Kabut Langit Ubud

Sejak dulu, saya selalu bangga memproklamirkan diri sebagai pemimpi. Saya punya banyak impian, harapan dan cita-cita yang digantung setinggi langit. Semuanya berjajar dengan setumpuk angan dan khayalan tentang apa yang akan saya nikmati seandainya mimpi-mimpi itu jadi nyata.

Saya bekerja keras demi membuat mimpi tidak cuma eksis di kepala. Mimpi-mimpi itu adalah saya. Masa depan saya. Tempat saya menumpukan pegangan. Dan mimpi-mimpi itu pula yang membuat saya bertahan. Betah bersahabat dengan penat dan lelah. Mampu menghabiskan ribuan jam berkulik dan berkutat tanpa sayang tenaga. Mencoba menipu waktu demi mencuri seremah kesempatan yang (siapa tahu) bisa menghantarkan saya menjadi sosok sehebat Ibu Rowling atau Pak Hirata.

Ya, siapa tahu? Kita tak pernah tahu. Barangkali kelak Dewi Fortuna akan menaruh belas kasihan pada saya. Atau bosan mendengar gedoran saya di pintunya. Barangkali ia akan bersedia menyisihkan sekeping keberuntungan untuk saya. Kita tak akan tahu.

Demi mimpi pula, saya rajin mengoleksi kata-kata mutiara dari para pesohor dunia, berharap kebijaksanaan yang sama akan menghantarkan saya ke gerbang kesuksesan. Kalau mereka bisa, mengapa saya tidak?

Kesempatan tidak datang dua kali. Saya tahu. Semua orang tahu. Barangkali itu sebabnya kita rela bekerja bagai kuda. Barangkali itu sebabnya kita rela terdera. Barangkali itu sebabnya kita tak henti-hentinya berpacu. Barangkali itu sebabnya kita bermusuhan dengan waktu dan mencibir kepada mereka yang (dianggap) malas. Semua demi kesempatan yang takkan datang dua kali. Agar kita tak perlu menunda kesuksesan, dan kebahagiaan yang didambakan bisa segera diraih.

Each second of life is a miracle.” Demikian kalimat yang singgah di benak saya beberapa malam lalu, saat memandangi langit Ubud. Udara dingin karena hujan baru saja berhenti. Saya duduk sendirian, menatapi pucuk-pucuk pohon dari balik pintu kaca. Malam itu adalah malam pertama saya di Ubud.

Saya selalu suka duduk seorang diri, memandangi alam dan langit. Sayangnya, kemewahan ini tidak sering saya dapatkan, karena di Jakarta alam harus rela mengalah dengan gedung dan atap rumah. Belum lagi suara bising yang kerap menggusur ketenangan. Di Ubud, berkali-kali saya merasakan ‘orgasme’. Langit Ubud adalah salah satu langit terindah yang pernah saya lihat. Suatu pagi, saya melongok keluar jendela dan tercengang-cengang melihat warna biru yang amat jernih, sampai dada saya sesak oleh haru. Namun, malam itu yang ada hanya gelap. Hujan masih menyisakan selaput di langit. Tak hanya mendung, pepohonan pun ditutupi kabut tipis.

Saya terdiam, merenungi kalimat yang barusan singgah di kepala. Setiap detik dalam hidup adalah sebuah keajaiban. Entah sudah berapa puluh kali saya mengulang kalimat yang sama sejak pertama kali membacanya. Berkali-kali pula saya menangkap keindahan dalam pernyataan sederhana itu. Namun, malam ini ia seolah punya ‘nyawa’.

Kabut yang menutupi pepohonan mulai menebal. Sukar untuk melihat dengan jelas. Udara bertambah dingin. Lampu penerang di taman mungil itu adalah satu-satunya sumber cahaya, karena saya tidak menyalakan lampu kamar.

