Malaikat Kecil

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Saya pernah memandangnya dengan iba. Ayah-ibu saya sudah lama bercerai, dan saya bisa memahami rasanya tinggal bersama orangtua yang tak lagi lengkap. Ternyata saya salah. Orang bilang, perpisahan selalu berujung luka. Tidak bagi dia. Untuknya, perpisahan adalah sebuah awal baru. Dari keluarga besar yang dulu tidak dimilikinya. Dari kebahagiaan yang semakin bertambah seiring bergulirnya waktu. Dari seorang ayah dan seorang ibu, kini dia punya dua ayah dan dua ibu, seorang adik laki-laki, dua calon adik bayi yang belum ketahuan jenis kelaminnya, dan seekor kucing bernama Tjondro.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Senyumnya menerbitkan hangat di hati, layaknya mentari yang tak pernah jemu membagi sinar. Jika anak-anak seusianya sering malu bertemu orang baru, dia takkan segan mempertontonkan segala jenis keahlian, mulai dari bergoyang dombret, bernyanyi lagu Batak keras-keras, menggebuk drum di udara, sampai berjoget-joget lincah. Rambut kriwilnya tak pernah diam, sama seperti tubuhnya yang selalu bergerak kesana-kemari.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Rabu malam pukul sepuluh adalah saat yang selalu saya nantikan, karena malaikat kecil itu akan berjingkrak-jingkrak di depan pintu begitu mendengar suara mobil mendekati rumah. Dia akan menunggu dengan manis, lalu menyambut kami layaknya pahlawan pulang dari medan perang. Hangat, gembira, penuh kebahagiaan. Setelah itu, ia akan mengucapkan kalimat pendek yang selalu diulangnya: “Mbak Jenjus, peluk.” Dan saya akan mendekapnya erat sambil membaui rambutnya yang wangi.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Dia bercahaya, dan dia benderang. Kehangatan itu tak pernah habis untuk dibagi. Dia akan segera tumbuh dewasa, dan sinarnya akan berpijar semakin terang. Dia tak perlu mentari, karena dialah sang empunya surya. Sayap-sayapnya akan menjadi kuat dan mengepak. Dia akan membubung tinggi dan ketika saat itu tiba, saya berharap saya bisa mengantarnya sambil tersenyum lebar.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Lihatlah dia di sana. Tertawa riang sekali.

Di bangku-bangku itu, empat orang tak lepas menatapinya dengan senyum bangga. Bukan cuma dua.

🙂

*Picture taken from Keenan’s Fan Page.

Fan(s)atisme

I’ve lost the sparks.”

Itulah yang saya cetuskan ketika sedang duduk sambil ngobrol santai dengan Mbak ini di sebuah restoran Jepang. Waktu itu, kami sedang membahas Fan Page dan komentar-komentar di dalamnya.

Sebagai salah satu administrator Fan Page, saya membuka account tersebut minimal dua kali sehari. Lebih sering dari minum obat. Jika dibandingkan dengan total anggota yang sudah mencapai belasan ribu, jumlah komentar yang masuk ke Fan Page setiap hari memang tidak sampai satu persennya, namun bukan jumlah komentator juga yang membuat saya bengong jaya, melainkan isi komentarnya.

Tidak sedikit penggemar yang bisa dimasukkan dalam kategori hardcore dari caranya memuji-muji, keinginan menggebu untuk bertemu, apresiasi pribadi terhadap Mbak ini, dan sebagainya. Sedikit banyak, membaca komentar-komentar mereka membuat saya merenung dan berpikir, dulu saya kayak gitu nggak, ya? Bukan bermaksud membanding-bandingkan, hanya saja, saya pernah merasakan kekaguman yang serupa, jauh sebelum berkenalan dengannya.

