The Three Musketeers

photo 2

Two kids approached a stray dog that stopped in front of a restaurant to beg for food. The little girl mumbled something to her brother. Big brother came closer, giving an example. The dog let the total strangers pet him. Without words, those three quickly became friends.

Minutes later, the three musketeers turned into a crowd of six.

photo 1

Sometimes, it takes two little kids and a dog to remind us, adults, of the purest form of love and trust we lost a long time ago.

 

Suara Hati Ibu Petani

Dua petani bekerja bersisian. Lengan-lengan mereka yang tersaput butiran garam laut berkilau ditimpa cahaya mentari. Keduanya bekerja dengan cepat dan cekatan, tak punya waktu untuk menikmati keindahan yang ditawarkan laut dan gunung terbentang.

Petani berikatkepala, yang rupanya perempuan, berhenti untuk meluruskan punggung. Keranjangnya penuh terisi rumput laut berjuntai-juntai. Tanaman yang bakal jadi penganan enak di restoran Jepang, hotel bintang lima, atau dijual di supermarket dalam kemasan cantik, baginya tak lebih dari sumber mata pencaharian yang menghasilkan uang tak seberapa.

Petani satunya, lelaki muda yang otot-ototnya masih liat, ikut berhenti bekerja. Keranjangnya hampir luber. Menoleh ia ke sang ibu, yang kemudian dihampirinya sambil memanggul hasil panen hari itu.

Mereka bercakap sejenak, sebelum si lelaki memindahkan beban berat ke pundaknya. Tak tanggung-tanggung, dua pikul sekaligus. Dengan gagah dipanggulnya ikat-ikat rumput laut sambil berjalan tegap seolah memamerkan, “Lihat, Ibu, tak sedikit pun aku oleng.”

Sang ibu tersenyum tipis. Pandangannya tak luput mengikuti gerakan gesit putranya. Dalam diam matanya berbinar, seolah ingin berujar,

“Mudah-mudahan nasibmu kelak lebih baik, Nak. Biar punggungku saja yang habis ditempa matahari dan digerus angin, sebab jalanmu masih panjang dan usiamu masih terlalu banyak untuk dihabiskan di tempat ini.”

petani

Pesan dari Cancun: Kiamat Modern Tak Perlu Datang Lebih Awal

Saya cukup beruntung mendapatkan kesempatan untuk meliput konferensi perubahan iklim internasional yang diadakan di Cancun, Meksiko, November-Desember 2010. Pengetahuan saya tentang perubahan iklim selama ini bisa dibilang cukup, tapi saya tak pernah betul-betul memahami dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global yang sering saya baca di media cetak dan internet. Di Cancun, selama dua minggu penuh, saya melihat dan mendengar banyak hal yang membuka mata dan hati saya.

Perubahan iklim dirasakan oleh seluruh negara di dunia, namun ada negara-negara tertentu yang paling parah merasakan pengaruhnya. Dampak perubahan iklim tidak saja meliputi kekurangan bahan makanan, namun juga berpengaruh terhadap kemakmuran dan kesehatan penduduk—yang dipicu kelaparan dan kekurangan gizi—di daerah yang bersangkutan.

Dalam salah satu sesi di Cancun Messe, delegasi dari Uganda—betul, Uganda, tempat yang selama ini cuma saya dengar di televisi—menceritakan kondisi negaranya di mana bencana alam kian sering terjadi. Temperatur meningkat kurang lebih 0.28 derajat Celcius setiap dekade. Kalikan sepuluh, maka persoalan ini tak bisa dianggap remeh.

Perekonomian Uganda saat ini amat bergantung pada sumber daya alam, namun perubahan iklim telah mengakibatkan berbagai peristiwa cuaca ekstrim yang berujung pada rusaknya lahan pertanian. Kegagalan panen. Hama. Meningkatnya kelaparan dan kemiskinan. Kekeringan, kelangkaan air dan erosi tanah bukan hal asing di Uganda. Dan jangan lupakan pertumbuhan populasi yang mengakibatkan situasi bertambah parah, karena jumlah penduduk tak berimbang dengan ketersediaan air dan pangan.

