Diri

Aku kehidupan yang punya nama, nyawa dan cangkang, dan di kesemuanya engkau tinggal.
Aku kebenaran yang tak perlu dibela; tudungmu siang-malam dari segala tuduhan dan cerca.

Aku ibu yang merawatmu, dan bocah dalam jiwamu tahu, aku ada. Rasakan dekapanku. Rasakan hangatku. Rasakan degup jantung yang berpadu kala aku menimangmu.
Aku ayah yang melimpahimu dengan sayang, dadaku tempatmu bernaung, dan kau tak perlu khawatir akan apa pun.

Aku senangmu kala kau susah, bahagiamu saat kau merana, haru yang melarutkan sengsaramu, tawa yang tersimpan di balik tangismu, riang yang melanda hampamu, dan gembira yang kau bawa saat sulit mendera. Kita berdampingan, karena kita dua yang satu adanya.
Aku geming yang meredakan riuh di benakmu, heningmu saat kau merapuh, dan beningmu saat kau mengeruh, luruh dan tandus.

Aku mata yang mengamatimu sejak kau terjaga hingga terlelap. Kerap kau tak tahu aku ada, namun aku tak pernah beranjak. Aku penontonmu yang paling setia.
Aku telinga yang mendengarkan gemuruh, desau dan bisikan setipis udara pagi yang acap luput kau sadari.
Aku tangan yang menggenggammu aman saat kau tersandung, terjungkal, terperosok.
Aku kaki yang menahanmu kala kau tergelincir dan menyokongmu untuk kembali menapak.

Aku tali tempatmu berpegangan meniti jalan di lingkaran, agar kau tak perlu terbanting hancur.
Aku nyanyian yang membelai telingamu dan mengisi rongga dadamu dengan senandung.
Aku mentari yang mencerahkan matamu dan membimbingmu ke jalan cahaya, aku juga sinar yang menuntunmu ke api yang mereka sebut neraka.
Aku sungai yang mengalir di bawah kakimu, dan di sana engkau bercermin.

Aku air yang membebaskan kerongkonganmu dari dahaga dan membuatmu sejuk.
Aku obat kala kau terkapar sakit, dan penyembuh segala lukamu.
Aku jembatan tempatmu menemukan jalan pulang dan dipan tempatmu beristirahat melepas lelah.
Aku daya yang mengusungmu kala kau terkulai, dan tandu bagi jiwamu.

Aku surga tempat Tuhan bersemayam; kau tak perlu pergi jauh untuk menemuiNya.
Aku kekasih yang bercinta denganmu, dan kita terbakar bersama dalam bara.
Aku cinta yang memberimu nafas untuk tetap hidup, dan engkau akan terus ada.

Aku di sini. Tanpa terbelit ruang dan waktu.

Aku, ya, aku
Selamanya bagimu.

~ Ubud, 26 Februari-1 Maret 2009. Bahkan kata-kata tak sanggup mencengkeramnya. ~

Oase

Senja pukul lima. Baru kembali dari rumah seorang sahabat setelah menginap selama tiga hari.

Begitu sampai di kos-kosan, hal pertama yang saya lakukan adalah mengosongkan tas berisi pakaian kotor, menumpuknya dalam ember, dan mengangkutnya ke kamar mandi.

Suara air mengucur selalu menyenangkan. Sama menyenangkannya seperti mengisi ember hingga ke tepinya -tak sampai penuh- lalu mengaduknya dengan tangan. Memastikan deterjen yang sudah masuk duluan tercampur rata.

Saya kembali ke kamar. Mata dan badan sudah teriak-teriak minta tidur, tapi otak memprotes. Belum waktunya, katanya. Kalau tidur sekarang, nanti malam begadang lagi. Lebih baik sekalian. Ditahan sedikit rasanya masih bisa.

Saya menyeret kaki ke warteg langganan. Setelah kenyang, saya melangkah ke warnet.

Satu jam berselancar di dunia maya, saya merasa cukup. Menyeret kaki lagi untuk pulang, tapi kali ini dengan senyuman, karena pemilik warnet memberi diskon lumayan. Gara-garanya, waktu sedang asyik men-download file, komputer saya macet dan terpaksa di-restart. Hitung-hitung kompensasi dari waktu yang terbuang, sekaligus alasan bagi saya untuk jadi pelanggan tetap warnet yahud itu.

Sampai di kos-kosan, kamar mandi adalah tujuan pertama. Waktunya mencuci. Saya meraih selembar pakaian basah dan mulai mengucek.

