Kennetha dan Karakter Fiksi

Screen Shot 2016-04-07 at 1.01.34 PM

“Gila, bikin karakter fiksi itu susahnya ampun!” Kennetha menepuk setir dengan tampang gemas, tapi kedua matanya berbinar penuh semangat. Kami baru bertemu tiga menit sebelumnya, saat mobil Uber yang ia kendarai menjemput gue di pelataran sebuah hotel di Los Angeles, California. Dia melirik gue dengan tampang jahil saat memberitahu bahwa jalur memutar yang kami ambil sebetulnya ditutup untuk umum. Gue cengar-cengir saja. Obrolan pun bergulir.

Kennetha pindah ke Los Angeles demi mengejar mimpi di Hollywood. Profesinya sebagai make-up artist yang sudah kebagian cipratan proyek drama seri TV populer mengobarkan impiannya sebagai penulis fiksi. “Sebelum ini, saya tinggal di Italia. Well, traveling, sih. Lama-lama capek juga, hidup dari satu koper,” tawanya, memperlihatkan deretan gigi yang amat putih.

Dalam perjalanan yang tak sampai sepuluh menit itu, kami bertukar cerita. Tentang kemacetan Los Angeles versus macetnya Jakarta yang … yah, sebenernya nggak bisa dibandingin, sih. Kemacetan LA boleh jadi menyandang gelar terburuk se-Amerika, tapi kemacetan Jakarta disinyalir mengalahkan padatnya lalu lintas hati yang berulangkali terluka. Nggak gerak-gerak, Cin.

Anyway.

“Sulit untuk tetap konsisten saat sedang menyusun sebuah cerita, apalagi kalau karakter yang kita tulis belum lengkap detilnya,” ucap Kennetha setengah mengeluh, yang langsung gue sambut dengan anggukan.

“Kamu harus memastikan karaktermu relatable ke penonton. Harus memastikan karakter tersebut mengalami perkembangan yang signifikan di sepanjang cerita. Nggak boleh stuck. Dia juga harus believable,” Kennetha menggeleng-geleng, “Nulis fiksi itu nggak enteng.”

Make-up artist. Super Uber. Entah apa lagi profesi yang disandangnya. Perempuan di samping gue sedang berjibaku demi sebuah impian. Sesuatu yang dulu kerap membuat gue merasa terasing dan sendirian, karena menghidupi mimpi yang (dirasa) terlalu besar pernah membuat gue memilih menutup diri. Kennetha justru sebaliknya. Ia membagikan mimpi-mimpinya senatural bercerita tentang maling jemuran yang dikeroyok warga RT 003.

Amerika, kau semakin menawan seiring bergulirnya waktu, padahal aku baru dua hari di sini.

“Kamu nggak mau pindah ke LA? Jadi penulis di Hollywood?” Kennetha melirik gue.

Gue tersenyum.

“Belum. Nggak sekarang.”

Los Angeles atau Jakarta. New York atau Bali. Mengejar mimpi bisa dari mana saja. Gue percaya itu.

In the meantime, wahai kawan-kawan penulis setanah air, marilah kita beramai-ramai belajar menulis karakter fiksi dari seorang supir Uber.

Mau Jalan-jalan dan Belanja Bebas Ribet? Yuk, Siap PIN!

Sebagai pengguna kartu kredit yang jarang menggesek kecuali benar-benar perlu (bukan karena irit tapi memang mengkhususkan pemakaian kartu kredit untuk traveling), saya nggak terlalu paham seluk-beluk penggunaannya. Pokoknya saya tahu pakai kartu kredit harus disertai tanda tangan. Yo wis to, diikuti, biarpun sering jengkel karena tidak semua petugas kasir ingat membekali diri dengan pulpen. Seringnya malah lupa, hingga terjadilah pinjam-meminjam pakai acara keluar kasir segala. Kalau nggak buru-buru, ya saya sabar aja nungguin Mbak Kasir mencari pulpen. Lain cerita kalau lagi kelaparan, kemalaman dan kebelet pipis!

