapi Bella diam saja.

Aku menggigit cokelat. Bella mendekatiku. Matanya tak lepas dari cokelat di genggamanku.

“Eh, bandel! Disuruh pergi malah ngedeket. Sana!” aku memelototinya.

Kalau sebelumnya aku berpikir bahwa Reno-lah yang paling nakal di antara mereka berdua, maka Bella adalah biangnya keras kepala. Dia sama sekali tidak bergeming mendengar omelanku.

Aku berjalan ke dispenser, mengambil segelas air. Bella mengikutiku kemana pun aku melangkah, seperti bayang-bayang. Aku menghempaskan diri ke sofa. Bella mematung, tapi dalam sekejap dia sudah berada di sebelahku.

That’s it. Enough is enough.

Aku berdiri, sudah siap memukul dan melontarkan sumpah serapah ketika pandangan kami bertemu. Kali ini bukan cokelat. Bella memandangiku dengan kedua matanya yang besar.

Ia menatapiku tanpa berkedip, dengan ekspresi polos yang selalu ditampilkannya sejak hari pertama kami bertemu. Raut yang tidak pernah berubah: lugu dan minta dikasihani.

Aku melempar cokelat ke atas meja, menunggu reaksinya. Bella hanya memandang cokelat itu sekilas, lalu kembali menatapiku. Aku diam mematung. Mendadak sebersit rasa tidak tega melintas di hatiku. Bagaimana pun, seperti kata Papa, dia sebatang kara sekarang. Mungkin aku harus lebih lunak kepadanya.

“Sudahlah.” kataku ketus. “Tapi kamu tetap nggak boleh makan cokelat. Makan yang lain aja, OK?”

Dengan patuh Bella berjalan mengikutiku ke kulkas.

* * *

“Hei! Sejak kapan elo deket sama Reno dan Bella?”

Aku tidak mengacuhkan komentar usil Fey –adik semata wayangku– yang melintas di ruang tamu dengan kaus penuh keringat. Aku menoleh sekilas, lalu kembali berfokus pada talkshow di TV. Reno dan Bella duduk di sampingku, ikut mencerna acara tersebut dengan raut sok serius.

“Tumben, Mbak. Biasanya kan elo paling anti sa…”

“Shut up,” aku melempar bantal sofa ke arah Fey. “Mendingan lo mandi. Baunya sampe ke sini, tuh.”

“Don’t change the subject,” goda Fey si mulut jahil. “Sejak kapan lo jadi Nona Penyayang gini?”

“People change.” Aku bergumam, setengah terkejut karena jawaban yang kaluar dari bibirku.

People change?

Maybe yes. Aku tidak bisa menahan diri untuk melirik Reno dan Bella yang memandangi layar TV tanpa berkedip. Senyumku mengembang perlahan.

Entah bagaimana awalnya, aku juga tidak tahu. Tiba-tiba aku tidak terlalu merasa keberatan lagi dengan kehadiran dua pengganggu itu. Malah sebenarnya, aku agak senang mereka ada di sini, seperti sekarang. Aku senang ketika mereka mendekatiku, untuk meminta makananku atau sekedar minta disayang. Aku senang ketika mereka menatapku dengan wajah polos yang menggemaskan. Aku senang ketika mereka masuk ke kamarku setiap pagi dan mengajakku bermain. Aku bahkan tidak ragu membelai mereka dengan sayang. Aku… jatuh hati.

Ya, aku jatuh hati. Pada mereka yang kubenci. Padahal aku baru pulang 4 hari.

“Ati-ati, Mbak,” lagi-lagi Fey muncul dengan gaya selebornya yang khas ketika aku asyik mengelus kepala Bella, “ntar kalo udah balik ke Chicago lo bisa kangen berat sama mereka.”

Aku tidak menjawab. Sepertinya sih iya. Aku pasti akan kangen. Tapi itu kan masih lama. Masih ada 3 minggu sebelum aku kembali ke sana.

“Delia, Fey, ayo makan dulu!” Mama berseru. “Makanannya udah siap! Ayo, nanti keburu dingin nggak enak, lho!”

