Setitik Embun, Semalam.

“Bisa tolong ceritakan keadaan di dalam, Bu?”
“Ya… ada keluarganya, dekat kaki Pak Harto. Ada Mbak Tutut juga, terus saya lihat Pak Moerdiono…”
“Bagaimana Ibu bisa masuk ke dalam?”
“Digilir, Mbak. Sepuluh-sepuluh. Yang pakai baju Muslim duluan, jadi saya masuk sama teman-teman pengajian.”
“Mbak sempat lihat jenazah Pak Harto?”
“Cuma sekilas, Mbak. Ndak tahan saya…”
Mata itu berkaca-kaca dan sembab, seolah merasakan pedih akibat ditinggal sanak keluarga atau sahabat terkasih.

Tangisnya tumpah semalam. Untuk sosok kaku yang terbujur dengan kain putih panjang.

Airmatanya jatuh semalam. Untuk seseorang yang bahkan tak pernah dikenalnya secara pribadi.

Dia berduka atas seseorang yang telah menuai hujat dan amarah penghuni negeri. Dan dalam doanya, dia memohonkan ampun.

Wanita berjilbab hitam itu menghela nafas. Berat.

Di depan layar kaca, saya termangu.

Siapa bilang kita tak lagi punya harapan?

Di tengah padang yang mulai meranggas ini, masih berkilau setitik embun.

Masih ada hati yang mau memberi maaf.

Selamat Jalan, Pak Harto.

Si Nyolot Janet

“DUUUH, DUNIA SEMPIT BANGET SIH!”

Saya menoleh, spontan mencari sumber suara itu. Teriakan itu terasa agak mengganggu, karena diucapkan dengan nada tajam dan *ehem* nyolot di antara kerumunan anak Sekolah Minggu berusia antara 2 sampai 12 tahun yang memadati aula gereja dalam rangka perayaan Natal.

There she was, duduk di atas tempat tidur dengan beberapa anak perempuan lain, sibuk menghias kaus kaki Natal dengan bahan seadanya. Dalam perayaan kali ini, semua anak diwajibkan menghias kaus kaki flanel yang nantinya akan diisi hadiah dan mereka semua menginap di aula yang sudah disulap jadi lautan matras.

Namanya Janet. Rambutnya pendek dan ia satu kepala lebih tinggi dari anak-anak seusianya. Sekilas melihat saja, ia sudah tampak menonjol. Begitu ia buka mulut, semua orang menoleh.

Sumpah, cara bicaranya sangat nyolot untuk ukuran anak SD.

Beberapa anak yang sudah selesai dengan pekerjaan masing-masing menghampiri kerumunan kecil itu dan asyik menonton sambil berceloteh ribut.

“KITA HARUS SABAR YA LON, BIKIN PRAKARYA DI RUANGAN KAYAK GINI!”

Ilona -anak yang diajak bicara- tidak menyahut. Beberapa pasang mata menatap Janet dengan sorot terganggu, tapi ia tidak peduli. Nggak nyadar, malah.

Semakin banyak anak yang datang berkerubung. Matras dan bantal diinjak-injak. Janet melirik matrasnya yang tidak jauh dari situ.

“TERUS AJA INJEK-INJEK RANJANG GUA! BIKIN TANGAN GATEL AJA PENGEN MUKUL!”

Saya menoleh ke arah yang dimaksudnya, dan melihat bocah yang dengan inosen enjot-enjotan di atas matras Janet.

Si kecil Alex.

Hayyyah.

“Janet, kamu itu terlalu jujur kalo ngomong,” cetus Ilona, yang pembawaannya halus dan sangat lembut.

“Emang.” Janet membalas cuek.

“Menurut aku kamu terlalu kasar,” sela adik Ilona.

Janet diam saja. Saya sempat mikir, “Dalem bo, daleeeem” dan menyangka Janet akan menghentikan polahnya.

Seorang guru Sekolah Minggu menghampiri Janet, memperhatikan pekerjaan tangannya dan berkomentar di depan anak-anak lain, “Ini manik-maniknya kalo ditempel di sini, warnanya jadi mati.”

(FYI, guru Sekolah Minggu ini adalah seorang bapak dua anak yang mengajar di kelas Senior.)

“TERUS AJA KASIH TAU SEMUA ORANG!!”

Buset dah.

Setelah puas melihat-lihat, saya meninggalkan mereka.

Tadi pagi, saya kembali untuk menonton anak-anak itu berburu kado Natal dan menghias ginger bread.

Setiap anak mendapat sepotong ginger bread, whipped cream, permen dan cokelat aneka bentuk untuk menghias kue masing-masing. Setelah berkeliling, saya kembali nyangkut di tempat Janet dan kawan-kawan.

