Untuk Kamu, Han :-)

Terima kasih banyak…

… untuk setiap momen, setiap detik, yang selalu membuat saya takjub dan tak habis-habisnya jatuh hati pada kehidupan.

… untuk setiap kesempatan (dan pilihan) untuk bertumbuh menjadi lebih baik setiap harinya.

… untuk peristiwa-peristiwa ajaib yang berulangkali membuat saya terbengong-bengong karena tak pernah menyangka akan bisa mengalaminya.

… untuk setiap manis dan pahit yang silih berganti hadir dalam hidup ini, dan membuatnya semakin kaya makna dan warna — meskipun ketika hal-hal tak enak terjadi, saya kerap merasa frustrasi dan menyumpah-nyumpah teu puguh. 😉

… untuk tidak pernah jemu mengingatkan bahwa ada begitu banyak hal dalam hidup yang patut disyukuri, jauh melebihi apa pun.

… untuk setiap tarikan nafas, udara segar pagi, sinar mentari, semburat langit senja, aroma tanah, air putih sejuk, binar mata kanak-kanak, humor garing yang sungguh tak penting, dan tertawa sampai sakit perut, yang menjadikan setiap hari layak dirayakan dengan penuh syukur.

… untuk menjadi Sahabat superkeren yang selalu bisa diandalkan setiap saat dan selalu bersedia dihubungi kapan pun. Terima kasih karena senantiasa bersabar, tidak pernah bosan menyediakan telinga, dan tidak pernah bete mendengarkan ocehan-ocehan saya.

… untuk selalu menjawab doa-doa saya, yang tergila dan ter-absurd sekalipun.

… untuk membuat saya jatuh cinta, lagi dan lagi. PadaMu. Pada hidup, yang tak henti-hentinya membuat saya terpukau sampai kata-kata kehilangan makna. Pada setiap momen, setiap milisekon, yang berulang kali membuat saya bersyukur bahwa saya terlahir ke dunia, sebagai saya. Apa adanya.

… untuk mengenalkan saya pada setapak panjang bernama Kehidupan, dan menuntun saya untuk berjalan di dalamnya, langkah demi langkah. Merunut jengkal demi jengkal tanpa pernah sekalipun melepaskan tangan saya.

… untuk tak putus mengajarkan kepada saya makna cinta, dan menjadi Cinta itu sendiri. Seutuhnya.

Dan yang terpenting dari semuanya… terima kasih karena selalu ada.

Sungguh, terima kasih banyak.

🙂

I’ve seen the tears and the heartache, and I felt the pain

I’ve seen the hatred in so many lives, and lost in vain

And yet through this darkness there’s always a light that shines through

And takes me back home

All of the promises broken

And all of the songs left unsung

Seems so far away as I make my way back to you

You gave me faith and you gave me a world to believe in

You gave me a love to believe in

And feeling this love I can rise up above

And be strong and be whole once again

I know that dreams we hold on to, can just fade away

And I know that words can be wasted with so much to say

And I when I feel helpless there’s always a hope that shines through

And makes me believe

And I see for one fleeting moment

A paradise under the sun

I drift away and I make my way back to you

Life goes on

Can leave us with sorrow and pain

And I hold on

To all that you are

To all that we’ll be

And I can go on once again

Cause your love heals my soul once again

I can live and I can dream once again

Cause you made me believe

(A World to Believe in – Celine Dion)

…dan makhluk itu bernama Cinta.

“Itu siapa?”

Saya mengalihkan perhatian dari layar laptop dan menoleh ke arah yang ditunjuk teman saya dengan dagunya.

Seorang bapak tua baru saja memasuki ruangan seminar tempat kami menjadi panitia. Seminar tersebut dilangsungkan selama sembilan hari dan diikuti oleh peserta dari berbagai kota. Selain menjadi seksi sibuk yang merupakan kewajiban setiap orang berlabel panitia, saya juga kebagian tugas mendata dan mengumpulkan foto setiap peserta.

“Nggak mungkin peserta,” saya menjawab pelan, supaya tidak terdengar oleh si bapak yang kini sibuk menata bawaannya di pojok ruangan, tanpa permisi sama sekali, bahkan tanpa memandang kami. Barang-barangnya tidak terlalu banyak, hanya sebuah ransel lusuh dan dua dus berukuran sedang yang tampak kontras dengan karpet tebal dan interior ruang seminar.

Teman saya menghampirinya dan berbasa-basi menanyakan namanya. Setelah menjawab sekenanya, bapak tua itu menarik sebuah kursi yang menganggur di sudut, duduk bersandar di sana, dan tidur.

Hayah.

Saya dan teman-teman panitia cuma bisa berpandang-pandangan.