Saya pernah, dong, misuh-misuh karena harus menunggu mbak-mbak kasir meminjam pulpen ke temannya, yang juga meminjam ke teman lain, yang ternyata baru meminjamkan pulpennya ke tetangga ipar adik tirinya (abaikan yang terakhir). Waktu itu, saya melanggar peraturan tidak-boleh-pakai-KK-kecuali-traveling karena uang tunai di dompet tidak cukup dan tidak bawa kartu debit. Rempongnya, mamak! Padahal, saya pengunjung satu-satunya di supermarket yang sudah mau tutup sementara di luar angin dan petir sudah sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia, siap muntah badai. Isssh! Sejak itu, saya selalu menyelipkan ekstra 100-200ribu di dompet untuk menghindari keribetan saat berbelanja.

Masalahnya, saya tidak selalu bisa membawa uang tunai dalam jumlah besar. Keribetan ini makin menjadi waktu saya melakukan perjalanan ke Eropa selama sebulan. Sebagian besar negara Eropa sudah mewajibkan penggunaan PIN kartu kredit sementara saya masih mengandalkan tanda tangan. Untuk keperluan sehari-hari (makan, subway, bayar penginapan, dan sebagainya) memang tidak masalah karena saya sudah mempersiapkan anggaran jauh sebelum keberangkatan. Yang jadi masalah adalah ketika nafsu belanja kumat dan yang standby di dompet hanya kartu kredit. Saya pernah terpaksa membatalkan transaksi karena kartu kredit tidak bisa digunakan. Kartu kredit ditahan? Pernah juga. Belum lagi kejadian-kejadian ngeselin di mana kartu kredit saya tidak diterima di mesin-mesin tertentu.

Tahu gitu, kan, sebelum berangkat saya minta PIN dulu ke bank! Untungnya, ada saja orang baik yang bersedia membantu sehingga perjalanan saya tetap lancar sentosa (albeit misuh-misuh sedikit). Phew!

Sepulangnya ke Jakarta, saya pun langsung menghubungi bank untuk minta PIN. Toh, kabar yang beredar waktu itu, Indonesia akan mewajibkan penggunaan PIN kartu kredit mulai tahun 2015. (Gimana kelanjutannya ya, sudah ada kabar?) Prosedurnya ternyata gampang. Saya bahkan tidak perlu datang ke bank. Semua dilakukan melalui email dan telepon, sesekali dibantu social media officer dari bank yang bersangkutan. Dalam waktu satu sampai dua minggu, bank mengirim PIN lewat email yang bisa diakses dengan password. PIN ini harus segera diganti dengan PIN pilihan sendiri lewat ATM.

Saya pun ngacir ke ATM terdekat. Nggak sampai 5 menit, beres. Legaaa! Kenapa lega? Karena selain mempermudah transaksi, penggunaan PIN secara otomatis memberikan perlindungan ekstra bagi pemilik kartu kredit. Pernah denger kan, kasus pembobolan kartu kredit yang baru ketahuan setelah digasak habis-habisan? Males banget kalau sampai kejadian saat saya sedang berada di kampung antah berantah negara X, misalnya.

Anyway, manfaat kartu kredit ber-PIN ini baru betul-betul terasa waktu saya ngelencer ke Taiwan, Desember kemarin. Saya sudah lupa tentang PIN dan tetek-bengeknya. Antrilah saya di kasir, menyodorkan kartu, daaan belanjaan saya langsung diserahkan berikut kartu kredit dan bukti pembayaran, tanpa tanda tangan dan cari pulpen! Hore! Cicik-cicik kasir tampak bingung waktu saya menerima barang-barang tersebut sambil cengar-cengir… dan kembali lagi ke kasir yang sama satu jam kemudian. Iya, saya nggak jadi pergi dan malah lanjut belanja, hihihi.

Kalau kamu, gimana? Punya cerita menarik tentang kartu kredit dan jalan-jalan? 😀

 

 

hOMe

My mother died 8 years ago. To me, she’s one of the strongest women in the world, yet I barely knew her. My memories of her are plenty, but having memories about someone doesn’t guarantee your understanding about that particular person.