Buat saya, selain berjalan kaki ratusan meter, mencuci adalah sarana melepas stres paling canggih. Jadwal mencuci saya dua kali seminggu. Tiga kali, kalau sedang rajin. Kalau sedang banyak pikiran, jatah dua kali saya hajar dalam sehari. Dan percayalah, hasilnya bisa dijamin. Pasti bersih. Karena energi selalu hadir berlipat ganda jika hati sedang mangkel.

😉

Saya menarik sehelai pakaian, lalu tersenyum kecut. Ada garis merah di sana. Pasti akibat lalai memisahkan baju-baju berwarna cerah. Hal yang sama baru terjadi minggu sebelumnya. Pakaian putih saya kini berwarna-warni dengan semburat yang tak merata.

Saya mengucek lebih keras. Dua kali. Tiga kali. Percuma, sudah terlanjur.

Saya mengembalikannya ke ember, untuk melanjutkan mencuci yang lain. Sambil menontonnya tenggelam perlahan di air sabun, saya berkhayal.

Seandainya hidup bisa sesederhana mencuci baju. Rendam, kucek, bilas, jemur, setrika. Semua kotoran dan kekusutan langsung lenyap tak berbekas. Kalau ada yang luntur atau tak bisa dibersihkan, toh itu cuma baju. Yang bisa dicemplungkan kembali ke ember untuk tenggelam perlahan di air sabun, atau dijadikan kain lap sekalian. Beres sudah.

Padahal, baru kemarin saya berandai-andai. Seandainya hidup bisa semudah duduk di ayunan. Dengan kaki terjulur menginjak tanah. Lamat-lamat mencerna hening. Membiarkan waktu berlalu dalam gerakan maju-mundur. Menyaksikannya lenyap ditelan senyap. Tak perlu berupaya, karena di sini makna tak lagi penting. Hanya duduk diam. Berayun.

Hidup bagaikan padang pasir, kata sahabat saya.

Dan kita adalah kafilah-kafilahnya, saya menambahkan. Saat itu pukul sebelas siang. Kami berkendara berdua, menantang terik ditemani CD kompilasi dan hembusan sejuk pendingin udara. Saya memandang keluar jendela, memperhatikan warna hijau, coklat dan abu-abu yang berkejaran.

Kendati panas menyengat dan duduk saya mulai tak nyaman karena kedua kaki terpanggang matahari, saya tahu, dalam sekian menit kami akan mencapai tempat tujuan. Rumah mungil nan nyaman dengan sofa coklat muda yang bisa ditiduri sambil nonton TV. Bantal-bantal empuk yang bisa dijadikan pengganjal kepala sambil menunggu makan siang. Air putih dingin di gelas plastik yang bisa direguk sepuas hati.

Saya tersenyum. Tak menyayangkan hidup yang tak bisa sesederhana menempuh perjalanan dengan mobil, dimana saya tahu pasti kapan akan berhenti, kapan akan sampai, dan akan turun dimana. Tidak ada yang perlu disayangkan. Tidak ada yang perlu disesali. Tidak ada yang perlu diubah. Perjalanan ini, detik ini, tempat dimana kedua kaki ini berpijak, adalah hal terbaik yang terjadi dalam hidup saya, dan saya mensyukurinya sepenuh hati. Saya tak perlu tahu kemana ia akan membawa saya. Saya tak ingin tahu.

Dalam perjalanan ini, selalu ada oase yang bisa dijadikan persinggahan untuk melepas dahaga dan membuang penat. Beberapa orang menyebutnya agama. Sebagian lagi menyebutnya pengalaman spiritual. Saya lebih suka menyebutnya Keheningan. Ketika jiwa ini bercumbu dan berpadu dalam sunyi tanpa tepi. Ketika lapisan demi lapisan diri terkikis dan yang tersisa hanya kesejatian. Ketika melodi yang digaungkan dawai hati bersambut dengan kidung alam semesta.

Keindahan itu tak terperi, dan jiwa saya selalu mereguknya dengan rakus. Seperti musafir sekarat yang menemukan air. Seperti ikan yang megap-megap kehabisan nafas, lalu diceburkan ke kolam raksasa. Sensasinya sungguh juara.

Setelah dahaga tuntas, kita kembali melangkah. Menyusuri perjalanan panjang yang belum selesai ini. Entah sendiri, entah berdua. Entah berkawan sepi, entah berdampingan dengan rekan sejiwa. Mengumpulkan serpih demi serpih surat kontrak yang kita tandatangani sebelum lahir ke dunia dan mengerti apa itu takdir. Terus melangkah, karena perjalanan ini takkan usai bila belum tiba waktunya.

Jika hidup adalah padang pasir, maka kitalah kafilahnya. Pada suatu masa kita akan singgah. Di sebuah oase. Untuk minum dan beristirahat sejenak, sebelum kembali menapak.