Saya jatuh cinta dengan karya-karya beliau sejak Filosofi Kopi terbit. Kekaguman itu semakin bertambah ketika saya menemukan blog-nya, meski saya tidak paham isinya. Yang ada di pikiran saya waktu itu hanya, “Keren bener bisa merangkai kata kayak gini.” Jadilah saya penggemar setia yang tidak pernah melewatkan satu pun entrinya dan sesekali memberanikan diri berkomentar… supaya eksis di memorinya. Siapa tahu, dengan rajin berkomentar, lama kelamaan ia akan hafal nama saya. Gunanya? Nggak ada, sih – namanya juga ngefans, harap maklum. 🙂

Layaknya fans pada umumnya, saya sering sekali berkhayal, seandainya saja saya bisa bertemu langsung dengannya. Di luar kota pun akan saya bela-belain, demi bertatap muka dengan idola. Sayangnya, saat itu ia sedang vakum meluncurkan buku, sehingga acara-acara seperti bedah buku –yang memungkinkan penggemar berjumpa langsung dengan penulis—tidak ada sama sekali. Atau, kalaupun ada, informasinya tidak sampai ke telinga saya.

Ketika akhirnya kami bertemu langsung —di rumahnya pula— jangan ditanya bagaimana rasanya. Badan gemetar, telapak tangan berkeringat dingin, dan saya tidak bisa duduk rileks. Malam itu saya bergulingan di kasur tanpa bisa tidur, dan esok paginya terbangun dengan pertanyaan, yang kemarin itu mimpi bukan ya? Saya memeriksa ponsel untuk memastikan nomor beliau tersimpan di sana, sebagai bukti bahwa saya tidak bermimpi.

Beberapa hari kemudian, melampaui mimpi ketiban duren, kejatuhan bulan dan segala perlambang rezeki lainnya, saya mendapat kabar bahwa beliau berniat merekrut saya menjadi asisten pribadi. Lagi-lagi saya tidak bisa tidur saking senangnya. Saya menunda sekian hari untuk mengabarkannya kepada keluarga, for the sake of… jaga-jaga aja, siapa tahu kali ini beneran cuma mimpi. Ternyata saya tidak bermimpi, dan keluarga saya menyambut kabar bahagia tersebut dengan kendurian tujuh hari tujuh malam.

*You don’t seriously believe that, do you?*

Teman-teman saya yang mengetahui perekrutan tersebut mengulang pertanyaan yang sama dari waktu ke waktu: “Gimana caranya lo bisa kerja sama dia?”, “Ketemu di mana?”, “Sejak kapan kenalnya?” dan sebagainya, dengan nada kagum plus penasaran. Dan saya selalu memberi jawaban yang sama, diawali dengan kalimat, “Ceritanya, gue kan ngefans banget…”.

Yes, I considered myself a very lucky girl.

Sepuluh bulan sudah berlalu sejak perjumpaan pertama saya dengannya. Hari itu, dalam obrolan remeh mengenai Fan Page, ingatan demi ingatan kembali berkilasan di benak saya. Hanya saja, kali ini, saya merasa ada yang ‘kurang’.

Saya masih menggemari karya-karya beliau, namun kekaguman terhadap penulis sekaligus penyanyi favorit saya itu lenyap sudah. Saya mencoba menggali ingatan, sejak kapan, kok bisa, dan sebagainya, tapi saya tidak berhasil menemukan jawaban.

Saya pun menduga-duga: apakah karena kami terlalu sering bertemu? Perjumpaan fisik memang tidak setiap hari, bahkan kadang tidak seminggu sekali, tapi komunikasi melalui e-mail dan SMS kami lakukan setiap hari. Apakah itu yang membuat saya ‘mati rasa’?

Apakah percikan itu hilang karena akses yang ada memungkinkan saya untuk mengenal beliau dengan lebih mendalam, dan saya menemukan begitu banyak hal biasa dari sosok yang pernah saya anggap luar biasa?

Apakah kedekatan bisa memapas rasa kagum? Apakah percikan itu hilang karena saya mengetahui seorang Dewi Lestari ternyata begini dan begitu, atau tidak begini dan tidak begitu?

Apakah kekaguman itu hilang karena saya lebih sering numpang makan dan numpang mandi melihatnya di rumah, bersantai dengan pakaian seadanya dan wajah polos, ketimbang berdiri di atas panggung dengan make-up tebal dan gaun berkilauan?

Entahlah. Mungkin iya. Yang pasti, percikan itu lenyap entah kemana.

Di satu sisi, saya bersyukur. Somehow, saya justru merasa lebih jernih dalam berelasi dan bekerja ketika saya tidak lagi menganggap beliau sebagai sosok panutan. Pun ketika saya berada seruangan dengannya dimana ‘peran’ yang saya jalankan bukan lagi sebagai bawahan, melainkan ‘sesama’ – contohnya ketika kami sama-sama menjadi peserta meditasi mingguan.

