Menulis Jujur (Belum) Tentu Mujur

Akhir pekan lalu, saya memutuskan untuk hengkang sejenak dari kos-kosan dan pulang ke rumah. Di sana, saya menyempatkan diri membongkar koleksi novel yang sudah lama tidak tersentuh. Ini salah satu kegiatan favorit saya setiap pulang ke rumah: membaca tumpukan novel yang tersimpan di kamar, karena saya terlalu malas membawa buku-buku tersebut ke kos-kosan.

Saya memilih sebuah novel dan membaca sambil leyeh-leyeh di tempat tidur. Belum sampai setengahnya, saya berhenti. Saya merasa ada yang ‘aneh’ dengan novel tersebut, dan perasaan itu cukup mengganjal. Tapi saya tidak tahu apa.

Sejurus kemudian, baru saya sadar. Novel itu memuat begitu banyak pesan dan nilai moral. Saking ‘padat’nya, tidak jarang dalam sebuah adegan diselipkan beberapa paragraf berisi petuah bijak yang tidak ada hubungannya dengan cerita. Si penulis juga menyisipkan konsep idealnya di sana-sini, yang meski terbungkus rapi dalam kemasan fiksi, tetap saja (bagi saya) terkesan dipaksakan. Sejujurnya, saya merasa digurui. Dan itu cukup mengganggu, meski akhirnya saya tetap menamatkannya.

Itu kasus pertama.

Kasus kedua, beberapa waktu lalu saya membaca sebuah diskusi kecil-kecilan di Facebook yang membahas seorang penulis yang karya-karyanya pernah dijuluki ‘sastra selangkangan’ lantaran banyak memuat isu seks dan perempuan. Di forum mini tersebut, beberapa orang mengkritiknya dengan tajam. Salah satu pemicunya (barangkali) karena selain blak-blakan mengedepankan isu seputar ranjang dalam novelnya, penulis ini juga kerap tampil dengan minuman keras dalam acara-acara publik yang menggunakan jasanya.

Membaca kritik-kritik pedas itu, saya termenung. Lambat laun, saya merasa menemukan benang merah antara kedua peristiwa di atas dengan novel-novel saya yang tak kunjung selesai. FYI, beberapa hari sebelum menulis artikel ini, saya membongkar harddisk dan menemukan sepuluh draft (!). Sebagian sudah nganggur bertahun-tahun lamanya, sebagian sudah memiliki outline yang jelas dan lengkap, sebagian lagi sudah jadi, hanya membutuhkan revisi, dan tetap tidak selesai.

Berhari-hari saya merenung dan bertanya-tanya, sampai eneg sendiri. Akhirnya saya mendapati bahwa salah satu faktor yang menyebabkan saya tidak kunjung menyelesaikan novel saya adalah, karena setiap kali saya menulis, di kepala saya selalu muncul berbagai rambu yang mengingatkan saya akan banyaknya batasan yang harus ‘dipatuhi’ dan ‘tidak boleh dilanggar’ demi menciptakan suatu karya yang tidak hanya bermutu, namun juga mengandung pesan moral yang baik dan membangun bangsa. *Halah*

Setelah sekian tahun berkutat dengan draft yang tidak selesai, saya baru menyadari ada begitu banyak batasan yang menghalangi saya untuk menulis apa adanya, seutuh-utuhnya. Dan keterbatasan itu mendorong saya ke titik jenuh, bahkan sampai pada satu titik dimana saya berpikir untuk mengaborsi semua naskah fiksi saya dan memusatkan diri pada tulisan non-fiksi. Saya ‘mendengar’ begitu banyak suara di pikiran yang mengingatkan saya akan kewajiban dan tanggung jawab saya kepada pembaca. Ada semacam ‘kesadaran palsu’ yang akhirnya membuat saya lebih mendengarkan apa kata orang dan merasa khawatir berlebihan untuk ‘melanggar’ rambu-rambu tertentu yang berlaku di masyarakat.

Pertanyaan-pertanyaan berikutnya membombardir otak saya seperti senapan mesin: kenapa juga saya harus merasa bertanggung jawab kepada pembaca? Apakah saya sanggup mengubah pemikiran orang dengan tulisan-tulisan saya? Kalaupun ya, berapa persen tingkat keberhasilannya? Kalaupun ya, apakah benar orang tersebut berubah karena tulisan saya thok, dan bukan karena faktor-faktor lain seperti –katakanlah— memang dia sedang ingin berubah, habis dinasehati oleh orangtua, dikompori teman, dan sebagainya. Kalaupun tidak, apakah saya harus merasa bersalah jika tulisan saya tidak memberi dampak positif bagi orang lain? Apakah saya harus merasa berdosa jika tulisan saya dianggap tidak bermanfaat? Apa itu baik? Apa itu buruk? Apa itu benar? Apa itu salah? Mengapa sastra selangkangan dianggap nista sedangkan tulisan berpetuah bijak dipuji-puji? (RETORIS, by the way. ^_^)

Dan mengapa saya begitu sulit merampungkan naskah fiksi, sementara saya telah menyelesaikan ratusan artikel di blog ini? Apakah perbedaannya hanya terletak di ‘ngeblog nggak perlu pakai plot’ atau ‘ngeblog nggak butuh banyak imajinasi’? Mungkin iya. Tapi, setelah saya meluangkan waktu untuk ‘mengamati ke dalam’, saya mendapati, yang membuat saya bertahan dengan rumah maya ini dan bisa terus menulis adalah, karena di blog saya mampu jujur kepada diri sendiri.

Di blog, saya bisa menuangkan apa saja yang saya mau. Saya bisa nyolot sepuas hati dan tinggal melirik kepada orang yang mencela sambil bilang, “Blog, blog gue.” Saya menulis untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Karenanya, saya tidak terlalu peduli pada mereka yang tidak menyukai tulisan saya, pun tidak terlalu ambil pusing ketika ada yang mengecam tulisan saya ‘sesat’ lantaran saya menceritakan berbagai pengalaman spiritual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut agama tertentu. Karena, sekali lagi, blog, blog gue. 😉

Beberapa bulan lalu, saya berbincang dengan seorang sahabat via telepon. Ia sempat melontarkan pertanyaan yang membuat saya merenung.