Cukup lama Janet menunggu giliran untuk menyaluti kuenya dengan whipped cream, karena sendoknya hanya satu. Ketika tiba gilirannya, Janet memulas kuenya dengan hati-hati dan rapi. Setelah seluruh permukaan kue tersalut whipped cream, ia mulai mengambil cokelat mungil berbentuk bulat.

Saya terus mengamatinya bekerja. Boleh juga. Sangat cermat dan telaten, jauh lebih rapi dibanding teman-temannya.

Lumayan deh, biar galak seenggaknya kerjaannya bagus, pikir saya usil.

Tiba-tiba, seorang gadis cilik menghampiri kelompok Janet dan langsung berjalan ke arahnya.

Janet sedang berkonsentrasi menyusun cokelat supaya tidak merusak lapisan whipped cream yang mudah sekali tercecer. Badannya membungkuk, keningnya berkerut-kerut.

Bocah itu duduk persis di sebelah Janet, nyaris menempelkan tubuh ke lengan Janet, mengacungkan ginger bread yang bentuknya nggak karuan sambil berseru lantang:

“CICI JANET, LIAT DEH PUNYA AKU.”

Mampus dah.

Saya sungguh iba pada nasib si bocah tak berdosa.

Tapi Janet tidak berteriak.

Ia menoleh, memperhatikan ginger bread yang nggak jelas wujudnya itu dan berkata pelan, ”Iya, nanti ya, lagi ngerjain ini dulu.”

Bocah itu menarik tangannya dan duduk nyaman di sisi Janet, masih dengan posisi hampir lendotan di lengan Janet.

Bocah kedua datang dan melakukan hal yang sama: menunjukkan hasil karyanya kepada Janet dan menunggu komentar gadis itu.

Lalu bocah ketiga datang, dan begitu seterusnya. Janet meladeni mereka dengan sabar sambil terus berkonsentrasi menyelesaikan ginger bread-nya.

Akhirnya kue berbentuk boneka itu selesai dihias. Janet menyingkirkan sisa cokelat dan memandang ‘prakarya’nya dengan bangga. Saat itu, di sekelilingnya sudah berkumpul anak-anak kecil yang usianya tak lebih dari 5 tahun.

Saya melongo bego.

Kemana monster kecil yang tadi malam?

Usai perayaan, saya duduk di meja makan dan ngobrol dengan seorang guru Sekolah Minggu yang juga kawan saya. Saya bertanya tentang Janet dan sikapnya semalam.

“Oh, Janet. Iya tuh, semua orang nanyain tentang Janet.” Ucap kawan saya sambil cengar-cengir. “Anaknya emang gitu, tapi sebenernya dia baik. Sama anak kecil ngemong banget, malah.”

Saya kembali bengong dengan blo’on.

Di pojok ruangan, Janet sedang sibuk berfoto dengan Ilona dan adiknya memakai kamera handphone dalam berbagai gaya. Setiap kali kamera selesai dijepretkan, mereka akan berebut mengamati hasilnya sambil tergelak-gelak seru. Semuanya, termasuk Janet.

Dia tidak ada bedanya dengan anak-anak lain. Polos, heboh, ceria dan sama berisiknya.

Saya memandangnya, dan langsung merasa malu karena terlalu cepat menghakimi.

🙂

Sosok Sejati

Saya mengenalnya beberapa tahun lalu, ketika kami datang ke sebuah acara yang sama dan saya melihatnya dikerumuni perempuan-perempuan yang heboh meminta tips seputar kecantikan dan kesehatan kulit. Karena penasaran, saya ikut mendekat.

Informasi yang dipaparkan beliau tentang banyaknya penderita kanker kulit di Indonesia akibat pemakaian produk perawatan dan make-up yang mengandung merkuri sangat menarik perhatian (kala itu belum banyak orang yang tahu bahwa sebagian besar produk kecantikan yang beredar di pasaran mengandung zat berbahaya ini). Jadilah saya bergabung dalam kerumunan kecil itu, menjadi salah satu perempuan bawel yang bertanya ini-itu tentang perawatan kulit — walau pada akhirnya informasi tetaplah informasi, alias nggak dilakukan, hehehe.

Ketika acara itu selesai, pertemanan kami berlanjut. Seorang wanita kharismatik yang usianya menginjak pertengahan limapuluh dengan perempuan yang baru menamatkan masa ABG. Dua ‘dunia’ yang sangat nggak nyambung, sebetulnya, karena usia beliau bahkan jauh di atas Ibu saya. Tapi herannya, saya betah-betah saja bergaul dengan beliau (malah enjoy!), begitu pula sebaliknya. Believe it or not, kami bisa menghabiskan 3 sampai 5 jam sekali ngobrol.