Belum habis keterkejutan saya mendengar fakta-fakta itu, naik ke podium seorang pria berkulit gelap. Ia memperkenalkan diri sebagai delegasi dari Republic of Seychelles di benua Afrika. Namanya Ronny Jumeau. Dengan pelan ia menjelaskan bahwa situasi yang disebabkan kekurangan air dan kekeringan jauh lebih kompleks dibanding dugaan orang selama ini.

Suara Jumeau meninggi saat ia menegaskan bahwa negaranya bukanlah negara miskin. Kelangkaan air itu disebabkan oleh perubahan iklim. Musim hujan menjadi lebih pendek dan kekeringan menjadi ancaman yang tidak hanya merugikan, namun juga mematikan. Untuk mengatasi masalah ini, penggunaan air terpaksa dibatasi secara ketat. Beberapa daerah malah tidak mendapatkan jatah air sama sekali sehingga penduduk harus mengantri demi seember-dua ember air. Masalah berhenti sampai di sana? Tidak. Meningkatnya harga barang kebutuhan pokok seperti makanan dan minyak amat berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.

Ruangan menjadi hening ketika Jumeau bicara dengan suara bergetar, “Bangsa kami adalah bangsa yang ramah. Kami senang tersenyum. Tidak mudah bagi kami untuk tersenyum, namun senyuman bisa meringankan beban hidup karena kami tidak mampu membayar terapis. Kami tersenyum, namun kami menderita. Seychelles adalah negeri yang indah, namun kami tidak bisa hidup dari keindahan belaka. Kami tidak bisa makan pasir. Kami tidak bisa minum air laut. Perubahan iklim yang disebabkan tingkah laku manusia telah menyebabkan semua kesusahan ini.”

Delegasi yang bercerita tentang kondisi negara mereka tak cuma orang dewasa. Anak-anak—bahkan yang berusia di bawah remaja—yang turut hadir dalam konferensi iklim Cancun tak mau ketinggalan.

Walter dari Belieze, yang usianya tak lebih dari 10 tahun, dengan berani bercerita tentang banjir yang melanda kotanya dan mengubah hidupnya. Bencana tersebut menyebabkan keluarganya kehilangan hasil pertanian selama berbulan-bulan dan menyisakan trauma mendalam.

“Saya adalah korban perubahan iklim. Saya hidup di daerah yang terus menerus mengalami bencana. Orang-orang kehilangan rumah, hasil panen, bahkan nyawa mereka,” lugas ia bercerita.

“Tolong lakukan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Berikan contoh kepada kami. Anak-anak akan mengikuti apa yang orang tua dan guru-guru lakukan. Tolong berikan contoh yang baik kepada kami.” Permintaan itu sederhana.

Coraline Norris, remaja manis berkulit hitam dari Haiti bercerita tentang badai topan yang menggerogoti negaranya. Juga tentang hidupnya yang tak pernah sama lagi sejak peristiwa tersebut.

“Usia saya baru 14 tahun dan saya sudah mengalami badai topan yang dahsyat. Saya beruntung bisa selamat, tapi setiap malam saya tidur dengan rasa takut karena saya tidak tahu bencana apa lagi yang akan melanda Haiti esok atau lusa,” tutur Norris.

“Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Di Haiti, ada ribuan anak seperti saya—kami selamat, kami bertahan hidup dan menginginkan kesempatan. Impian saya adalah menyumbangkan kebaikan bagi Bumi agar semua orang dapat hidup aman dan damai.” Saat Norris mengakhiri kalimatnya, banyak orang menyusut air di mata mereka.

Coraline Norris membacakan pidatonya


Protokol Kyoto
akan segera berakhir tahun depan. Konferensi Iklim Cancun diharapkan membawa terobosan agar kerja sama internasional yang mengikat negara-negara di dunia dan akan berdampak secara langsung pada eksistensi planet ini dapat tercapai. Sayangnya, bagi banyak negara yang rentan terhadap perubahan iklim, menunggu bukanlah pilihan. Bencana akan tetap terjadi, dengan atau tanpa perjanjian yang mengikat. Kelaparan dan kekurangan mengintai layaknya monster yang bisa menyerbu dan mencabik kapan saja. Negara-negara ini tak bisa menunggu dunia bertindak. Mereka harus menyelamatkan diri sendiri.

“Lepas dari ada atau tidaknya perjanjian yang mengikat, kami memerlukan tindakan nyata. Kami harus beradaptasi dengan perubahan yang terus terjadi. Kami tidak dapat makan pasir dan minum air laut sambil menunggu perjanjian internasional terbentuk. Setidaknya tunjukkan kepada kami apa yang harus kami lakukan.”

