Perkara Tuding-menuding dan Cela-mencela

Malam ini, timeline akun Twitter saya ramai dengan pembahasan seputar para menteri terpilih yang baru saja diumumkan di televisi. Saya, yang dari awal memang tidak tertarik untuk mengikuti, memilih mendem di kamar demi menamatkan Harry Potter, entah untuk keberapa kalinya. Emang ciamik Nyonya Rowling itu, gak ada matinye. Tapi mari kita tidak berfokus pada Harry Potter atau Nyonya Rowling.

Saya terdiam saat membaca tweet demi tweet yang masuk, dan akhirnya, ketika membaca tweet seorang selebriti yang cukup vokal mencela menteri-menteri terpilih, saya pun nyengir kuda.

Saya tidak anti mencela. Namun, entah mengapa, melihat banyaknya celaan yang ditujukan pada kabinet yang baru terbentuk –yang bahkan tidak pernah saya ikuti perkembangannya—mendadak menimbulkan perasaan aneh di hati. Simpati? Entahlah. Rasanya bukan. Simpati apanya, wong saya Golput kok. 😉

Saya termasuk kelompok manusia yang suka mencela, dan di saat-saat tertentu, lidah saya bisa lebih tajam dari silet yang baru dibeli di warung – terutama menjelang awal bulan dimana hormon sedang bergejolak, dan ketika sedang banyak pikiran alias stres. Atas nama kejujuran, bagi saya mencela adalah sebuah bentuk terapi – terserah mau dibilang nista, dangkal, atau apa pun. Mengetahui bahwa ada orang yang lebih buruk dari saya, ada yang bisa disalahkan, mengungkapkan itu sesuka hati, dan dengan cara yang saya kehendaki, selalu memberi kelegaan tersendiri, meski kelegaan itu hanya temporer. Siapa peduli berapa lama lega itu bisa bertahan? Siapa peduli efek jangka panjang dari tindakan tersebut? Yang penting sekarang saya bisa merasa (sedikit) lebih nyaman.

Seorang teman berkata, mencela, menuding, dan menghakimi adalah hal yang paling mudah dilakukan. Dan ia benar. Seperti yang saya sebutkan tadi, tiga hal itu bisa jadi jalan pintas untuk melegakan hati. Itu sebabnya sesekali saya masih menonton program-program televisi yang tidak akan saya nikmati dalam keadaan ‘waras’. Itu sebabnya sesekali saya masih mengikuti pemberitaan infotainment yang penuh fiksi dan drama. Itu sebabnya saya kekeuh sumekeuh memonopoli remote control di rumah ketika RCTI menayangkan sinetron Manohara untuk pertama kalinya.

Orang lain mengatakan, justru di situ serunya. Hidup akan terasa hambar kalau tidak ada orang yang suka mencela. Ia juga benar. Bayangkan betapa membosankannya dunia yang warnanya serbaputih. Namun saya bertanya-tanya, akankah kita mengamini hal yang sama, seandainya kita yang jadi sasaran cela, hujat dan kritik?

Menumpahkan uneg-uneg itu mudah. Meluapkan amarah dan kekecewaan itu gampang. Menghakimi apalagi. Kalau kepala sudah terlanjur panas, mendengar dan berkomunikasi pun ke laut aje. Memaki-maki dulu, yang penting hati lega. Tidak peduli siapa benar siapa salah. Siapa yang patut didengarkan dan demi alasan apa. Tidak penting. Perkara konsekuensi dan perasaan orang lain, bisa diatur belakangan. Kita memang sudah terbiasa. Hidup mengkondisikan kita untuk terbiasa.

Sekali lagi, saya tidak anti mencela. Saya tidak anti menuding. Setiap akhir pekan saya masih setia nongkrong di depan televisi untuk menikmati guilty pleasure saya: reality show populer slash ajang cari jodoh yang dipandu seorang MC Batak nan tampan. Sebuah tayangan yang selalu berhasil memancing celaan demi celaan dari mulut saya. Bahkan setelah saya tahu pahala saya tidak akan bertambah (defisit iya!), saya tetap suka menontonnya.

Entri pendek ini tidak bertujuan untuk mengurangi populasi kaum pencela, karena saya belum ingin punah dari muka Bumi. Entri ini hanya bertujuan untuk mengingatkan diri saya sendiri, bahwa ketika saya menudingkan jari kepada orang lain, empat jari lainnya menuding diri saya sendiri. Mudah-mudahan itu cukup.