I didn’t regret anything, though. Life has given me so much to be thankful for. I’ve been blessed beyond comprehension. Still, something was missing.

January 16th was the first time I saw Robin Lim. To me, she is a legend. I’ve heard so much about her, I read articles about her, I googled and YouTubed her like there’s no tomorrow. There’s something about this woman and I didn’t know what, or why. What I did know, I had tears on my cheek reading her interviews. To my surprise, weeks before I flew to Ubud for my 1-month vacation, my friend told me that she was working on a project with her. THE Robin Lim.

I was so surprised I couldn’t say a word. I wanted to beg her to introduce me to Robin but all I said was, “I really want to meet her. I don’t know why, I just know I do.”

One night, my friend and I went to Jazz Café where Robin’s husband, Will Hemmerle, was performing with his group. My friend introduced me to Robin, but the café was very full of noise. Robin seemed to enjoy Will’s performance so much. Didn’t want to interrupt her, I sat in the corner with my friend, looking around and drinking my beer while my friend was talking with someone else. About an hour later, I met someone who later became no other than my lover (but that’s another story).

It was funny as months later I realized, that night I met two persons who later become the most important parts in my life. Same night, same place. Life can be very funny.

I didn’t meet Robin until weeks later. I was busy hanging out with my new friend, who soon turned to be my travel fling, then finally, my boyfriend. After he left Bali, I was busy pulling myself together because my world was practically crumbling down. I fell in love. But then the other part of myself started speaking, gently, reminding me of the ‘unfinished business’.

I asked my friend would it be possible to meet Robin Lim in person. A very brave act considering my tendency to have this embarrassing reaction called “star-struck”. I had it before and it was beyond embarrassing. Still, it was worth the try.

My friend said that she couldn’t promise me a thing, but she would ask Robin if she could bring a friend the next time they work together. To my surprise, Robin said yes. I tried to pull myself together when my brain went, “HOLY SHIT I’M GOING TO MEET ROBIN LIM. I’M GOING TO SEE THE LEGEND IN  PERSONWHATSHOULDIDOWHATSHOULDISAYOHDAMNIMSODEAD.”

And so I went with my friend. I visited Bumi Sehat for the first time. Robin wasn’t there, but I was so overwhelmed by what I saw there I actually forgot my first plan. The place is just… how should I put it… heaven on earth. I felt like I can stay there forever. Bumi Sehat has this warm ambiance and everyone I met there was so full of smile. Their eyes were shining with love or some kind of mushrooms after-effect. *kidding! :D* That’s gotta be love. I felt so warm, and before I realized it, my eyes were filled with tears.

Then my friend told me that Robin was expecting us at home. My first reaction was, “At home? Seriously? Maybe I should just wait here.” Because, ladies and gents, there’s no way I would let a stranger entering my house. Or my bat cave, that is. My house is my most personal, private space.

15 minutes later, I was sitting at Robin’s kitchen table drinking fresh coconut water. Then Robin came and she hugged my friend with the tightest embrace I’ve ever seen. I was wondering how it felt like when she looked at me and greeted me in Indonesian, just two seconds before she planted a kiss on my cheek. That was the first motherly kiss I’ve ever remembered.

Hours later, I forgot my nervousness and I asked her a lot of questions regarding birth and womanhood. I forgot everything except the woman sitting gracefully in front of me, patiently answering all my questions in details. I don’t remember the exact questions I asked but I remember having tears in my eyes over and over again. It came like a wave. My eyes never stayed dry for more than 10 minutes.

Very soon, it got dark. Robin had to help delivering a baby at the clinic. I watched in silence as she tightly hugged my friend like a mother hugging her long lost child. Maybe I was exaggerating but that’s how I felt. Then came my turn. I said, “Thank you so much for having me here, Ibu.” I wasn’t ready when she pulled me into her arms, and holding me like no one ever did, she said, “I love you. Come here anytime.”

Say whaaaaaa–??

I stuttered. “R–really?” was all that came out of my lips. Because, ladies and gents, there’s no way I would say such thing even to my friends. My bat cave is mine and mine only. Let alone to a stranger I just met few hours before.