Aku dan Fey saling bertukar pandang, menggeleng-geleng heran. Mama selalu lupa bahwa anak-anaknya tidak berumur 7 tahun lagi.

Aku bangkit dari sofa dan berjalan ke ruang makan. Fey menduluiku, setengah berlari. Aku menoleh ke arah Reno dan Bella yang masih asyik di depan TV.

“Reno, Bella, sini!” seruku sambil terus berjalan.

Dua anjing golden retriever melompat turun dari sofa dan mengibaskan ekor dengan gembira. Sinar matahari yang menerobos dari jendela menciptakan siluet indah saat Reno dan Bella mengikutiku dengan lincah sambil berebut menjilatiku.

Ramah-Tamah

“Penting ya, beramah-tamah sama pimpinan?”

Meta berhenti mengaduk vanilla latte-nya yang baru dituangi brown sugar. Ia nyengir sambil menatap Ninda yang balik menatapnya dengan sedikit cemberut.

“Emang kenapa?”

“…”

“Kantor elo, ya?”

“He eh. Malesin.”

Meta menyesap vanilla latte-nya. Ia meletakkan gelas styrofoam sambil memaki kecil. “Sial! Panas banget.”

“Beramah-tamah itu penting kaliii, Nin. Dalam hidup bersosialisasi, kita per…”

“Gak usah sok bijak,” tukas Ninda, bertahan dalam ekspresi sebalnya. “Lo tau apa yang gue maksud.”

Lagi-lagi Meta nyengir innocent. “Idealisme lo?”

Ninda tidak menjawab. Ia menyeruput mochacinno-nya seraya membuang pandangan ke luar jendela. Suasana Coffee Corner sore itu sangat comfy. Café mungil ini adalah tempat favorit Meta dan Ninda. Ambiance-nya selalu membuat mereka kangen ngopi-ngopi sambil curhat sana-sini.

Beberapa bulan terakhir, kebanyakan sesi ngopi Meta-Ninda diwarnai curhat Ninda tentang suasana kantor yang ditempatinya 10 bulan ini. Meta hanya nyengir-nyengir kuda mendengar curhat sahabatnya yang kali ini bukan tentang cowok super ganteng pacar barunya, dosen nyebelin nan genit yang hobi colak-colek seenak jidat atau cardigan Zara yang sudah lama diincarnya, melainkan setumpuk cerita tentang rasanya kerja kantoran, senangnya menerima gaji pertama, serunya belanja dengan uang hasil keringat sendiri, sampai tingkah rekan-rekan sekantor yang (menurutnya) super-duper-ngeselin.

“Gue gak ngerti kenapa orang-orang itu demen banget beramah-tamah sampe berlebihan sama pimpinan. Bikin sakit mata. Gerah.” Omel Ninda.

“Menjilat, maksud lo?”

Sort of.”

“Ngapain dipusingin, Neng. Biarin aja. Yang penting kan elo nggak,” cetus Meta geli.

“Gue gerah aja,” Ninda melipat kedua tangannya di dada, persis anak kecil yang merajuk. “Awalnya gue berusaha cuek. Tapi karena gue seruangan rame-rame, lama-lama ganggu banget. Dan mereka ngelakuin itu terang-terangan tiap kali atasan nongol. Pengen gue sambitin satu-satu,” Ninda bersungut-sungut, membuat Meta ingin sekali ngakak sepuasnya di depan fresh grad berlidah cabe rawit itu.

“Lo bayangin, ada gitu, yang tiap boss nongol, cara ngomongnya udah kayak ketemu menteri. Ngerunduk-runduk, nada dibikin semanis mungkin, intonasi direndah-rendahin biar terkesan hormat.”

“Hehehehe…”

“Ada juga yang kerjaannya ketawaaa melulu. Gue rasa dia digaji buat ketawa daripada buat kerja.”

“He?” Meta melongo bodoh. “Maksud lo?”