Each second of life is a miracle. Saya terpekur sendiri. Mukjizat macam apa yang bisa terjadi sekarang? Satu-satunya yang membedakan malam ini dari malam-malam lain adalah, kini saya berada di Pulau Dewata, di kamar luas yang menghadap taman lengkap dengan kolam renang. Kamar yang selama empat hari ke depan akan menjadi milik saya seorang. Saya sangat beruntung. Bisa berada di tempat ini adalah berkah yang tidak pernah saya duga, dan semua sudah lebih dari cukup. Kendati begitu, malam ini sama biasanya dengan malam-malam lain. Mukjizat apa yang bisa terjadi?

Tapi, mukjizat memang tidak kenal tempat dan situasi. Belum selesai otak saya mencerna makna kalimat di atas, mendadak saya memasuki keheningan yang intens. Apa yang pernah saya alami dalam retreat meditasi di Mendut kembali terjadi. Keheningan yang pekat menyelubungi saya seperti selimut hangat tebal. Kursi berlengan yang saya duduki terasa ‘bernyawa’ ketika sekat ruang dan waktu kembali lenyap. Haru yang dalam membuncah ketika saya kembali menembusi tabir antara yang fana dan abadi. Detik itu, saya kembali menghentikan waktu.

Mata saya membasah. Mendadak, setiap detik yang bergulir menjadi sama berharganya. Mendadak, mukjizat ini menjadi sama berartinya dengan cerita-cerita ajaib yang saya baca di kitab suci. Mendadak, berjalan di atas air menjadi sama sakralnya dengan memandangi pepohonan di teras kamar.

Kabut di luar mulai bergeser. Memperlihatkan rimbunan daun dan pucuk ranting yang mencakari langit. Terus bergerak, sampai akhirnya lenyap sama sekali. Namun, saya tak lagi peduli. Dengan atau tanpa kabut, detik ini adalah mukjizat. Saya menggenggamnya erat-erat selagi bisa.

Dan saya tahu. Keheningan inilah yang membawa saya ke tanah Ubud. Kesunyian inilah yang membuat saya menerima undangan sahabat saya, menghantarkan saya memesan tiket pesawat dan mengemasi pakaian, hingga akhirnya menginjakkan kaki di tempat ini. Detik itu, saya kembali bersentuhan dengan mukjizat paling luar biasa sekaligus paling sederhana di muka bumi: keabadian dalam kekinian. The eternal now.

Barangkali ini terdengar absurd bagi para penjunjung mimpi, namun dalam kekinian, impian dan cita-cita tak lagi kuat mencengkeram saya. Bukan karena ia kehilangan makna, namun karena saya tidak lagi punya ambisi untuk menggaransi masa depan. Bukan karena ia tak berharga, namun karena yang terpenting bagi saya hanya hidup di saat ini. Seutuh-utuhnya.

‘Keajaiban’ itu tidak berlangsung lama. Air mata saya pun kering dengan cepat. Tak lama kemudian, penerangan di taman meredup. Sebagian lampu mendadak padam, yang tersisa hanya segaris sinar berwarna kuning. Spontan, saya mendongak ke langit yang tersaput mendung. Kabut baru saja berlalu, mungkinkah mendung ini juga?

Setitik cahaya muncul di antara dedaunan. Disusul titik-titik berikutnya. Saya bangkit dari kursi dan membuka pintu yang menghubungkan kamar dan taman. Udara dingin menggigit, namun saya tak peduli. Masuk angin harga yang kecil bila dibandingkan dengan indahnya langit berbintang. Namun, tak urung saya ragu. Jangan-jangan dugaan saya salah.

Saya melangkah keluar. Merapatkan tangan di dada sambil mendongak ke langit. Saya harus menggigit bibir agar tidak memekik kegirangan. Harapan saya terkabul. Langit Ubud memang bertabur bintang.

Malam itu, saya tertidur dengan sebuah doa. Terima kasih telah mengijinkan saya hadir lagi di sini. Dan sekiranya Engkau tidak keberatan, tolong ijinkan saya kembali sesekali. Ingatkan saya untuk pulang. Ke sini. Ke kini.

*****

Berhari-hari setelah kembali ke Jakarta, saya masih merenungi pengalaman itu. Betapa berharganya setiap detik dalam hidup; bukan karena ia mengandung kesempatan untuk mengamankan masa depan, bukan pula karena ia tak bisa diulang kembali, melainkan karena ia adalah mukjizat. Ia satu-satunya saat dimana waktu terhenti. Tempat keabadian tercipta, dimana surga bukan cuma slogan.