—–

*Gambar diculik (lagi) dari gettyimages.com

Tips Mengirim Naskah ke Endorser

Semua penulis yang sudah menerbitkan buku –atau bercita-cita menerbitkan buku— pasti tidak asing dengan kata ‘endorsement’, kecuali dia tinggal di ujung dunia. Beberapa tahun lalu, sebelum kata ini sering digunakan, istilah yang familiar di telinga kita adalah ‘paperback comment’.

Selain memberi nilai tambah bagi sebuah karya, endorsement dari seseorang yang ‘sudah punya nama’ –apalagi yang termasuk kategori ‘Penulis Dewa’— sanggup membuat orang tergoda membeli, atau minimal, mengundang rasa penasaran terhadap buku yang bersangkutan. Siapa yang tidak tertarik mengambil buku yang sampul depannya memuat endorsement dari Andrea Hirata atau Dewi Lestari? Siapa penikmat novel remaja yang tidak terpancing mengambil teenlit yang memajang endorsement dari Sitta Karina? Siapa penyuka cerita komedi yang tidak tertarik dengan buku yang di-endorse oleh Raditya Dika?

Sebagai orang yang sudah menerbitkan buku, saya tahu rasanya mengirim naskah kepada penulis-penulis senior; memohon kesediaan mereka untuk memberi sepatah-dua patah kata bagi ‘calon anak’ saya, berharap-harap cemas menanti hasilnya, dan sebagainya. Di sisi lain, sebagai orang yang pernah menjadi endorser untuk beberapa buku –serta menjadi ‘perantara’ bagi mereka yang ingin mendapatkan endorsement dari Ibu ini— saya juga berkesempatan membaca berbagai naskah dengan genre dan penulisan yang sangat bervariasi.

Menerima dan membaca naskah merupakan kegiatan yang menarik, namun tak selalu menyenangkan. Ada kalanya saya mendapatkan ‘naskah emas’ yang memikat perhatian. Saya sanggup begadang semalam suntuk dan melewatkan jam makan hanya untuk menamatkan naskah tersebut. Saya pernah membaca naskah yang sama sebanyak tiga kali dalam sebulan karena jatuh cinta dengan isi dan cara penulisannya. Namun tidak jarang pula saya menerima naskah yang membuat kening berkerut-kerut saking standarnya, saking mentahnya, atau saking absurd-nya. Jenis naskah yang terakhir ini biasanya membuat saya menarik napas panjang sambil membatin, “Duh bo… plis deh,” sebelum menutupnya tanpa menamatkan bab pertama.

Kedengaran belagu? Mungkin, tapi memang itu yang terjadi.

Selain konten, ada hal-hal lain yang memicu keengganan saya untuk membaca sebuah naskah sampai tamat (boro-boro mengomentari, kalau membaca aja nggak selesai). Kemalasan adalah salah satunya. Sisanya adalah beberapa faktor eksternal yang akan saya uraikan di bawah ini.
Apa yang saya tuliskan di sini adalah hasil dari pengamatan pribadi dan bertukar pikiran dengan sesama rekan penulis –maupun figur publik— yang pernah menjadi endorser untuk sebuah buku. Mudah-mudahan bisa bermanfaat. 🙂

Tips pertama: pastikan naskah yang kamu kirim ke endorser sudah diterima terlebih dahulu oleh penerbit. Menggunakan endorsement untuk ‘menjual’ naskah ke penerbit memang bukan sesuatu yang salah, namun ini bisa jadi sesuatu yang menyebalkan bagi endorser. Pertama, karena tidak adanya kepastian terbit. Kedua, ada waktu dan energi yang harus diluangkan oleh endorser untuk membaca dan mengomentari karya kamu. Ketidakpastian tersebut akan membuat usaha yang dilakukan endorser tampak sia-sia.

Kedua, yakinlah bahwa ketika karya kamu diterima oleh penerbit, karya tersebut memiliki ‘kekuatan’ dan nilai plus yang menjadikannya layak terbit. Pahami juga bahwa setiap penulis mempunyai ciri khas dan kelebihan masing-masing. Karena itu, miliki rasa percaya diri dan hindari mencantumkan kalimat-kalimat berikut dalam permohonan endorsement kamu: “Saya tahu tulisan saya tidak sebagus Mbak…”, “Memang tulisan ini tidak sebanding dengan karya Mbak…”, dan sebagainya. Saya tidak tahu dengan penulis lain, namun permohonan endorsement semacam ini membuat saya kehilangan minat untuk membaca naskah. Jika endorser yang bersangkutan merasa cocok dengan karyamu, ia akan memberikan endorsement dengan senang hati. Tanpa kamu perlu ‘merendah’.