“Yaaa… boss gue kan orangnya ramah. Suka banget cerita. Apa aja diceritain. Jadi tiap boss gue cerita, lucu ga lucu, seru ga seru, dia selalu KETAWA. All the time.”

“Kok aneh sih?”

“Tau. Biar disayang, kali.”

“HUAHAHAHAHAHA.”

“Trus ada juga yang pendekatannya lewat anak boss.”

“Hah?”

“Iya. Pimpinan gue punya anak perempuan umur 5 tahun. Abis pulang sekolah, ‘ni anak sering diajak ke kantor. Ada satu staff yang selalu nurutin kemauan ‘tu anak. Minta apapun dikasih, mau apapun dibolehin. Padahal ya bo, gue ngeliat sendiri boss gue justru ngelarang hal-hal yang dibolehin itu. Otomatis ‘tu anak jadi deket sama staff yang satu itu. Nempel mulu. Dan ‘tu anak cerita deh ke nyokapnya kalo staff itu baik banget sama dia.” Ninda misuh-misuh panjang lebar. Embun di gelasnya sudah lama membentuk genangan di atas meja.

“Ya biarin aja lah, Say. Mau mereka licking ass pemimpin, itu urusan mereka. Yang penting kan lo nggak gitu.”

“Iyaaa, tapi gue jadi ngerasa gak fair ajaaa.” Bibir Ninda semakin maju. Meta tertawa geli. Di saat-saat seperti ini Ninda lebih mirip anak SMU yang lagi ngambek sama pacar ketimbang karyawan perusahaan swasta.

“Gak fair gimana maksud lo?”

“Gak fair, karena mereka ngedapetin perhatian lebih dari pimpinan dengan cara-cara kayak gitu, sementara mereka-mereka itu sebenernya pada gak becus kerja.”

“Dih, segitunya amat sih,” Meta menukas. “Sah-sah aja lo sebel, tapi ga usah segitunya kali.”

Seriously, Met.” Ekspresi Ninda berubah sungguh-sungguh. ”Gue kan seruangan sama mereka. Gue tau kualitas dan cara kerja mereka kayak gimana. Tipe yang dikit-dikit nanya, dikit-dikit minta tolong, dikit-dikit ngeluh. Trus kalo diajak diskusi, keliatan banget telminya. Gue sampe capek.”

“HUAHAHAHAHAHA. Nasib lo, Nin.”

Yeah,” Ninda menghela nafas pasrah. “Itu sebabnya gue mati-matian nge-push kapasitas gue. Pokoknya kinerja dan kualitas gue harus di atas rata-rata. Gue pengen –dan harus- nunjukin prestasi lebih dari mereka-mereka itu.”

“Supaya lo eksis di mata boss?”

“Sebagian, iya. Sebagiannya lagi, karena gue pengen buktiin kalo gue bisa berhasil tanpa perlu licking ass.” Ninda menuntaskan mochacinno-nya. Ia menghempaskan gelas kosong ke atas meja, membuat genangan air di atasnya terpercik kemana-mana.

Meta manggut-manggut sambil menyapukan tisu ke lengannya yang basah kena air. “Moral of the story…” ia mengembangkan senyum kocak, “Kalo gak bisa beramah-tamah sama pimpinan, mendingan punya prestasi.”

“Ember.” Ninda mengangkat alis sambil bertopang dagu. “I know I can do it.” sambungnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Buktinya, ada satu produk -namanya Concept- yang sama anak-anak disebut produk gagal. Penjualannya amblas, tapi sejak gue handle 3 bulan ini, penjualan mulai naik dan ordernya lumayan.”

Meta tersenyum. Bangga akan pencapaian sang sahabat yang belum genap setahun bekerja di kantor barunya. Bangga akan sifat keras kepala Ninda yang tidak takut menentang arus dan berani berkompeten secara sehat. Sesuatu yang sama sekali tidak mudah — Meta tahu itu, karena ia pernah tersingkir dari area persaingan yang sama, di mana ia tidak sanggup bertahan. Tapi Ninda adalah cerita lain. Ninda, dengan kapasitas otak dan idealismenya yang sekeras batu, akan mampu bertahan, bahkan terus naik.