Beliau selalu bermurah hati memberikan tips dan nasehat berharga mengenai perawatan kulit dan berbagai aspek kesehatan ditinjau dari segi medis *sedap, bahasa gua!*. Dan kami, perempuan-perempuan haus informasi ini, selalu mendengarkan dengan senang hati, karena tips-tips canggih seperti itu tidak mudah didapatkan secara gratis dari pakar kecantikan sekaliber beliau *ihiwww*.

Beliau telah beberapa kali memperoleh penghargaan dari pemerintah atas jasa-jasanya dalam dunia medis, secara spesifik dalam bidang kosmetologi. Beberapa bulan yang lalu, atas undangan dari Oom Bush, beliau menginjakkan kaki di Gedung Putih. Meski begitu, di tengah kesibukannya yang segudang beliau selalu bersedia meluangkan waktu untuk menolong kami-kami yang buta ilmu kesehatan.

Ketika seorang kawan melahirkan anak pertama, beliau memonitor perkembangan si calon ibu dan jabang bayi melalui teman baiknya -seorang dokter kandungan- untuk memastikan proses persalinan berjalan dengan lancar sesuai keinginan si ibu: melahirkan dengan normal. Ketika putra sahabat saya menderita penyakit berbahaya Stevens-Johnson syndrome, beliau ikut repot mencari informasi mengenai penyakit yang terbilang langka itu dan menghubungi teman-temannya sesama dokter untuk mencari penanganan terbaik yang dapat ditempuh demi kesehatan si bayi. Ketika tante seorang teman lain menderita tumor otak ganas, beliau memberi rujukan ke rumah sakit terpercaya (baca: kemungkinan malprakteknya bisa diminimalkan) dan dengan sukarela memantau perkembangan si pasien yang notabene tidak dikenalnya sama sekali.

Salah satu omelan favoritnya setiap bertemu saya adalah, “ITU MUKA KENAPA MERAH-MERAH LAGI? Kemarin perasaan udah mulusan! Pasti makan donat lagi ya?”

Hehehe.

Yup, beliau ‘mengharamkan’ saya sering-sering makan donat dan telur demi mengendalikan populasi jerawat di wajah saya. Masalahnya oh masalahnya, sebagai penggemar sejati donat –khususnya yang dijual di mal-mal dengan brand berupa inisial seorang tukang cukur yang berkonversi jadi tukang roti dan donat- saya sangat sulit menahan keinginan untuk tidak nyemil kue bolong itu. Dan buat saya, tidak ada yang bisa menyamai kenikmatan makan telur ceplok pakai kecap asin dan cabe rawit. Alhasil, jerawat pun terus berkembang biak. Setiap kali diomeli, saya cuma cengar-cengir sambil minta ampun dan mencoba mengurangi konsumsi 2 makanan ‘haram’ itu, yang biasanya cuma bertahan beberapa bulan sebelum saya kembali memamahnya secara konsisten. Hihihi. (duhhh, maap, Tan!)

Kemarin siang kami kembali bertemu. Saya, beliau dan beberapa teman duduk membentuk kerumunan kecil yang superberisik. Beliau memukul saya dengan bercanda ketika saya berkomentar bahwa larangannya makan donat dan telur sangat menyiksa kesejahteraan jiwa. Seorang teman yang wajahnya sedang jerawatan parah juga tidak luput dari omelan. Kami sedang sibuk ngeles sambil tertawa-tawa heboh, ketika seorang kawan mendadak menyeruak ke dalam kerumunan sambil mengulurkan sebuah bungkusan kepada si Tante.

“Titipan dari Edo,” ia menyebut nama anak bungsu Tante yang sedang menempuh pendidikan di London. Rupanya si kawan baru kembali dari perjalanan dinas di kota yang sama.

“Oh, dari Edo?!” wajah si Tante berubah sumringah. Surprised campur senang.

Kawan tersebut hanya mampir sebentar untuk menyerahkan titipan. Setelah ngobrol beberapa jenak, ia pamit dan Tante memasukkan bungkusan itu ke dalam tasnya. Saat saya mengira obrolan akan kembali berlanjut, Tante membatalkan niatnya menutup tas. Ia melongok ke dalam tas dan membuka bungkusan itu, mengintip isinya cepat-cepat. Ketika mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca.

“Makasih ya, Pepi,” serunya pada si kawan yang sudah beranjak menjauh. Beliau mengeluarkan bungkusan itu dari tas dan mendekapnya erat-erat di dada dengan kedua tangan.