Dulu, saya selalu ragu bersuara dalam sesi-sesi diskusi, karena saya berpikir, “Duh, kalo gue bilang gini, ntar apa pendapatnya, ya? Salah nggak, ya? Konyol nggak, ya?”.

Dulu, saya sering sekali sungkan menyampaikan pendapat, apalagi yang berseberangan dengan pendapatnya, karena saya berpikir, “Siapalah gue? Yang ada juga dia yang bener, gue yang salah” – bukan karena beliau atasan saya, namun karena saya merasa kecil bila dibandingkan dengan idola saya.

Dulu, saya selalu berhati-hati melontarkan lelucon, bukan karena takut menyinggung dirinya, melainkan karena saya tidak mau dianggap aneh olehnya.

Sekarang? Bablas rek. Jangankan beda pendapat, berselisih aja sudah lebih dari sekali. 🙂

Lepas dari itu semua, saya bersyukur bahwa pudarnya percikan itu justru membuat saya bisa melihat sosoknya dengan lebih natural. Seiring dengan lunturnya citra demi citra yang terkonstruksi di benak saya tentang ‘Dee sebagai penulis favorit’ dan ‘Dewi Lestari sebagai penyanyi idola’, saya menemukan banyak pelajaran, baik dari keberadaannya sebagai orang biasa maupun dari relasi kami sebagai atasan dan bawahan. Terkadang, saya melihat beliau bukan lagi sebagai atasan belaka, melainkan teman yang bisa diajak bercanda konyol dan bertukar cerita-cerita remeh. Ketika citra ‘idola-penggemar’ mulai tersingkir, yang tersisa adalah sebentuk relasi yang terasa nyata dan apa adanya. Bisa menyenangkan, bisa menjengkelkan, bisa membuat tertawa terpingkal-pingkal, bisa juga membuat sebal.

*Sebal? Emang pernah? Ya pernah, lah. Namanya juga berhubungan dengan sesama manusia.*

Seiring berjalannya waktu, saya mulai mampu mengintip berbagai ruang di hati dan menelusuri lebih jauh: mengapa saya merasa begitu membutuhkan kehadiran seseorang yang lebih tinggi, lebih hebat dan lebih segala-galanya untuk dijadikan panutan, daripada melihat ke dalam diri dan mempercayai kemampuan saya sendiri? Mengapa saya selalu merasa perlu ‘mengikuti’ seseorang daripada berjalan dengan tuntunan kaki sendiri? Mengapa saya merasa ada yang kurang jika saya tidak punya figur idola yang bisa saya puja-puji?

Everyone needs someone to look up to, kata Tante Whitney. Kalimat itu telah saya jadikan pembelaan, namun saya merasa ada yang kurang pas dengan justifikasi parsial itu. Benarkah saya selalu membutuhkan sosok panutan sebagai penerang jalan dalam hidup ini?

*HALAH*

Saya belajar banyak.

Tidak ada yang salah dengan menjadikan seseorang sebagai idola, apalagi jika yang bersangkutan memang punya seribu satu kualifikasi untuk menjunjung predikat tersebut. Tidak ada yang salah juga dengan mengagumi orang lain dan bertekad ingin menjadi seperti dia. Hanya saja, dalam proses tersebut, terkadang kita lupa, bahwa citra yang terbentuk di pikiran kita seringkali tidak sama dengan realita yang sesungguhnya.

Yang sering terjadi adalah, ketika kita mengidolakan seseorang, benak kita dengan kreatifnya menyusun begitu banyak persepsi –bahkan definisi— tentang sosok yang kita kagumi, berdasarkan informasi sepotong-sepotong yang kita kumpulkan dari mana-mana – majalah, televisi, cerita orang, pertemuan langsung yang hanya sekian menit, dan sebagainya. Faktanya, jangankan yang mengidolakan, orang yang tidak mengidolakan saja bisa punya begitu banyak persepsi yang belum tentu sejalan dengan kenyataan.