Ketiga, jangan mengirimkan naskah dengan tenggat waktu yang terlalu sempit. Dua minggu sampai satu bulan adalah tenggat yang cukup ideal bagi endorser untuk membaca dan mengomentari calon bukumu, apalagi jika kamu mengirim naskah kepada ‘Penulis Dewa’ yang punya segudang kesibukan. Sadari bahwa mereka memiliki pekerjaan yang lebih penting daripada membaca naskahmu. And for the love of God, jangan donder. Saya pernah menerima draft dari seseorang yang mengirimkan e-mail dua hari sekali untuk menanyakan apakah draft tersebut sudah dibaca. Kali ketiga ia mengirim e-mail, saya tidak lagi membalasnya. It’s just annoying. Saya hanya tersenyum masam mendengar alasan yang diajukannya: “Minggu depan sudah mau naik cetak, Mbak.” Sebagai orang yang pernah menerbitkan buku, saya tahu ada tenggat waktu yang cukup panjang dari diterimanya naskah oleh penerbit, proses produksi (editing, lay-outing, desain cover, dsb), sampai naik cetak. Keseluruhan proses tersebut bisa makan waktu 3 sampai 5 bulan. Kemane aje lo, baru ngirim draft seminggu terakhir?

Keempat, kirimlah naskah yang sudah ‘matang’, dalam arti sudah melalui proses editing setidaknya satu kali. Selain memudahkan endorser untuk menilai naskah tersebut secara keseluruhan, tindakan ini menunjukkan bahwa kamu menghargai endorser. Kesalahan ketik dan kesalahan tata bahasa adalah sesuatu yang sangat lazim terjadi, dan saya rasa endorser tidak akan mempermasalahkan hal ini. Namun isi naskah yang masih ‘mentah’ dan kasar akan sangat mengganggu untuk dibaca. Tunjukkan bahwa kamu menghargai endorser yang sudah bersedia meluangkan waktu dan energi untuk membaca naskahmu.

Kelima, gunakan font yang nyaman dibaca dan spasi yang tidak melelahkan mata. Hal ini juga bisa diterapkan untuk mengirim naskah ke penerbit. Saya pernah menerima naskah yang ditulis dengan font Arial Narrow dan spasi single yang panjangnya lebih dari 400 halaman. Saya berusaha membacanya sebanyak tiga kali dan akhirnya menyerah sebelum menyelesaikan bab pertama.

Keenam, kirimkan naskahmu kepada orang yang tepat. Jangan mengirimkan naskah novel pop kepada penulis cerita komedi. Jangan mengirimkan naskah kumpulan blog remaja kepada penulis fiksi ilmiah. Dan demi Tuhan, jangan mengirimkan naskah cerita horor murahan atau drama-komedi berbau seks kepada siapa pun. Kasihanilah kami.

Last but not least, berbesar hatilah jika naskahmu ditolak oleh calon endorser. Tidak usah ngambek. Tidak perlu membujuk calon endorser untuk mempertimbangkan ulang keputusannya dengan berkali-kali menghubunginya. Mereka tentu memiliki pertimbangan tersendiri untuk memberikan (atau tidak memberikan) endorsement. It’s nothing personal. Naskah saya pernah ditolak oleh beberapa penulis. Saya mengucapkan terima kasih atas waktu yang mereka berikan untuk membaca dan membalas e-mail saya, lalu mencari penulis lain yang bersedia meng-endorse buku saya. Sesederhana itu.

Sekarang, izinkan saya menghancurkan secercah harapan yang kamu miliki. Tips-tips di atas tidak menjamin kamu akan memperoleh endorsement sesuai harapan, bahkan tidak menjamin naskahmu akan dibaca oleh calon endorser.