Tabir misteri itu baru tersingkap ketika si bapak membuka matanya yang memerah dan tersenyum penuh kantuk. Ternyata beliau hanya tidur-tidur ayam (BTW, ada yang bisa menjelaskan kenapa disebut ‘tidur-tidur ayam’? Hehehe).

“Saya mau nengok istri,” jelasnya sederhana. “Dia ikut seminar di sini.”

“Nama istrinya siapa, Pak?”

“Indrawati.”

Saya terdiam. Pandangan saya beralih ke balik pintu kaca, tempat dimana para peserta mengikuti jalannya seminar.

Itu dia. Orang yang dimaksud sedang duduk di deretan tengah, agak ke belakang. Penampilannya sangat sederhana. Rambutnya yang keabuan disanggul, punggungnya sedikit bungkuk dan wajahnya yang berkeriput tampak lelah, namun ia tetap semangat menyimak seminar. Sibuk mendengarkan dan mencatat.

Ibu Indrawati adalah peserta tertua yang berasal dari Salatiga, Jawa Tengah. Ragu-ragu, saya melirik si kakek.

“Bapak dari mana?” Saya bertanya hati-hati.

“Salatiga,” jawabnya sambil tersenyum, memamerkan gigi-gigi kecoklatan yang sebagian sudah mengeropos, bahkan patah.

“Di Jakarta Bapak tinggal di mana?” Saya penasaran.

“Ada saudara di Kramat,” ia menjawab dengan mata berkaca-kaca, sepertinya masih ngantuk berat. “Tapi saya ndak lama di sini, paling dua hari. Habis itu pulang ke Salatiga.”

“Kangen sama Ibu ya, Pak?” Duh, Bapak, maafkan saya yang terlalu cerewet, tapi sungguh saya tak bisa menahan diri untuk terus bertanya.

Beliau tidak menyahut. Hanya senyumnya yang merekah semakin lebar. Dan binar matanya lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan saya.

Saya meninggalkan beliau dan kembali ke kursi saya (karena ‘kembali ke laptop’ agak mengingatkan pada bapak pelawak berinisial T ;-D). Sambil mengetik, berulang kali saya menengok ke arahnya (bapak tua, bukan bapak pelawak – ini apaan sih? Hahaha!). Menatapi punggungnya. Mengamatinya bersandar di sana dan tertidur pulas. Sekadar melihat tanpa bersuara.

Jam makan siang tiba. Para peserta berhamburan keluar, berebut menyerbu tumpukan kotak styrofoam putih yang berisi makanan dengan ganas. *Ehm, nggak usah dibayangin, hiperbola. ;-)*

Bapak tua itu tak ikut beranjak, agaknya maklum bahwa ia tak mendapat jatah karena bukan peserta. Namun matanya mencari-cari.

Sosok yang ditunggunya keluar tak lama kemudian. Mereka saling merangkul. Di depan orang-orang yang lalu-lalang. Dengan ransel lusuh dan dus-dus Aqua diikat tali rafia yang kontras dengan karpet tebal dan interior ruangan.

Untuk sejenak, ruangan itu hanya milik mereka berdua. Dan tak ada lagi yang nampak kontras di sana.

Ijinkan saya punya cinta seperti itu jika saya tua nanti, saya membatin, entah pada siapa.

Cinta yang tak lekang oleh wajah keriput, rambut beruban, gigi keropos, ransel lusuh dan pakaian seadanya. Cinta laksana embun pagi, sinar mentari, dan semilir angin yang selalu ada setiap hari. Sederhana, dan senantiasa baru.

—–

Dalam perjalanan pulang, saya duduk di angkot dan tak henti-hentinya berpikir. Bukan tentang bapak tua dan istrinya. Belakangan ini otak saya dipenuhi begitu banyak persoalan, yang kalau dipikir-pikir lagi, kebanyakan sampahnya daripada pentingnya. Namun sampah-sampah itu tak sudi pergi meski saya sudah berusaha keras. Semakin ditepis, semakin awet bercokol.

*Oh, well, what you resist persists, right? 😉

Lelah. Jengkel. Muak.

Khawatir. Risau. Gelisah. Tak menentu.

Jalanan macet. Udara gerah. Penumpang berjejalan. Keringat bertetesan.

Hidup saya sebulan terakhir. Rollercoaster tanpa ujung. Tanpa operator, tanpa karcis, tanpa durasi, dan saya tak bisa berteriak minta berhenti meski sudah penat meluncur naik-turun.

Saya duduk bertopang dagu, menghela nafas dalam-dalam.

Angkot berhenti di pinggir jalan. Seorang ibu yang sedang menggendong anak berjalan mendekat. Spontan saya menggeser tubuh, merapatkan diri ke sudut. Tempat yang tersisa hanya cukup untuk satu orang. Si ibu harus memangku anaknya selama perjalanan.