Kejernihan yang terdistorsi ini lantas membuat kita memiliki penilaian yang kurang akurat. Tidak heran kita begitu mudah ‘disesatkan’. Tidak heran kita begitu mudah menjatuhkan penghakiman atas orang yang tidak kita kenal secara pribadi, hanya dengan menontoninya di televisi atau membaca beritanya di tabloid. Tidak heran kita begitu mudah terpancing dengan berbagai pemberitaan dan isu seputar kehidupan si idola, yang sebenarnya bukan urusan kita. Yang lebih ekstrim lagi, tidak jarang kita merasa ‘memiliki hak’ atas idola yang bersangkutan, karena kita telah ‘menginvestasikan’ begitu banyak perhatian dan rasa kagum atas figurnya. Ingat kasus Aa’ Gym? 🙂

Tidak ada yang salah juga dengan berharap bisa bertemu idola, berdekatan dengannya, menjalin pertemanan, bahkan, kalau bisa, menyebutnya sahabat. Trust me, been there done that. Hanya saja, harapan-harapan ini dapat menyedot begitu banyak energi tanpa kita sadari, sekaligus menciptakan beragam ilusi dan mimpi yang tak kalah dahsyat dari Indonesia menang Piala Dunia. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan itu semua, dan tidak ada yang salah dengan meyakini Persija bisa mengalahkan Manchester United, namun sungguhkah kita ingin hidup dalam ilusi?

Ada kalanya pula, kita mendapatkan rasa ‘aman’ dengan ‘berlindung’ di balik sosok yang dipuja, dan menganggap perspektif kita tentang dirinya adalah gambaran yang sudah pasti benar. Tanpa sadar, kita menabung begitu banyak ekspektasi dalam diri seseorang yang tidak kita kenal secara langsung. Orang-orang yang hanya kita lihat di televisi, kita dengar suaranya, kita baca tulisannya. Kita menerjemahkan kekaguman tersebut dengan pemahaman kita sendiri, ke dalam bahasa kita sendiri, dan menganggapnya sah. Tidak heran kita begitu mudah kecewa ketika mendapati sosok idola kita ternyata tidak sesuai dengan gambaran ideal itu, atau memunculkan reaksi berlebihan ketika sang idola berbuat sesuatu yang sebetulnya amat wajar dan biasa dilakukan semua orang.

Atau, pernah dengar yang seperti ini: bertengkar dengan orang lain karena tidak terima idola kita dijelek-jelekkan? Kekeuh jumekeuh berdebat sampai mulut berbusa demi membela idola? Menjadikan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan idola sebagai patokan standar tingkah laku dan perkataan – bahkan menjadikannya prinsip hidup? Menghabiskan tabungan untuk memburu idola ke ujung dunia, lalu pingsan ketika melihatnya? Yang terakhir ini dialami oleh teman dari kenalan saya, yang bela-belain nonton konser Michael Jackson di luar negeri dan langsung pingsan begitu melihat MJ muncul (bahkan nggak sempat nonton!) . 😀

Itulah yang saya sebut fan(s)atisme.

Nggak bisa tidur setelah bertemu idola di mal, memaksa anak berfoto dengan idola padahal anaknya nggak mau, ngebet ingin berjumpa sampai kebawa mimpi tiga hari tiga malam, dan memuja-muji idola sesering mungkin dimana pun ada kesempatan juga berpotensi bagus untuk berkembang menjadi fan(s)atisme. Hehehe.

I’ve lost the sparks. Dan itu pula yang saya katakan dengan terus terang. Setelah mengucapkannya, saya menatapnya dengan deg-degan sambil membatin, kelar deh kerjaan gue abis ini.

Otak saya membantah, lo nggak bilang juga dia nggak tahu. Toh, nggak penting juga. Lo jujur atau nggak, nggak bakal ngaruh. Saya tidak tahu apakah saya melakukan hal yang benar, namun entah bagaimana, saya merasa dia berhak tahu.

Ternyata, reaksinya di luar dugaan.

“Baguslah,” ucapnya ringan, kemudian melanjutkan makan dengan santai.

Saya nyengir sendiri, lalu mereguk ocha yang mulai dingin. Belakangan saya tahu, ia sependapat bahwa tiadanya percikan justru menyehatkan relasi yang kami jalani, dengan segala dinamikanya.