Tips-tips tersebut hanya bentuk lain dari uneg-uneg yang saya (dan beberapa rekan penulis) miliki dari pengalaman menerima dan membaca naskah yang dikirimkan kepada kami. Sama seperti perjuangan untuk menerbitkan buku, ada banyak hal yang menentukan keberhasilan seseorang dalam mendapatkan endorsement – salah satunya keberuntungan. Saran yang bisa saya berikan adalah: lakukan yang terbaik yang kamu bisa, silangkan jari-jarimu, dan berharaplah keberuntungan ada di pihakmu. Kalaupun tidak, well, akan selalu ada kesempatan lain, selama kamu terus menulis. 😉

Selamat berburu endorsement!

—–

Tentang Dia yang Saya Panggil ‘Ayah’

Ayah saya adalah seorang jagoan. Disimpannya rapat-rapat airmatanya dan hanya menangis ia jika sendirian. Bukan karena tak mau membagi rasa, namun karena ia tak ingin saya bersusah hati. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Orang tua harus tahu kapan anaknya susah, tapi anak tidak perlu tahu kalau orang tuanya susah.”

Ayah saya adalah seorang pencinta. Masih lekat dalam ingatan sebuah pigura berbingkai gelap berisi foto almarhumah Ibu yang selalu dipeluknya erat sebelum tidur. Ia sanggup tidur tanpa kasur dan selimut, namun tak pernah sedetik pun dilepasnya foto itu. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Kalau lagi kangen Mama kamu, jadi nggak bisa tidur.”

Ayah saya adalah seorang pahlawan. Tak pernah ragu menolong yang kesusahan dan tak sedetik pun menunda membantu yang lemah. Meski tindakannya ini kerap membuat saya dan adik mengomel, karena kebaikannya sering disalahgunakan oleh orang lain. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Biarin lah, kasihan…”

Ayah saya adalah seorang dokter. Dan ia menyembuhkan bukan dengan obat-obatan. Ia menyembuhkan dengan dering telepon yang rutin di malam hari dan sapaan yang menghangatkan seperti selimut tebal. Mendengar suaranya, saya selalu yakin, semua akan baik-baik saja. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Jangan banyak pikiran, jangan kecape’an kerjanya. Udah makan belum? Udah mandi?”

Ayah saya adalah seorang penyair. Dua kalimat favoritnya adalah ‘I love you’ dan ‘take care’ yang kami pertukarkan nyaris setiap hari. Meski kalimat-kalimat itu tak dibubuhi embel-embel puitis lain, di telinga saya mereka laksana syair pujangga ulung.

Saya sangat beruntung.

Bukan karena memiliki seorang jagoan, pencinta, pahlawan, dokter, sekaligus penyair sebagai ayah, namun karena mengetahui, bahwa di dunia yang bisa gelap, keras dan menyakitkan ini, cintanya selalu ada.

Selamat ulang tahun, Papa. Saya sayang Papa. Sangat.

—–

Bersatu dengan Cinta

Seumur hidup, entah sudah berapa ratus kali saya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Minimal setiap Senin pagi di lapangan sekolah, sambil mendongakkan kepala tinggi-tinggi dan menghormat bendera. Tidak jarang, saya menyanyikannya dengan tergesa-gesa karena berharap upacara cepat selesai. Karena pengibaran bendera selalu dilakukan di akhir upacara, sering pula saya berharap bapak pembina mendadak sakit perut, supaya saya tidak perlu berlama-lama berdiri dan terjemur matahari.

Seperti itulah saya memandang Indonesia Raya.

Sebagai manusia yang mendahulukan Twitter daripada sarapan (I know, agak sakit memang :-D), hal pertama yang saya lakukan begitu mata membuka adalah menyambar ponsel untuk mengecek update status terbaru teman-teman. Seperti ketabrak gajah rasanya ketika pagi itu saya membaca sejumlah entri di halaman Twitter saya yang mengumumkan ledakan bom di Ritz Carlton dan J.W. Marriott.

Saya menyalakan televisi. Semua saluran seakan adu balap menayangkan berita terbaru dari lokasi kejadian, disertai rekaman video amatiran yang diambil sesaat setelah ledakan terjadi. Amatiran dalam arti sebenar-benarnya. Tidak jelas dan lebih menunjukkan indikasi gempa bumi daripada sisa ledakan. Cukup lama saya menonton. Setelah beranjak dari televisi, saya menghabiskan sisa hari itu di depan komputer. Kendati otak sudah luber oleh berita yang menyesakkan, tak urung saya tetap menjelajah jagat maya untuk mengumpulkan serpihan-serpihan informasi.