Pintu angkot yang terlalu rendah membuatnya terpaksa mengeluarkan upaya ekstra untuk bisa masuk dan duduk di samping saya. Seketika pandangan seluruh penumpang tertuju pada sosok sederhana berbalut jarit itu.

Bocah yang digendongnya menderita hydrocephalus.

Tidak ada penumpang yang bersuara tatkala si ibu membetulkan posisi duduk anaknya agar nyaman dipangku dan meluruskan letak kain jarit di sekeliling tubuh si bocah, melindunginya dari hembusan angin.

Si bocah mengeluarkan suara-suara aneh. Baru saya sadar, bibirnya tak mampu mengatup. Kedua mata dan mulutnya tertarik sedemikian rupa hingga terus mendelik dan menganga.

“Haaaa… aaaaaa… haa.”

Sang ibu tertawa pelan mendengar bahasa yang hanya dipahami mereka berdua. Ia mengangguk-angguk, senyumnya lepas tanpa beban. Ia merogoh tas, mengeluarkan dot dan memasukkannya ke mulut si bocah.

“Umurnya berapa, Bu?” seorang penumpang menyela aktivitas kecil itu.

“Lima,” sang ibu menjawab ramah. Tak disangka, bocah di pelukannya ikut tersenyum. Seolah mengerti apa yang sedang diobrolkan dan menganggapnya lucu.

“Haaaa… aaaaa… aaaa.”

Senyum itu terus merekah dari mulut yang tak mampu mengatup dan disumpal dot bayi. Bahkan sepasang mata yang mendelik itu ikut tersenyum. Kepala yang terayun lemah dalam gendongan sang ibu tak sanggup menahannya untuk membagi kegembiraan pada seluruh penumpang angkot yang kini menontoni mereka.

Sang ibu mengayun anaknya perlahan. Menyambut senyumnya dengan mata berbinar, seolah ingin berkata sederhana, “Aku sayang kamu, apa adanya.”

Mata saya membasah.

Mendadak, seluruh jaringan kusut di otak saya kehilangan maknanya.

Mendadak, apa yang saya sebut beban dan masalah seperti mengambang begitu saja, menyisakan ruang hening, dan saya terhanyut di sana.

Mendadak, saya tak peduli lagi pada rollercoaster yang masih terus meluncur naik-turun, dengan saya di dalamnya. Tak ingin berteriak minta berhenti.

Jenis cinta apa yang kau punya, Ibu?


Aku ingin sekali memilikinya.

Cinta itu tak terbeli, dan tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun, si anak telah mendapatkannya. Lunas.

Mendadak, saya hanya ingin punya cinta.

secarik kenangan yang tersisa, agustus 2008

Sahabat Hati

Apa pendapatmu tentang orang-orang yang tak pernah kau jumpai samasekali, namun begitu matamu bertemu dengan paras mereka, jiwamu melonjak dan kau tahu entah di kehidupan mana, kalian pernah bersua dan hati kalian menyatu?

Apa pendapatmu tentang orang-orang yang dengannya engkau menjadi hangat, dan saat mendengar tawa dan suara mereka, engkau menemukan jalan pulang ke rumah?

Apa pendapatmu tentang mereka yang mampu membuatmu merasa nyaman, bukan oleh indahnya kata-kata maupun eloknya tingkah laku, melainkan tindakan sesederhana bertatap dalam hening dan bercakap ringan tanpa isi, namun jiwamu beriak menyambut gelombang yang ditangkap indera dengarmu?

Apa pendapatmu tentang mereka, yang entah dengan cara bagaimana, telah menciptakan percikan di hatimu sejak pertama bertemu, walau engkau berjumpa mereka dalam kondisi terburuk dimana jiwamu nyaris patah dan yang tersisa dari tampak luarmu hanya sebentuk kekacauan?

Apa pendapatmu tentang semua hal yang disebut jalinan jiwa, reaksi kimiawi, dan hati yang melebur harmonis, yang kau dapati ketika pandangan kalian bersua?

Apa pendapatmu tentang mereka yang sanggup merebut hatimu tanpa perlu berupaya, karena jiwa kalian telah mendahului menjemput dan memagut?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kau tatap matanya, kau dengar suaranya, kau cermati lakunya, kau simak gelaknya, dan seketika menumbuhkan cinta di hatimu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang selalu berhasil menabur sejuk di jiwamu, bahkan ketika engkau kerontang dan meranggas?

Apa pendapatmu tentang mereka yang dapat selalu kau percayai, bahkan ketika kau mengungkap rahasia-rahasia tergelap yang tak pernah berani kau bagi kepada dunia?