Saya ingin berhenti bergumul. Saya ingin berhenti berpacu. Saya ingin berhenti terseret ke masa lalu dan terlempar ke masa depan. Saya hanya ingin berhenti.

Siang tadi, ketika waktu makan tiba, saya meluangkan waktu untuk sejenak memandangi makanan di atas piring. Gundukan nasi putih mengepul, tumpukan sayur buncis, sepotong tahu, dan tempe goreng. Segelas air hangat.

Ketika saya mengatupkan tangan untuk berdoa, yang muncul adalah rasa terima kasih yang mendalam. Sepenuh hati saya bersyukur atas makanan yang sebentar lagi berpindah ke perut. Bersyukur atas segelas air yang siap menuntaskan haus. Bersyukur karena saya masih bisa menyuapkan nasi ke mulut, sendok demi sendok. Bersyukur atas satu lagi kesempatan untuk pulang ke saat ini. Ke heningnya detik ini. Ke beningnya hati. Bersama nasi putih, sayur buncis, tahu goreng, dan air hangat.

Barangkali, kebahagiaan sejati memang dimulai ketika kita bisa menerima dan mensyukuri hidup, apa adanya. Barangkali ia terletak pada ikhlasnya hati yang rela berserah dan berpasrah. Barangkali, kebahagiaan memang tidak pernah pergi kemana-mana, dan tak perlu dicari-cari. Barangkali, kita hanya perlu menjemputnya di rumah.

—–

Rahasia

Siang tadi, Nak, aku tersenyum. Mengintip wajah lelapmu di balik selimut. Menyimak bibir mungilmu yang membentuk sebuah lengkungan lembut. Menebak-nebak, mimpi apa yang membuatmu tampak begitu damai.

Lalu, aku teringat sesuatu. Tepatnya, seseorang. Tidak, banyak orang.

Ingatanku melayang pada mereka, yang menganggapmu makhluk malang karena harus membagi cinta pada ayah dan ibu yang telah berseberangan jalan selagi kau masih terlalu muda untuk mengerti makna perpisahan. Mereka yang menyangka kau telah kehilangan begitu banyak kesenangan saat kanak-kanak seusiamu sedang rakus-rakusnya mereguk kegembiraan. Mereka yang mengira hidupmu tak lagi lengkap karena kau tidak seperti anak-anak mereka yang orangtuanya tinggal di bawah atap yang sama dan tidur dalam kamar yang sama, meski kita tak tahu apa yang terjadi di balik ruangan berdinding empat itu. Mereka yang menatapmu dengan sorot iba dan menggeleng prihatin akan masa depanmu yang (katanya) menggantung suram seperti langit mendung pukul enam.

Mereka yang mengira… ah, sulit aku mengatakannya, Nak… mereka yang mengira engkau terluka, sengsara, pahit, dan tidak bahagia.

Beramai-ramai mereka berdoa untuk kebahagiaanmu. Mungkin karena mereka sungguh peduli. Mungkin juga karena ego mereka terusik tatkala melihatmu duduk dengan senyum terentang. Dan mereka tak putus-putusnya berceloteh tentang cinta, Tuhan, perpisahan, dan kebenaran. Yang belum mereka ocehkan mungkin cuma akhirat, karena mereka belum pernah mati, meski kalau kutilik dari cara mereka berbicara, separuh dari mereka barangkali sudah hidup di neraka.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak.

Kebahagiaan bukan substansi tanpa wujud yang melayang-layang di udara -menunggu diraih- sementara jutaan orang beriak-riak di bawahnya seperti cacing kena garam, menggapai putus asa sekadar untuk mencicipinya barang sekelumit. Kebahagiaan, Nak, adalah apa yang kutemukan di wajahmu ketika kau berlarian tak tentu arah sambil menari-nari dan berlompatan. Kebahagiaan adalah binar yang kutangkap di matamu saat kau berceloteh panjang lebar dalam bahasa yang hanya kau mengerti sendiri. Dan kebahagiaan itu, Nak, didamba begitu banyak orang, bahkan oleh mereka yang menyangka dirinya tahu arti bahagia.