I know you can.”

Sunset

“Mau nambah lagi?”
Ingga menunjuk gelas fruit punch di depan Nadine dengan dagunya. Gelas jenjang itu sudah kosong sejak tadi. Isinya berganti menjadi gumpalan-gumpalan tisu yang terus dijejalkan Nadine sejak 1 jam yang lalu.

Nadine menggeleng sekilas dan kembali mengalihkan pandangan ke laut lepas. Ingga melakukan hal yang sama sambil bertopang dagu, bersyukur bahwa mereka makan di tepi pantai yang panoramanya indah. At least ada yang cukup menarik untuk dilihat dalam suasana awkward begini.

Sejak mereka tiba di Pulau Dewata kemarin siang, Nadine tidak henti-hentinya bersikap seperti orang yang mau mati besok. Pandangannya nyaris selalu kosong. Sorot matanya mirip orang yang siap bunuh diri. Untung diajak ngomong masih nyambung, walau untuk yang satu ini Ingga memilih menahan diri karena obrolan pasti akan didominasi topik yang sama.

Ingga memasukkan daging kelapa terakhir ke mulutnya, mengunyah malas-malasan. Mereka berada di salah satu tempat wisata terindah di dunia, di pantainya yang terkenal. Segala keindahan yang bisa ditawarkan hidup ada di sini, namun sikap Nadine yang terus-terusan gloomy merusak suasana liburan yang (seharusnya) nikmat ini. Dan Ingga terpaksa stuck di sini demi menjaga sahabat sehidup-sematinya agar tidak melakukan perbuatan tolol seperti menenggelamkan diri di laut atau loncat dari balkon kamar hotel.

Ingga tersenyum kecil, mendadak ingat pada Lintang Triwardhana, sepupu yang usianya hanya terpaut 2 tahun dengannya.

Seperti Nadine dan dirinya, Lintang juga sangat dekat dengan Ingga. Praktis hampir seumur hidup Ingga bergaul dengan kedua orang ini. Nadine adalah sahabatnya sejak kecil, sedang Lintang dan Mamanya pernah tinggal di rumah Ingga untuk waktu yang cukup lama.

Lintang adalah sosok perempuan yang mandiri, super cuek, blak-blakan dan keras kepala. Sampai sekarang ia belum pernah pacaran, karena 1 alasan yang sangat simpel: Pacaran itu ribet.

Lintang mencintai kebebasan seperti mencintai hidupnya sendiri. Mengikatkan diri dalam sebuah komitmen, walau judulnya ‘cuma’ pacaran, menurutnya hanya akan membatasi dirinya. Lintang menganggap komitmen sebagai sesuatu yang berpotensi mengekang kebebasan. Ingga hanya bisa manggut-manggut blo’on kala sepupunya mengutarakan hal itu, meski baginya pendapat Lintang agak berlebihan.

Tapi Nadine adalah cerita yang sama sekali berbeda. Paradoks segala paradoks. 2 tahun sudah cinta pertamanya kandas di tengah jalan. Cinta pertama adalah cinta terindah yang paling sulit dilupakan. Okay, mungkin itu benar. Tapi, hellowwww… 24 bulan?!

Perempuan lain mungkin akan marah dikhianati orang yang sangat dicintai. Atau kecewa. Sedih. Mengutuk. Semua adalah reaksi normal dari seorang gadis yang baru kehilangan cinta pertama. Tapi menangisi sampai 2 tahun? Itu cuma Nadine yang bisa.

Okay, mungkin Ingga agak keterlaluan membanding-bandingkan sahabatnya dengan orang lain, karena toh setiap orang memiliki pembawaan dan karakter yang berbeda. Tapi sikap Nadine bukan hanya menyusahkan dirinya sendiri, namun juga orang-orang yang menyayanginya. Keluarganya. Sahabat-sahabatnya. Juga seorang pria berinisial S yang berinisiatif mendekati Nadine dan mundur teratur saat menyadari sang putri tidak sanggup berpaling dari cinta pertamanya.