Apa pendapatmu tentang mereka yang tak ragu mengembangkan tangan untuk menyambutmu dalam pelukan tanpa banyak bertanya, karena mereka tak memerlukan penjelasan untuk bisa memahamimu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kau tahu akan selalu menyimpan cinta bagimu, dan tak pernah alpa menyediakan sebuah ruangan di hati khusus untukmu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang tak membutuhkan kalimat-kalimat curhat untuk bisa memahami dan menerimamu tanpa syarat serta senantiasa siap mendukungmu, apapun jalan yang kau pilih?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kehadirannya sanggup memunculkan permata dalam dirimu? Mereka cukup ada, tanpa banyak usaha, dan kau terpukau mendapati jiwamu mampu memancarkan cahaya lebih dari yang kau tahu.

Apa pendapatmu tentang mereka yang selalu membuatmu tersenyum damai tatkala mengingat wajah atau sekadar mendengar nama mereka disebut?

Mungkin… sahabat hati.

🙂

*Dipersembahkan untuk sahabat-sahabat tersayang, pelita yang selalu menerangi lubuk terdalam jiwa. Terima kasih telah menjadi mutiara pembingkai hati. Kalian tahu, kalian akan abadi. Dalam jiwa saya.

Wajah Malaikat

Jam setengah sebelas malam, saya membuka pintu kos-kosan dengan hati-hati, takut membangunkan teman-teman yang pasti sudah terbang ke negeri antah berantah dengan pesawat kapuk masing-masing, karena lampu di ruang tamu sudah gelap.

Begitu membuka kamar, saya langsung disambut aroma pengap. Kamar saya memang lembab karena letaknya berselang dua kamar dari pintu kos-kosan, satu-satunya akses keluar-masuk udara segar. Tapi itu belum seberapa dibanding perut yang kerucukan minta diisi. Saya tidak sempat membeli nasi goreng di tukang mie tek-tek yang mangkal di pinggir jalan seperti biasa, karena selama perjalanan pulang tadi saya tertidur dengan suksesnya di mobil sahabat saya.

*Hei, kamu. Terima kasih banyak untuk tebengan gratisnya tiap Rabu malam… jangan bosen-bosen, ya. Hihihi.*

Setelah menyalakan kipas dan membuka pintu lebar-lebar demi lancarnya sirkulasi udara, saya menggeratak kulkas.

Ah, itu dia! YAY!

Masih tersisa setengah loyang kue pisang milik seorang teman yang bermarkas di lantai dua. Saya senyum-senyum girang dan mencomot dua potong. Dia pasti tak keberatan kue pisangnya ‘dipinjam’, meski saya tak yakin harus mengembalikannya pakai apa. 😉

Sambil makan, pikiran saya lagi-lagi mengembara. Akhir-akhir ini ia memang tak sudi diam untuk waktu lama, kecuali ketika saya sedang berada di Kelas Hening (oh, itu sih bukan diam tepatnya, tapi istirahat).

Dan adegan-adegan itu kembali berhamburan menyerbu otak saya bagaikan film yang bergerak lambat. Adegan ketika untuk kedua kalinya saya berhadap-hadapan berdua dengan seorang partner yang tak terlalu saya kenal.

Kali ini, masing-masing dari kami akan menjalankan dua ‘peran’ secara bergiliran dalam durasi tiga puluh menit. Kami akan bergantian menjadi pendengar dan komunikator. Jatah setiap putaran adalah lima menit, yang artinya kami akan menjadi pendengar sebanyak tiga kali, begitu pula komunikator.

Ketika menjadi komunikator, tugas kami adalah menyibak keheningan untuk memberikan jawaban atas instruksi yang disampaikan oleh pasangan kami – menggunakan ‘pertanyaan’ tersebut sebagai pancingan untuk menyibak kesejatian diri. Ketika menjadi pendengar, tugas kami adalah mengomunikasikan apa yang ingin diketahui tentang diri pasangan kami dalam sebuah instruksi yang terdiri dari kalimat pendek, menyediakan telinga untuk mendengar, dan ‘hadir’ di sana untuknya. Sekadar hadir sepenuhnya, mendengarkan seutuhnya. Tanpa menjatuhkan penilaian, tanpa mencetuskan solusi, tanpa bersentuhan, bahkan tanpa bicara sama sekali (dimana untuk yang satu ini saya berulangkali mengingatkan diri sendiri untuk sejenak melupakan kodrat sebagai spesies ciptaan Tuhan yang paling cerewet).

Dan putaran pun dimulai.

