Tentang Mengurusi Orang Lain

“Kamu harus ngomong sama mereka, Jen. Supaya mereka berubah. Udah lama saya coba bicara, tapi mereka masih tetap sama. Sekarang giliran kamu.”

Itu yang diucapkan seorang kawan kepada saya belum lama ini, ketika kami terlibat percakapan santai sambil melahap pastel, ditemani sebotol air mineral.

‘Mereka’ yang dimaksud oleh kawan saya adalah dua oknum *halah* berinisial M dan T, teman kami berdua.

Saya bengong, sesaat tidak tahu harus berkata apa. Sejujurnya, reaksi pertama saya adalah geli, karena topik itu tidak cocok untuk dibahas dalam obrolan ringan, apalagi diucapkan dengan nada sangat serius. Saya menutupi tawa sebisanya demi tidak menyinggung si lawan bicara.

Mengubah orang? Saya?

Yaelaaah bok, salah orang kaleee.

M dan T yang disebutkan lawan bicara saya adalah salah dua dari teman-teman terbaik saya, yang selalu membuat saya merasa nyaman dan bisa menjadi diri sendiri setiap kali berkumpul dengan mereka – entah sekadar ngobrol kesana-kemari, berbincang serius, atau bercanda gila-gilaan sambil ketawa ngakak yang membuat kami merasa jadi kuntilanak dadakan.

Dengan kata lain… saya setali tiga uang dengan mereka. ;-D

“Mereka perlu berubah, Jen. Hidupnya masih kayak gitu itu…” sambung lawan bicara saya, sementara saya pura-pura mendengarkan sambil terus mengunyah pastel.

Mau ngubah apaan, Neng? Situ siape? Ingin sekali saya mencetuskan itu, yang lagi-lagi saya tahan demi terjaganya perdamaian dunia.

Saya hanya tersenyum. Dan terus menjaga senyuman itu selama beberapa saat, sampai lawan bicara saya beranjak pergi.

Pesan nyentrik itu saya terima lebih dari dua kali, oleh orang yang sama. Dan setiap saat pula saya tergoda untuk nyeletuk, “Bo, elo salah orang banget kalo nyuruh gue khotbah supaya mereka bisa berubah. Lha gue sama aja kayak mereka.”

;-D

Tapi, kejadian itu lantas membuat saya berpikir.

Memangnya penting, ya, mengubah orang lain untuk menjadi seperti yang kita mau kita anggap baik? Penting, mengubah orang untuk hidup berdasarkan konsep ideal kita?

Bukannya kebenaran itu relatif ya, dan apa yang cocok buat seseorang, belum tentu cocok untuk yang lain? Dan apa kabarnya kepribadian serta karakter manusia yang beragam dan ‘sudah dari sononya’ (lepas dari usaha orang yang bersangkutan untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu)?

Lalu, saya mencoba mengingat-ingat, apa saja yang pernah dilakukan M dan T selama kami berteman -kelakuan, tindak-tanduk, sikap, dan sebagainya- yang sampai membuat kawan saya begitu ‘bernafsu’ mengubah mereka?

Menurut pengamatan saya, tidak ada yang salah dengan mereka berdua. Mereka adalah perempuan-perempuan masa kini yang tengah sibuk meniti karir dan menjalani kehidupan lengkap dengan berbagai rutinitas dan segala warnanya, sama seperti saya dan kebanyakan dari kita. Perempuan baik-baik dan normal seratus persen, samasekali tidak ada yang salah.

Lalu, kenapa kawan saya sangat ‘ngotot’ ingin mengubah mereka?

Ternyata penyebabnya sederhana saja: menurut kawan saya yang bijaksana-arif-baik-budi-lagi-rajin-menabung, M dan T kurang santun dalam berbicara, sering melontarkan kalimat-kalimat bernada nyelekit, bercanda melampaui batas, dan memiliki ‘ketidakberesan’ dalam beberapa aspek hidup.

Mendadak, saya merasa geli. Dan lebih geli lagi ketika kami berempat (saya, kawan saya, M, dan T) benar-benar ngumpul bareng, ngobrol kesana-kemari sambil bersenda gurau.

Kenapa geli? Karena di sepanjang percakapan (yang seharusnya santai dan menyenangkan) itu, kawan saya tidak henti-hentinya berusaha mengoreksi kalimat-kalimat yang dilontarkan dengan ringan oleh M dan T, juga saya sendiri. Candaan yang sebetulnya sangat lumrah dan biasa; seperti mengomentari kebiasaan satu sama lain, tertawa-tawa sambil bertukar cerita tentang kejadian-kejadian konyol di kantor, tayangan infotainmen, sampai berita kriminal yang nggak jelas juntrungannya, dan banyak lagi.