Nadine kembali menyusut matanya dengan selembar tisu. Tisu yang sama kemudian pindah ke hidungnya, sebelum masuk ke dalam gelas fruit punch sebagai persinggahan terakhir. Gelas itu hampir penuh. Ingga memperhatikan semuanya dalam diam, meski ia ingin sekali bertanya, ‘nggak capek ya nangis terus?’.

Padahal semalem udah maraton nangisnya. Sejak siaran berita Liputan 6 sampai ‘Satu Nusa Satu Bangsa’, which is, jam 2 pagi! Sayangnya, volume yang dikeraskan Nadine demi menyembunyikan isakannya malah membuat Ingga sukses begadang sampai subuh.

Thanks ya, Ing…” ucap Nadine lirih. Mata sembap itu lagi-lagi digenangi air. “Thanks udah jadi orang yang ngertiin gue selama ini, yang selalu paham kondisi gue…”

Ingga tidak tahu harus berkata apa.

Paham? Sebenarnya tidak. Entah sudah berapa kali ia meminta, membujuk, bahkan memohon agar Nadine merelakan pengharapan yang masih terus disimpannya bagi Pangeran Cinta, terlebih karena pengharapan itu tidak mungkin terwujud.

Pangeran Cinta sudah menemukan Putri Cantik belahan jiwanya. Ia tidak lagi berlayar di samudera luas karena sauh telah ditambatkannya di altar pelaminan. Nadine menerima undangan itu seminggu yang lalu. Dan itulah alasan mereka berada di Jimbaran sekarang, menatap laut yang terhampar indah tanpa bisa menikmatinya. Duduk di pantai berpasir lembut sambil sibuk dengan pikiran masing-masing. Ini sama sekali bukan liburan. Ini misi menyembuhkan hati, yang kalau dilihat dari sudut manapun, sepertinya si penderita malah tidak ingin sembuh.

Hari semakin gelap. Matahari sudah terbenam sejak tadi. Ingga sempat berdecak kagum melihat pemandangan fantastis yang tersaji di depan matanya saat sunset menjelang. Ia melirik Nadine, namun reaksi gadis itu datar saja. Sama seperti sunset yang memperoleh tepuk tangan meriah dari bule-bule yang berjajar di pinggir pantai, 2 tahun ini berbagai keindahan yang ditawarkan hidup seperti lewat begitu saja di depan Nadine. Terlihat, tapi tak tampak. Ada, namun tak disadari.

Tetapi, sekali lagi, hidup adalah pilihan. Setiap orang berhak untuk menjalani hidup dengan cara masing-masing. Apapun itu.

Ingga meraih ujung-ujung jari Nadine yang terasa dingin dan menggenggamnya. “Lo tahu, apapun yang terjadi, lo selalu punya gue.”

Nadine menatap sahabatnya dengan rasa terima kasih yang besar. “Thanks, Ing. Lo emang sahabat yang paling ngerti gue.”

Ingga tersenyum. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain mengusap lembut punggung tangan Nadine, menularkan dukungan dan kekuatan. Hanya Nadine yang bisa menolong dirinya sendiri. Bukan Ingga, bukan keluarganya, bukan sahabat-sahabatnya yang lain.

Ingga berharap itu akan segera terjadi. Dan ketika hari itu tiba, mungkin mereka akan bisa menikmati sunset dengan cara yang berbeda.

—–

Absolut, Kalau…

“Nin, lo udah beli Conan yang bulan ini, kan?”
Sapaan itu terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu penghubung antara ruang makan dan teras belakang. Kolam renang tampak gemerlap tertimpa sinar bulan. Nina duduk di pinggirannya dengan kaki terendam. Ia menoleh sekilas. Steve muncul dari balik pintu geser, berkeringat dan masih memakai baju basket.
“Pinjem dong, Conannya!”

“Selamat malam juga.” Balas Nina sarkastis.
“Yeee, nyindir.”
“Siapa suruh dateng-dateng nyebelin! Jorok lagi!”
“Ini mah bukan jorok!” Protes Steve nggak rela. “Keringetan doang, dan tidak mengurangi kegantengan!”
“Njis. GR banget sih!” Maki Nina. “Jauh-jauh sono, jangan ganggu gueeee!”