Lagi-lagi keindahan itu merebak, dimulai sejak menit pertama saya dan pasangan saya bertatap-tatapan dan bertukar senyum. Sepercik jengah hadir di antara kami. Saya hanya bisa tertawa nervous selama lima detik pertama, namun rasa itu hilang dalam sekejap ketika pandangan kami kembali beradu.

*WARNING: Entri ini akan banyak mengandung kata ‘indah’, ‘sempurna’, ‘hati’, ‘jiwa’. Maaf atas repetisi ini, karena saya tidak berhasil menemukan kata yang lebih pas. Tolong bersabar. ;-)*

Beritahu saya siapa diri Anda,” pasangan saya berkata, pelan dan sungguh-sungguh. Kalimat yang sama akan dijadikan ‘pancingan’ selama setengah jam ke depan, dan ini adalah giliran saya untuk menjawab.

Seharusnya saya memusatkan perhatian untuk menjawab kalimat itu, tapi saya hanya termangu sambil berusaha mencerna apa yang sedang saya rasakan. Sungguh janggal, karena ini terjadi dalam menit pertama, yang sejujurnya, sangat berada di luar perkiraan.

Saya memejamkan mata, menenggelamkan diri dalam hening, namun hati saya terus beriak. Indah sekali bisa duduk berhadapan, tanpa perlu benar-benar mengenal sosok di depan saya, bisa mendengar “Beritahu saya siapa diri Anda” yang bukan basa-basi, bisa belajar membuka diri seutuhnya tanpa pretensi …dan diterima apa adanya.

Namun, momen yang paling indah adalah ketika kami berganti peran; saya sebagai pendengar, dan pasangan saya komunikatornya. Saya menyampaikan instruksi yang sama, kemudian sepenuh hati menunggu jawaban – hanya menanti tanpa tahu apa yang saya harapkan.

Pasangan saya membuka mata dan mulai berucap. Suaranya sangat pelan sampai saya harus mencondongkan tubuh demi menangkap kata-katanya. Lagi-lagi saya bergetar oleh keindahan yang merasuk tanpa ampun saat tatapan kami beradu. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya adalah kesempurnaan yang tak terselami akal. Tak peduli apapun isinya. Seolah yang mampu dipancarkan oleh pasangan saya hanya kesempurnaan semata, dan tak kurang dari itu.

Saya hanya bisa terpaku. Ternyata semua orang sama sempurnanya. Dan kita berjuang mati-matian mencari apa itu sempurna, karena kita menyangka dengan kehidupan yang sempurna kita bisa bahagia.

Sekian menit mendengarkannya bertutur, pikiran saya kembali lolos.

Seumur hidup, sejak mengenal lingkungan sosial dan pergaulan, entah sudah berapa kali saya duduk bersama seseorang dan bercakap-cakap, mulai dari bersenda gurau tak tentu arah, mengobrol ringan, sampai curhat panjang-lebar. Saya selalu meresponi setiap orang dengan cara yang sama: sepanjang ia bercerita, pikiran ini tak henti-hentinya bekerja mengevaluasi, merumuskan penilaian, merangkai pemecahan masalah, dan setelah orang yang bersangkutan selesai bicara, dalam sekian detik saya langsung bisa menawarkan solusi terbaik yang (saya anggap) bisa menolongnya keluar dari masalah tersebut. Apabila ia bercerita tentang dirinya sendiri, pikiran saya langsung bekerja membuat profiling dan menyimpan semua data yang dibutuhkan dalam bank memori.

Tak pernah saya sekadar duduk di sana, hadir, menyediakan telinga dan hati apa adanya, untuk menerima segala sesuatu yang dikatakan orang lain, sepenuhnya, seutuh-utuhnya, tanpa berusaha membuat penilaian apapun, merumuskan apapun, merangkai apapun. Baru saya sadar, tak pernah sebelumnya saya betul-betul ‘ada’ untuk lawan bicara saya.

Ya, hanya hadir. Menatap sepenuh hati. Berfokus. Menunggu. Memperhatikan. Mendengarkan. Tanpa pengharapan. Tanpa menilai. Tanpa reaksi. Tanpa evaluasi. Menerima seutuhnya.

Sebuah perasaan yang sulit dilukiskan kembali singgah ketika mendadak saya sadar, apapun yang dikatakan oleh partner saya, entah dia mengaku baru saja membunuh orang atau melakukan kejahatan terbesar di dunia, saya tak akan peduli.

Sungguh, saya tak akan peduli. Saya terlalu terpukau oleh keindahan yang hadir ketika jiwa kami saling menyibak lapisan demi lapisan keberadaan masing-masing. Saya diliputi haru ketika saya sadar diri ini mampu menerima orang lain apa adanya.