“Apa lo mau seterusnya nulis tentang meditasi kayak gini?”

Waktu itu, bulan Maret tepatnya, saya mendedikasikan lima entri untuk menuliskan pengalaman-pengalaman saya selama mengikuti retreat di Bali. Selama sebulan penuh, isi blog saya berkisar di topik meditasi, pengalaman spiritual, dan insight yang saya dapatkan dalam retreat.

Saya tertawa, “Nggak, lah. Ini lagi special edition aja. Blog gue bukan tentang meditasi…”

Saya terdiam sejenak. Apa yang sebenarnya ingin saya tulis di blog? Tidak sedikit yang berkomentar bahwa tulisan-tulisan saya menginspirasi. Tapi, apa memang itu tujuan utama saya? Untuk menginspirasi? Untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan? Untuk menanamkan nilai-nilai moral?

Jawaban saya berikutnya adalah, “Gue cuma nulis apa yang ingin gue tulis. Apa pun yang lagi nyangkut di pikiran dan hati. Nggak masalah apakah itu tentang pengalaman spiritual, meditasi, pemikiran, curhat, hal-hal remeh, bahkan kalau perlu, omelan-omelan gue.”

Dan saya ingat betul, kalimat terakhir yang saya ucapkan adalah, “Gue nulis bukan buat siapa-siapa, dan bukan untuk menginspirasi atau menanamkan nilai ke siapa pun. Gue nulis buat gue. Kalau ada yang merasa tulisan gue bermanfaat, syukur, kalau nggak ya nggak apa-apa.”

Lantas, apa yang membedakan ngeblog jujur dengan menulis (fiksi) jujur? Kenapa saya bisa membongkar-bongkar isi perut di blog, sedangkan di buku tidak? Kenapa saya mampu curhat di blog, namun sukar menulis apa adanya di buku? Kenapa saya sanggup ngebacot sesukanya di blog, namun kesulitan untuk menuangkan kejujuran dalam manuskrip fiksi saya, padahal kedua-duanya punya akses tak terbatas untuk dibaca orang? Saya tidak bisa mengontrol siapa yang mengunjungi blog saya, sama seperti saya tidak bisa mengontrol siapa yang membaca buku saya. Tidak banyak bedanya, sungguh. Tapi… kenapa?

Pertanyaan ini kembali membuat saya pusing. Dan lagi-lagi butuh waktu yang tidak sedikit untuk ‘menyelam’ dan menemukan jawabannya.

Jawabannya ternyata sederhana saja: untuk mengakses blog saya, para pengunjung tidak perlu mengeluarkan banyak uang. Untuk membeli buku saya, diperlukan puluhan ribu rupiah. Dan itu pula yang membuat saya begitu concern dengan draft-draft saya. Saya merasa bertanggungjawab kepada orang-orang yang (nantinya akan) mengeluarkan uang untuk membeli buku saya. Saya merasa berkewajiban untuk menulis sesuatu yang bermanfaat, agar setidaknya, ada nilai positif yang bisa dinikmati oleh pembaca. Syukur-syukur bisa membuat mereka punya kehidupan yang lebih baik. Blog? Hanya dibutuhkan lima ribu perak untuk mendapatkan akses internet berkecepatan tinggi di warnet. Itu pun sudah bonus Aqua gratis, dan bisa sambil buka Facebook, Friendster, Yahoo!, dan Google.

😉

Perlahan-lahan, sebuah kesadaran baru muncul di benak saya. Selama ini, selama bertahun-tahun, saya telah bersikap tidak adil. Kepada diri saya sendiri. Kepada Jenny yang menanti-nanti untuk bisa bersuara dengan bebas. Kepada berbagai ide kreatif yang terus-menerus diaborsi dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk menjenguk dunia. Kepada dorongan hati yang begitu sering saya tekan setiap kali muncul ke permukaan.

Seseorang pernah berkata, “Sebuah pilihan akan menjadi benar apabila pilihan itu sesuai dengan isi hati dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.”

Sebuah pernyataan yang barangkali sangat layak diaminkan dan dijadikan quote of the day. Tidak bagi saya. Saya memilih untuk berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena, pada kenyataannya, apa yang saya lakukan, apa yang saya pilih, apa yang saya putuskan, tidak pernah betul-betul bisa mengubah apa pun dalam hidup seseorang – entah itu mendatangkan manfaat, atau menghilangkan manfaat.

Jika ada enam juta orang di muka Bumi, maka ada enam juta ukuran kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya, juga ada enam juta ukuran keburukan dan kesengsaraan, yang menjadikan semuanya amat relatif, tergantung dari kondisi hati dan persepsi tiap-tiap orang.

Kita bisa bilang, “Saya bahagia karena dia melakukan ini untuk saya,” namun sesungguhnya kita tidak berbahagia karena perlakuan dari orang yang bersangkutan. Kita bisa mengatakan “Saya berubah karena dia,” namun sesungguhnya kita tidak pernah berubah karena orang lain. Dan kita bisa menempelkan label ‘baik-buruk-benar-salah’ pada ribuan hal di dunia, dan pada saat yang sama, tidak pernah ada yang betul-betul ‘baik’ atau ‘buruk’, ‘benar’ atau salah’. Semua hanya dibatasi oleh lapisan persepsi dan konsep ideal yang kita bawa.

Itu sebabnya, saya berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena saya tidak percaya bahwa pilihan yang benar HARUS mengandung azas-sosial-manfaat-bagi-banyak-orang. Mungkin kedengarannya egois, namun bagi saya, pilihan yang saya ambil menjadi benar karena itulah yang cocok untuk saya saat ini. Yang terbaik. Yang paling pas. Sejauh mana kecocokan tersebut, hanya saya yang tahu, sama halnya dengan enam juta orang lain di dunia – hanya diri mereka yang paling tahu. Bukan saya.