Reaksi emosi yang pertama kali timbul adalah amarah. Saya merasakan kebencian teramat-sangat pada sekelompok orang dungu yang berada di balik peristiwa pengeboman. Mereka yang cukup biadab untuk meledakkan bom di tempat umum dan menghilangkan nyawa orang-orang tidak berdosa. Mereka yang cukup keji untuk merancangkan semua rencana itu dan melaksanakannya. Saya mengutuk dan memaki. Melampiaskannya dengan kata-kata paling kasar yang saya ketahui.

What you resist, persists. Itu prinsip emas yang selalu saya amini. Karenanya, saya tidak menahan diri untuk meluapkan emosi. Puas memaki-maki melalui status Facebook dan Twitter, saya mengambil waktu sejenak untuk menarik nafas dan menyegarkan diri dengan air putih. Tidak lama berselang, muncullah lapisan perasaan berikutnya. Perasaan itu bernama takut.

Saya begitu mencemaskan keselamatan orang-orang yang saya sayangi, meski kecil kemungkinan mereka menjadi korban ledakan. Saya tidak bisa menerima rasa takut yang mendadak membuncah, rasa aman yang tiba-tiba lenyap, dan kekhawatiran yang tahu-tahu mendera. Tubuh-tubuh berlumuran darah yang saya saksikan akan mengisi benak saya dalam waktu lama. Ledakan bom telah memberi peringatan yang tak terelakkan akan bahaya dan maut yang bisa menjemput sewaktu-waktu. Tempat-tempat umum tidak lagi nyaman untuk didatangi sambil berlenggang-kangkung tanpa sedikit terbersit rasa was-was atau khawatir.

Beberapa saat setelah takut dan cemas mereda, muncul perasaan berikutnya. Sedih. Saya terpaku di depan komputer dengan mata berkaca. Keinginan untuk memaki tidak lagi ada. Rasa gentar perlahan sirna. Yang tersisa hanya luka yang mendalam. Sesuatu seperti terenggut dari jiwa saya, meninggalkan lubang hitam yang menganga.

Merasa tidak lagi kuat dijejali tambahan informasi, menjelang petang saya mematikan komputer dan menjauhkan diri dari televisi. Kawan-kawan saya berkumpul di ruang tamu untuk mendengarkan siaran berita, namun saya mengurung diri di kamar. Sesaat, saya merasa lega dan aman dalam kandang kecil saya.

Tidak lama kemudian, muncul lapisan rasa berikutnya yang tidak saya sangka-sangka. Lapisan itu bernama cinta. Dan saya terkejut sendiri karena setelah melalui berbagai spektrum emosi yang tidak menyenangkan, perasaan ini begitu murni, hangat, dan menenteramkan. Barangkali sebagian orang akan mencap saya berlebihan, namun ketika perasaan ini hadir, saya bahkan tidak mampu lagi merasa benci kepada para pelaku pengeboman. Seakan-akan semua kemarahan yang mencengkeram saya siang itu luntur begitu saja. Seakan-akan segala takut dan sedih terhapus begitu saja – hanya menyisakan kasih yang menghangatkan hati.

Seumur hidup, entah sudah berapa kali saya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mengulang lirik yang sudah terhafal mati di kepala dan bernyanyi tanpa merasa perlu menelaah maknanya – semua demi kewajiban rutin setiap Senin pagi di lapangan sekolah. Malam itu, sendirian di atas tempat tidur, saya kembali menyenandungkan Indonesia Raya. Tanpa iringan musik. Tanpa menghormat bendera. Tanpa peduli tempo.

Hiduplah tanahku
Hiduplah negeriku
Bangsaku
Rakyatku semuanya

Perlahan, mata saya membasah.

Saat itulah saya tahu, betapa saya mencintai negeri ini. Bumi di mana kedua kaki saya berpijak. Udara yang melewati paru-paru saya setiap hari. Tanah yang menghidupi saya sejak lahir hingga detik ini. Tanah Indonesia. Namun saya telah begitu terbiasa, hingga ingatan akannya tak pernah lagi mampir di benak. Atau hati.

17 Juli 2009 adalah momen dimana saya menyadari, cinta itu ada.

Paragraf berikut saya ambil dari artikel yang ditulis Goenawan Mohamad, tiga hari setelah peristiwa ledakan.

