Bareness

have you ever looked in the mirror
bare-faced, exposed, vulnerable
and still think,
my goodness, I’m beautiful?

’cause one of the best things in the world
is to realize that who you are is enough
and if you haven’t
would you be willing to try?

who you are
is
more
than
enough.

who you are
– scars
and
all –
is
beautiful.

Alasan Jatuh Cinta dengan Meal Prep

Creamy Lemon Pepper Chicken with Mushroom

Baru sebulan lebih mealprep-an, saya sudah berkali-kali jatuh cinta. (Apa itu meal prep? Silakan tanya ke Bang Google.) Berkali-kali ngomong ke diri sendiri, tau gini dari dulu ajaaa.

Saya nggak suka masak (dulu), dan nggak bisa masak. Kemampuan masak saya amat standar, goreng-goreng tumis-tumis, itu pun juaraaang buangeeet karena males kecipratan minyak. Sampai bulan Oktober, ketika saya memutuskan untuk membeli sebuah oven. Katanya, masak pakai oven itu praktis dan hemat tenaga. Saya juga menemukan ratusan resep makanan yang dibuat menggunakan oven. Gampang dan praktisnya lumayan bikin bengong. Prep time 10, 15 menit? Hajegile. SOLD!

Berbekal bimbingan Twelvi si Ratu Meal Prep yang sabarnya luar biasa dan rela di-WA dan ditelepon kapan saja, saya mulai rutin bertandang ke dapur. 

I love it.

Let me repeat.

I LOVE IT.

Here’s why:

Mengikuti proses bahan-bahan mentah menjadi masakan yang siap disajikan itu luar biasa menyenangkan. Menyaksikan daging ayam mentah yang dingin-dingin licin dan kulitnya yang berkeriput jadi ayam goreng empuk yang luarnya krispi itu menggembirakan. Mendengarkan suara berdesis ayam yang ‘digoreng’ lemaknya sendiri dari dalam oven itu bikin deg-degan hepi. Melihat kentang yang tadinya keras dan dingin jadi hangat dan lembut kayak bapaknya gebetan kamu setelah tiga bulan rutin ngapel bawa sate kambing itu membahagiakan.

I can take care of myself”. Sebagai manusia yang dulunya sangat menggantungkan hidup pada babang-babang ojek online, mas-mas gerai fast food dan mbak-mbak restoran, bisa masak untuk diri sendiri itu melegakan. Lapar tengah malam, tinggal buka kulkas dan hangatkan makanan sehat. Di luar hujan deras dan kelaparan, tinggal buka kulkas, repeat (kadang kan suka nggak tega ya, ngebayangin babang ojek hujan-hujanan membelikan pesanan kita), dan sebagainya.

Honey Glazed Bacon with Baby Beans

Beneran praktis. Meal prep memungkinkan saya menyantap masakan sendiri tanpa harus memasak setiap hari. Misalnya, enam potong Honey Lemon Chicken saya bagi menjadi 3 porsi untuk makan malam. Makan siangnya, Creamy Lemon Pepper Tuna, juga sebanyak 3 porsi. Simpan dalam kontainer cantik warna-warni, masuk kulkas deh.

SEHAT. Masak sendiri memungkinkan kita me-manage apa saja yang masuk ke tubuh. Mau pakai mecin dua kilo? Bebas. Pengin bebas penyedap? Yuk. Nggak pakai karbo? Silakan. Makanan berlemak tiap hari? Monggo. Banyakan sayur daripada daging? Mari. We are in charge of what we put in our body to the tiniest details. Hal yang sama tidak berlaku ketika makan di luar. Tidak ada yang bisa mengontrol berapa sendok penyedap rasa yang dimasukkan ke makanan kita. Tidak ada yang bisa memastikan pecel ayam langganan kita menggunakan ayam segar dan lalapan bebas pestisida, juga minyak yang belum dipakai menggoreng sebanyak 1.523 kali.

Last but not least, masak sendiri membuat saya berhasil menghemat uang dalam jumlah yang lumayan bikin bengong, meski ini tidak direncanakan. Ketika memulai, saya sekadar melihat meal prep sebagai sesuatu yang menantang, sehingga menjalaninya tanpa beban. Sebulan berlalu, saya mengeluarkan kalkulator dan mulai menjumlah… kemudian melongo. Pengeluaran saya untuk meal prep hanya sepertiga dari anggaran makan (di luar) setiap bulan. Padahal saya belanja di supermarket dengan bahan-bahan kualitas terbaik, bahkan impor.