Jumeau tahu ia tidak memiliki pilihan. Afrika tidak seperti negara-negara adidaya yang berlimpah hasil bumi, di mana mayoritas penduduk hidup tenteram dan sejahtera. Afrika tidak seperti benua-benua lain yang penduduknya hingga kini masih menikmati mewahnya air bening di rumah masing-masing. Urgensi itu nyata.

Saya terpaku di tempat duduk saya. Semua yang baru saja saya dengar terasa tak nyata, sekaligus mengguncangkan. Bagai tamparan pedas yang tak ingin saya percayai. Di belahan dunia lain, yang selama ini cuma saya saksikan di televisi, jutaan orang menderita kelaparan dan kehausan. Bukan karena mereka miskin, namun karena alam berhenti memberi mereka makan.

Mendadak, saya merasa sangat bersyukur bisa datang ke tempat ini. Di mana mata hati saya dibukakan secara langsung oleh orang-orang yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan. Di mana saya mendapatkan pembelajaran berharga mengenai kelangsungan hidup planet yang kita tinggali bersama. Di mana saya sekali lagi diingatkan.

Ada orang-orang yang datang ke Cancun sebagai wakil negara untuk bernegosiasi dalam Konferensi Iklim. Ada yang datang atas nama pekerjaan—saya salah satunya. Ada pula yang datang untuk berlibur. Namun tak sedikit orang yang terbang ke tempat ini dengan harapan membuncah. Melintasi ribuan mil karena hanya di sini suara mereka dapat didengar oleh dunia. Mengarungi benua karena cuma di sini jeritan mereka dapat disuarakan. Dan barangkali… barangkali, di suatu tempat, puluhan ribu mil jauhnya, sebuah doa tengah dipanjatkan. Agar kesusahan cepat berlalu. Agar peristiwa alam tak perlu lagi jadi sesuatu yang ditakuti. Agar makanan dan air tak lagi jadi barang istimewa yang dikejar bagai berlian.

Perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata—lebih dari itu, ia tak terhindarkan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanya berupaya agar kiamat modern tak perlu datang lebih cepat dari perhitungan para ahli dan ilmuwan. Merubah gaya hidup bisa merupakan langkah sederhana yang besar artinya bagi eksistensi Bumi. Menanamkan kesadaran akan pentingnya mencintai dan merawat lingkungan hidup bisa jadi penyelamat bagi adik, anak, bahkan cucu kita kelak. Tindakan nyata yang dimulai dari diri sendiri—dari rumah kita sendiri—bisa menyelamatkan jutaan orang di dunia.

Perubahan iklim boleh terus terjadi. Pemanasan global boleh jadi sesuatu yang tak terhindarkan. Namun kita dapat melakukan sesuatu agar Jumeau-Jumeau dan Norris-Norris yang tersebar di seluruh penjuru dunia tidak perlu hidup dalam ketakutan akan hari esok.

Sadari bahwa perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata. Sadari bahwa merawat lingkungan hidup bisa jadi merupakan satu-satunya hal yang memungkinkan planet ini tetap ada bagi kelangsungan hidup anak-cucu kita kelak. Dan bertindaklah.

Saya dan Coraline Norris

—–

Natal, Kata dan Cinta

24 Desember 2010.

Saya duduk dengan seorang sahabat di dalam restoran yang mulai temaram. Lampu-dimatikan satu persatu, kursi-kursi disusun di atas meja—pengusiran secara halus. Namun kami bergeming. Ia dengan sebatang rokok, saya dengan suapan nasi dan kuah hangat.

Entah siapa yang mengawali, kami mulai saling bertutur. Tentang bersyukur. Tentang belajar. Tentang hidup yang selalu punya 1001 macam cara untuk memberi, mengingatkan, mengajarkan. Dan pembicaraan di ruang temaram itu menghasilkan kesimpulan yang sama: selalu ada banyak hal dalam hidup yang bisa disyukuri, tak peduli situasi yang sedang dihadapi. Selalu ada banyak hal yang bisa mengingatkan betapa hidup tak melulu terdiri dari pencobaan—bahwa hidup sebenarnya indah.