Kenapa saya harus berpikir bahwa apa yang saya tulis bermanfaat bagi pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang terbaik bagi mereka? Kenapa saya harus berpikir bahwa tulisan saya punya pengaruh signifikan atas hidup pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang bisa membuat mereka bahagia? Kenapa saya harus bertanggungjawab atas buah pikiran saya, sedangkan saya tidak pernah tahu isi pikiran pembaca?

Kejujuran kadang memiliki harga, dan harga itu tidak murah. But for once in my life, I want to be honest. To myself. Saya ingin bebas dari ‘kewajiban’ bertanggungjawab terhadap hasil persepsi orang lain, dan saya tidak ingin merasa bersalah hanya karena ‘gagal’ melunasi ‘tanggung jawab moral’ saya. Saya ingin merasa puas karena saya menulis apa yang saya inginkan. Menulis demi Jenny, bukan demi Anu, Inu, atau Uni.

Dan itulah yang terpenting buat saya, setidaknya untuk saat ini. Menulis bukan untuk siapa-siapa. Menulis untuk saya sendiri. Cuma itu.

Saya ingin memberi kesempatan pada Jenny Jusuf. Saya ingin membiarkannya bersuara. Saya ingin mengijinkannya menyampaikan apa pun yang ia mau katakan. Dalam wadah apa pun. Fiksi atau non-fiksi. Buku atau blog. Apa saja.

Saya, hanya ingin jujur.

——

Gambar dari sxc.hu.

Sehari di Situ Gintung

“Ada apa, Mas?”
“Nggak apa-apa. Tadi saya liat sesuatu. Saya pikir kaki. Taunya bukan.”
“Kaki?”
“Iya. Kalo bener, mau saya ambil.”
“Hah? Caranya?”
“Dibuntel.”
“Hah?! Pakai apa?”
“Ya pakai apa aja, yang ada di sini.”

Jawaban terakhir itu membuat saya mingkem dan memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Saya mempercepat langkah sambil terus merunduk, berhati-hati agar tidak menginjak paku atau benda tajam yang menyembul dari retakan lumpur. Di depan, relawan yang berbaik hati mengajak saya turun ke lokasi bencana paling parah di Situ Gintung terus berjalan dengan langkah-langkah mantap. Sesekali ia menoleh untuk memastikan saya tidak tertinggal, dan sekali-dua kali mengulurkan tangan untuk membantu saya berjalan di atas lumpur licin.

Sambil berjalan, ia terus bercerita. Tentang arwah-arwah yang mendatangi para relawan dan penduduk setempat untuk memberitahu dimana jasad mereka terkubur. Tentang satu keluarga yang tidak mampu menyelamatkan diri sehingga mereka semua meninggal di tempat. Tentang seorang laki-laki yang ditugaskan keluar kota dan kembali hanya untuk mendapatkan rumahnya telah berubah menjadi timbunan puing. Tentang seorang ayah yang anak-istrinya tewas mengenaskan. Tentang seorang ibu dan bayinya yang sampai sekarang belum ditemukan. Tentang seorang anak yang selamat gara-gara tersangkut di pohon nangka, sementara seluruh keluarganya tewas. Tentang seorang tukang bakso yang kehilangan istrinya yang sedang mengandung, lantaran pegangannya tak cukup kuat untuk menyelamatkan mereka berdua.

Saya mendengarkan sambil membisu. Mendadak saya tak tahu harus mensyukuri atau menyesali keputusan saya turun ke lokasi paling parah ini, ditambah lagi, kami hanya berdua. Relawan-relawan lain memilih untuk tetap tinggal di posko sambil menunggu beberapa rekan menyelesaikan tugasnya. Saya, yang sejak awal sudah penasaran ingin menyambangi lokasi, tidak menyia-nyiakan ajakan seorang relawan yang sudah khatam setiap inci daerah pusat bencana tersebut.

Media cetak dan elektronik telah membuat musibah Situ Gintung tampak lebih bombastis –kalau tidak bisa dibilang gigantis— dari kondisi sebenarnya, dan tidak sedikit pihak yang memanfaatkan peristiwa yang berdekatan dengan Pemilu ini untuk menangguk keuntungan pribadi; namun lepas dari apa pun yang saya amati, lepas dari derasnya informasi yang membombardir otak seperti senapan mesin, saya menyadari satu hal: luka itu nyata.

Beberapa saat sebelum terapi relaksasi ‘Tentram Ikhlas’ untuk para korban bencana dimulai, koordinator regu kami memberikan pengenalan singkat kepada puluhan warga yang berkumpul untuk menerima santunan di sebuah posko. Lima menit waktu yang diberikan. Baru semenit ia berbicara –bahkan belum sempat menuntaskan kalimatnya— seorang wanita paruh baya yang duduk di pojokan sudah berkali-kali menyusut mata dengan kain jarit yang dipakainya. Beberapa warga memandanginya dengan nanar. Ada pula yang membisu dengan sorot mata hampa. Luka itu ada, dan terlalu nyata untuk diabaikan.

Berjam-jam kemudian, saat terapi berbasis metode Tapas Acupressure Technique (TAT) diberikan kepada sekitar delapanpuluh warga, saya terpukau sendiri melihat perubahan rona wajah orang-orang yang silih berganti mendatangi posko tempat kami berpraktek. Kebanyakan dari mereka masuk dengan ekspresi sarat beban, mata sayu, langkah setengah diseret, dan sebagainya. Setelah terapi diberikan, mereka keluar dengan air muka yang sama sekali berbeda. Penderitaan itu belum hilang sepenuhnya, namun mata mereka tidak lagi hampa. Mereka mampu berjalan lebih tegak, dan harapan baru yang bersinar di sana menghangatkan hati saya.