Kebahagiaan, Nak, adalah sesuatu yang membuat banyak orang rela kehilangan jam-jam tidur berharga, memperlakukan tubuh bak mesin yang dinamonya bisa diputar hingga melampaui limit dan mati-matian memeras segumpal sel di balik jidat demi menghasilkan lebih banyak daya untuk bekerja lebih keras, lebih giat, lebih rajin, yang dikiranya akan mendatangkan lebih banyak uang, lebih banyak stempel sukses, dan lebih banyak kesenangan. Lalu mereka duduk, menghela napas panjang, kecapaian, dan menyangka telah mencapai. Tersenyum hanya untuk sesaat, karena tak ada cukup ruang untuk jeda di sini. Terlalu banyak yang harus diraih. Terlalu banyak yang harus dikejar. Dan mereka mengira, semakin banyak mendapat, semakin mereka bahagia.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak. Kebahagiaan adalah pemandangan indah yang kulihat kemarin sore, saat kita berbaring malas di sofa -engkau di sampingku sambil memamah keripik- menonton kartun di televisi dan membiarkan angin menidurkan kita perlahan. Senyap dan lama.

Kebenaran, Nak, adalah sesuatu yang dibela habis-habisan oleh begitu banyak orang; tak peduli ia otentik atau bekas pakai, absolut atau usang belaka. Mereka mengusungnya dengan jumawa, membawanya bertempur dengan semangat patriotik, menyerang ranah pribadi orang lain demi menjejalkan sepotong kebenaran versi sendiri yang sudah berjamur, lalu menyebut diri pemberani – tanpa sadar bahwa kebenaran hakiki tak pernah membutuhkan pembela. Barangkali, dalam hati mereka menganggap diri titisan orang suci atau martir, meski era Muhammad dan Yesus sudah lama berlalu.

Sini kuberitahu, Nak. Kebenaran versiku –dan mungkin versimu juga, kelak— tidak perlu pembela. Karena apa yang benar bagiku belum tentu benar bagi yang lain. Dan yang otentik bagimu nanti, juga belum tentu sejalan dengan yang lain.

Mau tahu satu rahasia lagi?

Ini antara kita saja. Jangan bilang-bilang.

Surga bagiku, Nak, bukan kubah mahabesar dengan jalan-jalan emas yang akan kita masuki sesudah mangkat. Bukan juga taman penuh bunga tempat bermain kerub yang akan kita jumpai setelah perjalanan ini tiba di ujung waktunya. Surga adalah bercanda denganmu dan mendengarmu tertawa keras-keras. Surga adalah memandangimu menyuap roti cokelat ke mulut, mengunyahnya lahap-lahap, lalu berkata minta tambah. Surga adalah ketika kau memanjat ke pangkuanku dan bersandar di sana, sementara aku menciumi rambut ikal halusmu yang lembap dan bau wangi. Surga adalah melihatmu tertidur dan menyelimutimu rapat-rapat agar hangat hingga pagi menjelang.

Surga adalah matahari kecil yang bersinar benderang di wajahmu ketika kau menggandengku untuk minta dipakaikan celana pendek. Surga adalah jari-jarimu yang menggenggam tanganku saat kita menyusuri jalan setapak di samping rumah. Surga adalah larimu yang secepat angin ketika bermain di kolam pasir yang banyak semut. Surga adalah teriakan ributmu yang memanggilku untuk melihat cacing di selokan. Surga adalah kepalamu yang menyuruk perlahan di antara lenganku ketika kau berbaring sambil minta didekap.

Surga adalah senyummu, gelakmu, cahaya di matamu. Aku bahkan tak perlu mati untuk pergi ke sana.

*Sebuah persembahan untuk malaikat cilik yang matanya selalu tertawa, juga untuk kedua orang tuanya, yang dengan sepenuh hati ingin saya acungi dua jempol. Tabik! 🙂

Lagi, Tentang Cinta.