“T mulutnya yaaa, bercandanya gitu.” (Ketika T menceritakan kelakuan kocak teman sekantornya)

“Haduh haduh, M, ngomong apa ituuu?” (Ketika M curhat tentang aktivitas di tempat kerjanya, entah apa saya lupa)

“Jenny ya, menyesatkan orang.” (Ini ketika saya sedang bercanda sambil cekikikan, topiknya lupa, tapi berani sumpah nggak ada kaitannya dengan usaha menyesatkan keyakinan atau menanamkan racun di pikiran orang).

Sepeninggalnya, saya, M dan T saling bertukar pandang, lalu geleng-geleng kepala dan tertawa kecut. Sebal, jengkel sekaligus geli.

Tidak sulit ditebak, percakapan langsung berbelok ke betapa antik, nyentrik dan ‘aneh’nya kelakuan kawan kami yang satu itu.

Atas nama kejujuran, saya mengaku bahwa saya samasekali tidak membela kawan saya. Saya bahkan ikut tersenyum ketika muncul berbagai celaan atas sikapnya yang dipandang berlebihan dan ‘tidak pada tempatnya’. Bukan karena saya tersinggung oleh teguran di atas, namun karena saya merasa kekesalan kami cukup beralasan: sikap merasa diri paling benar dan menganggap orang lain salah (serta harus berubah) itu memang menyebalkan.

Koreksi. SANGAT menyebalkan.

Deuuuh, hari giniiii… *gaabispikir*

Anyway, peristiwa kecil itu jadi mengingatkan saya pada sebuah kasus yang saya temui di blog pribadi seorang artis yang baru-baru ini mengklarifikasi berita perceraiannya. Bukan, bukan masalah perceraiannya yang menarik perhatian saya, melainkan komentar dari para pembaca blog tersebut yang jumlahnya ratusan.

Ada yang mendukung, ada yang netral-netral saja, ada yang tidak setuju, menyebutnya arogan dan egois, mempertanyakan hubungannya dengan Tuhan, membantah alasan yang dikemukakan si selebriti dengan dalil A-B-C, menentang perspektifnya, dan cukup banyak yang ‘berkhotbah’ kesana-kemari tentang Cinta, Tuhan, Hubungan dan Perpisahan dengan tulisan yang puanjang dan bisa jadi satu entri sendiri.

Lucunya, artis yang bersangkutan tampaknya tidak terlalu ambil pusing dengan pendapat orang maupun pemberitaan media yang menggembar-gemborkan perceraiannya secara hiperbola (menurut saya sih berlebihan, nggak tahu ya untuk orang lain). Yang menjadikan kasus ini menarik untuk disimak (lagi-lagi untuk saya pribadi) justru para pengunjung blog yang sibuk berkomentar ini-itu, berpanjang-panjang memprotes keputusan dari seseorang yang belum tentu mereka kenal, di blog pribadi yang samasekali bukan milik mereka.

Membaca komentar-komentar tersebut menjadi sebuah ‘hiburan’ tersendiri untuk saya. Dagelan yang membuahkan senyum kecut, karena ternyata hare gene masih banyak orang yang ‘nekat’ memaksakan persepsi, pendapat dan keyakinan kepada orang lain, bahkan yang tidak dikenal secara pribadi.

Meski komentar-komentar yang masuk dimoderasi, si empunya blog tampaknya cukup berbesar hati mempublikasikan semua pendapat dan ‘khotbah’ yang terang-terangan menyudutkan dirinya, dan sejujurnya, saya malah salut akan hal itu.

Kalau saya jadi dia, mungkin saya akan menutup comment box selamanya. Toh blog itu adalah milik saya pribadi, wadah personal yang bebas diisi apa saja sesuka saya, dengan apa yang saya anggap penting dan layak muat (syukur kalau orang lain kecipratan manfaat, kalau tidak ya sudah). Toh, saya yang bercerai. Saya yang paling tahu kondisi rumah tangga saya, saya yang paling mengerti masalah di dalamnya, saya yang berjuang mati-matian mempertahankan pernikahan dan akhirnya harus menyerah – tentunya karena alasan yang sangat signifikan… dan para komentator bijaksana ini samasekali tidak mengenal saya secara pribadi untuk bisa mengetahui dengan objektif duduk perkara sebenarnya. Who are you to judge?

Itu kalau saya jadi dia. *wink*

Lalu, ada lagi kasus yang lumayan bikin ‘bengong’, yakni ketika sahabat saya memutuskan untuk keluar dari sebuah komunitas beberapa tahun silam karena ia diterima bekerja di luar pulau. Ketika ia mengambil keputusan itu (yang notabene murni karena pekerjaan, bukan karena konflik atau apapun yang negatif), semua orang beramai-ramai menghakimi dan menjauhinya. Bahkan ada yang tega berkata, “Bakal jadi apa kamu kalau keluar dari sini?”