Beberapa orang menyebutnya agama. Sebagian lagi menyebutnya pengalaman spiritual. Liburan bagi jiwa yang penat. Penawar bagi hati yang haus. Saya lebih suka menyebutnya Keheningan.

Hari ini, keheningan itu ada dalam percikan air, cipratan busa sabun dan pakaian kotor tiga hari.

…..

Saya berdiri. Meluruskan punggung yang mulai pegal. Menepuk-nepuk celana pendek yang sudah basah separuh. Menyiram lengan yang tertutup busa sampai ke siku. Membuang air bilasan terakhir. Memeras pakaian dan menaruhnya di ember. Tak ada lagi yang perlu dikucek. Tak ada lagi yang harus dibilas.

Sesi istirahat di oase hari ini sudah selesai. Saatnya kembali berjalan.

Senyum saya mengembang. Membisikkan sepenggal harap dari lubuk terdalam. Tak muluk, sederhana saja:

semoga cucian saya bisa cepat kering.

*Gambar tentunya dipinjam dari gettyimages.com

Merunut Langkah di Mendut

Bayangkan tigapuluh orang yang berada di tempat yang sama selama tiga hari. Tigapuluh orang yang menghuni dua bangsal, tidur bersebelahan dan berhadap-hadapan, berbagi kamar mandi dan memasuki aula besar yang sama mulai pukul tiga dinihari sampai sepuluh malam. Tigapuluh puluh orang yang berbagi keheningan tanpa boleh berbicara, bertegur sapa, berbahasa isyarat, bahkan saling menatap. Saya adalah salah satu dari mereka.

Keheningan itu dimulai pada malam pertama, usai arahan diberikan oleh Pak Hudoyo Hupudio, instruktur retreat. Instruksinya sederhana saja, bahkan jauh dari bayangan saya yang semula mengira kami akan diwajibkan duduk dari subuh hingga petang di satu ruangan tanpa boleh bergerak. Yang terjadi justru sebaliknya. Kami boleh berkeliaran di seluruh area Vihara, bahkan boleh melakukan apa saja, kecuali berkomunikasi.

Handphone, dompet dan jam tangan dititipkan kepada panitia, dan kami dilarang berbicara pada siapa pun atau berkomunikasi dalam bentuk apa pun, bahkan sesederhana bertukar senyum atau melakukan kontak mata. Kami boleh duduk kapan saja, berdiri kapan saja, berjalan kapan saja, mandi kapan saja, bahkan tidur kapan saja. Namun semua dilakukan dalam kesadaran penuh. Dalam keheningan total. Dan rasa apa pun yang timbul di permukaan batin nanti –entah bahagia, gembira, kecewa, sedih, marah, gelisah, khawatir— tugas kami hanya mengamati. Berbagai pikiran, keinginan dan fenomena yang muncul pun disikapi dengan cara yang sama. Tidak ditolak, tidak disingkirkan, tidak dipertahankan. Bahkan, sebenarnya, tidak perlu ada upaya apa pun. Hanya mengamati.

Berada dalam kondisi ini secara otomatis membuat gerakan menjadi lambat, karena segala sesuatu dilakukan dengan penuh kesadaran. Eling adalah kata yang paling tepat untuk mewakili kehidupan kami selama retreat berlangsung. Berjalan kaki pun dilakukan perlahan-lahan, bukan karena disengaja, melainkan terjadi secara alamiah ketika kesadaran diperkuat dan gerakan pikiran diperlambat.

Tigapuluh orang dewasa yang berbagi keheningan itu mendadak menjelma menjadi makhluk-makhluk autis yang tenggelam dalam dunia masing-masing. Seakan-akan tiap peserta punya tombol hibernasi dalam dirinya, dan tombol itu serentak ditekan. Selama tiga hari, tidak ada lagi ‘saya’, ‘kamu’, ‘kita’. Dan Vihara luas itu tak ubahnya bangsal Rumah Sakit Jiwa raksasa. Dimana-mana orang berjalan dan melakukan segala sesuatu dengan lambat. Di sudut-sudut, bahkan tak jarang di anak tangga atau di tengah jalan, orang-orang duduk tanpa bergerak, hanya menatap sunyi ke satu titik selama bermenit-menit, kadang setengah jam, atau lebih. Bagaikan patung hidup, kami bergerak, berjalan, duduk, dalam irama serbapelan.