🙂

Ada yang bilang, percikan adalah sesuatu yang harus terus dijaga, dipelihara, bahkan dikobarkan, karena ‘api’ membuat kita ‘menyala’ – hidup, bertenaga dan penuh semangat. Memiliki idola memang bisa memberi berbagai manfaat positif, seperti memacu kita untuk meraih impian, berusaha memiliki kehidupan yang lebih baik, dan banyak lagi. Namun, bagi saya, yang terpenting bukanlah berupaya mempertahankan percikan tersebut, karena seperti air, nafas, dan segala bentuk energi lain, api merupakan energi yang punya siklus masuk dan keluar. Bisa surut dan membuncah, bisa redup dan berkobar.

Mungkin –hanya mungkin— ada baiknya percikan itu sesekali padam. Barangkali, ada baiknya api itu tak senantiasa berpijar. Tanpa ‘pendar-pendar api’, kita akan mampu melihat dengan jelas sosok yang berada di baliknya, yang selama ini tertutup oleh sinar menyilaukan. Ketika kita dapat melihatnya, barangkali kita juga bisa memperoleh kesempatan untuk mengintip lebih jauh ke dalam kamar hati dan menyadari beragam isi yang tersimpan di sana.

*Dengan mempublikasikan tulisan ini, resmi sudah saya melanggar satu lagi pakem tak tertulis dalam dunia kerja: haram hukumnya ngomongin bos di internet! Semoga bulan depan masih bisa gajian… *crossing fingers* 😀

**Mudah-mudahan nggak ada pendukung Persija yang baca tulisan ini.

***Gambar dipinjam dari gettyimages.com.

Dalam Duapuluh Menit

Duapuluh menit sudah cangkir itu berada di depanmu
Isinya baru berkurang beberapa mili, meski uap panasnya sudah lama hilang.
Duapuluh menit sudah aku duduk di depanmu
Dan baru dua kali kau memandangku dengan senyum hambar.

Sejak tadi kau diam, termangu seperti orang bosan
Padahal ini kali pertama kita berjumpa setelah sekian minggu
Dan ini awal bulan
Dimana aku bisa menraktirmu kopi berharga puluhan ribu tanpa perlu memeriksa dompet.

“Kenapa?”
Hati-hati, aku bertanya.
Sepertinya suasana hatimu sedang tidak baik
Dan aku tidak ingin merusak momen yang harusnya manis ini.

Sambil mendesah, kau topangkan kedua tangan ke dagu.
“Seandainya bisa seperti mereka,” katamu.
Kuikuti arah pandangmu, kutemukan dua wanita menenteng BlackBerry seri terbaru
Kuku mereka dimanikur rapi, dan dalam sarung warna-warni benda itu bagaikan impian yang jauh dari genggaman.

Atau seperti dia,” tunjukmu.
Kembali kuikuti arah jarimu
Seorang laki-laki tengah menyodorkan kartu berwarna keperakan kepada pelayan
Benda macam itu takkan mampu mengisi dompetmu sampai kapan pun, kecuali mujizat turun dari langit dan menjadikanmu kaya-raya dalam semalam.

“Kayak dia juga boleh, deh,” desahmu dramatis.
Lagi-lagi kuputar tubuhku mencari objek pembicaraan
Seorang remaja duduk di pojokan sambil membaca majalah
Tas yang terletak di sampingnya jelas bukan barang murah, dan sandal yang dipakainya setara sepertiga gaji bulananmu.

Aku tersenyum.
Seandainya kau melihat apa yang kulihat, Dik.
Matamu tak mampu menangkap apa yang tersembunyi di balik peranti elektronik bersarung pelangi, kartu kredit platinum, dan benda-benda mewah
Namun mataku dapat.

Barangkali karena pandanganku cukup awas
Telingaku yang kelewat tajam
Meja-meja yang letaknya berdekatan
Atau café mungil yang sore ini tak terlalu ramai.

Wanita berkuku cantik yang menggenggam Blackberry itu tak hentinya mengeluhkan kelakuan suaminya kepada sang sahabat, yang mendengarkan sambil berkomentar bahwa nasib mereka tak jauh berbeda. Suami yang pergi keluar kota enam kali dalam sebulan. Pulang hanya untuk menyetorkan pakaian kotor, kemudian menghilang tak tentu rimbanya. Si Sulung yang pulang pagi dengan mulut bau alkohol dan membantingi barang-barang. Si Bungsu yang kerap dipanggil Kepala Sekolah karena gemar membolos. “Pusing gue, Rin. Kenapa hidup begini amat, ya?”