Saya tahu rasanya tidak diterima apa adanya, ketika lingkungan dan pergaulan menuntut saya untuk ‘menjadi bukan Jenny’ demi memenuhi konsep ideal dan ekspektasi orang lain. Saya tahu rasanya berusaha mati-matian hanya demi bisa diterima. Dan tanpa sadar saya menerapkan pola yang sama kepada orang lain.

Tak jarang saya memiliki pengharapan yang begitu tinggi dan muluk atas seseorang, dan menjadi kecewa ketika pengharapan itu tak menjadi kenyataan. Tak jarang saya menyimpan citra tentang orang lain dan berharap citra itu akan abadi selamanya, lalu kecewa bukan buatan ketika mendapati bahwa orang yang saya temui telah berubah. Tak jarang saya menyimpan konflik batin atas sebuah situasi yang terjadi bertahun-tahun silam. Menjadikannya masalah hanya karena saya tak menyukai situasinya. Menjadikan diri saya sendiri tempat sampah atas segala kemarahan dan kepahitan yang tidak berujung.

Saya menatap pasangan saya lekat-lekat. Mendadak mata saya basah.

Kamu cantik sekali hari ini. Betapa ingin saya melafalkan itu.

Saya tidak sedang bergurau, dan ini bukan pertanda penyimpangan preferensi seksual. Saya hanya melihat keindahan itu sebagaimana adanya, seperti yang tertangkap oleh indera saya: kesempurnaan dalam diri.

Saya sangat tergoda untuk bertanya apakah pasangan saya telah menjalani laser surgery, facelift atau apapun yang membuatnya tampak jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Saya ingin menemukan rahasia yang membuat wajahnya berbinar-binar. Barangkali saya bisa mencobanya belasan tahun dari sekarang, jika saya telah resmi dinobatkan sebagai tante-tante berumur kepala empat. Saya sungguh ingin tahu produk anti-aging apa yang mampu memusnahkan kerut dan penuaan hanya dalam tujuh hari, karena ketika kami berjumpa minggu lalu, ia tak sebercahaya ini.

Dan mata saya terus membasah, meski tak ada setitik air pun yang mengalir. Selama sekian menit, di ruangan yang berisik oleh suara-suara lain, deru kendaraan dan pengeras suara dari mall di seberang, mendadak Bumi berhenti berputar. Waktu berhenti. Atau apapun itu. Yang ada hanya saya dan dia.

Dan bibir saya terus mengembang. Tak bisa berhenti tersenyum.

Ya Tuhan, indahnya. Indahnya sekadar hadir dan ada. Indahnya berada di sana, bahkan untuk seseorang yang tak saya kenal. Indahnya meminjamkan telinga untuk mendengarkan tanpa perlu terdistraksi oleh suara-suara pikiran sendiri. Indahnya menyadari bahwa selama sekian menit, saya tak lagi hidup untuk diri saya sendiri. Tak ada lagi ‘Jenny’ ketika saya membuka hati untuk menyimak sosok di depan saya tanpa pretensi, tanpa evaluasi.

Mendadak, saya merasakan cinta yang luar biasa. Terhadap momen ini. Terhadap diri saya sendiri. Terhadap partner saya. Saya ingin melompat dan memeluknya. Tanpa sebuah alasan spesifik. Tanpa perlu banyak cakap. Saya hanya ingin merengkuhnya seerat yang saya bisa. Mengungkapkan ‘aku sayang kamu’ tanpa banyak kata.

Terima kasih, Tuhan.

Hanya itu yang dapat dibisikkan batin saya, ketika lagi-lagi pikiran saya terlepas selama beberapa detik. Baru saya menyadari, betapa hausnya saya akan pengalaman-pengalaman otentik seperti yang direguk jiwa saya dua minggu terakhir.

Terima kasih karena saya mampu menangis menghadapi seseorang yang tak saya kenal. Bukan karena iba mendengar curhatnya. Bukan karena jengkel, sebal atau marah; melainkan karena menyelami keindahan yang tak terperi. Bahwa jiwa ini mampu menyambut seseorang apa adanya, seutuhnya, setulusnya. Bahwa saya sanggup mengungkap keberadaan saya tanpa takut dinilai, dikritik, dihakimi. Dalam kesunyian, kami tahu bahwa kami telah diterima. Oleh pasangan kami. Oleh diri kami sendiri.

Bel tanda pergantian peran berbunyi.

Kami saling membungkuk dengan tangan terkatup di dada. Sepenuh hati saya melafalkan dua kata itu: Te-ri-ma ka-sih.

Pasangan saya mengulangi instruksi yang sama, “Beritahu saya siapa diri Anda.”

Saya memejamkan mata, menyibak hening untuk mendengarkan suara yang muncul dari dalam sana. Ah, ya, saya tahu apa yang akan saya ungkapkan. Sebuah sisi yang jarang terverbalkan dan kini muncul dengan leluasa.