Di hari pertama, saya terheran-heran mendapati gerakan saya jadi selambat kura-kura. Saya, yang sering melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa dan terbiasa makan sambil mengecek e-mail dan membalas SMS sekaligus, kini seperti kehilangan kemampuan bergerak dan berpikir cepat. Sekali waktu, saya terkejut karena seseorang berhasil menjajari langkah saya hanya dalam beberapa menit, padahal sebelumnya ia tertinggal jauh di belakang dan gerakannya juga tidak cepat. Saya tersenyum sendiri. Selambat kura-kura? Salah. Saya selambat siput.

Setiap pagi, saya mengenakan tiga lapis pakaian dan sepasang kaus kaki demi menghindari hawa dingin. Di hari kedua, pukul empat subuh, saya berkeliaran di aula setelah melakukan meditasi duduk. Mendadak, timbul keinginan berjalan di atas karpet dengan bertelanjang kaki. Saya pun melepaskan kaus kaki. Ketika telapak kaki saya bersentuhan dengan karpet, terjadilah ‘keajaiban’ pertama.

Saya belajar melatih diri untuk eling setiap saat, meski tak jarang pikiran masih melantur kemana-mana. Ke beberapa pekerjaan yang terpaksa tertunda akibat kepergian saya. Handphone yang tak tersentuh. Deretan pesan elektronik yang bertengger di kotak masuk dan belum sempat dibuka. Berkali-kali pikiran semacam itu datang dan pergi. Namun, ketika saya berjalan di atas karpet, selangkah demi selangkah, mendadak semua lenyap. Mendadak, benak saya kosong.

Saya tahu saya tidak sendiri, karena di ruangan itu ada beberapa peserta yang sedang bermeditasi. Namun, kini seolah hanya ada saya dan sepasang kaki yang terus meniti jalan di karpet. Sekejap, dunia seperti melambat. Seakan-akan Bumi menahan rotasi dan rela berputar perlahan di porosnya demi bergerak bersama saya. Mendadak, batasan waktu menjadi kabur. Bias. Berbarengan dengan itu, muncul keindahan yang luar biasa, walau saya tak mampu memahami sebabnya.

Tak lama sesudahnya, saya beranjak keluar, berjalan-jalan sambil merapatkan tangan. Dalam dinginnya udara dinihari dan kegelapan, hanya ditemani sinar lampu taman, airmata menetes tanpa bisa dicegah tatkala saya kembali merunut langkah demi langkah. Setiap gerakan terasa begitu berarti. Setiap tapak yang saya jelang terasa begitu bermakna.

Sungguh sukar untuk dijelaskan dengan kata-kata, namun mendadak saya kehilangan keinginan untuk memegang kendali atas hidup saya. Mendadak, keinginan untuk menjamin masa depan dan merengkuh kenangan manis dari masa lalu pun lenyap. Seolah masa lalu tak lagi punya esensi, dan masa depan tak lagi penting. Mendadak, yang saya inginkan hanya terus berjalan. Di atas tanah dingin dan rumput berembun ini. Di saat ini, dengan nafas dan degup jantung ini. Dengan kaki-kaki yang terus berayun lambat. Mendadak, semua itu sudah lebih dari cukup.

Pagi itu, berkali-kali airmata saya tumpah. Ada keindahan yang meluberi jiwa tatkala saya merunut langkah satu persatu, tanpa gerakan berarti. Hanya sekadar berjalan tak tentu arah, duduk, berdiri, berjalan lagi, dan seterusnya. Sungguh, tidak ada yang spesial dari semuanya, namun pada saat yang sama, apa yang saya rasakan tidak terukur bahasa. Tak akan ada kalimat yang cukup pas untuk mewakilinya.

Sepanjang hari, berbagai fenomena –fisik maupun batin— hadir silih berganti. Namun fenomena-fenomena tersebut tidak bertahan lama, dan pergi nyaris secepat mereka singgah. Tak jarang airmata menitik dan sudah nyaris kering ketika saya membuka mata. Baru saat itulah saya benar-benar paham dengan ilustrasi yang mengaitkan alam bawah sadar dengan gudang sampah.

Meditasi menyingkapkan berbagai polusi batin yang tertumpuk jauh di dalam ‘gudang’ –yang sering kali luput dari perhatian, bahkan tak kita sangka ada— dan mengikisnya satu persatu. Perlahan namun pasti, lapisan demi lapisan yang tertimbun muncul ke permukaan batin, menghadirkan berbagai rasa dan fenomena yang tak diduga-duga. Ajaibnya, ketika saya menjalankan peran sebagai pengamat pasif –melihat semua dengan penuh kesadaran tanpa berusaha menanggulangi, menyingkirkan atau mempertahankan sedikit pun— lapisan-lapisan itu luruh satu demi satu. Tuntas tanpa sisa. Yang tertinggal hanya sebentuk keheningan yang netral. Bening. Tak lama kemudian, keheningan itu pun lenyap dan digantikan dengan lapisan berikutnya. Demikian seterusnya.