Selama proses, berkali-kali saya merasakan haru yang besar. Terbersit pula keinginan untuk mendalami metode terapi sederhana ini. Siapa tahu kelak saya bisa menggunakannya untuk menolong orang lain, atau setidaknya, menolong diri saya sendiri, karena TAT tidak hanya diperuntukkan bagi korban bencana. Teknik yang masuk ke Indonesia pada tahun 2006 ini dapat digunakan untuk mengatasi berbagai jenis trauma, alergi, masalah batin, dan banyak lagi.

Selama proses itu pula, berkali-kali saya membayangkan, apa saja yang telah dialami orang-orang tersebut. Apakah mereka kehilangan anggota keluarga? Apakah mereka kehilangan rumah? Apakah mereka kehilangan seluruh harta benda? Apakah mereka menyaksikan kejadian mengerikan itu dengan mata kepala sendiri? Separah apa trauma yang mereka alami?

Salah satu relawan bercerita, seorang bocah mendadak lari terbirit-birit ketika melihat air mineral, dan seorang ibu berteriak-teriak ketakutan melihat air mengucur dari keran. Musibah itu telah memicu rasa takut yang demikian hebat pada air, dan trauma yang ditimbulkannya dapat menyebabkan ‘kerusakan’ yang lebih parah dari sekadar kerugian fisik dan materi.

Melihat dan mendengar itu semua membuat saya berkali-kali membisikkan terima kasih; bukan saja karena saya tidak mengalami bencana dan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik, melainkan karena saya bisa menjadi bagian dari rombongan kecil ini. Sekumpulan orang yang tidak berasal dari organisasi mana pun, tidak dikomando siapa pun, dan tidak mewakili kepentingan pihak mana pun. Yang kami punya hanya niat dan tenaga, dan sepenuh hati saya bersyukur diberi kesempatan untuk berada di sana.

—–

Relawan yang memandu saya memperlihatkan lebih banyak lagi reruntuhan dan puing, lantas mengajak saya menyeberangi lahan luas. Di ujung lahan ini terdapat jalan setapak yang akan kami tempuh untuk kembali ke posko. Nyaris tidak ada bangunan utuh di atasnya. Lahan yang dulunya pemukiman padat penduduk telah menjadi tanah rata.

Ralat. Lumpur kering rata. Lahan itu tertutup lumpur kering yang meretak akibat panas matahari.

“Sekarang mah mendingan Mbak, udah bisa buat jalan. Dulu lumpurnya basah, kalo nggak pake sepatu bot, nggak boleh masuk ke sini,” ujar pemandu saya. Saya terdiam. Teringat pada ceritanya sebelum kami berdua sampai ke situ. Hingga hari ini, masih ada beberapa warga yang hilang dan diperkirakan tewas tertimbun lumpur.

“Ada kemungkinan warga yang belum ketemu itu ketimbun di bawah sini?” Mendadak tenggorokan saya seret.

Pemandu saya mengangguk. “Bisa jadi. Tapi udah susah dicari, sih…” ia berjalan mendahului saya. Perlahan, saya menjejakkan kaki di atas lumpur, berusaha mencerna kemungkinan bahwa tanah yang saya pijak masih menyimpan jasad-jasad yang belum sempat dievakuasi. Jasad yang dulunya punya nyawa. Hidup. Manusia. Seperti saya.

Di bawah sini mungkin ada orang.
Di sana pernah ada rumah.
Di situ dulunya kos-kosan tingkat dua…
…dan sebulan yang lalu, mereka semua masih ada.

Kaki saya terus melangkah, namun benak saya tidak henti-hentinya melisankan begitu banyak hal.

Sesampainya kami di posko, rekan-rekan relawan sudah menunggu untuk meninggalkan lokasi. Setelah berpamitan kepada warga setempat, kami berjalan beriringan ke tempat parkir.

“Seneng, udah berhasil lihat tempatnya?” Sahabat saya –penggagas kunjungan ini sekaligus koordinator regu kami— bertanya sambil nyengir.

“Puas, iya. Seneng, nggak,” sahut saya.

Keinginan saya memang kesampaian, namun rasa sakit itu terlalu pekat untuk ditanggung berlama-lama. Luka itu ada dimana-mana. Saya merasa ‘perih’ hanya dengan menjejakkan kaki di atas lumpur kering yang pernah mengubur begitu banyak orang. Saya bersyukur bisa menyaksikan semuanya dengan mata kepala sendiri, namun saya tidak yakin ingin kembali ke puing-puing itu.

Thanks ya, udah bantuin,” celetuk sahabat saya. Entah sudah berapa kali ia mengucapkan itu seharian ini. Saya mengiyakan. Namun suara kecil di sudut hati saya berbisik, sayalah yang seharusnya berterimakasih.

Waduk yang jebol, bangunan yang luluh lantak, rumah-rumah yang tinggal puing dan rangka, lahan berlumpur yang menyimpan begitu banyak duka dan cerita perih di bawahnya, para korban yang menanggung derita, sorot wajah redup, sinar mata sayu, dan kaki-kaki yang berjalan setengah terseret; kepada kalianlah saya berhutang terima kasih. Bukan karena kalian menyadarkan betapa beruntungnya saya, melainkan karena kalian telah mendekatkan saya kepada hidup.

Tak lama berselang, saya dan sahabat berkendara pulang. Hari semakin sore. Mobil melaju perlahan, bersaing mencapai gerbang tol dengan ratusan kendaraan lain yang menyemuti jalan. Badan saya mulai berteriak-teriak minta istirahat karena malam sebelumnya saya hanya tidur selama tiga jam, namun pikiran saya tidak sudi tenang.

Saya duduk tegak, menatap sahabat saya yang sibuk memindahkan persneling.

Can you imagine, losing everything in one night?”

Retoris. Saya tahu. Saya hanya harus mencetuskannya, agar benak saya kembali punya cukup ruang untuk memproses berbagai pemikiran yang menyerbu silih berganti. Pemikiran yang mengusik dan menantang saya untuk menilik kembali daftar prioritas yang selama ini tersusun rapi dalam sel-sel kelabu otak saya.