Asap rokok menari-nari di udara. Saya menyeruput sisa kaldu ayam. Saya harus bergegas. Empatpuluhlima menit lagi kebaktian Natal dimulai.

Saya duduk sendiri di ujung barisan, dalam ruangan besar yang dingin luar biasa. Kedua kaki saya gemetar. Namun denting piano yang memainkan lagu-lagu Natal lambat laun menghilangkan perasaan tidak nyaman.

Melewatkan malam di gereja bukanlah kebiasaan saya. Baru kali ini saya menghadiri kebaktian Natal yang diselenggarakan pada malam tanggal 24, namun entah bagaimana, semua terasa… tepat.

Kebaktian dimulai. Lagu-lagu dinyanyikan. Saya ikut bernyanyi, perlahan. Dan tiba-tiba, seluruh beban di hati saya seakan terangkat begitu saja. Bukan peristiwa ilahi. Bukan juga mujizat Natal. Tidak ada malaikat menampakkan diri, dan saya tidak sedang mabuk anggur Perjamuan.

Apa ini?

Lamat-lamat, saya mencoba mencerna apa yang terjadi. Hingga jawaban itu datang.

Saya sedang memaafkan.

Betul, memaafkan.

Saya tercenung sendiri ketika jawaban itu muncul di benak saya.

Memaafkan? Memaafkan siapa?

Entahlah. Yang saya tahu hanya, hati saya membuka lebar dan malam ini ia melepaskan semua yang menyumbatnya satu tahun terakhir. Segala sedih. Segala kecewa. Segala gundah. Segala khawatir. Segala gembira. Segala bahagia. Segala senang. Semua dilepasnya tanpa kecuali.

Berbagai nama dan wajah muncul di benak saya, silih berganti, sebelum saya sadar, saya tidak sedang memaafkan orang lain. Saya sedang memaafkan hidup. Memaafkan setiap hal yang dihantarkannya kepada saya setahun terakhir, kadang melalui orang-orang yang saya kenal, kadang melalui peristiwa yang terjadi begitu saja, yang tidak saya sukai, yang mengecewakan, yang membuat saya terluka. Dan akhirnya saya sadar, saya sedang memaafkan diri sendiri.

Penyadaran itu muncul dengan amat sederhana. Benak saya tak punya banyak waktu dan energi untuk menganalisa. Batin sayalah yang mencerna semuanya, dan saya tahu. Saya sedang berdamai. Dengan apa pun yang menjadi jatah saya. Dengan apa pun yang digariskan bagi saya. Suka atau duka. Senang atau susah. Sulit atau mudah.

Dua jam berlalu dengan cepat. Saya meninggalkan gereja yang baru pertama saya kunjungi itu dengan perasaan campur aduk; senang, terharu, terkejut dan setengah mati kedinginan. Sebuah santapan manis untuk menutup tahun yang akan memasuki penghujungnya tujuh hari lagi.

Kebaktian ini barangkali kebaktian terindah yang pernah saya ikuti selama tiga tahun terakhir, dan Natal ini adalah Natal paling menyentuh selama entah berapa tahun terakhir, namun keduanya bukan hal terbaik yang saya alami hari ini.

Peristiwa terbaik hari ini?

Sahabat yang mengantarkan saya ke gereja untuk mengikuti kebaktian Natal adalah seorang Muslim.

Cinta, tidak paham arti perbedaan.

—–

Gambar diambil dari sini.

Ubud, Saya dan Keberuntungan

“Kamu sangat beruntung.”

Saya tersenyum pada perempuan asal Polandia yang mengucapkan kalimat itu. Entah sudah berapa orang mengatakan hal yang sama ketika mereka mengetahui saya akan menghabiskan seminggu di resort di pinggir kota Ubud ini. Sebelumnya, Tammy, perempuan asal Thailand yang sempat tinggal dua malam di sini, mengatakan hal yang persis sama.

Saya tidak tahu apa yang membuat mereka berkata seperti itu. Faktanya, saya berada di sini hanya karena sudah terlampau penat dengan kehidupan di kota besar. Seminggu sebelum memesan tiket pesawat, saya pulang ke kamar pukul dua pagi, dengan kepala bagai dipalu dan sukar berjalan lurus—hasil dari menggelontor empat gelas minuman beralkohol sepanjang malam.