We were still hugging each other as her answer flew into my ears, “Of course! I don’t want to lose you.”

That night I cried myself to sleep. And I cried again when I woke up the next morning. But those were happy tears. I’ve never felt that way my entire life.

I got a chance to meet her again for the last time before I went back to Jakarta. It was then when I asked her, carefully and nervously, “Can I call you ‘Mom’?” Call me silly but it just felt right. She said “Yes” right away.

I thought of Ibu Robin and Bumi Sehat every day after I got back to my old life in Jakarta. Almost never a day went by without me thinking of Bumi Sehat family. Sometimes, when the feeling is unbearable, I sent her texts. She always replied, no matter how unimportant my texts were.

Today is my last day in Ubud, and my third visit to Bali this year. I always went to the same place, to see the same person. Sometimes I asked her questions. Sometimes we just sat and talked about anything. Sometimes I did nothing but watched her working on schedules, or played with the kids. It doesn’t really matter. Being there is all that I needed.

Last night before I departed we hugged each other, as usual. She planted a kiss on my cheek and as I took my bag I said, a little sadly, but also cheerfully, “Goodbye, Mom! See you soon.”

I stepped outside, and that’s when I realized, it’s so easy to call her ‘mOM’.

I think I’ve found my hOMe.

(Akhirnya) Bebas Lapar!

Aeroport, Mexico City, November 2010. Pagi jelang siang.

Saya mulai kelelahan menggeret koper dan ransel berisi laptop yang cukup berat. Udara yang dingin untuk ukuran orang Indonesia, kurang tidur dan perut kelaparan bukan kombinasi yang baik untuk memulai hari pertama di negaranya telenovela. Saya celingukan mencari restoran, cafe, foodcourt atau apa pun untuk sarapan sambil menunggu boarding untuk terbang ke tujuan berikutnya, Cancun.

Saya menghampiri seorang petugas kebersihan. Perempuan bermata ramah dengan tubuh agak gempal.

Excuse me, could you tell me where I can find the nearest restaurant?”

Ia tersenyum lebar. “Si!” (“Yes!”)

Naga-naga di perut saya seketika jumpalitan kegirangan…. sampai ia nyerocos dalam bahasa Spanyol yang sama sekali tidak saya pahami.

“Hoafsf jgpag sdhadhk ashdh sdgsa afgjgh adalgaehgp!”

I’m sorry, I don’t speak Spanish. Could you speak in English?”

“Kdfjt jwsro hajdfh jseohg sdgjaega asfhaw!” Tangannya menunjuk-nunjuk sebuah arah.

Okay, thank you.”

Saya mengikuti arah yang ia tunjuk. Beberapa puluh meter kemudian, tampak sebuah foodcourt. Fiuh! Akhirnya, sarapan!

Tidak lama kemudian, saya berdiri bengong di counter yang semua keterangannya ditulis dalam bahasa Spanyol. Perempuan di belakang kasir menunggu dengan tampang tidak sabar. Saya menunjuk gambar ayam goreng dan segera membayar. Setelah pesanan saya datang, saya makan dengan hati gembira …dan hampir menyemburkan suapan pertama yang baru masuk ke mulut.

MAMIIIH, INI AYAM APA GARAM?! Asiiiin! Tapi saya tidak punya waktu untuk mengganti sarapan. Ya sudahlah. Saya jejalkan keripik kentang ke mulut untuk menetralisir rasa asin.

Baru beberapa suapan, saya mendengar nomor pesawat saya dibacakan di pengeras suara. Para penumpang harus segera boarding, dan saya lupa lokasi gate-nya! Matik pangkat dua. Saya pun pergi dengan terburu-buru sampai nyaris kesandung koper sendiri. Bye-bye, breakfast.

Satu jam kemudian, saya sudah duduk anteng di dalam pesawat. Harapan untuk sarapan pun buyar karena ternyata pesawat tidak menyediakan makanan, kecuali sebungkus kecil crackers yang lagi-lagi asin kayak upil. (Saya pantang beli makanan di pesawat, by the way. Karena apa? Ya karena mahal! Hihihi.)