Situ Gintung telah meluluhlantakkan daerah sekitarnya dan menelan korban ratusan jiwa. Menyisakan timbunan lumpur setinggi dua meter, bocah-bocah yang menangis kehilangan orang tua, suami yang kehilangan istri, ibu yang kehilangan anak, dan entah berapa keluarga yang kehilangan tempat berteduh dan harta benda. Pada saat yang sama, ia mengajarkan saya untuk mengalir.

Bila umur memang tidak dapat ditebak, bila tidak ada yang bisa menggaransi berapa sisa waktu saya di dunia, bila saya tidak pernah tahu kapan perjalanan ini akan tiba di ujungnya, bila setiap detik yang berharga ini tidak akan bisa diulang kembali, dan bila perpisahan dengan hidup bisa menggedor pintu saya kapan saja, barangkali daftar prioritas saya memang layak ditata ulang. Dan kali ini, saya tidak menginginkannya tersusun rapi-matang-terencana.

I want a journey. A real one. A grand one. It doesn’t have to be beautiful, but I want it to be real.

Sore itu, saya menggeser beberapa hal yang selama ini bertengger di urutan pertama daftar prioritas saya. Bersamaan dengan itu, runtuh pula sebuah keyakinan yang selama ini saya genggam erat.

Yang terpenting bagi saya ternyata bukan mengisi hidup dengan hal berguna sebanyak-banyaknya. Bukan lagi berpacu dengan waktu untuk memenangkan apa yang disebut kesuksesan. Bukan pula menumpuk amal dan kebaikan. Bahkan, bukan mengisinya dengan jam-jam ibadah panjang demi selembar tiket emas ke Surga.

Yang terpenting bagi saya kini adalah mengalir bersama hidup. Sebaik-baiknya. Seutuhnya. Menjalani setiap momen sebagai sesuatu yang baru tanpa terus terlempar ke masa lalu dan terseret ke masa depan. Menjelang setiap detik sebagai anugerah.

Hidup sepenuh-penuhnya. Itu saja.

Sahabat saya menggeleng, “No.”

Perlahan, saya merebahkan kepala ke sandaran kursi yang dingin terpapar AC. Membiarkan pertanyaan itu tergusur oleh kemacetan Minggu sore dan mobil-mobil yang merayap padat. Membiarkannya tergerus tuntas, karena yang saya perlukan memang hanya melontarkannya agar hati ini kembali lapang.

I can’t, either.

But one thing I know for sure;

Life is precious. Go with the flow.

*Gambar dipinjam dari http://www.kamera-digital.com/forum/viewtopic.php?TopicID=22257&page=0

Dilarang Buang Sampah Sembarangan

Sebagai seseorang yang belum lama beredar di blogosphere (dua tahun? Nggak ada apa-apanya itu mah, dibanding ibu ini, jeung ini, dan bapak ini – hai, Senior! ;-D), saya tidak terlalu paham kebiasaan para peselancar maya ketika berinteraksi melalui commenting system. Sejauh yang saya tahu, comsys merupakan sarana interaksi antara seorang blogger dengan para pembaca blog-nya, juga wadah komunikasi antar sesama blogger. Itu thok.

Di awal perintisan karir (halah!), saya sering sekali ‘meloncat’ dari satu blog ke blog lain, melihat-lihat isinya sekilas, dan tancap gas setelah meninggalkan jejak di comsys. Tujuannya? Biar eksis ateuh. Saya sendiri sangat suka membaca komentar-komentar yang dituliskan orang di comsys saya, entah itu respon pembaca, sesama blogger yang juga sedang berjuang untuk eksis, atau sekadar balasan basa-basi dari pemilik blog yang pernah saya singgahi.

Setelah menjalin pertemanan dengan beberapa blogger, kebiasaan saya berkomen-ria-supaya-eksis digantikan dengan kegemaran baru: menyampahi blog orang. Salah dua rumah maya yang sering saya ‘sampahi’, tentunya milik ibu ini dan jeung ini.

Maksud ‘nyampah’ di sini adalah meninggalkan komentar garing atau celetukan omong-kosong nan sektoral yang tidak ada kaitannya dengan entri yang dipublikasikan. Atau, kalaupun ada, porsinya kecil. Yang penting bukan korelasi antara komentar dengan entri, tapi ya… sekadar memeriahkan suasana. Dan walaupun sudah dianggap basi oleh sebagian blogger senior orang, saya tetap suka menuliskan PERTAMAX kalau kebetulan menemukan entri baru yang masih gersang. ;-D

Di satu sisi, meskipun judulnya ‘nyampah’, saya selalu berusaha memperhatikan rambu-rambu etika dalam berkomentar, seperti tidak mendiskreditkan siapapun, tidak mencela orang (dalam konotasi negatif ya, kalau bercanda mah sering), dan kalau kebetulan tergerak untuk berkomentar dengan benar mengungkapkan pendapat –meskipun perspektif saya berseberangan dengan penuturan sang empunya blog— saya selalu berusaha menuliskannya dengan baik. Minimal sopan. Setidaknya, saya menghindari unsur-unsur brutalisme dalam komentar yang saya berikan (maksudnya brutalisme? Kasar, sradak-sruduk, main hakim sendiri, main hajar).

Sebagai peselancar ranah maya yang juga punya blog sendiri, saya tidak memungkiri bahwa setiap tulisan yang saya taruh di blog –begitu ia muncul di halaman utama sebagai sebuah entri— secara otomatis menjadi ‘milik umum’ yang bisa dibaca dan dikomentari siapa saja. At least, itu konsekuensi dari mempublikasikan tulisan yang bisa diakses semua orang.

Sampai sekarang, saya belum berminat memoderasi comsys, meski beberapa teman sudah melakukannya dari jauh-jauh hari. Saya juga tetap anteng ketika seorang kawan berkomentar, “Tunggu aja, nanti juga ada waktunya kamu harus moderasi komen-komen yang kamu terima.”