Di kamar mandi, saya tertegun menatapi keran air dan pipa besi yang terletak di ujung bak. Betapa laju pikiran dan derasnya arus informasi telah menggerus kesadaran kita, membuat daya eling tak ubahnya pipa yang karatan karena terus dialiri dengan berbagai pemikiran plus segala sampah batin yang dibawanya. Betapa keheningan dan kesadaran telah menjadi sesuatu yang ‘mewah’, bukan karena ia langka atau sulit didapat, melainkan karena kita telah lupa cara berdiam diri. Tak terlintas sedikit pun untuk hidup dengan kesadaran penuh dan mengijinkan pikiran berhenti sejenak. Dan di tengah pergerakan tanpa henti itu, di tengah derasnya arus yang mengombang-ambingkan kita kesana-kemari, kita menyangka telah sungguhan ‘hidup’.

Sore itu, saya kembali berjalan-jalan dalam sebuah ruangan. Ada dua meja panjang bertaplak putih dan beberapa bangku plastik di sana. Setelah menyusuri separuh ruangan, mendadak timbul keinginan untuk mendekati salah satu meja yang terletak di tengah-tengah. Saya pun maju. Ketika saya meraih pinggiran taplak, terjadilah ‘keajaiban’ kedua.

Dari semua fenomena yang saya alami, inilah yang paling sulit dijabarkan dengan kata-kata. Ketika saya menggapai taplak, mendadak waktu berhenti. Sekat-sekat ruang lenyap. ‘Jenny’ pun lenyap. Tidak ada masa lalu. Tidak ada masa depan. Tidak ada kemarin, sedetik lalu, bahkan tidak ada hari esok. Batasan ruang dan waktu hilang sepenuhnya, tergusur pada detik jemari saya bersentuhan dengan meja.

Selama sekian detik, saya berada dalam keabadian. Dan keabadian ternyata bukan konsep ‘hidup-selamanya-tanpa-pernah-mati’ seperti yang saya sangka. Ia hadir ketika pikiran berhenti. Ketika tirai pembatas antara yang kekal dan yang fana terkuak. Ketika sekat antara subyek dan obyek menghilang. Ketika ‘aku’, ‘kamu’ dan ‘dia’ lebur bersama. Bahkan tidak ada ‘Jenny Jusuf’. Yang ada hanya ‘semua’, dan ‘semua’ adalah ‘satu’.

Keindahan yang muncul daripadanya mustahil diungkap dengan kata. Inilah Surga. Inilah yang didamba semua makhluk di dunia; tujuan akhir yang dikejar mati-matian oleh banyak orang. Dan saya memasukinya tanpa usaha sama sekali. Tidak ada kata yang mampu mendeskripsikan pengalaman tersebut.

Peristiwa yang sama terulang hanya berselang sekian menit. Saya keluar dari ruangan, berjalan menuju kursi plastik yang baru ditinggalkan seseorang. Ketika tangan saya bersentuhan dengan lengan kursi, ketika tubuh saya menempati benda itu, waktu kembali terhenti. Sekat ruang kembali tiada. Tirai yang membatasi keabadian dan dunia fana kembali tersingkap. Saya kembali menjenguk Surga.

Ternyata Surga tidak berada di awan-awan. Ternyata Surga tidak berada dimana-mana. Ternyata Surga tidak seperti yang saya baca di buku-buku, dan tidak tampak sedikit pun seperti yang diceritakan orang. Surga juga bukan jalan-jalan emas yang dipenuhi bunga-bungaan dengan malaikat-malaikat bersayap. Ia bahkan bukan apa yang saya bayangkan selama ini.

Saya pun termangu. Betapa mahalnya momen-momen yang saya alami beberapa hari terakhir. Betapa mahalnya pengalaman dan pelajaran yang saya dapatkan dari sekadar hidup dengan penuh kesadaran. Bahwa terhentinya pikiran, hilangnya sekat ruang dan waktu, meski hanya sekejap, adalah sesuatu yang teramat mewah. Betapa pikiran yang selalu terseret-seret dan kepayahan berjuang mengendalikan segala sesuatu ini sesungguhnya tak lebih dari sebuah proyektor raksasa. Yang ia suguhkan adalah rangkaian gambar belaka, dan kita yang terseok-seok di dalamnya mengira sedang menjalani hidup – sementara kehidupan sejati sesungguhnya baru dimulai ketika proyektor berhenti berputar.