Cajun Shrimp pedes nan endolitaaa

Lalu, ada saat-saat bengong ketika saya menyadari harga bahan makanan mentah bedanya bisa jauuu…h buanget dengan harga makanan di restoran, padahal bagi saya makanan itu nggak mahal. Contoh: setengah ekor ayam panggang favorit saya harganya empatpuluh ribu rupiah. Bagi saya ini sama sekali tidak mahal, malah murah. Lalu saya ke supermarket dan melihat seekor ayam mentah dihargai tigapuluhlima ribu rupiah. Ebuset! MURAH AMAT? Steak apa lagi, jangan ditanya. Karena saya penggemar rasa daging alias nggak suka steak yang dibumbui atau pakai saus macam-macam, kombinasi garam-lada-minyak zaitun sudah nikmat warbyasak. Steak model begini bisa saya masak sendiri dengan budget di bawah limapuluh ribu rupiah. Makan sepuasnya sampai begah dan nggak pengin lihat sirloin dua minggu ke depan.

 So yeah, this is why I fell in love with meal prep. It makes life better—and easier, in a way—if you’re willing to do what it takes to make it happen. Hal terpenting di hidup ini bagi saya sekarang cuma dua: kedamaian pikiran/ketenangan batin dan kualitas hidup yang terjaga. Meal prep menolong saya meraih keduanya.

Tentang Pergi dan Memilih Diri Sendiri

“Pa, sekarang aku tinggal di Bali.”

Itu kalimat kedua yang saya ucapkan pada Ayah usai “apa kabar?”, empat setengah tahun yang lalu. Hari itu adalah kali pertama kami berkomunikasi setelah satu bulan. Saya berkemas dan pindah ke Pulau Dewata tanpa sepengetahuan keluarga dan hanya memberitahu segelintir teman. Saya tahu Ayah tidak akan memaksa saya tinggal di Jakarta, namun keputusan tersebut juga tidak akan menggembirakan beliau. Maka, saya menunggu.

Enam tahun sebelumnya, saya angkat kaki dari rumah orang tua di Jakarta dan menyewa sebuah kamar mungil di Tangerang Selatan. Dua keputusan ini bertentangan dengan prinsip yang dianut keluarga besar saya: tinggal bersama orang tua sampai menikah, kalau perlu sampai beranak pinak, karena tidak ada alasan untuk pergi. Para sepupu yang sempat mencicipi hidup di luar negeri pun kembali tinggal bersama orang tua mereka setelah kuliah selesai.

Cetak biru itu sudah digambar sejak kami masih berupa janin dalam kandungan. Seumur hidup kami diharuskan—setidaknya diharapkan—mengikuti rancangan yang sudah ditetapkan orang tua, sanak saudara, keluarga besar. Tidak ada yang salah dengan mengikuti keinginan orang tua jika hal tersebut membahagiakanmu, namun saya adalah jenis individu yang tidak puas hidup sekadar mengikuti kehendak orang lain, meski itu orang-orang yang saya cintai.

Hubungan saya dan keluarga kerap diwarnai ketegangan karena pilihan yang saya tempuh seringnya tak sesuai dengan yang mereka inginkan. Saya sengaja melewatkan kesempatan untuk kuliah meski orang tua sudah menyiapkan biaya. Saya memilih hidup di sepetak kamar sempit dengan kipas angin usang dan ranjang berderit, mencuci pakaian di ember plastik sambil jongkok sampai kaki keram ketimbang menempati kamar dingin full AC di rumah bertingkat di mana semua kebutuhan saya terpenuhi tanpa harus mengangkat jempol. Saya memilih jadi penulis lepasan ketimbang pekerja kantoran dengan gaji stabil dan karir mapan. Saya bahagia menjalani hubungan tanpa pernikahan, tidak pernah (belum?) berkeinginan memiliki keturunan meski usia sudah menginjak kepala tiga, dan banyak lagi.

Saya sadar betul, semua pilihan datang dengan konsekuensi dan saya menjalani semuanya dengan rela, termasuk ketika adik saya nyeletuk, “You know you’re the black sheep in our family, right?”

I do.

Did it hurt? It did.

Was it worth it? It sure was.

Berpisah dengan keluarga dan hidup mandiri adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidup saya, karena itulah saat pertama saya merasakan kebebasan sesungguhnya, sepenuh-penuhnya. Saya keluar dari rumah karena memang sudah saatnya untuk pergi. Saya melepaskan diri karena sayap-sayap ini perlu ruang yang lebih luas untuk mengepak. Alasan lainnya tak lagi penting.

I left because I chose myself.

“Kamu di sana sendiri?” Itu pertanyaan pertama yang diajukan Ayah setelah terdiam cukup lama. Saya mengiyakan.