Esoknya, saya terbangun dengan kepala berdenyut. Sekujur tubuh saya lemas. Saya tergolek di tempat tidur, dan sebuah pertanyaan menghampiri saya.

Apa ini, Jen?”

Saya tidak bisa menjawabnya.

Saat itulah saya tahu. Saya harus pergi.

Saya menjelajah internet, mencari tiket murah yang bisa membawa saya ke Jawa Tengah. Yang terbayang di benak saya adalah Salatiga, kota kecil indah yang selalu saya anggap sebagai rumah kedua. Namun Merapi yang terus memuntahkan debu membuat saya mengurungkan niat.

Kota berikutnya adalah Ubud. Saya jatuh cinta pada Ubud sejak mengunjunginya pada bulan Februari 2009. Lebih dari satu setengah tahun saya merindukan tempat itu.

Saya berhasil menemukan tiket dengan harga bersahabat. Selanjutnya, penginapan. Saya tidak tahu harus menginap di mana.

Seorang kawan yang baru-baru ini pergi ke Ubud bercerita tentang sebuah resort yang membuatnya jatuh cinta. Dari resort tersebut para tamu dapat menikmati dua pemandangan sekaligus: sawah dan sungai. Saya membuka situs resort itu dan nyaris mengurungkan niat. Anggaran saya tidak memadai.

Namun tiket sudah saya dapatkan. Saya harus pergi. Saya pun menelepon Michi dan berbicara dengan wanita pengelola resort. Setelah berbincang singkat, ia memberikan harga khusus kepada saya. Bukan diskon, sebenarnya. Hanya harga kamar utuh tanpa dikenai pajak dan service charge 15%. Setelah menghitung-hitung, saya memutuskan untuk berangkat. Sendirian.

Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu apa yang salah. Baru kali ini saya merasakan penat dan jenuh yang luar biasa selama tinggal di Jakarta. Saya lahir dan besar di sini. Adalah sesuatu yang tidak masuk akal—setelah 26 tahun menjalani semuanya dengan baik-baik saja—untuk merasa muak luar biasa pada kehidupan di metropolitan yang penuh gempita. Jakarta adalah rumah saya. Saya memiliki kehidupan yang baik, pekerjaan yang baik, dan teman-teman saya berada di sini. Apa yang salah?

Entahlah.

Yang saya tahu hanya, saya harus secepatnya pergi, atau saya akan mati pengap. Julangan gedung dan ribuan kendaraan yang bagaikan parkir di jalan selepas pulang kantor menghimpit kewarasan saya. Kehidupan yang penuh hiruk-pikuk dan hingar-bingar telah menggerogoti saya. Kebosanan teramat-sangat pada rutinitas yang saya jalani setiap hari—tanpa jeda, tanpa perbedaan—mencuri kebahagiaan saya.

Barangkali tidak ada yang salah. Barangkali memang sudah waktunya untuk pergi.

Saya tiba di Michi pada pukul 21:30 waktu setempat, setelah pesawat saya mengalami tunda terbang selama dua jam. Sesampainya di resort, saya disambut pengelola hotel dan housekeeper yang memberikan saya tur keliling sebagian wilayah resort.

Setelah memilih kamar, saya menikmati makan malam di restoran. Melihat saya sendirian, Wayan, pria paruh baya pengelola resort, menemani saya. Ia menjelaskan asal-usul dipilihnya nama Michi, filosofi yang terkandung di baliknya dan sebagainya. Di akhir percakapan, ia menawarkan diri untuk membaca telapak tangan saya.

Saya sempat risih, namun akhirnya membiarkannya mengamati telapak tangan kiri saya. Setelah mengutarakan beberapa hal tentang diri saya, ia kembali bercerita tentang Michi. Tentang aliran sungai. Tentang hidup yang hendaknya dibiarkan mengalir, ke mana pun ia mau; tanpa dibebani ambisi dan keinginan yang memberatkan. Tentang kesederhanaan. Tentang kebahagiaan. Tentang senyuman.

Mendengar Wayan bicara, entah mengapa mata saya membasah. Saya tahan agar cairan itu tidak mengumpul dan menetes. Saya tidak tahu mengapa, dan tidak ingin tahu. Yang saya tahu, saya berada di sini. Jauh dari gegap-gempita metropolitan yang menyesakkan. Itu sudah cukup.