Sejauh ini, saya belum pernah mendapatkan komentar ngajak berantem yang langsung di-posting di blog saya, meski comment box tidak dimoderasi. Namun, saya sempat merasa prihatin ketika menjelajah blog milik beberapa teman, yang karena satu dan lain hal, menuai cukup banyak komentar miring. Bahkan tidak hanya di comsys.

Seorang teman baru-baru ini menutup shout box di blog-nya, lantaran tidak tahan dengan sampah yang terus dijejalkan ke sana oleh orang-orang tanpa identitas jelas yang -entah bagaimana- merasa berhak ikut campur dalam kehidupan pribadinya seenak jidat. Kasar. Nyinyir. Semena-mena. Main hakim sendiri. Kadang sampai melontarkan kata-kata yang tidak pantas dituliskan di blog pribadi orang lain. Pasalnya sederhana saja, persepsi yang dimiliki teman saya tidak bisa diterima oleh para pengunjung blog-nya. Tidak sejalan dengan paham yang mereka yakini. Tidak seiring dengan konsep ideal mayoritas. Atau semata-mata dianggap berseberangan dengan logika. Dan lucunya, para pengunjung blog ini seolah lupa bahwa mereka hanyalah tamu di rumah maya milik orang lain.

Saya membaca komentar-komentar itu dan bertanya-tanya, begitu tipiskah toleransi yang kita miliki atas kesenjangan persepsi, perbedaan prinsip, atau apa pun yang terjadi di rimba internet tanpa batas ini? Yup, dunia maya yang kita diami bersama ini memang bagai hutan rimba. Tanpa batasan. Tanpa aturan baku. Tanpa hukum. Yang ada hanya lajur tipis etika tanpa label yang muncul dari kesadaran pribadi para penghuninya dan mereka yang senang bermain-main di dalamnya. Dan, sejauh yang berhasil saya amati, memang hanya itu yang menjadi pagar kita dalam berinteraksi satu sama lain: kesadaran pribadi.

Tidak ada salahnya mengadu perspektif yang kita miliki. Tidak ada salahnya mengungkapkan pendapat secara blak-blakan. Tidak ada salahnya melontarkan ketidaksetujuan atas suatu hal. Tidak ada salahnya berseberangan pendapat dan mendiskusikannya secara terbuka. Semua patut dihargai. Semua patut mendapat perhatian. Objektif atau subjektif. Benar atau salah. Semua menjadi relatif, dan tidak ada yang keliru dengan itu. Namun, ketika kesenjangan persepsi dikomunikasikan dengan sesuka hati -melalui beragam asumsi dan komentar yang main hajar semaunya dan main hakim sendiri- bagi saya ada sesuatu yang tidak sehat di sana. Komentar-komentar semacam ini bukan lagi ‘sekadar’ pendapat yang layak memperoleh perhatian, melainkan sampah yang mengganggu. Bukan lagi tak sedap dibaca, namun sudah mencemari batin. Menjadi polusi hati dan pikiran. Mengundang penyakit.

Saya tidak ingin berceloteh panjang-lebar tentang bagaimana menyikapi perbedaan perspektif. Saya tidak akan mengoceh tentang prinsip-prinsip kesopanan seperti guru Pendidikan Moral jaman baheula yang jawaban ulangannya selalu ketebak. Saya tidak menuliskan ini untuk menggurui.

Saya hanya satu dari sekian banyak penghuni ranah maya yang mencintai lahan tempat saya bermain-main ini. Mungkin memang terlalu muluk untuk mengharapkan yang indah-indah di hutan rimba ini, tapi setidaknya saya ingin memelihara harapan itu sedikit lebih lama. Dan untuk itu, saya cuma punya satu pesan, yang mudah-mudahan layak mendapat tempat di hati kita semua, atau paling tidak, berhasil mencuri sepotong perhatian agar upaya saya menuliskan ini tidak sia-sia.

Rimba ini, meski tak berpagar dan tak memiliki undang-undang, adalah tempat yang patut kita jaga bersama agar tetap nyaman ditinggali.

Caranya?

Sederhana saja.

Jangan buang sampah sembarangan kecuali monyet.

—–

Wajah Jakarta

Wajah Jakarta adalah bocah-bocah yang hilir mudik memainkan kecrekan sambil menempelkan wajah di jendela mobil pada suatu siang yang panas terik, sementara tak jauh dari situ seorang bayi kurus menggeliat dalam gendongan seorang perempuan di perempatan lampu merah.

Wajah Jakarta adalah tongkat bergagang besi yang mengoreki tempat sampah semen. Pemiliknya adalah pemulung yang harap-harap cemas berebut rezeki dengan kucing gendut, tikus got dan lalat.

Wajah Jakarta adalah aroma menyengat di bantaran sungai yang berbatasan dengan tempat pembuangan sampah dan rumah-rumah berdinding papan. Bila kau pasang telingamu baik-baik, dapat kau dengar dari dalam isakan bocah perempuan yang sudah dua hari panas demam.

Wajah Jakarta adalah pisau dingin berkarat yang dipakai menakut-nakuti pelajar berseragam dan wanita berkalung emas di angkutan kota. Sebuah pelajaran berharga bisa kau petik dari sana: jangan menaruh HP di saku celana, jangan memakai perhiasan di dalam bis, dan simpan dompetmu jauh-jauh di tempat yang tak terogoh.

Wajah Jakarta adalah pengamen yang bernyanyi sumbang di bis oranye sambil menadahkan kantung bekas keripik dan preman yang menadahkan tangan minta uang dengan paksa. Pelajaran berharga kedua: selalu siapkan recehan lebih dari cukup. Kita tak pernah tahu.

Wajah Jakarta adalah kelelahan yang menggurat wajah seorang laki-laki berkemeja lengan panjang dengan map berisi surat lamaran kerja yang mulai lecek setelah ditenteng seharian. Di rumah, anak-istrinya menunggu dengan penuh harap. Hari ini Ayah pasti pulang bawa rejeki.