Perlahan saya membuka mata …dan terhenyak.

Mendadak, susunan penjelasan tentang ‘siapa saya’ menjadi blur. Mendadak, deretan kata yang terangkai di benak ini tak mampu lagi membentuk sebuah kalimat utuh. Mendadak, saya merasa tak ingin berkata-kata. Mendadak, yang ingin saya lakukan hanya duduk diam, menghabiskan lima menit ke depan menatapi sosok di depan saya, tatkala indera penglihatan ini menemukan surganya dan jiwa saya kembali terpukau menyambut keindahan yang tak terukur logika.

Wajah di depan saya adalah wajah seorang malaikat.

Momen Ajaib di Kelas Hening

Pukul 20:15. Sebuah cafè di bilangan Jakarta Selatan. Jarum detik yang terus bergulir.

Lampu dipadamkan. Setiap peserta berdiri berhadapan, dengan pasangan masing-masing yang tak saling mengenal satu sama lain. Termasuk saya, yang baru mengetahui nama pasangan saya semenit yang lalu. Asing dan canggung terhadap satu sama lain.

Ketika kami diminta saling menatap, yang saya lakukan hanya tersenyum rikuh. Aneh rasanya berhadap-hadapan dengan seseorang yang tidak dikenal, dan saya samasekali tidak tahu apa yang saya harapkan dari momen-momen semacam ini, apalagi membayangkan apa yang akan terjadi. Amatiran kelas berat.

Separuh benak saya mengembara ke tanggung jawab (baca: konsekuensi) yang menanti saya setelah ‘kegilaan’ malam ini usai. Kegilaan yang menggerakkan kaki saya untuk pergi menjemput sesuatu yang bahkan tak saya ketahui dengan pasti. Satu hal yang saya harapkan, seperti yang sudah-sudah, mudah-mudahan kegilaan ini akan membawa manfaat – setidaknya untuk saya pribadi.

Lalu, datanglah momen itu. Sambil terus berhadapan, saya dan pasangan saya melakukan gerakan yang diinstruksikan oleh pengajar. Menarik nafas, menghembuskannya dengan bersuara, membagi gelombang energi kepada satu sama lain. Tanpa ekspektasi apa pun, tanpa berkata-kata sedikit pun, hanya sekadar merasakan, mengamati, membagi dan menerima.

Hanya dalam hitungan detik, saya merasakan kenyamanan dan kelegaan yang sulit dideskripsikan. Tiba-tiba, saya merasa begitu menyatu dengan jagat raya dan seluruh isinya. Seakan-akan alam semesta dan jiwa saya sedang beresonansi dengan sebuah cara yang sangat indah sekaligus tak tertampung akal (tulisan ini hanya sebentuk upaya saya untuk menjabarkan apa yang saya rasakan, yang tentunya masih jauh dari mencukupi).

Saya membuka mata, dan terperanjat melihat sosok di depan saya. Matanya terpejam, namun wajahnya seakan bersinar dengan sebentuk damai yang susah diterangkan dengan bahasa verbal.

Saya terpukau. Barangkali, dari sekian pengalaman yang saya temukan selama beberapa kali mengikuti ‘kelas hening’ ini, inilah pengalaman yang paling meninggalkan bekas, karena saya tak hanya mengalaminya seorang diri – saya membaginya dengan orang lain. Memberi dan menerima dalam setiap helaan dan hembusan nafas.

Selama proses menghayati, mengamati, memberi dan menerima itu berlangsung, tak henti-hentinya saya terpukau. Kata-kata tak lagi cukup untuk menggambarkan apa yang saya rasakan ketika jiwa saya mereguk ‘pencerahan’ itu dengan rakus. Seperti musafir yang tersesat di Sahara, hampir mati kehausan, lalu menemukan mata air yang bukan fatamorgana.

Instruktur memberi isyarat untuk berhenti. Lampu dinyalakan. Saya dan pasangan saya kembali bertatap-tatapan, lalu pecahlah gelak tawa kami. Menit-menit berikutnya kami habiskan dengan bertukar cerita, apa saja yang kami alami dalam momen hening tadi, ketika kami saling membagi dan menerima, mengungkap apa yang kami rasakan tentang satu sama lain.

Sepasang manik di wajah pasangan saya berbinar-binar, dan kedamaian itu terus menghangatkan hati saya dengan cara yang tak saya pahami. Baru kali inilah saya membuka hati sejujurnya, setulusnya, dengan seseorang yang baru saya kenal… dan menemukan cinta di sana. Bahkan menuliskan pengalaman ini menjadi sesuatu yang menantang, karena tak pernah sebelumnya saya mencoba menjabarkan peristiwa seotentik ini melalui kalimat-kalimat baku.