Pria dengan kartu kredit platinum itu baru saja ditinggalkan oleh seorang wanita berambut panjang. Setelah mengecupnya sekali, dengan setitik air di pipi ia berkata, “Kembalilah ke anak dan istrimu. Mereka lebih berhak atas dirimu.” Lelaki itu menatap sayu, namun punggung itu tetap menjauh.

Remaja belasan tahun itu sedari tadi tak membalik majalah yang dibacanya. Saat meraih cangkir, matanya berkaca. Dua menit lalu ponselnya baru saja ditutup dengan kalimat, “Aku tuh cuma pengen Mama pulang sekali-sekali, ngumpul lagi sama Papa dan aku kayak dulu. Mama udah nggak sayang aku, ya?”

Seandainya bisa seperti mereka, katamu.

Mungkin kita memang perlu berputar, Dik, untuk menjadi apa yang bukan kita
Demi menemukan diri yang sejati, kebenaran kita sendiri
Serta pemahaman sederhana, bahwa memiliki segala yang dapat dibeli uang
Tidak selalu menuntun kepada bahagia.

—–

*Gambar dipinjam dari sxc.hu.com

Murah Meriah Bonus Protein

Chiffon Cake kaya gizi DISKON 50%, bonus penambah nutrisi berupa lalat segar. Masih hidup dan bebas berkeliaran DI DALAM wadah kue.

And here’s another one:

*Gambar diambil di pusat perbelanjaan Lebak Bulus, diikuti ibu-ibu yang latah pengen motret juga, “Buat di Facebook.”
Camkan itu, Saudara-saudara. Buat di Facebook.

—–

Persatuan dan Kesatuan di Negara Republik Indonesia

Rabu malam, pukul setengah sebelas.

Saya merapatkan tangan di depan dada, melindungi diri dari hawa dingin yang menusuk. Hujan baru saja reda, dan celana jeans saya yang terciprat air belum kering. Saya duduk dengan hati-hati di atas motor yang terus melaju, berjaga-jaga agar tidak ada genangan air yang luput dari pandangan. Jeans saya baru dicuci. Saya tidak rela bercak-bercak kotor itu bertambah lebar.

Motor menikung dengan cepat. Sebentar lagi saya akan sampai di kos-kosan. Saya menyusun rencana di kepala, apa saja yang harus dilakukan setibanya di sarang yang nyaman. Mandi, berberes, menyalakan komputer, mengecek e-mail

Kerumunan orang di depan membuat saya menyipitkan mata, mencoba melihat dengan jelas di sela-sela hembusan angin. Di kiri-kanan jalan, orang-orang berdiri dalam kelompok-kelompok kecil. Tidak jauh dari situ, sepeda motor terparkir asal-asalan, dan aparat-aparat keamanan berseragam cokelat mengelilingi mereka.

Saya menghela nafas, sadar apa yang akan saya alami dalam hitungan detik. Saya mengumpat dalam hati karena tidak mengenakan helm. Razia versus Tidak Pakai Helm. Satu ditambah satu sama dengan dua.

Tukang ojek yang saya tumpangi (motornya ya, catet) mengurangi kecepatan sedikit. Sambil mengangguk sopan kepada polisi-polisi tersebut, ia menyerukan semacam salam bernada permisi. Santun dan cukup keras sehingga mereka semua bisa mendengar. Polisi-polisi itu memandang kami sekilas, kemudian membiarkan kami berlalu.

Beberapa meter di depan, kami kembali bertemu polisi. Si tukang ojek mengulangi hal yang sama. Tiga atau empat kali, sampai jalan yang kami lalui benar-benar bebas polisi.

Saya terbengong-bengong dengan jayanya mendapati kami meluncur mulus di jalanan becek itu, sementara di kiri-kanan banyak motor diparkir seenaknya karena para pemiliknya sedang berurusan dengan aparat.

“Kok kita nggak di-stop, Bang?” Seru saya.