Berapa kali selama puluhan tahun, kita melangkahkan kaki di jalan yang sama, dengan ritme dan laju yang sama, tanpa pernah sungguhan menyadari apa yang sedang kita lakukan? Berapa kali sepanjang hidup, kita betul-betul menghayati setiap gerakan –sesederhana apa pun— dan memandangnya sama seperti hal-hal lain yang kita anggap ‘besar’, ‘penting’, dan ‘bermakna’? Berapa kali kita sungguh-sungguh berada di masa kini, tanpa terjerat masa lalu dan terlempar ke masa depan?

Keabadian ada ketika pikiran berhenti. Ketika sang ‘aku’ meluruh. Pencerahan hadir ketika batas ruang dan waktu lenyap. Ketika semua menjadi ada sekaligus tiada. Dan di sana, di inti keheningan yang paling sejati, bersemayam Surga. Saya baru saja mengunjunginya. Dan ternyata saya tidak perlu karcis masuk. Tidak ada malaikat yang bertanya apa kepercayaan saya. Tidak ada Tuhan yang mengirim orang-orang saleh ke surga dan mencampakkan sisanya ke lubang neraka. Saya tidak perlu menunjukkan Kartu Tanda Penduduk atas nama keyakinan tertentu. Saya hanya sekadar melangkah masuk; tanpa upaya, tanpa usaha.

Kendati momen pencerahan itu datang hanya sesaat dan berlalu layaknya fenomena-fenomena lain, tak urung saya bersyukur diberi kesempatan untuk mencicipinya. Merasakan airmata mengalir untuk kemudian lenyap lagi. Mengijinkan segala rasa hadir untuk kemudian melepasnya lagi. Melongok sejenak ke dalam keabadian sebelum kembali memijakkan kaki ke dalam realitas. Saya belajar makna berbesar hati. Menerima untuk melupakan. Merengkuh tanpa berniat menahan. Menyambut tanpa ingin mengabadikan.

Tanggal delapan Februari, pukul tiga sore, saya memanggul backpack dan memasuki bis yang akan membawa saya kembali ke Jakarta. Walau benak saya penuh dengan apa yang ingin saya tulis, sekalipun berbagai pemikiran berkejaran mencoba merangkum seluruh makna yang berhasil saya kumpulkan, saya tahu, pada akhirnya genggaman tangan ini harus melonggar. Cengkeraman ini takkan selamanya erat.

Meski pengalaman tersebut otentik dan jauh lebih berharga dari apa yang pernah saya dapatkan, ia telah berlalu, dan upaya saya mengkristalkannya justru akan mengubahnya menjadi perangkap emas. Demikian pula apa yang saya tuliskan di sini. Kendati saya ingin menjadikannya pengingat untuk mengekalkan momen satori, kata-kata hanyalah usaha semu yang tidak akan sanggup menjaring esensi kebenaran yang paling sejati.

Di dalam bis yang bergerak lambat, di tengah ramainya suara para penumpang yang sibuk bercengkerama, perlahan saya tersadar. Retreat tiga hari saya berakhir sudah. Kesunyian itu memang telah selesai. Namun perjalanan ini belum usai, dan mimpi ini masih panjang. Di setapak yang sama saya kembali melangkah, namun kali ini mudah-mudahan dengan terus mengingat; kapan saya harus terjaga, dan kapan harus ‘bangun’ — untuk benar-benar hidup.


“Wake up from this illusion called life. Then live your life, as real as it can be, but keep in mind that you’re only dreaming.”

*Gambar diambil dari gettyimages.com

Kids Forever

“MAU JADI KECIL!”

Itu jawaban yang diserukan putra kawan saya yang baru berumur empat tahun, ketika ditanya oleh ayah-ibunya, mau jadi apa kalau sudah besar nanti.

Lucu, iya. Polos, iya. Tapi, bagi saya, jawaban itu jauh lebih ‘dalam’ dari sekadar keluguan bocah balita.

Buktinya? Coba, ngacung, siapa yang umurnya sudah di atas seperempat abad, dan belum pernah sekaliii saja merasa ingin balik ke masa kanak-kanak lagi? Siapa yang pernah melihat anak kecil yang asyik bermain dan tertawa sepuasnya, dan tidak sedikit pun berkhayal enaknya jadi dia?

Kalau ada yang belum pernah merasa begitu, selamat, Anda orang paling berbahagia di dunia. Saya sendiri sudah berkali-kali menelan ludah, iri pada putra kawan saya yang baru empat tahun itu. Sering berkhayal, seandainya saya bisa mencicipi kehidupan seperti dia, sehari saja. Bisa bergoyang dangdut sambil gendangan tanpa takut dicela orang, bisa menari-nari gila sambil berloncatan sepuasnya (sekarang juga masih bisa, tapi harus di ruangan tertutup yang jauh dari keramaian ;-D), bisa menikmati hidup seutuh-utuhnya, lepas tanpa beban, tanpa keharusan memikirkan hari esok, bebas dari berbagai pengkondisian yang diciptakan lingkungan sekitar, dan sebagainya.