Minggu sore. Sebuah mal di pinggiran Jakarta. Bedah buku dan accoustic performance dari seorang penulis yang diiringi permainan apik pianis merangkap terapis. *Hi, there! ;-)*

Mendung masih bergelayut di luar, kendati matahari mulai muncul dan menghapus sisa-sisa gerimis yang membuat hari yang (semestinya) cerah menjadi sedikit suram.

Saya, merasa pegal setelah sejam lebih mondar-mandir, mulai mencari tempat duduk di antara puluhan bangku yang penuh terisi dan kerumunan orang yang memadati sekitar panggung.

Di atas panggung, ibu ini sedang diwawancarai oleh moderator yang juga teman saya, membuat saya tak henti-hentinya nyengir geli mendengar banyolan ngaco (orang Betawi bilang: ngebacot), sekaligus berdecak kagum mengakui kehebatannya. Benar-benar emsi kelas kakap. Dua emsi yang saya saksikan sebelum acara bedah buku hari ini mendadak terlihat seperti amatiran.

Saya berdiri tak jauh dari tepi panggung sambil terus jelalatan mencari bangku kosong. Ah, itu dia. Seorang laki-laki kurus-tinggi baru saja beranjak dari tempatnya. Saya menunggu. Dua menit, tiga menit, ia tidak kembali. Dan tidak meninggalkan apa pun di sana. Saya masih menunggu. Cukup banyak yang menonton sambil berdiri, tapi tidak satu pun yang tergerak menduduki kursi lipat hitam itu.

Yasuds, berarti memang jatah saya. Semoga kamu nggak balik. Kalaupun balik, ya maab, siapa suruh kursinya ditinggal-tinggal. *evil grin*

Saya duduk memangku tas, mengikuti jalannya acara sambil menimbang-nimbang apakah sebaiknya mengambil foto lagi atau tidak, karena menurut sahabat saya yang meminjamkan, sisa memorinya hanya cukup untuk mengambil sepuluh gambar. Saya sudah berfoya-foya selama setengah jam pertama, dan ragu-ragu untuk memotret lagi.

Seingat saya, sebentar lagi ada kuis berhadiah bagi pengunjung yang dapat menjawab pertanyaan dengan benar. Siapa tahu ada momen menarik yang bisa saya potret. Saya menyilangkan tangan di depan dada, mengingat-ingat rundown yang hanya sempat saya baca sekilas, dan kini entah berada dimana.

—–

“Sekarang waktunya kuis!”

Pengumuman lantang itu membuat saya mendongak.

“Ada dua buku dan CD yang akan kita bagi-bagi. Kalau sudah punya, ya nggak apa-apa, bisa dikasih ke temannya, saudaranya…”

Saya menegakkan tubuh, bersiap menyalakan kamera. Sebentar lagi MC akan mempersilakan ibu ini untuk mengajukan pertanyaan sehubungan dengan buku yang sedang dibahas, dan pengunjung akan berebutan mengacungkan jari. Siapa cepat (dan bisa menjawab, ya. Kalau nggak, ya batal, hehehe), dia dapat.

“Siapa di sini yang datang berdua sama pacar???”

…..

Lha?

Kok…?

“Hayooo… siapa yang di sini datangnya berdua pacaaaaar? Ngakuuu!”

Saya memandang ke panggung, bingung. Ibu ini tampak sama herannya. Hanya teman saya yang cengar-cengir, dengan rencana yang cuma dia (dan Tuhan) yang tahu.

Tak berapa lama, sepasang muda-mudi *halah, muda-mudi bo! So sembilanpuluhan* naik ke panggung. Keduanya tersipu-sipu, senyam-senyum tanpa arti.

Dan teman saya yang kocak nan jenius itu memang terbukti nggak ada matinya. Sambil menyerahkan microphone, ia menodong si laki-laki –yang ternyata sudah berstatus suami, bukan pacar- untuk mengungkapkan perasaan sayangnya pada istrinya. Dan sang istri juga diwajibkan untuk merespon balik. Seketika, suasana berubah ramai.

Saya tergelak tanpa bisa ditahan, meski pasutri tersebut *ohmaigod – pasutri! Asa cacat kosakata* belum mengucapkan apa-apa, masih berdiri sambil cengar-cengir mokal. Pasti bakal seru.