Bukannya beranjak, Steve malah duduk di samping adiknya. Melonjorkan kaki dengan malas, membiarkan jari-jarinya menyentuh air kolam. Air itu berkecipak sedikit.

“Awas kalo sengaja nyiprat-nyiprat!” Ancam Nina judes.
“Lo salah makan ya?”
“Bukan urusan lo.”
Steve tertawa mendengar respon yang diucapkan sambil cemberut itu. Ia mengacak rambut Nina. “Napa sih, sensi amat?”
“…”
“Gak cakep lagi tuh, kalo manyun gitu.”
“Emang.”
“He?”
“Mo manyun kek, senyum kek, gak ngaruh. Gue kan jelek.”
“Kok?”
“TADI LO YANG BILANG GITU!”

Steve mengusap wajahnya dengan mimik kocak. “Yang sabar… yang sabar…”
“Kalo gak sabar pergi sana!”
“Gue kan gak bilang lo jelek. Siapapun kalo ngambek plus marah-marah gak jelas, bentakin orang sambil teriak-teriak, pasti gak cakep lagi mukanya.”
“Agnes Monica apa kabarnya?”
“Ya itu mah lain, hehehe…”
“HUH!”

Seriously…” Steve mengubah posisi duduknya sedikit, menghadap Nina yang wajahnya makin tertekuk, “Lo kenapa, Dek?”

Nina membuang muka. Cahaya bulan yang menimpa air kolam menciptakan refleksi indah di wajahnya.
Jeda itu mengambang di antara mereka, dan Steve tidak berusaha mengisinya. Biarkan saja.

“Windy bilang…”
“Windy yang cheerleader?”
“Emang ada berapa Windy di sekolah? Orang lagi ngomong denger dulu kek!”
“…”
“Dia sekarang jalan sama Donnie.”
“Mantan lo itu?”
Nina mengangguk.
“Lo masih sayang dia?”
I’m totally over him,” geleng Nina. “The thing is…” ia menggigit bibir bawah sebelum meneruskan, seolah takut dengan apa yang akan diucapkannya. “Windy nyebarin ke semua anggota cheerleaders… kalo Donnie mutusin gue karena, well… karena gue jelek.”

Steve mengerutkan kening. Cewek tuh, kalo udah sirik, serem ya kelakuannya?
“Lo sakit hati karena itu?”
Nina menggeleng. “Gue udah tau -dari sejak pacaran- secara fisik gue gak memenuhi standarnya Donnie. Dia suka cewek yang putih, rambutnya lurus, hidungnya mancung… semua itu gak ada di gue. Donie sering bandingin gue dengan anak-anak cheers lain, suruh gue rebonding, pake lotion pemutih kulit…”

Tanpa sadar tangan Steve mengepal. Darahnya menderas. That son of bi**h. Kalo gue tau… Kenapa baru cerita sekarang, Nin?!
Tapi ia menahan lidah demi melihat gumpalan bening di sudut mata Nina.
“Gue gak terlalu peduli…” Nina mengusap mata, ”gue bangga dengan diri gue sendiri. Gue nyaman jadi diri sendiri, apa adanya. Dan gue gak mau berubah. Itu yang bikin Donnie mutusin gue. At that time gue masih mikir, kalau cuma itu alasannya, well… berarti dia emang shallow and I deserve better. Gue gak nyesel dia pergi, karena hidup gue jadi lebih baik tanpa dia. Gue malah ngerasa bebas…”

“Gue gak ngerti, Dek,” Steve merendahkan intonasi, berusaha keras terdengar (agak) lembut, “kalo gitu, apa yang bikin elo mewek kayak gini?”
“…”
It’s OK if you don’t want to answer, though.”
“Setelah berita itu nyebar ke anak-anak cheers dan seluruh angkatan –lo tau kan anak-anak cheers sekolah kita kayak gimana mulutnya-…”
Steve mengangguk sambil mendengarkan. Nggak heran. Waktu putus sama Manda aja, gosip yang beredar adalah Manda hamil di luar nikah dan dikeluarkan dari sekolah! Padahal mereka putus karena Manda harus cabut ke luar negeri, ikut Papanya yang pindah tugas ke San Fransisco.
“Cara mereka liat gue, bisik-bisik di belakang gue… somehow itu kayak negesin, bahwa gue emang gak pantes jalan sama Donnie. Gak heran Donnie mutusin gue. Karena gue jelek. Gue gak menarik.”