Sampai di Cancun, saya terpisah dengan rekan kerja saya dan naik taksi sendirian ke hotel… di mana nama saya dinyatakan belum terdaftar karena ada kesalahan administrasi. Saya tidak bisa masuk ke kamar dan terpaksa nangkring di lobby selama 2 jam, sibuk telepon, SMS dan e-mail sana-sini. Makan siang? Makhluk apa itu?

 

Pengalaman yang menyebabkan saya kelaparan itu tidak lantas membuat saya kapok. Seingat saya, berkali-kali saya kelaparan di perjalanan karena tidak membiasakan diri membawa cemilan/makanan apa pun setiap kali bepergian, dengan asumsi saya bisa menemukan tempat makan kapan pun, di mana-mana. Salah, Jenderal!

Tempat yang menjual makanan memang ada di mana-mana, tapi kelaparan di Ubud jam dua pagi sementara saya terlalu penakut untuk keluar kamar adalah situasi gawat darurat. Hujan deras bercampur angin kencang di Gili Trawangan yang berlangsung dari pagi sampai malam juga merupakan kondisi tak terduga yang bikin saya pengin menjedukkan kepala ke tembok. Kelaparan waktu traveling itu nggak enak, karena kondisi tubuh prima adalah salah satu syarat mutlak untuk traveling dengan nyaman. Kedinginan plus kelaparan jam lima pagi di Salatiga? Hohoho, silakan dicoba.

Kejadian berulang itu akhirnya, AKHIRNYA, membuat saya kapok karena berkali-kali masuk angin. Saya selalu menyediakan sebotol kecil air mineral dan roti di dalam tas. Tapi, kebiasaan sebagai perempuan slebor dan gedombrangan memang susah dihilangkan. Saya sering mendapati roti yang saya bawa benyek, hancur dengan isi mencelat ke mana-mana karena tertindih barang-barang yang seenaknya saya cemplungkan ke dalam tas. Entah sudah berapa banyak roti dan kue yang terpaksa masuk keranjang sampah gara-gara kesleboran saya.

Maafkan aku, Dewa Rezeki! :’(

 

Beberapa hari sebelum entry ini ditulis, saya mampir ke rumah seorang teman dan melihat sekotak cemilan di mejanya. FYI, kami punya hubungan simbiosis mutualisme, yang diterjemahkan secara bebas sebagai “makanan situ punya sini, makanan sini punya situ.”

Mulanya saya agak ragu, gara-garanya, saya pernah mencoba cemilan sejenis dan tidak suka, karena rasanya aneh. Tapi, teman saya meyakinkan, “Yang ini enak, Bo! Cobain dulu!”

Malam itu saya pulang dengan beberapa bungkus Fitbar di tas. Sampai di rumah, seperti biasa saya menyalakan komputer dan langsung sibuk sendiri. Lewat tengah malam, perut mulai krucuk-krucuk minta cemilan. Saya pun membuka sebungkus Fitbar dan mengendus-endus. Eh, aromanya manis, wangi kismis! Tes tahap satu lewat. Saya gigit sepotong kecil.

…….. ENAAAAAK!

Saya buru-buru mengambil ponsel dan mengirim SMS ke teman saya.

“Yang tadi lo kasih gue, enak!”

Balasannya masuk beberapa menit kemudian.

“Bener enak, kan! Gak percaya, sih!”

“Aseli. Besok minta lagi, ya!”

…….

MINTA MULU. BELI, JEEEEN.

Anyway.

Sejak hari itu, Fitbar selalu ada di tas saya. Dua-duanya, Nuts dan Fruits. Kurang maruk apa lagi, coba? Hey, don’t blame me, it’s healthy and tasty! 🙂

 Sejauh ini, Fitbar sudah menemani saya bekerja atau sekadar menjelajah internet di pagi buta, sepanjang perjalanan pulang-pergi (dan tentunya macet!) di dalam taksi, rumpi-rumpi cantik bareng teman, sampai diselundupkan ke dalam bioskop. Tak lupa, tentunya, pakai acara pamer ke pacar yang hobi meledek cemilan-cemilan saya sebagai “junk food nggak sehat penuh bahan kimia”. Ledekan pacar berhenti setelah saya tunjukkan cemilan favorit terbaru saya.