Melihat gelagat ‘kalau-nggak-dipaksa-nggak-bakal-ngomong’ yang mereka tunjukkan, MC semakin bersemangat menyuruh sang suami bicara.

Akhirnya, masih dengan gestur malu-malu kucing, ia mendekatkan mic ke mulutnya. Sambil memandang istrinya –setengah tertunduk, entah rikuh atau jengah- ia mulai bersuara.

“Adek…”

Refleks, saya menajamkan pendengaran, meski sebenarnya tidak perlu.

“…dua tahun kita nikah –tiga tahun sama pacaran- aku tahu, aku bukan orang yang romantis…”

Kalimat itu mengalir lancar. Sederhana.

“…aku jarang ajak kamu makan di restoran, jarang ajak kamu jalan-jalan, atau beliin barang…”

Saya termangu di kursi, membisu sambil menggenggam kamera erat-erat. Tanpa ingin menjepretkannya satu kali pun. Penonton mendadak sunyi.

“Tapi, aku mau bilang… aku sayang kamu. Buat aku, cuma kamu seorang… satu-satunya…”

Mendadak, tenggorokan saya terasa nyeri. Kamera semakin erat tergenggam. Dalam keadaan mati.

“Kamu… tidak tergantikan.”

Sunyi kembali memecah. Sang istri menanggapi kalimat-kalimat suaminya dengan senyum malu-malu dan wajah tertuju ke bawah. Nggak heran. Saya juga akan melakukan hal yang sama seandainya berada di atas panggung bersama artis favorit dan mendengarkan pernyataan cinta suami sambil ditontoni orang se-mall.

Semua orang menunggu responnya. Termasuk saya, yang bahkan tidak ingat lagi akan tugas mendokumentasikan acara.

“Aku juga sayang kamu,” ia membalas pelan, tersipu. Menunduk dengan rona tipis di kedua pipi.

Tepuk tangan bergemuruh, riuh.

Mata saya membasah. Saya tahan kuat-kuat agar kaca bening itu tak luruh mengalir.

Kamu tidak tergantikan.

Mereka bukan pasangan Cinderella dan Prince Charming. Tanpa bermaksud merendahkan, saya ingin berterus terang bahwa fisik, penampilan dan pembawaan mereka bahkan tidak memenuhi kriteria pasangan ideal yang bisa mengundang decak kagum orang. Namun mata itu bersinar tulus. Dan kata-kata sederhana yang tak terpoles keindahan bahasa itu jauh lebih sempurna dari kalimat cinta apa pun yang pernah saya dengar.

Tidak ada ekspresi berarti di wajah pasangan itu. Tidak ada kalimat-kalimat bahagia. Tidak ada wajah yang berbinar penuh cinta, tidak ada mata yang bercahaya sukacita, tidak pula ada bahasa tubuh yang melukiskan keajaiban kasih yang diungkap tanpa pretensi. Hanya semburat semu yang nyaris tak kentara. Namun, semua itu mendadak tidak lagi penting.

Rona tipis itu sudah menjelaskan segalanya. Cinta itu tak butuh suara untuk bisa jadi juara.

Malam ini, saya hanya ingin mendengar lagu-lagu cinta. Malam ini, ijinkan saya bermimpi. Tentang seseorang yang bersedia hadir tanpa syarat, memandangi wajah lelap saya sambil membisikkan sebaris indah “Kamu tak tergantikan”. Hanya untuk saya. Ah, dasar mellow sumellow! ;-D

*Gambar diambil dari gettyimages.com

…dan makhluk itu bernama Cinta.

“Itu siapa?”

Saya mengalihkan perhatian dari layar laptop dan menoleh ke arah yang ditunjuk teman saya dengan dagunya.

Seorang bapak tua baru saja memasuki ruangan seminar tempat kami menjadi panitia. Seminar tersebut dilangsungkan selama sembilan hari dan diikuti oleh peserta dari berbagai kota. Selain menjadi seksi sibuk yang merupakan kewajiban setiap orang berlabel panitia, saya juga kebagian tugas mendata dan mengumpulkan foto setiap peserta.