Wajah Jakarta adalah letusan kembang api yang gegap-gempita membelah angkasa dan bisa kau saksikan dari jarak belasan kilometer pada malam pergantian tahun, yang kata tetangga sebelah, “Nggak mahal kok, delapan juta aja.”

Wajah Jakarta adalah jendela-jendela mobil yang kacanya dihitamkan sehingga mustahil untuk sekadar diintip. Hawa di dalam situ tak pernah segarang terik matahari. Udaranya sejuk dan selalu wangi parfum, dan selalu tersedia air mineral penangkal dahaga jika kau haus.

Wajah Jakarta adalah bocah-bocah berseragam yang menenteng telepon genggam dan permainan elektronik, sementara pengasuhnya berjalan di belakang membawakan tas sekolah, botol minum, dan kotak bekal makanan.

Wajah Jakarta adalah remaja belasan tahun bergaya Harajuku yang sakunya terisi kartu kredit warisan orang tua dan Blackberry seri terkini yang baru saja di-upgrade. Dan jangan lupakan Louis Vuitton KW-1 yang sesekali mereka tenteng dalam gaya yang berbeda.

Wajah Jakarta adalah butik berskala internasional yang dengan mudah kau temui di pusat perbelanjaan raksasa, yang menempelkan label puluhan hingga ratusan juta pada sebuah tas cantik dari kulit.

Wajah Jakarta adalah langkah tergesa kaki-kaki yang dibungkus sepatu berhak tinggi dan pantofel berkilap yang bersanding dengan tangan-tangan menengadah di jembatan penyeberangan.

Wajah Jakarta adalah gemerlap lampu warna-warni yang berpendar diiringi musik menghentak dan cairan merah di gelas-gelas kristal dalam geliat malam yang masih muda.

Wajah Jakarta adalah anak laki-laki berbaju kusam yang menatap iri saat kita bergandengan tangan menyusuri trotoar di sebuah malam minggu sambil makan es krim. Wajah Jakarta adalah senyumnya yang terkembang saat kau gandeng tangan mungilnya ke abang penjual es dan mempersilakannya memilih rasa yang ia suka.

Wajah Jakarta adalah pengemis berkaki buntung yang tak henti-henti mengucapkan terima kasih saat kau cemplungkan selembar ribuan ke gelas plastiknya. Dalam syukurnya ada doa agar panjang umurmu selalu.

Wajah Jakarta adalah anggukan tulus pedagang kaki lima saat kau bayarkan sejumlah rupiah sebagai penglaris jualannya pagi ini tanpa minta kembalian.

Tahukah kau apa yang terlintas di benakku hari ini, saat memandangi Jakarta dan pencakar-pencakar langitnya dari kaca gedung bertingkat tempat kita menghabiskan sembilan jam dalam sehari?

Jakarta sesungguhnya tak pernah miskin. Ia hanya lupa menoleh pada yang terpinggir.

(suatu malam, dalam keramaian sebuah festival musik di jantung ibukota)

*Gambar dipinjam dari: http://media.photobucket.com/image/monas,%20foto/dave_win2/jakarta/monas.jpg

Menyimak Tepian Sungai

Dalam retreat meditasi yang saya ikuti di Ubud belum lama ini, setiap peserta memperoleh waktu istirahat yang cukup panjang seusai makan siang, yang bisa digunakan untuk tidur atau melakukan kegiatan bebas. Pada hari kedua, saya memutuskan untuk sedikit bertualang. Setelah melanggar sebuah peraturan (tidak boleh berbicara dengan siapa pun selama masa hening) dengan meminta petunjuk jalan dari karyawan hotel, saya menuruni tangga batu yang berkelok-kelok hingga tiba di pinggir sungai. Udara panas membuat saya langsung mencelupkan kaki tanpa berpikir dua kali.

Saya duduk bergeming. Matahari bersinar terik. Nyaman sekali membiarkan kulit terpanggang sementara kaki terendam air dingin. Sesekali, saya kucurkan air mineral dari botol untuk membasahi betis.

Ketika memandang aliran sungai, saya tertegun. Di permukaan air berkilau ribuan permata mungil. Pendarnya lebih indah dari berlian mana pun yang pernah saya lihat (*ahem* kayak sering ngeliat berlian ajaaa ;-D). Saya tak sanggup mengalihkan mata dari pemandangan itu. Air kecoklatan yang sesekali menghantarkan daun layu kehitaman dan serpihan kulit kayu ternyata bisa memantulkan cahaya matahari dengan indahnya. Terik matahari yang menyiksa kulit ternyata sanggup menyulap sungai menjadi tambang permata. Lama, saya terpekur.

Sejurus kemudian, panas di tubuh saya lenyap. Sinar matahari meredup, tertutup awan. Spontan, saya mendongak. Langit mengelam. Permata di permukaan air ikut hilang. Sungai tak lagi berpendar. Namun, lagi-lagi, semua hanya sesaat. Tak lama kemudian, matahari kembali muncul dan membuat semua bercahaya. Demikian seterusnya. Entah berapa lama saya duduk di pinggir sungai, mengamati pantulan sinar matahari yang terus datang dan pergi. Permata-permata mungil yang silih berganti ada dan lenyap.

Bangkai laba-laba yang mengambang mengalihkan perhatian saya. Serangga itu terbawa riak air yang menerpa pergelangan kaki saya. Sejenak, saya terpesona menontoni derasnya arus yang dihantarkan air terjun dari belakang bukit batu. Saya sendirian, namun gemuruh itu sama sekali tidak terdengar menakutkan. Ini pertama kalinya saya bersentuhan dengan sungai, dan panggung kayu yang saya duduki terus bergoyang didera air. Di sekeliling saya banyak bebatuan yang cukup besar, namun entah kenapa tak terbersit sedikit pun rasa khawatir. Tiba-tiba, semua terasa …apa adanya.

Arus sungai ini, gemuruh ini, pancangan kokoh batu kali, derai air terjun di balik bukit, mendung di langit, sinar yang memanggang kulit, pantulan berlian di bawah kaki, bangkai serangga, kulit kayu, daun layu, ranting pohon… semua terasa apa adanya.