Kendati amat sulit diceritakan dengan bahasa tekstual, rasanya tak berlebihan jika saya berkata momen sederhana itu telah menjelma menjadi sebuah pengalaman yang amat menakjubkan untuk saya. Ketika saya menatap seseorang yang tidak saya kenal dan menemukan kesempurnaan di sana. Ketika tangan-tangan kami saling terulur tanpa bersentuhan –memberi dan menerima apa adanya, tanpa secuil pun ekspektasi—dan saya menemukan separuh jiwa saya dalam diri si empunya tangan. Ketika saya membuka mata dan menemukan kedamaian yang tak mungkin dijabarkan dengan kosakata tingkat tinggi. Ketika saya memandang sosok di depan saya yang namanya baru saya ketahui beberapa menit lalu, dan secara ajaib mendapati refleksi diri saya di sana.

It was such a profound and magical moment.

Barangkali kalimat itulah yang paling pas untuk menggambarkan pengalaman sekian menit saya. Dan kalimat yang sama terus bergaung ketika saya membungkukkan tubuh dengan tangan terdekap di depan dada, menghaturkan terima kasih kepada sosok di depan saya. Jiwa saya menaikkan syukur atas sebentuk nikmat tak terduga yang saya temukan dalam keheningan.

Ketika masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan kami ke lantai dasar, saya masih termangu dan tercengang-cengang seperti anak kecil yang baru dibangunkan dari tidur panjang.

Dalam perjalanan pulang bersama dua sahabat saya, di tengah percakapan dan tawa yang saling terlontar, separuh pikiran saya terus mengembara, tak mau diam. Mempertanyakan sesuatu yang sebelumnya tak pernah terlintas di benak ini: mungkinkah konflik, prasangka, amarah, kebencian dan segala friksi yang kita alami sebagai individu yang saling terkait satu sama lain dalam hubungan personal (entah pasangan, sahabat, anak, orangtua, dan sebagainya) dapat diminimalkan, seandainya kita bersedia meluangkan waktu dan melapangkan hati untuk duduk berhadapan, berdua, saling menatap, tanpa ekspektasi dan pencitraan apapun, demi melihat sosok yang berada di hadapan kita apa adanya? Menemukan kesempurnaan dan pantulan diri kita di sana tanpa perlu menjatuhkan penilaian apa pun? Menyingkirkan lapis demi lapis citra demi menyibak kesejatian di hadapan kita?

Mendadak, saya teringat pada kawan-kawan, para sahabat, keluarga dan orang-orang yang saya cintai. Mereka yang dengannya saya membagi hidup. Mereka yang pernah (dan sedang) bersilangan jalan dengan saya. Mereka yang telah mengisi relung-relung hati saya. Mereka yang senantiasa menjadi penerang jiwa kala hidup ini memasuki fase kelamnya. Mereka yang telah menjadi guru sekaligus teman dalam sekolah raksasa bernama Kehidupan ini.

Bila biasanya saya mengenang hal-hal baik dan lebih suka memelihara memori indah, kali ini saya membiarkan ingatan saya tergali lebih dalam; kepada friksi yang pernah timbul (dan tidak terselesaikan, karena seringkali kami memilih untuk mengesampingkan friksi lantaran merasa tak nyaman mengungkapnya terang-terangan), konflik terpendam yang belum tuntas, kesalahpahaman yang disebabkan oleh harapan yang tak terpenuhi, kekecewaan karena pencitraan yang tak sesuai dengan realitas, penghakiman yang kadang terasa begitu absurd, ego yang saling beradu, dan banyak lagi.

Malam ini, sepenuh hati saya berdoa. Semoga kesempatan itu bisa datang lagi – bagi saya dan mereka yang pernah (dan sedang) bersilangan jalan dengan saya di setapak panjang ini.

Semoga akan tiba momen dimana saya dapat duduk bersama orang-orang yang saya cintai, berhadap-hadapan berdua, menatap ke dalam mata mereka, dan menemukan separuh jiwa saya di sana. Mendapati kesempurnaan tanpa perlu berusaha jadi sempurna. Merayakan kehidupan seutuhnya dengan orang-orang yang telah mengisi hidup saya. Mereguk keindahan ketika hati kami bersua tanpa perlu bersentuhan. Menghayati kedamaian yang menyeruak ketika hati ini mampu menerima setiap orang apa adanya, dengan sepenuh cinta, tanpa pretensi, tanpa ekspektasi, tanpa sebentuk citra.

Ya, apa adanya.

*Ngemeng-ngemeng, kalimat pembuka entri ini kok mirip novel-novel keluaran ‘penerbit pabrik’ itu ya? Hihihi.