*By the way, tentang terbebas dari pengkondisian, memang harus diakui tidak semua anak bisa mendapatkan ‘kemewahan’ ini, karena beberapa anak kecil yang saya kenal malah sudah hidup dalam berbagai disiplin sejak usia satu tahun. Untungnya, kawan saya tipikal orang tua yang cukup tolerir; bisa mendidik anak, tapi tidak terlalu ribet menerapkan segala jenis aturan.*

Kebebasan adalah salah satu syarat kebahagiaan, itu kalimat yang saya dengar beberapa bulan lalu. Saya lupa persisnya, tapi intinya kira-kira begitu. Barangkali itu juga yang membuat saya sangat suka memandangi mata seorang bocah. Mata yang bahagia. Mata yang penuh kebebasan, meski lambat laun pengkondisian yang diberikan lingkungan sekitar dapat meredupkan binarnya. Begitu sukanya saya pada mata kanak-kanak, setiap kali melihat anak kecil yang matanya berbinar-binar, saya sering berbisik dalam hati, “Nggak usah cepat-cepat gede ya, Nak…”

🙂

Saya sering berkhayal, alangkah menyenangkan jika waktu bisa diputar kembali, sebentaaar saja, supaya saya bisa kembali menjadi kanak-kanak. Atau, alangkah enaknya jika seseorang bisa menjadi anak-anak selamanya. Seperti Peter Pan. Saya tidak butuh debu peri, dan saya tidak perlu kemampuan terbang atau bertarung dengan bajak laut. Jadi anak-anak selamanya saja sudah cukup.

Khayalan itu lantas membuat saya merunut ke belakang: kapan ya terakhir kali saya bertingkah seperti anak-anak? ‘Bertingkah’ di sini maksudnya bukan merengek-rengek manja, ngambekan, atau mewek jerit-jerit teu puguh lho, ya, melainkan bebas menjadi diri sendiri, apa adanya, murni, tanpa prasangka, serta menikmati kehidupan di saat ini sepenuhnya – tanpa separuh benak menggantung di masa lalu, sebagian di masa kini, dan sisanya di masa depan.

Kapan terakhir kali saya bersenang-senang dan bergembira layaknya seorang anak kecil? Mungkin belasan tahun yang lalu, atau duapuluh tahun yang lalu.

Seingat saya, sejak duduk di bangku SD, saya selalu bercita-cita ingin cepat besar. Memasuki usia belasan, saya ingin cepat-cepat merasakan berumur tujuhbelas dan punya KTP sendiri, serta menyandang predikat ‘dewasa’ (padahal faktanya, setelah betul-betul berumur tujuhbelas, kelakuan ya tetap sama aja). Lewat usia tujuhbelas, saya ingin cepat-cepat berulangtahun keduapuluh. Ingin tahu bagaimana rasanya ‘berkepala dua’, dan titel ‘puluh’ di belakang angka somehow memiliki arti yang sangat besar buat saya waktu itu. Semacam gerbang menuju kedewasaan, dimana saya akan resmi menjadi perempuan matang (telooor, kali) dan bukan lagi remaja tanggung nan culun. Lalu, saya ingin cepat-cepat bekerja, ingin tahu bagaimana rasanya mencari uang dan membiayai hidup sendiri.

Time flies. Sekarang, semua sudah tercapai. Saya sudah berusia seperempat abad, sudah bekerja, dan sudah bisa hidup mandiri (meskipun tentyunya tidak pernah menolak rezeki dari orang tua, kalau ada. Hehehe!). Segala yang pernah saya lamunkan sudah terpenuhi. Saya tidak pernah lagi berkhayal, “Ingin cepat-cepat jadi…”. Kepikiran aja nggak pernah. Saya menjalani hari demi hari apa adanya. Ikut bergulir bersama perputaran roda hidup, mengalir bersama waktu. Sampai saya tiba di detik ini.

Mendadak, saya sadar, saya sangat rindu menjadi kanak-kanak lagi. Kangen masa-masa ‘golden age’ itu. Reality bites. Sekian puluh tahun dijalani hanya untuk bermimpi kembali ke masa kecil; mengulang saat-saat bahagia dimana hidup penuh dengan tawa riang tanpa perlu banyak berpikir.