Mendadak, mendungnya langit menjadi sama berharganya dengan pancaran sinar mentari. Mendadak, kilau permata di permukaan air menjadi sama berharganya dengan riak kecoklatan yang menghantarkan bangkai serangga dan sampah sungai. Mendadak, batu-batu tajam di sekitar sungai menjadi sama berharganya dengan bebatuan warna-warni yang menghiasi anak tangga tempat saya turun. Mendadak, arus deras yang bergemuruh menjadi sama berharganya dengan aliran air yang datar dan tenang.

Mendadak, benak saya kehilangan kemampuan untuk melabeli apa pun yang saya jumpai di pinggir sungai. Mendadak, saya tak lagi punya keinginan untuk memilah apa pun yang saya lihat ke dalam kategori; bersih-kotor, indah-buruk, aman-bahaya, menakutkan-menyenangkan. Mendadak, segalanya terasa begitu netral.

Tidak ada yang buruk atau baik dari sungai. Ia hanya memantulkan dan menghantarkan apa pun yang diserahkan alam kepadanya. Sinar matahari, sampah, serangga, pasir. Bersih atau kotor, indah atau buruk, aman atau berbahaya, menyenangkan atau menyeramkan, menyegarkan atau melelahkan, semua adalah hasil bentukan persepsi yang secara otomatis saya berikan kepada segala hal yang saya temui. Ketika batin saya berhenti memberi label, semua menjadi sama berharganya. Ketika pikiran saya berhenti menilai, semua menjadi sama bermaknanya.

Lagi-lagi, saya tercenung.

Barangkali, itu juga yang terjadi pada kehidupan dan segala sesuatu di dalamnya. Tidak ada yang baik, buruk, benar, atau salah, kendati kita tak henti-hentinya berusaha melekatkan label pada semua yang kita lihat, alami, dan rasakan. Kita menarik garis berdasarkan citra tentang baik-buruk-benar-salah, dan berupaya meniti garis tersebut dengan harapan hidup akan memberikan yang terbaik bagi kita. Kendati demikian, hidup adalah sungai. Ia hanya mengalirkan apa yang ‘dititipkan’ kepadanya, seada-adanya. Dan seringkali, ‘yang terbaik’ yang dijatahkan hidup tidak sesuai dengan ‘yang terbaik’ versi kita sendiri. Barangkali itu sebabnya kita menderita.

Barangkali, itu sebabnya kita tetap tak kuasa mencegah kematian sekalipun kita berjuang sekuat tenaga menepis maut. Barangkali, itu sebabnya kita tetap tak mampu menghindari perpisahan sekalipun kita mati-matian mempertahankan kesatuan. Barangkali, itu sebabnya duka tetap hadir meski kita berusaha meraih bahagia. Dan barangkali, tidak ada yang salah atau buruk dari perpisahan, kematian, atau kesedihan. Karena ia hanya sesuatu yang dihantarkan arus sungai kepada kita. Ia hadir secara alami. Ia tiba, karena memang sudah waktunya. Label yang kita lekatkan kepadanyalah yang membuatnya memiliki ‘arti lebih’, seperti cap yang juga kita tempelkan pada pertemuan, kelahiran, dan kebahagiaan.

Sepanjang hidup, tak henti-hentinya kita menempelkan label. Tak henti-hentinya kita bergulat. Tak henti-hentinya kita bergelut. Kita bergumul menghindari luka dan kesedihan, dan berusaha keras mempertahankan kebahagiaan dan kesenangan. Toh, akhirnya, semua akan berlalu pada waktunya.

Kapan terakhir kali kita datang ke sungai dengan tangan kosong? Kapan terakhir kali kita membersihkan saku dari berbagai label, cap dan stempel? Kapan terakhir kali kita menjalankan peran sebagai penonton yang hanya duduk di tepian; sekadar mengamati dan membiarkan semua berlangsung sebagaimana adanya?

Jika hidup adalah permainan, barangkali ada baiknya sesekali kita melipir ke pinggir lapangan. Menyingkir sejenak dari arena untuk sekadar menonton. Bukan untuk mempelajari strategi baru, bukan untuk menyoraki mereka yang sedang bermain, bukan untuk mencatat dan menghitung skor. Hanya duduk menonton.

Esok harinya, saya kembali ke sungai bersama beberapa teman. Duduk di panggung kayu yang sama -kali ini dalam posisi menyamping- saya kembali termenung.

Seumur hidup, saya dibesarkan di Jakarta, dimana sungai dan alam bukan alternatif lahan bermain nomor satu. Seumur hidup, baru kali ini saya merendam kaki di sungai yang mengalir deras. Di kota besar, sungai identik dengan sampah, banjir, penyakit, dan aroma tak sedap. Di tempat ini, sungai adalah tempat saya merenung. Berdoa. Bersyukur.

Selama empat hari berada di Ubud, tiga kali saya menyambangi sungai, setiap kali dengan kawan yang berbeda. Di hari pertama, saya sendirian. Di hari kedua, saya pergi dengan beberapa teman. Di hari terakhir, saya turun ke sungai dengan seluruh peserta retreat untuk bersama-sama mengakhiri keheningan panjang yang telah kami jalani.

Sebelum masa hening resmi berakhir, kami duduk bermeditasi di pinggir sungai. Di tengah gemuruh dan gemercik air yang melanda telinga, sepenuh hati saya berdoa.

Entah sendirian, entah berdampingan, tolong ingatkan saya untuk senantiasa ‘datang ke sungai’ sepulangnya saya kelak. Jika tak mungkin untuk tinggal selamanya, setidaknya izinkan saya sesekali kembali. Duduk di tepian untuk menontoni arus dan membiarkannya mengalir, apa adanya. Ia tak perlu jernih. Ia tak perlu bening. Ia tak perlu tenang. Ia tak perlu berkilau bak permata. Ia ada, dan itu sudah cukup.

—–