… …

“Hari gini fisik bukan patokan lagi, Nin.” Steve berkata lembut.
“Tapi itu yang pertama diliat kan, Mas?” Nina berbisik, perih.
Steve menatap adiknya lekat-lekat. Gumpalan bening di mata Nina membuatnya ingin sekali menonjok cowok leboi yang sudah merendahkan harga sebuah hubungan demi penampilan fisik. Tapi itu tidak ada gunanya. Sekarang Nina yang paling penting.
Attitude always comes first, Nin.”
“Fisik kan penting juga! Itu yang pertama keliatan mata!”
“Tapi bukan segalanya.” Steve berkata tenang. “Gue pribadi, kalo menilai cewek bakal lihat dari kelakuannya dulu. Cantik tapi manjanya setengah mati, ya malesin. Atraktif tapi kelakuan minus, ya lewat.”

Nina mengerutkan kening, sama sekali tidak menduga jawaban yang menurutnya ‘dalem’ itu. “Emang apa yang lo lihat dari seorang cewek, selain kelakuan?”
Steve mengulurkan tangan, menyentuh ringan kening adiknya dengan jari telunjuk.
“Otak. Dan hati.”
“…”
“Itu yang menentukan apakah seorang cewek keliatan cantik di mata gue atau nggak.”

“Tapi kan itu kata lo.” Protes Nina.
“He?”
“Iya. Itu kan menurut lo. Di mana-mana juga, cantik itu relatif, jelek itu mutlak.”
“Siapa bilang?” Tangkis Steve, dalam hati bersyukur karena Nina kini tampak lebih tertarik pada objek diskusi mereka yang baru ketimbang mewek. Walau itu adiknya sendiri, Steve paling kagok menghadapi perempuan yang menangis.
“Ada tuh di majalah.”
“Majalah didengerin. Prioritas mereka kan cari duit.” Cibir Steve, yang membuahkan tonjokan ringan di pundaknya. “Makanya pilih bacaan yang bener dong… kayak GameMania, Conan…”
“Heuuuuu, gak lucu!!”

“Eh, tapi seriously, Nin…” Steve menatap adiknya lekat-lekat. “Percaya gue. Kecantikan gak diukur dari fisik doang. Tuhan itu nyiptain setiap manusia spesial. Setiap orang menarik dengan cara sendiri-sendiri. Dan elo…” Ia mengacak lembut rambut wavy Nina, “Lo cantik. Beneran.”

“Trus tentang teori itu, gimana? Cantik relatif, jelek mutlak?”
“Itu salah,” jawab Steve santai, membuahkan kerut kesekian di wajah adiknya. “Yang bener, cantik itu yang mutlak.”
“Kok?!”
“Ya iya. Cantik itu absolut, kalo lo pikir lo cantik. Dan nggak ada yang bisa merubah itu. Nggak orang lain, nggak gosip, nggak apa kata majalah.”
Nina terdiam, mendadak takjub dengan perubahan abangnya malam ini. Kesambet jin bijak kali, ya?

“Udah ah, gue mau mandi!” Steve melompat berdiri, membuat Nina terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu. “Mana Conannya?! Pinjem dong!”
“Huh!” Cibir Nina. “Ntar aja abis lo mandi. Nanti komik gue bau kena keringet!”
“Alaaah pelit! Dipegang doang mana bau sih…” Steve mengusap keningnya yang penuh titik-titik air… …dan mencipratkannya ke arah Nina dengan gerakan kilat, “Kalo begini tuh baru!!!”