“Ya sudah. Yang penting jaga diri baik-baik.”

Kita tidak bisa memilih masa depan dan perputaran roda nasib, namun kita selalu bisa memilih diri sendiri.

Sepatah Dua tentang LGBT

Bapak-Ibu Anti LGBT yang Terhormat,

Semalam saya dan sahabat bertengkar. Meski bukan kali pertama, pertengkaran itu cukup hebat. Saat kami sama-sama kehilangan kesabaran, ia mengakhiri perdebatan dengan sebuah pernyataan, “Saya rela kehilangan nyawa untukmu.” Dramatis? Memang. Namun tak pelak kalimat tersebut membuat saya terdiam. Mengunci mulut yang sudah panas. Selain orang tua saya, barangkali ialah satu-satunya manusia yang sanggup berkata seperti itu dan sungguh-sungguh memaksudkannya.

Sahabat saya adalah pecinta sesama jenis, atau yang Anda semua kenal dengan LGBT. Singkatan empat huruf yang belakangan menjadi momok di mana-mana, lebih dari para koruptor, sipir pelindung bandar narkoba dan politikus busuk yang terang-terangan menyengsarakan begitu banyak orang di negeri ini. Lima tahun menjalin hubungan dengan kekasihnya, mereka terpaksa bersembunyi. Bayangkan mencintai seseorang selama bertahun-tahun dan tak bisa bergandengan tangan di ruang publik. Bayangkan saling menyayangi dengan tulus sambil mengetahui di luar sana ada begitu banyak lidah yang siap mengecam dan tangan yang siap melempari dengan batu tanpa mau berusaha memahami. Bayangkan seumur hidup menjadi berbeda, dianggap sakit, dituding laknat.

Bapak-Ibu yang Terhormat,

Karena menjadi atau bergaul dekat dengan kaum LGBT kelihatannya mustahil bagi Anda sekalian, tentu Bapak-Ibu tak tahu bagaimana rasanya memiliki satu atau beberapa dari mereka dalam hidup Anda. Mari saya jabarkan.

Di Jakarta yang jauh dari aman bagi perempuan di malam hari, teman-teman LGBT selalu memastikan saya pulang dengan aman. Mereka memagari saya ke mana pun kami pergi, melindungi saya dari pria iseng, membukakan pintu taksi dan membiarkan saya masuk serta turun lebih dahulu demi keselamatan saya.

Saya yang tak paham tata busana, rias wajah apa lagi rambut kini bisa berpenampilan yang pantas bahkan elok berkat teman-teman gay. Kesamaan kami dua: kami sama-sama menyukai laki-laki, dan kami sama-sama manusia.

Lelaki brengsek ada di mana-mana. Teman-teman gay menolong, memberitahu dan menasehati lelaki mana yang pantas didekati, mana yang sungguhan baik dan mana yang hidungnya berbelang-belang—mereka bisa melakukan ini karena mereka pun sesungguhnya laki-laki sejati.

Sahabat saya adalah orang pertama yang mengetahui apa pun yang terjadi di hidup saya, manusia pertama yang mendengarkan keluh kesah dan menjadi sasaran amuk kala saya dilanda gelombang hormon, penghibur kala hati saya patah, penolong saat saya jatuh, dan tak peduli betapa pun sulitnya saya, ia tetap ada. Ia memilih untuk ada. Pemandu sorak nomor satu di hidup saya, Bapak-Ibu yang terhormat, adalah pecinta sesama jenis yang Anda coba asingkan hanya karena perbedaan.

Bapak-Ibu yang Terhormat,

Usaha memerangi LGBT dan segala hal yang mencerminkan keberadaan mereka bukan saja menyudutkan mereka, namun juga menempatkan mereka sebagai entitas yang lebih rendah dari manusia. Menyebarkan ketakutan akan sesama makhluk ciptaan Tuhan dan menanam kebencian akan mereka yang tak pernah berbuat kejahatan, merampok rakyat, memanfaatkan kuasa untuk kepentingan diri, dan banyak lagi. Satu-satunya ‘dosa’ mereka adalah menjadi diri sendiri.

Barangkali Anda berargumen, menjadi LGBT bukanlah kodrat dari sang Pencipta Semesta. Barangkali menjadi LGBT adalah sebuah pilihan, namun, apa salahnya memilih untuk menjadi berbeda? Terakhir kali saya memeriksa, kita semua masih tinggal di negara demokratis, yang hukumnya memberi kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia bahkan untuk memilih seorang pembunuh massal untuk duduk di tampuk pemerintahan. Jika kita punya kebebasan seluas itu, apa yang salah dengan mengizinkan seseorang menjadi dirinya sendiri, mencintai siapa saja yang ia inginkan, selama hal tersebut tidak merugikan orang lain?