Saya ingat pernah melontarkan komentar nyelekit pada seorang kawan yang sangat suka bercanda, iseng, dan hobi joget-joget gila: “Grow up!”, karena sebal dengan kelakuannya yang menurut saya (waktu itu) nggak banget, padahal usianya sudah di atas tigapuluh. Sekarang, saya sendiri ingin kembali ke masa kecil. Ah, well... satu lagi pelajaran untuk tidak terlalu cepat menjatuhkan penilaian. 😉

Saya rindu masa kanak-kanak saya. Saya bisa memahami perasaan Peter Pan – the boy who refuses to grow up. Bukan karena hidup terlalu berat untuk dijalani, karena saya pun mensyukuri kehidupan saya sekarang, apa adanya. Bukan karena malas menjalani tanggung jawab sebagai orang dewasa, karena saya pun mensyukuri usia yang semakin bertambah dan kepercayaan yang muncul daripadanya kecuali kalau sedang didonder supaya cepat dapat jodoh. Melainkan karena saya rindu masa-masa dimana dunia terlihat begitu cerah ceria dan menakjubkan, dan saya tidak perlu memikirkan apa pun tentang kemarin dan hari esok, karena ‘tugas’ saya hanya ‘hidup’.

🙂

Jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu pilihan.

Kalimat ini pernah sangat populer beberapa tahun lalu, dan saya termasuk salah satu yang mengamininya. Tapi, sekarang saya berubah pikiran.

Meski terdengar konyol bagi beberapa orang, saya ingin menua tanpa perlu jadi dewasa. Saya tidak ingin memilih untuk jadi dewasa.

Saya ingin memiliki kesederhanaan anak kecil yang melihat dunia sebagai wahana bermain raksasa dan menikmati setiap detik di dalamnya sepenuh hati. Tanpa prasangka. Tanpa pretensi. Tanpa banyak berpikir. Tanpa penuh pertimbangan. Hanya mengetahui saat ini, hidup di masa kini, dan menyambut apa pun yang terjadi sebagaimana adanya; tanpa menyesali masa lalu atau mencemaskan masa depan…

…seperti putra kawan saya, yang wajahnya selalu bercahaya. Yang matanya selalu berbinar. Yang tawanya selalu lepas. Yang selalu ‘hidup’.

Ah, mendadak saya kangen dia.

Jangan cepat-cepat jadi dewasa ya, Nak…

—–

Lepas

Ratusan malam kulewatkan sudah. Menyirami asa, mempertahankan harap. Demi kesempatan untuk kembali. Demi segala yang pernah kita bangun, karena seperti yang kutahu, kita sama-sama tahu, hati selalu merindu untuk bisa bersama lagi.

Cinta. Cuma itu alasan yang membuat asa dan harap betah bertahan, kendati jiwa sudah mau mati. Dalam sekarat pula aku bertanya, layakkah kita terdera? Layakkah aku merana sampai sesak? Dan tanpa mampu kuhindari, pertanyaan final itu tiba. Bagaimana jika.

Ratusan malam kulewatkan dalam sendiri. Mencoba menggali jawaban dan mengerti dengan sia-sia. Kini, aku tahu sudah. Perjalanan ini memang harus berakhir di sini.

Maaf atas semua yang tak pernah kuungkapkan, yang selalu ingin kuucapkan, yang tak tertampung ruang dan waktu. Maaf karena bukan saja tak bisa lagi bersamamu, aku juga akhirnya melepasmu.

Mereka bilang, hanya masalah waktu sampai kita kembali dipertemukan. Namun kita tak akan pernah tahu. Aku berhenti berharap, bukan karena tak lagi menginginkanmu. Kulepas dirimu, karena inilah waktunya. Kulepas dirimu, agar aku bisa tetap hidup. Agar mereka yang kusayang tak perlu ikut terdera.

Hari ini, kularung segala asa untuk bersamamu. Harapan yang tersimpan untuk memilikimu. Cinta yang memang tak pernah sama lagi. Kuhanyutkan mereka, kendati hati tak ingin kenangan akanmu terhapus.

Kenangan memang bukan jatahnya hati. Ia tersimpan dalam benak, dan akan selalu ada di sana. Begitu pula dirimu. Kau permata yang akan selalu tersimpan. Cahaya yang takkan pernah redup tuk kusyukuri. Namun hatiku telah kubiarkan bebas, dan aku tak ingin menjeratnya kembali.

Kendati sesak jiwa mencoba mempertahankanmu, kini aku mampu melepasmu. Menerima semua tanpa perlu mengerti.

Terima kasih untuk semua yang pernah ada. Terima kasih telah menjadi sahabat, guru, dan pembimbing terbaik yang pernah hadir. Terima kasih untuk cinta yang telah menghangatkan dan membuatku bergelora.

Kini, ijinkanku pergi tanpa harapan untuk kembali.

—–