“Apa, Neng?” Si tukang ojek berseru balik.

“Kok kita bisa lolos? Nggak ikut di-stop? Padahal saya nggak pakai helm?” Saya memberondong dengan penasaran.

“Kan saya pribumi,” si tukang ojek menjawab kalem.

Saya terdiam.

Rasanya seperti disengat. Pedih.

Kalau pengendara motor yang saya naiki bukan pribumi, apakah kami juga akan dihentikan, disuruh memarkir motor di pinggir jalan, diminta menunjukkan kartu identitas, lantas disuruh membayar sejumlah uang ditilang?

Kalau saya tidak menyembunyikan kepala di balik punggung si tukang ojek, apakah kami akan dihentikan karena wajah saya memperlihatkan sepasang mata yang sipit?

Kalau saja kami tidak berkendara pada pukul setengah sebelas malam, melainkan setengah sebelas siang, apakah kami akan dihentikan karena sinar matahari tidak bisa menyembunyikan warna kulit saya yang terang?

Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan yang bersifat homogen. Di rumah, di lingkungan sekitar, di sekolah, saya selalu bertemu orang-orang yang ‘sama’ seperti saya. Begitu pula ketika saya tumbuh dewasa, lulus dari bangku sekolah dan mulai bekerja. Atasan saya, rekan-rekan kerja saya, semua berasal dari suku yang sama dengan saya, dan saya hanya mengenal dua kata pengganti untuk memanggil mereka yang berusia lebih tua: Koko dan Cici.

Kerusuhan Mei 1998 adalah momen yang cukup besar dalam hidup saya, ketika untuk pertama kalinya saya dan keluarga mengalami dampak kebencian hebat yang sudah berakar di negeri tercinta yang semboyannya (konon) mengagung-agungkan persatuan dan kesatuan ini.

Usaha yang dikelola Oom dan Tante saya musnah dalam semalam karena toko mereka dibakar. Bengkel Oom saya yang lain nyaris diserbu massa; untungnya penduduk setempat berbaik hati melindungi mereka hingga kerusakan yang ditimbulkan tidak terlalu berat. Selama berbulan-bulan setelah peristiwa itu, saya tidak pernah keluar rumah tanpa mendapat sedikitnya satu ejekan bernada merendahkan. Pelecehan seksual yang diumbar secara verbal, panggilan-panggilan kasar, berbagai kalimat menyakitkan yang terus mengingatkan betapa bencinya mereka kepada kami –barangkali karena kami dianggap parasit dan tidak layak dibiarkan hidup tenteram— menjadi makanan sehari-hari yang harus ditelan mentah-mentah.

Selama berbulan-bulan, saya dan keluarga hidup dalam gelisah, cemas, dan takut. Saya, yang waktu itu duduk di bangku SMP, mendadak merasa dunia menjadi tempat yang tidak aman lagi. Dan saya tidak tahu harus berlindung kemana.

Rasa takut itu perlahan berubah menjadi kebencian. Rasa cemas itu menjelma menjadi kemarahan. Untungnya, tidak lama berselang saya menghadiri sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani berskala nasional yang mengusung tema persatuan. Di acara yang bertajuk ‘Jadikan Kami Satu’ itu hati saya kembali terbuka. Kebencian bukan jawaban bagi penderitaan umat manusia. Kemarahan tidak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi. Di sana, saya belajar memberi maaf.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai berjumpa dengan orang-orang yang ‘berbeda’ dengan saya, dan meskipun saya tidak terbiasa, saya belajar menerima dan menghargai mereka apa adanya. Lambat laun, saya bukan hanya mengenal orang-orang ini. Saya berteman dengan mereka. Saya bersahabat dengan mereka.

Orang tua saya mulai terbiasa bertemu dengan kawan-kawan saya yang berkulit lebih gelap. Keluarga saya mulai terbiasa melihat saya membawa (bahkan mengajak menginap) teman yang matanya tidak sesipit saya. Yang tidak mengenal berbagai istilah dalam bahasa Mandarin (saya sendiri tidak bisa berbahasa Mandarin, namun dalam percakapan sehari-hari ada beberapa istilah yang selalu kami gunakan). Yang tidak tahu kenapa orang yang sudah menikah memberikan angpau kepada kerabat yang masih lajang pada hari raya Imlek. Yang tidak paham tradisi, kebiasaan dan adat-istiadat yang dianut saya dan keluarga. Yang memanggil sepupu-sepupu saya yang lebih tua dengan kaku karena lidahnya tidak terbiasa menyebut ‘Koko’ dan ‘Cici’. Yang berbeda dengan kami.