“Fitbar sehat, tauk! I can snack with no worry! Enak, lagi. Gak papa dong, aku ngemil yang ini?”

Hening sejenak. Waduh.

“Wah, boleh, tuh! Nanti kamu bawa banyakan ya, buat bekal kita hiking di Gunung Batur.”

*jeng jeng!* 🙂

Dan besok, tebak apa yang akan saya bawa untuk perjalanan pertama saya ke salah satu negara di EROPA? (Penggunaan huruf kapital di sini adalah sesuatu yang sangat disengaja.)

How can you not love something this good and easy to pack?

Seriously, you guys gotta try it. Cobain dulu, dan kalau memang suka, boleh banget bagi-bagi ke saya. Hihihi.

In the meantime, I have a suitcase to pack. Ciao! 😉

Tentang Sebuah Perjalanan

Perjalanan itu dimulai di sebuah pagi yang mendung. Jatah tidur yang didiskon lebih dari separuh, dahaga di kerongkongan, kereta yang terlambat, dan jubelan orang di stasiun nyaris membuat saya naik darah.

Ular besi yang ditunggu-tunggu tiba. Setengah berlari saya memanggul tas berisi pakaian sambil mencari gerbong. Tak sampai 10 menit, tas sudah tersimpan rapi di rak. Saya menghempaskan tubuh di kursi dan melepaskan sepatu.

Limabelas menit dari jadwal keberangkatan yang semestinya, kereta mulai bergerak. Saya menyingkirkan tirai merah jambu yang menghalangi pemandangan. Mendadak, saya malu karena hampir kehilangan kesabaran.

Saya acap mengeluh karena air PAM di kos-kosan kadang berwarna kecoklatan, sementara tak jauh dari rel kereta api Manggarai ratusan orang tinggal di ‘rumah’ yang terbuat dari kayu dan terpal.

Saya kerap menggerutu karena AC tua di kamar tak mengeluarkan hawa dingin, sementara di bawah jembatan ada orang-orang yang tidur hanya berlapis selembar sarung.

Saya sering mengasihani diri sendiri karena tak bisa pindah ke sebuah apartemen di pusat kota, sementara di bantaran Kali Code ribuan orang menggantungkan hidup dan harapan dalam udara yang pengap dan kotor.

Saya mengira saya memahami cinta dan segala permainan yang menyertainya, namun cinta sesungguhnya adalah sepasang kakek-nenek yang duduk berhadapan di pinggir jalan kota ini, di atas aspal yang dilapisi selembar tikar. Bermain catur tanpa kata.

Di kota ini masih berdiri rumah-rumah dengan jendela kayu tanpa kaca yang tak gentar menantang zaman, sementara di metropolitan gedung-gedung bertingkat telah menggusur wajah asli ibukota dan menyebabkan warganya terendam banjir.

Di kota ini ada bocah pengamen yang lantang bernyanyi ‘Aku Si Gembala Sapi’. Matanya menyipit malu ketika sadar sedang diperhatikan. Kulitnya legam, tubuhnya kurus, namun dendang dan geraknya penuh semangat.

Di kota ini ada suara roda becak yang beradu dengan aspal, lampu warna-warni permainan anak-anak di Alun-alun, dendang campursari dengan tabuhan gendang, sate empuk yang dibakar dengan jeruji sepeda, nasi kucing seribu rupiah, kuah soto yang dihirup panas-panas di warung pinggir jalan, derai tawamu, gurauan kita, obrolan tak putus-putus yang diselingi rintik hujan.

Dan barangkali itulah sebabnya saya amat mencintai perjalanan. Karena perjalanan—ke manapun ia membawa kaki-kaki ini—tak pernah alpa mengingatkan bahwa saya tidak butuh banyak untuk bahagia.

~ Jogjakarta, 5-10 Mei 2011 ~