“Aduh, senengnya…” komentarnya lirih. “Baiknya… dia inget sama Tante. Kalo yang dua lagi kan udah cuek, udah pada gede…” ia merujuk pada dua putrinya yang tinggal di Eropa.

Obrolan tidak jadi berlanjut. Tante terus mendekap bungkusan itu di dadanya. Saya memperhatikan beliau menyusut airmata dengan ujung jari, sementara sepasang manik itu terus berbinar dengan kebahagiaan yang sulit dideskripsikan.

Tanpa bermaksud mengecilkan makna sebuah pemberian, saya yakin isi bungkusan itu tidaklah seberapa dibandingkan tas buatan perancang yang disandang beliau maupun perhiasan yang sangat mencolok dan tidak pernah absen dikenakannya.

Bertahun-tahun mengenalnya, saya tidak pernah melihat beliau memegang sertifikat penghargaan dari pemerintah maupun trofi bergrafir indah -yang menunjukkan catatan prestasi nan fantastis dan selalu mengundang decak kagum orang- seperti mendekap hadiah sederhana dari putra tersayangnya.

Ia adalah seorang wanita berkharisma yang memancarkan aura kesuksesan sejati. Namanya tercatat dalam kumpulan profil orang-orang yang berjasa memberikan kontribusi secara langsung bagi kemajuan Negara, dan prestasinya telah menghantarnya ke Gedung Putih untuk bertemu orang nomor 1 di Amerika.

Kemarin siang, jauh di balik pesona gemerlap nan berkilau yang disandang beliau sebagai figur masyarakat -dengan segala pencapaiannya- saya memandang dengan kagum ketika sosok yang bersembunyi di lapisan terdalam itu memunculkan diri.

Sosok sejati itu adalah seorang Ibu.

Manusia-Manusia Super

Tadinya mau posting entri lain, tapi berubah pikiran gara-gara begadang semalam.

Tadi malam saya lagi-lagi menginap di kamar Alex, setelah desperate menghadapi para penghuni kamar tempat saya beramai-ramai tidur selama training di kantor.

Saya bisa mentolerir dengkuran seseorang yang tidur persis di sebelah saya (ya mau diapain lagi, bow, udah dari sononya ‘kali), tapi mbok yaaaaao tidurnya jangan sambil nyetel radio! Kalaupun teuteub mau nyetel, tolong ya itu radionya jangan diumpetin entah di mana. G-A-N-G-G-U. Saya sedang menimbang-nimbang untuk membangunkan si pemilik radio, ketika handphone orang yang tidur di seberang saya berbunyi. Setelah berdering dengan frekuensi yang membuat saya tergoda mencelupkan handphone ke bak mandi, teman saya akhirnya mengangkat benda keparat itu. Dan ngobrol dengan asyiknya.

Edan. *untuk memperhalus kata geblekmonyongkampret*

Demi kesejahteraan jiwa, jadilah saya hijrah ke kamar Alex.

Bocah itu sedang tidur dengan pulasnya ketika saya mengendap-endap masuk dan merebahkan diri di alas karet bongkar-pasang tempat bermainnya. Kurang nyaman, tapi lumayan lah. Saya menutupi tubuh dengan selimut tebal dan bersiap-siap tidur

…ketika Alex mendadak bangun, dengan kronologis sebagai berikut:

30 detik pertama: guling-guling di ranjang.
30 detik kedua: mulai memanggili Ncus.
30 detik ketiga: Ncus terbangun dan menghampiri Alex.
30 detik keempat: Alex menolak ditidurkan kembali.
30 detik kelima: Alex merengek dan mulai menangis.
30 detik keenam: Ncus berusaha mendiamkan.
30 detik ketujuh: Alex menjerit.
30 detik kedelapan: Alex semakin keras menjerit.
30 detik kesembilan: Alex masih betah menjerit.
30 detik kesepuluh: Mommy dan Daddy keluar kamar.

30 detik kesebelas sampai seterusnya, terjadi adu mulut paling menegangkan sedunia antara Mommy-Daddy dan Alex.

Hancurlah istirahat malam yang tenang dan syahdu.

Saya? Pasrah di balik selimut. Lha mau ngapain lagi?

Jangankan ikut campur, tindakan paling gagah yang saya lakukan cuma mengintip sahabat saya yang sedang duduk di meja makan dengan ekspresi desperate, sementara sang suami masih keukeuh adu suara dengan si bocah.

Pukul 3 pagi, akhirnya Alex capek dan terlelap – setelah dibuai di kamar, ruang tamu, ruang makan, teras dan dapur (seriously).