“Nggak mungkin peserta,” saya menjawab pelan, supaya tidak terdengar oleh si bapak yang kini sibuk menata bawaannya di pojok ruangan, tanpa permisi sama sekali, bahkan tanpa memandang kami. Barang-barangnya tidak terlalu banyak, hanya sebuah ransel lusuh dan dua dus berukuran sedang yang tampak kontras dengan karpet tebal dan interior ruang seminar.

Teman saya menghampirinya dan berbasa-basi menanyakan namanya. Setelah menjawab sekenanya, bapak tua itu menarik sebuah kursi yang menganggur di sudut, duduk bersandar di sana, dan tidur.

Hayah.

Saya dan teman-teman panitia cuma bisa berpandang-pandangan.

Tabir misteri itu baru tersingkap ketika si bapak membuka matanya yang memerah dan tersenyum penuh kantuk. Ternyata beliau hanya tidur-tidur ayam (BTW, ada yang bisa menjelaskan kenapa disebut ‘tidur-tidur ayam’? Hehehe).

“Saya mau nengok istri,” jelasnya sederhana. “Dia ikut seminar di sini.”

“Nama istrinya siapa, Pak?”

“Indrawati.”

Saya terdiam. Pandangan saya beralih ke balik pintu kaca, tempat dimana para peserta mengikuti jalannya seminar.

Itu dia. Orang yang dimaksud sedang duduk di deretan tengah, agak ke belakang. Penampilannya sangat sederhana. Rambutnya yang keabuan disanggul, punggungnya sedikit bungkuk dan wajahnya yang berkeriput tampak lelah, namun ia tetap semangat menyimak seminar. Sibuk mendengarkan dan mencatat.

Ibu Indrawati adalah peserta tertua yang berasal dari Salatiga, Jawa Tengah. Ragu-ragu, saya melirik si kakek.

“Bapak dari mana?” Saya bertanya hati-hati.

“Salatiga,” jawabnya sambil tersenyum, memamerkan gigi-gigi kecoklatan yang sebagian sudah mengeropos, bahkan patah.

“Di Jakarta Bapak tinggal di mana?” Saya penasaran.

“Ada saudara di Kramat,” ia menjawab dengan mata berkaca-kaca, sepertinya masih ngantuk berat. “Tapi saya ndak lama di sini, paling dua hari. Habis itu pulang ke Salatiga.”

“Kangen sama Ibu ya, Pak?” Duh, Bapak, maafkan saya yang terlalu cerewet, tapi sungguh saya tak bisa menahan diri untuk terus bertanya.

Beliau tidak menyahut. Hanya senyumnya yang merekah semakin lebar. Dan binar matanya lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan saya.

Saya meninggalkan beliau dan kembali ke kursi saya (karena ‘kembali ke laptop’ agak mengingatkan pada bapak pelawak berinisial T ;-D). Sambil mengetik, berulang kali saya menengok ke arahnya (bapak tua, bukan bapak pelawak – ini apaan sih? Hahaha!). Menatapi punggungnya. Mengamatinya bersandar di sana dan tertidur pulas. Sekadar melihat tanpa bersuara.

Jam makan siang tiba. Para peserta berhamburan keluar, berebut menyerbu tumpukan kotak styrofoam putih yang berisi makanan dengan ganas. *Ehm, nggak usah dibayangin, hiperbola. ;-)*

Bapak tua itu tak ikut beranjak, agaknya maklum bahwa ia tak mendapat jatah karena bukan peserta. Namun matanya mencari-cari.

Sosok yang ditunggunya keluar tak lama kemudian. Mereka saling merangkul. Di depan orang-orang yang lalu-lalang. Dengan ransel lusuh dan dus-dus Aqua diikat tali rafia yang kontras dengan karpet tebal dan interior ruangan.

Untuk sejenak, ruangan itu hanya milik mereka berdua. Dan tak ada lagi yang nampak kontras di sana.

Ijinkan saya punya cinta seperti itu jika saya tua nanti, saya membatin, entah pada siapa.