“STEEEEEEVE… AWASSS LO YAAAAA!!!!!!!!”

———

*Terinspirasi sebuah percakapan di kanal maya. Hey GABAN, kalo lo baca ini; elo bener banget. 🙂

Cara Mencinta

“Sembilan bulan saya membawa dia di perut ini, Nak. Saya melahirkan dia. Saya sangat tahu dia.” Mata perempuan setengah baya itu membasah saat bibirnya berucap dengan gemetar, menahan tangis. “Saya sangat kenal anak saya… tapi sekarang dia berubah menjadi orang asing.”

Saya mengulurkan tangan untuk menyentuh jemarinya, mencoba menyalurkan kekuatan yang tidak seberapa bila dibanding kesedihannya.

“Sikapnya berubah drastis. Terhadap kami orang tuanya, terhadap adik-adiknya. Kami kehilangan dia…”

“Dulu adik-adiknya sangat betah ngobrol dan bercanda dengannya. Dia teman diskusi yang menyenangkan untuk Ayahnya. Dan dia selalu menjadi kebanggaan saya. Tapi sekarang… semua berubah. Dia menarik diri dari kami, keluarganya. Kami sering sekali bertengkar. Kami bertengkar hampir setiap hari.” Kerut-kerut di sekitar matanya semakin jelas terlihat ketika pelupuk itu membasah lagi. “Semua gara-gara perempuan itu. Dia berubah sejak ada perempuan itu.”

Saya memberanikan diri mengusap punggung tua itu, memberi dukungan.

“Saya sangat benci perempuan itu, Nak. Seandainya mereka tidak pernah ketemu. Seandainya anak saya tidak pernah berkenalan dengan perempuan nggak beres itu…”

Saya mengangguk. “Ibu sudah punya calon lain untuknya.”

Ia membenarkan. “Tapi kalau pun nggak jadi dengan calon Ibu itu, nggak apa-apa juga, Nak. Yang penting jangan sama perempuan yang satu itu. Ibu nggak rela kalau sama dia.”

“Kenapa?”

“Perempuan nggak bener. Ibu nggak suka sama dia. Masa depan anak Ibu pasti hancur kalau nikah sama dia. Sekarang aja udah nggak beres gitu hidupnya…”

Saya menatap sepasang mata itu lekat-lekat. Yang ada di sana adalah pancaran cinta seorang Ibu, sekaligus kesedihan yang mendalam.

“Ibu cuma pengen yang terbaik buat dia, Nak. Ibu nggak rela kalau dia sampai nikah dengan pacarnya, perempuan itu…”

“Tapi Bu…” Saya menjawab hati-hati, sehalus mungkin agar tidak semakin menyakiti perasaannya, ”Kalau memang tekadnya sudah bulat, mungkin akan lebih baik jika Ibu membiarkannya menjalani keputusan itu, dengan segala konsekuensinya. Mungkin akan lebih baik kalau Ibu menerimanya, berbesar hati…”

“Pokoknya Ibu nggak rela.” Kalimat itu memotong ucapan saya dengan tandas, sukses membuat saya terdiam karena kaget. “Saya Ibunya, dan apapun yang terjadi, saya nggak akan merelakan anak saya nikah dengan perempuan itu.”

Saya tidak berkata-kata lagi.

Ia masih menangis. Masih mencurahkan isi hatinya dalam perbincangan panjang yang saya sendiri tidak tahu kapan akan berakhir. Mata itu masih terus membasah. Lagi dan lagi. Dan saya terus duduk di sana, mengusap punggungnya dan menggenggam jemarinya, mencoba menyalurkan kekuatan yang tidak seberapa.

Seandainya saya bisa mengutarakannya.

Bahwa ada banyak cara untuk mencintai, dan melepaskan adalah salah satunya.

Tapi entahlah. Bagaimanapun, saya bukan seorang Ibu. 🙂

Dipersembahkan untuk seorang Ibu yang sangat mencintai putra tunggalnya.
Semoga bahagia senantiasa. 🙂