Kematian dan luka-luka itu mengerikan, tapi saya dengarkan percakapan, saya baca pesan di HP, dan saya mungkin bisa mengatakan bahwa kita marah, sedih, dan menangis karena tiba-tiba kita menyadari, betapa terkait kita dengan sebuah tanah air: sebuah negeri yang selama ini seakan-akan bisa diabaikan, atau hanya disebut dalam paspor—sebuah Indonesia yang seakan-akan selamanya akan di sana dan utuh tapi kini terancam—Indonesia yang dulu mungkin hanya menempel direkatkan ke kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah, karena pidato di televisi.

Beliau benar.

Peristiwa ini telah merenggut nyawa orang-orang yang tidak berdosa dan meluluhlantakkan begitu banyak jiwa. Namun peristiwa yang sama juga menyadarkan kita akan satu hal: betapa kita mencintai sesuatu yang telah begitu lama terabaikan. Betapa hati kita sesungguhnya terpaut pada sesuatu yang bahkan tak sempat kita ingat-ingat. Kita mencintainya namun tak lagi menghargainya, karena kita menganggapnya akan selalu ada. Dan ketika ia terguncang, dunia kecil kita ikut tergempa.

Hanya dalam tempo beberapa jam, #indonesiaunite menduduki peringkat teratas Trending Topics di situs pertemanan Twitter. Headline berita di seluruh dunia –mulai dari CNN hingga Al Jazeera— menyajikan topik yang sama. Simpati dan belasungkawa berdatangan dari segala penjuru dunia. Beberapa orang bahkan berinisiatif mengibarkan sang Saka di rumah dan kendaraan masing-masing.

Bom tersebut telah mengakibatkan kehancuran besar, dan pada saat yang sama meledakkan hati jutaan orang di Bumi Pertiwi untuk menyatukan kekuatan dan merangsek bangkit – menolak terkapar kalah. Sekali lagi mata dunia tertuju kepada kita; kali ini bukan karena tragedi kemanusiaan atau bencana alam, melainkan karena persatuan yang digalang bersama.

Malam itu, di tengah rasa bangga yang berkecamuk ketika menyaksikan #indonesiaunite merambati Trending Topics hingga berhasil bertengger di puncak, saya berdoa, yang memotori kita untuk bergandeng tangan dan menggalang persatuan adalah cinta. Bukan kemarahan. Bukan kebencian. Bukan dendam. Bukan sesuatu yang akan melahirkan kekerasan berikutnya. Saya berdoa, rantai kekerasan itu berhenti sampai di sini. Saya berdoa, bangsa ini akan sekali lagi bangkit dan bergerak bersama, kali ini dengan cinta.

Tidak ada sesuatu di dunia ini yang permanen. Teror takkan tinggal tetap, kedamaian pun bisa diguncang. Mungkin ini saat yang tepat untuk merenung dan menyadari bahwa segala sesuatu yang kita genggam saat ini bisa terlepas. Apa yang pernah kita miliki suatu saat bisa diambil. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mulai belajar bersyukur dan menghargai sebentuk anugerah yang masih dipercayakan kepada kita hingga detik ini: tanah air dan bangsa bernama Indonesia.

Dalam dunia yang kian sesak dan pengap, di tengah perputaran roda kehidupan yang memaksa kita untuk terus bergerak secepat-cepatnya, cinta bisa menjadi sesuatu yang terlampau absurd untuk digaungkan. Sekalipun ada, dengan cepat ia terlibas oleh ambisi dan egoisme. Kita tak pernah jemu menyuarakan cinta, namun hati kecil kita tahu, pada esensinya yang paling sejati, cinta telah lama terhimpit dan tertindas. Kita punya begitu banyak ‘baju’ berlabel cinta yang setiap hari kita pakai dan tunjukkan kepada dunia, namun cinta itu sendiri nyaris tak pernah tersentuh.

Malam ini, sebelum mempublikasikan #indonesiaunite untuk kesekian kalinya di halaman Twitter, saya menyempatkan diri untuk berkaca dan bertanya: apa yang sesungguhnya mendorong saya untuk mengetikkan sebaris kata itu? #indonesiaunite bisa datang dan berlalu, apa yang saya tulis bisa tergusur, namun yang melatari lahirnya sebaris kata itu dalam hati saya akan tinggal jauh lebih lama dari kalimat-kalimat yang pernah saya ciptakan.

Malam ini, sepenuh hati saya berdoa, dunia akan melihat bangkitnya sebuah bangsa yang bersatu karena cinta.

Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

—–