Cinta yang tak lekang oleh wajah keriput, rambut beruban, gigi keropos, ransel lusuh dan pakaian seadanya. Cinta laksana embun pagi, sinar mentari, dan semilir angin yang selalu ada setiap hari. Sederhana, dan senantiasa baru.

—–

Dalam perjalanan pulang, saya duduk di angkot dan tak henti-hentinya berpikir. Bukan tentang bapak tua dan istrinya. Belakangan ini otak saya dipenuhi begitu banyak persoalan, yang kalau dipikir-pikir lagi, kebanyakan sampahnya daripada pentingnya. Namun sampah-sampah itu tak sudi pergi meski saya sudah berusaha keras. Semakin ditepis, semakin awet bercokol.

*Oh, well, what you resist persists, right? 😉

Lelah. Jengkel. Muak.

Khawatir. Risau. Gelisah. Tak menentu.

Jalanan macet. Udara gerah. Penumpang berjejalan. Keringat bertetesan.

Hidup saya sebulan terakhir. Rollercoaster tanpa ujung. Tanpa operator, tanpa karcis, tanpa durasi, dan saya tak bisa berteriak minta berhenti meski sudah penat meluncur naik-turun.

Saya duduk bertopang dagu, menghela nafas dalam-dalam.

Angkot berhenti di pinggir jalan. Seorang ibu yang sedang menggendong anak berjalan mendekat. Spontan saya menggeser tubuh, merapatkan diri ke sudut. Tempat yang tersisa hanya cukup untuk satu orang. Si ibu harus memangku anaknya selama perjalanan.

Pintu angkot yang terlalu rendah membuatnya terpaksa mengeluarkan upaya ekstra untuk bisa masuk dan duduk di samping saya. Seketika pandangan seluruh penumpang tertuju pada sosok sederhana berbalut jarit itu.

Bocah yang digendongnya menderita hydrocephalus.

Tidak ada penumpang yang bersuara tatkala si ibu membetulkan posisi duduk anaknya agar nyaman dipangku dan meluruskan letak kain jarit di sekeliling tubuh si bocah, melindunginya dari hembusan angin.

Si bocah mengeluarkan suara-suara aneh. Baru saya sadar, bibirnya tak mampu mengatup. Kedua mata dan mulutnya tertarik sedemikian rupa hingga terus mendelik dan menganga.

“Haaaa… aaaaaa… haa.”

Sang ibu tertawa pelan mendengar bahasa yang hanya dipahami mereka berdua. Ia mengangguk-angguk, senyumnya lepas tanpa beban. Ia merogoh tas, mengeluarkan dot dan memasukkannya ke mulut si bocah.

“Umurnya berapa, Bu?” seorang penumpang menyela aktivitas kecil itu.

“Lima,” sang ibu menjawab ramah. Tak disangka, bocah di pelukannya ikut tersenyum. Seolah mengerti apa yang sedang diobrolkan dan menganggapnya lucu.

“Haaaa… aaaaa… aaaa.”

Senyum itu terus merekah dari mulut yang tak mampu mengatup dan disumpal dot bayi. Bahkan sepasang mata yang mendelik itu ikut tersenyum. Kepala yang terayun lemah dalam gendongan sang ibu tak sanggup menahannya untuk membagi kegembiraan pada seluruh penumpang angkot yang kini menontoni mereka.

Sang ibu mengayun anaknya perlahan. Menyambut senyumnya dengan mata berbinar, seolah ingin berkata sederhana, “Aku sayang kamu, apa adanya.”

Mata saya membasah.

Mendadak, seluruh jaringan kusut di otak saya kehilangan maknanya.

Mendadak, apa yang saya sebut beban dan masalah seperti mengambang begitu saja, menyisakan ruang hening, dan saya terhanyut di sana.

Mendadak, saya tak peduli lagi pada rollercoaster yang masih terus meluncur naik-turun, dengan saya di dalamnya. Tak ingin berteriak minta berhenti.

Jenis cinta apa yang kau punya, Ibu?


Aku ingin sekali memilikinya.

Cinta itu tak terbeli, dan tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun, si anak telah mendapatkannya. Lunas.

Mendadak, saya hanya ingin punya cinta.

secarik kenangan yang tersisa, agustus 2008