Setelah makan, saya kembali ke kamar. Kamar saya terletak persis di atas sungai berarus deras. Saya sempat menyangka hujan lebat turun dan akhirnya sadar bahwa suara menderu itu adalah arus air.

Esok paginya, ketika saya keluar dari kamar, pemandangan indah menyambut saya. Hamparan hijau sawah dan pepohonan, air sungai yang memecah bebatuan dan hawa sejuk yang dibawa aliran deras itu menemani pagi pertama saya di Ubud. Saya melangkah ke restoran untuk sarapan. Sejumlah karyawan tersenyum menyambut kedatangan saya dan mengucapkan selamat pagi.

Sejenak, saya tercekat. Tidak terbiasa dengan keramahan itu. Bukannya saya tidak pernah menemui keramahan di kota besar, namun keramahan itu adalah keramahan yang sudah dilatih. Senyum itu adalah senyuman yang tersungging secara otomatis, karena pembeli dan pengguna adalah raja. Di resort kecil ini, semua orang menyambut saya dengan senyum lebar. Bukan senyum basa-basi, bukan pula senyum formal penyedia layanan kepada customer-nya. Ketika saya menatap mereka, mata mereka ikut tersenyum.

Pada hari kedua, saat saya sedang menikmati camilan sore sambil bekerja, seorang karyawan menghampiri saya.

“Ini jatuh kemarin…” Ia menyodorkan secarik kertas berukuran kecil. Saya mengambil kertas itu dan terbengong sesaat. Kertas putih itu adalah tiket bioskop bekas yang belum sempat saya buang. Barangkali kertas itu jatuh dari dompet ketika saya mengeluarkan uang untuk membayar makan malam saya hari sebelumnya.

Saya memperhatikan kertas itu dan secercah haru menyusupi batin saya.

Betapa remehnya. Betapa sederhananya. Betapa bermaknanya.

Setiap hari saya menikmati sarapan sambil melihat hamparan sawah, merasakan semilir angin dan mendengarkan arus sungai. Siangnya saya berkunjung ke pusat kota, mencicipi makanan di beberapa restoran yang direkomendasikan kawan dari Jakarta dan jalan-jalan tak tentu arah. Di malam hari, saya mematikan kipas angin dan tidur dengan selimut sambil mendengarkan deruan air di bawah sana. Dan esok paginya saya akan kembali bangun, keluar kamar, menarik napas dalam-dalam menghirup udara segar yang bersih, memanjakan mata dengan hamparan hijau dan kembali melangkahkan kaki ke restoran untuk sarapan.

Saya akan menjumpai senyum ramah di wajah setiap karyawan hotel. Tak jarang mereka menyapa, “Tidurnya enak semalam?” “Hari ini mau ke kota?” dan sebagainya. Dan mata mereka selalu ikut tersenyum. Wayan yang lebih banyak bekerja di lantai dua sering melongokkan kepala ketika saya melintasi kolam renang di bawah. Ia akan berseru, “Apa kabar?” dan saya akan menjawab dengan seruan pula.

Wajah-wajah tersenyum itu ada di mana-mana. Seorang karyawan perempuan bahkan menitipkan pesan, “Hati-hati di jalan, ya…” ketika saya berkata bahwa saya berniat mengunjungi kota untuk makan babi guling. Saya tertegun dan bibir saya otomatis mengembangkan senyum dan mengucapkan terima kasih, namun hangat yang merambati hati saya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Karena lokasi yang sedikit terpencil dan berada di antara hamparan sawah dan sungai, sinyal telepon genggam sering sulit didapat. Koneksi internet sering terputus, bahkan mati sama sekali, padahal telepon genggam dan internet adalah dua hal yang sangat esensial bagi saya di Jakarta. Anehnya, saya tak terlalu merasa kehilangan. Di tempat ini, setiap hari saya tersenyum.

Wanita Polandia itu menghabiskan jus semangkanya dan berpamitan. Ia datang hanya untuk melihat-lihat dan akan segera pergi ke kota lain.

“Kamu sangat beruntung.”

Saya memandangi punggungnya yang bergerak menjauh. Saya menatap seorang karyawan resort tak jauh dari kami yang berdiri dengan senyum ramahnya.

Mendadak senyuman itu terasa jauh lebih berarti ketimbang hal-hal lainnya.

Ya, saya memang beruntung.

—–