Saya tidak percaya konsep soulmate. Bagi saya, soulmate adalah sesuatu yang abstrak. Konsep rekaan manusia untuk melariskan dagangan bunga, cokelat, kartu Valentine, fiksi romantis dan apa pun yang menghasilkan duit.
Soulmate, menurut saya, adalah konsep yang konyol, kalau tidak kejam. Manusia dikotak-kotakkan dan dicemplungkan dalam wadah kedap udara. Kamu baru lengkap kalau sudah menemukan soulmate-mu. Bagaimana jika belum? Selamat, kamu akan menghabiskan sisa hidupmu mencari soulmate. Puteri bersepatu kaca atau pangeran berkuda putih yang, akui sajalah, makin sulit ditemukan di rimba beton yang sarat macet ini.
(Excuse me, I need to breathe!)
Lantas, katakanlah, kamu berhasil menemukan seseorang yang paling mendekati definisi dan deksripsimu tentang soulmate, plus tidak keberatan disebut soulmate. Selamat, Anda layak dapat bintang. (Itu iklan apa ya, by the way?) Namun jangan lupa, pasangan yang paling romantis pun bisa berpisah, bisa cerai, bisa selingk—ahem, putus. Lalu, apa yang bakal terjadi kalau kamu kehilangan soulmate-mu? Akankah kamu kehilangan keutuhanmu?
Semua pemikiran di atas, akhirnya membuat saya berpendapat kalau konsep soulmate adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
Sampai saya bertemu dia.
Dia, barangkali, satu-satunya lelaki yang saya izinkan melihat air mata saya tanpa limit. Dia orang pertama yang saya hubungi dengan lutut bengkak berdarah usai kecelakaan yang nyaris menyebabkan saya jadi sandwich gepeng. Dan saya melihatnya duduk di lantai kamar saya, menangis terisak-isak, tersedu di ujung telepon, di pundak saya, dan banyak lagi. Akses tidak terbatas untuk mengetuk kamar saya di tengah malam? Siapa lagi kalau bukan dia pemiliknya.
Jika sampai sekarang ada orang yang membuat saya percaya bahwa tidak semua laki-laki di dunia begundal, dialah orangnya. Dia manusia paling murah hati, dan barangkali paling tolol, yang pernah saya kenal. Yang tidak pernah menunda berderma atau berlama-lama menawarkan bantuan, lalu melupakannya begitu saja.
(EMANGNYA DUIT BISA METIK DARI POHON, NYET?! – maaf, suka kebawa emosi.)
“Lo kenapa nggak bilang-bilang kalo nggak punya duit buat bayar sewa?” omelnya suatu saat. Jawabannya sederhana saja, karena saya tahu dia akan segera membobok tabungannya untuk menolong saya, dan saya tidak ingin itu terjadi. Dia perlu belajar memilah, dan saya perlu belajar mandiri.
Dia juga tidak segan mengulurkan tangan. Kapan pun, pada siapa pun. Pelukannya selalu tersedia dan telinganya tidak pernah bosan mendengar. Kepada dialah, saya mencari tempat bernaung saat perahu cinta saya kandas tanpa menyisakan apa-apa, dan dia dengan senang hati membukakan rumahnya, plus kedua lengannya, ketika saya memerlukan. Dialah pelampung yang dalam masa-masa paling kritis dan rapuh, menjaga saya tidak tenggelam.
Relasi kami bukan tanpa syarat. Hubungan kami bukannya sepi konflik. Ditambah, kami sama-sama punya lidah setajam silet. Berkali-kali saya jengkel, kesal, sebal, dan lebih dari sekali dua kami terlibat perdebatan sengit. Yang, tidak peduli betapa pun hebatnya, tidak pernah sanggup bertahan lama. Ejekan konyol dan lelucon bodoh selalu berhasil memecahkan tawa dan membuat kami berdamai kembali. Dan cuma dia satu-satunya orang yang dengan bebas bisa memanggil saya sebutan apa pun yang dia mau.
Saya tidak percaya konsep soulmate, sampai saya bertemu dia. Soulmate boleh jadi konsep paling absurd di jagat raya, namun saya berharap kamu, kamu, dan ya, kamu yang membaca tulisan ini, suatu saat nanti, akan dipertemukan dengan paling tidak seorang soulmate. Dan kalau kamu beruntung, kamu akan menemukannya dalam wujud seorang sabahat.

Bitch you later, Alexander @aMrazing Thian.