Waktu terus bergulir, dan hidup membawa saya mengalir.

Saya mendapat pekerjaan baru. Kali ini, atasan saya tidak berasal dari suku yang sama dengan saya. Saya memperoleh teman-teman baru, dan mereka tidak sesipit saya. Saya berkenalan dengan orang-orang dari berbagai kalangan, dan mereka tidak bisa memakai istilah-istilah yang saya gunakan, sama seperti saya tidak memahami kata-kata yang mereka ucapkan dalam bahasa Sunda, Batak, Manado, dan sebagainya. Namun, semua itu tidak menjadi penghalang bagi kami untuk menjalin hubungan baik. Saya tidak pernah menganggap perbedaan tersebut sebagai masalah besar. Saya bahkan bangga. Saya menganggap diri saya ‘kaya’.

Saya belajar memanggil atasan dan teman perempuan yang lebih tua dengan sebutan ‘Mbak’. Saya belajar memanggil kawan pria yang lebih tua dengan sebutan ‘Mas’. Kepada mereka yang bukan orang Jawa, saya memanggil dengan sebutan ‘Teteh’, ‘Kakak’, atau ‘Abang’. Saya bahkan pernah terpeleset menyebut teman saya ‘Mbak’ ketika saya seharusnya memanggilnya ‘Cici’. Saya sudah demikian terbiasa, hingga perbedaan itu rasanya nyaris tak pernah ada.

Sahabat-sahabat terbaik saya adalah pribumi. Ambon. Batak. Jawa. Sunda. Padang. Saya bangga berteman dengan mereka, meski warna kulit mereka tidak seterang kulit saya. Dan mereka mencintai saya apa adanya, meski mata saya tidak selebar mata mereka.

Di kos-kosan tempat saya tinggal, saya adalah satu-satunya penghuni yang bukan pribumi, dan hubungan saya dengan teman-teman sudah demikian akrab – tak ubahnya saudara ketemu gede. Jika beberapa hari saja saya tidak pulang, mereka akan mengirim SMS, menanyakan dimana saya berada dan kapan kembali. Merekalah yang berpesan “Hati-hati di jalan” setiap saya pamit untuk pergi. Merekalah yang membelikan makanan saat saya terkapar sakit. Mereka juga yang mendengarkan keluh-kesah saya dan selalu ada untuk saya, sebagaimana saya ada untuk mereka. Warna kulit kami berbeda, bahasa yang kami pakai berlainan, namun cinta itu sama. Karena cinta memang tidak pernah butuh alasan.

Saya pikir, saya telah melampaui semua batasan itu. Saya telah membangun jembatan di atas jurang perbedaan, dan saya telah menyeberanginya. Saya sampai dengan aman. Saya berhasil. Saya menang. Perbedaan tidak bisa mengalahkan saya. Dan di atas segalanya, persatuan ternyata memang ada. Butir ketiga Pancasila tidak berbohong.

Dugaan itu ternyata tidak sepenuhnya benar.

Kejadian sederhana di Rabu malam itu memberitahu saya dua hal: pertama, saya harus segera membeli helm. Secepatnya. Kedua, di suatu tempat di negeri ini, saya tetap diperlakukan tidak adil karena warna kulit saya berbeda. Dan di belahan lain negeri ini pula, ada orang-orang yang tidak diterima apa adanya karena mereka yang ‘sejenis’ dengan saya menolak mengakui persamaan derajat di antara kami.

Malam itu, saya sadar.

Kita memang belum merdeka. Kita bahkan belum bersatu. Kita hanya diikat menjadi satu dengan selembar kain separuh merah separuh putih dan status legal yang terdiri dari tiga kata: Warga Negara Indonesia.

Warna kulit –dan persepsi kerdil yang terpenjara dalam batok kepala ini— barangkali akan selamanya menjadi pembeda yang memisahkan kita.

—–

Gambar tentunya masih meminjam dari sxc.hu.