(Lagipula, tidakkah lebih baik mereka mencintai sesama, ketimbang menikahi … anak perempuan Bapak-Ibu misalnya, karena takut dianiaya?)

Bapak-Ibu yang Terhormat,

Sahabat saya rela kehilangan nyawa demi saya. Meski saya tak bisa mengatakan hal yang sama—karena saya lebih egois darinya—saya akan senantiasa membela keberadaannya sembari mengingat kalimat yang wajib dihafal mati semasa sekolah; bagian dari Pancasila pedoman anak bangsa yang semoga masih Bapak-Ibu camkan hingga detik ini:

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

My Father is One of the Biggest Jerks Alive and This is How I Forgive Him

I made my first conscious decision when I was seven years old. My biological father was (and probably still is) an alcoholic and an abuser. My mother got pregnant six times, only two survived. A relative revealed that my mother was severely abused and beaten up when my father found her pregnant. It was never clear why he got so upset with the pregnancies. The worst abuse took place shortly after my mother gave birth to my sister. My father accused her of having an affair (which wasn’t true) and beat her up, leaving her in hospital care with bruises literally all over her body and face. After she got out of the hospital my mother escaped the continuous torment with my sister but somehow left me behind. When she was strong enough, my mother fought back and lost the case—the judge granted my father the custody of me. My mother was left with no financial security—not even a dime, my sister and bruises that never healed until she passed away.

I stayed with my father for one year before I decided enough is enough. A man pointed a gun to my face to make the nanny reveal my fathers hiding place during a raid, but that wasnt why I wanted to leave. My father used to sneak into my room at midnight and steal my piggy bank, but that wasnt the reason I left. It was really simple: no one in my class went to school in a Mercedes with a bodyguard. Believe me, its very far from cool when youre seven. My father believed my mother would kidnap me and closely monitored every inch of my move. I could not talk to my mother on the phone. I could not play with my best friend after school. I wasnt allowed to play outside. I could not attend birthday parties. I could not do things kids my age did. Other kids made fun of me. I fought them and lost. Going to school became a constant torture. I had tons of dolls and toys at home that I barely touched. I had everything a kid would have ever wanted, except love. I wanted my mother. I wanted to see my baby sis. I craved for human touch and affection that nanny and maids could never provide.

My father developed a habit of coming into my room once a day, around 4-6 oclock in the afternoon, sitting on my bed and with a soft tone asked me two questions: 1) Do you love me? 2) Which one you love best, your mother or me? Sometimes he added the third question: Are you sure? My answers remained the same. Until I had enough.

He received a slightly different answer one day. Yes, I loved him, but I loved my mother more. He asked why. I did not answer. Instead, I told him I wanted to live with my mother. I kept repeating the same answers for days. It took him less than a month to send me off. After that I only saw him once or twice a year since and strangely enough, I did not miss him. We talked on the phone every day before I started to resent him—he always called in the afternoon while I was playing with my sister and cousins. We talked less and less. I was in junior high school when my mother told me that he had stopped sending money for my education. My father got married two more times. He came to my mothers funeral half drunk, grinning like a fool and talking nonsense. He was arrested the day my little sister got admitted to a hospital for appendectomy. He publicly disowned us a few years later. We never saw him again.

I honestly thought the pain from everything he did would never heal.

I spent precious years of my life hating him. Blaming him for my miseries (and for the losers that I dated). Asking unanswerable questions. Why he had to be such an asshole. Why he treated my mother the way he did. Why he made our lives miserable. Why this and why that. I could not find it in my heart to forgive him. I tried. I failed. Maybe, just maybe, forgiveness was not something thats meant to be.

Until the day I finally saw him—truly saw him—from a completely different point of view. I might not be able to call him father anymore but that doesnt make him less of one. That was when I got it. The awareness and wisdom I never knew existed.  Something I had never understood before, when I saw him from a wounded childs perspective: A father that lost.

Im not sorry for leaving him. It was one of the best decisions in my life. Im sorry that he lost me, a daughter who at only seven years of age firmly chose not to be with him. Im sorry that he lost my sister. Im sorry that he never got to see us grow. Im sorry for his pain as much as Im sorry for the pain he had inflicted upon us.

I paved my way towards healing with the understanding that he, too, has suffered. As a human being.

And thats how I forgive him.

Happy Father’s Day, Pap. Wherever you are.