Bapak-Ibu Anti LGBT yang Terhormat,
Semalam saya dan sahabat bertengkar. Meski bukan kali pertama, pertengkaran itu cukup hebat. Saat kami sama-sama kehilangan kesabaran, ia mengakhiri perdebatan dengan sebuah pernyataan, “Saya rela kehilangan nyawa untukmu.” Dramatis? Memang. Namun tak pelak kalimat tersebut membuat saya terdiam. Mengunci mulut yang sudah panas. Selain orang tua saya, barangkali ialah satu-satunya manusia yang sanggup berkata seperti itu dan sungguh-sungguh memaksudkannya.
Sahabat saya adalah pecinta sesama jenis, atau yang Anda semua kenal dengan LGBT. Singkatan empat huruf yang belakangan menjadi momok di mana-mana, lebih dari para koruptor, sipir pelindung bandar narkoba dan politikus busuk yang terang-terangan menyengsarakan begitu banyak orang di negeri ini. Lima tahun menjalin hubungan dengan kekasihnya, mereka terpaksa bersembunyi. Bayangkan mencintai seseorang selama bertahun-tahun dan tak bisa bergandengan tangan di ruang publik. Bayangkan saling menyayangi dengan tulus sambil mengetahui di luar sana ada begitu banyak lidah yang siap mengecam dan tangan yang siap melempari dengan batu tanpa mau berusaha memahami. Bayangkan seumur hidup menjadi berbeda, dianggap sakit, dituding laknat.
Bapak-Ibu yang Terhormat,
Karena menjadi atau bergaul dekat dengan kaum LGBT kelihatannya mustahil bagi Anda sekalian, tentu Bapak-Ibu tak tahu bagaimana rasanya memiliki satu atau beberapa dari mereka dalam hidup Anda. Mari saya jabarkan.
Di Jakarta yang jauh dari aman bagi perempuan di malam hari, teman-teman LGBT selalu memastikan saya pulang dengan aman. Mereka memagari saya ke mana pun kami pergi, melindungi saya dari pria iseng, membukakan pintu taksi dan membiarkan saya masuk serta turun lebih dahulu demi keselamatan saya.
Saya yang tak paham tata busana, rias wajah apa lagi rambut kini bisa berpenampilan yang pantas bahkan elok berkat teman-teman gay. Kesamaan kami dua: kami sama-sama menyukai laki-laki, dan kami sama-sama manusia.
Lelaki brengsek ada di mana-mana. Teman-teman gay menolong, memberitahu dan menasehati lelaki mana yang pantas didekati, mana yang sungguhan baik dan mana yang hidungnya berbelang-belang—mereka bisa melakukan ini karena mereka pun sesungguhnya laki-laki sejati.
Sahabat saya adalah orang pertama yang mengetahui apa pun yang terjadi di hidup saya, manusia pertama yang mendengarkan keluh kesah dan menjadi sasaran amuk kala saya dilanda gelombang hormon, penghibur kala hati saya patah, penolong saat saya jatuh, dan tak peduli betapa pun sulitnya saya, ia tetap ada. Ia memilih untuk ada. Pemandu sorak nomor satu di hidup saya, Bapak-Ibu yang terhormat, adalah pecinta sesama jenis yang Anda coba asingkan hanya karena perbedaan.
Bapak-Ibu yang Terhormat,
Usaha memerangi LGBT dan segala hal yang mencerminkan keberadaan mereka bukan saja menyudutkan mereka, namun juga menempatkan mereka sebagai entitas yang lebih rendah dari manusia. Menyebarkan ketakutan akan sesama makhluk ciptaan Tuhan dan menanam kebencian akan mereka yang tak pernah berbuat kejahatan, merampok rakyat, memanfaatkan kuasa untuk kepentingan diri, dan banyak lagi. Satu-satunya ‘dosa’ mereka adalah menjadi diri sendiri.
Barangkali Anda berargumen, menjadi LGBT bukanlah kodrat dari sang Pencipta Semesta. Barangkali menjadi LGBT adalah sebuah pilihan, namun, apa salahnya memilih untuk menjadi berbeda? Terakhir kali saya memeriksa, kita semua masih tinggal di negara demokratis, yang hukumnya memberi kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia bahkan untuk memilih seorang pembunuh massal untuk duduk di tampuk pemerintahan. Jika kita punya kebebasan seluas itu, apa yang salah dengan mengizinkan seseorang menjadi dirinya sendiri, mencintai siapa saja yang ia inginkan, selama hal tersebut tidak merugikan orang lain?
(Lagipula, tidakkah lebih baik mereka mencintai sesama, ketimbang menikahi … anak perempuan Bapak-Ibu misalnya, karena takut dianiaya?)
Bapak-Ibu yang Terhormat,
Sahabat saya rela kehilangan nyawa demi saya. Meski saya tak bisa mengatakan hal yang sama—karena saya lebih egois darinya—saya akan senantiasa membela keberadaannya sembari mengingat kalimat yang wajib dihafal mati semasa sekolah; bagian dari Pancasila pedoman anak bangsa yang semoga masih Bapak-Ibu camkan hingga detik ini:
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.