Dan menangis lagi pada pukul 8.

What a day.

Hari ini, sahabat saya (Daddy-nya Alex) kembali mengajar dalam training, seperti biasa. 3 session pagi-siang, 1 session malam. Plus menjadi narasumber sebuah program radio yang menyita seluruh waktu istirahat sorenya. Saya cuma geleng-geleng heran melihatnya cuap-cuap dengan intensitas yang tidak menurun sedikit pun. Kok bisa, ya? FYI, menurut si Ncus, rewelnya Alex ternyata sudah berlangsung selama beberapa malam dan dengan suksesnya menjadikan sahabat-sahabat saya makhluk nokturnal.

Hari ini Alex didisiplin; tidak boleh main keluar rumah dan tidak boleh ikut para Auntie & Uncle jalan-jalan ke mall seperti yang sempat dijanjikan kemarin sore. Sebagai gantinya, DVD anak-anak siap menemaninya bermain dan makan siang.

Si bocah kriwil berlari gembira ketika saya dan dua orang teman datang ke rumah. Dia berlari-lari menyambut sambil minta diajak pergi, yang sayangnya, kali ini tidak bisa kami penuhi.

Dia tertawa-tawa memamerkan gigi yang belum semuanya tumbuh sambil memeluk boneka ‘Sweet Banana’ erat-erat, bikin geli sekaligus gemas.

Namun, dari semuanya, yang paling menyentuh adalah pemandangan di siang hari, ketika Daddy pulang ke rumah untuk makan siang.

Daddy menjenguk Alex yang asyik bermain di kamar bersama Ncus.

Begitu melihat ayahnya, Alex segera berdiri di atas tempat tidur, memanggil-manggilnya sambil berloncatan gembira.

Daddy tersenyum lebar dan mengembangkan tangan. “Sini, hug Daddy.”

Alex berlari ke pelukan Daddy dan menghadiahkan 2 ciuman, pipi kiri dan kanan. Adu mulut paling menegangkan sedunia yang baru terjadi 10 jam sebelumnya terlupakan sama sekali. Di balik punggung Daddy, Mommy tersenyum menyaksikan scene itu. Mengintip sambil tertawa.

Buat saya, mereka ini adalah manusia-manusia super. Mereka, dan semua orangtua di seluruh belahan dunia – karena orang-orang ini mampu berkali-kali merasa kesal, capek, jenuh, letih, jengkel, marah dan menangis tanpa pernah kehilangan cinta.

Nunjuk Itu Memang Gampang.

Saya tersenyum ketika membaca sebuah e-mail di mailing list yang saya ikuti. E-mail tersebut mengomentari tanggapan e-mail lain, atas ‘nyasar’nya spam di milis yang cukup mengganggu:

“Ya ini salah satu spam email lagi…abis anggota milis ini aneh2 sih, kemaren rame2 bilang setuju mau difilter aja messagenya.. tapi cuma pada bilang mau, setuju, setuju banget, tapi ga ada yg mengajukan diri menjadi moderator..kl gitu ya silahkan filter emailnya sendiri2 aja.. gampang kann…”

E-mail bernada kesal itu dibalas oleh anggota milis lain, yang membuat saya cengar-cengir nggak karuan:

”Gimana kalau kamu aja yang jadi moderatornya?”

E-mail ini adalah yang e-mail kesekian, yang menanggapi subjek serupa. Saya tergelitik membaca e-mail tersebut, dan seketika naluri nyolot saya (yang bawaan dari lahir dan tidak terlalu ingin saya ubah – karena kadang-kadang berguna juga dalam menghadapi orang reseh *wink*) timbul.

nyilet mode: ON.

Memang jauh lebih mudah melontarkan kritik, daripada memperbaiki sesuatu dengan tangan kita sendiri.
Jauh lebih mudah memberi usul, daripada melaksanakannya.
Jauh lebih mudah menunjuk orang lain, daripada mengerjakannya sendiri.
Jauh lebih mudah buka mulut dan cuap-cuap, daripada menyingsingkan lengan baju untuk mulai bekerja.

Dan, seperti yang kamu baca di entri ini, jauh lebih mudah menuliskan opini, daripada melakukannya. 😀

Lha, kok?
Iya, soalnya saya juga emoh kalau disuruh jadi moderator. Haha. Tapi biarlah. Setidaknya, saya tidak ikut-ikutan ribut dan saling tunjuk karena beberapa spam nyasar di inbox saya. Ada banyak hal yang lebih penting untuk dipusingkan.

*ah, sudahlah…*

nyilet mode: OFF.

Peace, ah! 🙂