Hal ini sempat membuat sahabat saya stres, tapi (untungnya) ia sadar bahwa hidup harus terus berlanjut dan ia tetap konsisten di jalur yang dipilihnya. Sekitar 3 tahun kemudian, ketika ia berhasil ‘membuktikan diri’ dengan meraih jabatan manajer di kantornya, barulah orang-orang di komunitas lamanya ‘mengakui’ pencapaian sahabat saya dengan kalimat, “Yah… mungkin memang jatahnya dia di situ, mungkin memang tempatnya.”

HALAH.

Bo, kenapa nggak dari dulu ngomong gituuuu? Kenapa tidak sejak awal kalimat itu diucapkan, sehingga tidak perlu membuat sahabat saya ‘berdarahdarah’ dan stres berat? Begitu sulitkah mempercayai seseorang untuk mengambil sebuah keputusan pribadi (yang by the way, tidak merugikan orang lain samasekali) dan sekadar mendukungnya tanpa menjatuhkan penghakiman?

Atau contoh kasus lain, dimana seorang teman (sebut saja namanya E) dikucilkan oleh lingkungannya karena memilih untuk menikah dengan seseorang yang tidak disukai oleh orang-orang di lingkungan tersebut. Selama mereka berpacaran, berkali-kali saya melihat E stres karena berbagai perlakuan yang memojokkannya, sampai berat badannya menyusut dan wajah gantengnya *ehem* jadi tampak lebih tua. Pada hari pernikahan E, tidak ada satu pun sahabat dari komunitasnya yang hadir.

Drama.

Hidup ini memang panggung drama. Penulis favorit sekaligus guru saya pernah berkata, “Dalam perjalanan ini, kita punya peran-peran untuk dimainkan. Di sinilah pentingnya kesadaran, keelingan. Lakon apa pun yang kita pilih, lakukan dengan sepenuh-penuhnya hati. Jalankan dengan kesadaran sebisa-bisanya.”

Di pentas raksasa ini, setiap orang berusaha memainkan lakon masing-masing dengan sebaik mungkin. Dan itu bukan hal yang gampang. Lalu, jika memainkan peran sendiri pun tidak mudah, mengapa harus berpusing-pusing mengurusi peran orang lain? Mengapa harus ribet dengan dialog, pembawaan dan lakon orang lain, sementara mengurus lakon sendiri saja belum tentu becus?

Atau, barangkali, kita melakukannya demi secercah kepastian yang seakan-akan mengonfirmasi ‘keabsahan’ dari apa yang kita pegang dan yakini selama ini? Jangan-jangan kita sibuk menilai, berkomentar, mengkritik, dan berkhotbah mengatasnamakan kebaikan orang yang bersangkutan, namun sesungguhnya apa yang kita perbuat tak lebih dari upaya meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang kita genggam masih layak dipertahankan dan dijaga erat – bahwa kita masih benar? Dan untuk apa semua itu? Supaya kita bisa merasa lebih nyaman untuk menghadapi realitas? Agar kita mampu lebih tabah menjalani lakon kita sendiri?

Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan kebenaran sejati? Dan siapakah yang sedang berbicara di balik setiap komentar dan penilaian yang kita jatuhkan pada lakon yang diperankan orang lain di pentas ini? Kejujuran murni dari hati yang senantiasa terbuka lebar, atau ego yang berlomba memenangkan diri?

Saya bukan pengkhotbah dan tak ingin menjadi guru bagi siapapun, namun sebagai seorang teman, izinkan saya mengajak kita semua meluangkan waktu untuk sesaat merenung. Sejenak, dalam keheningan, mari menengok ke dalam diri sendiri untuk bercermin pada sosok paling jujur yang kita temui di sana, dan cobalah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas serealistis mungkin.

Bila kita tak dapat menjawabnya dengan sempurna, mungkin ini saatnya memalingkan perhatian dari hal-hal yang bukan urusan kita dan mulai mengurusi diri masing-masing. Memainkan lakon kita sebaik-baiknya, dengan kesadaran dan sepenuh hati, sambil terus membuka mata batin. Mencari kebenaran sejati yang otentik dan tidak menjejalkan kebenaran personal yang kita miliki ke dalam wadah yang samasekali bukan milik kita.

Ya, ini juga berlaku untuk saya. 🙂

*Terinspirasi dari entri ini dan percakapan jelang tengah malam dengan ibu yang sama, difasilitasi oleh promo-telepon-gratis dari sebuah provider seluler yang mati tiap 3 menit sekali. ;-D

Kalau Saya Mati Besok

Kamis siang, ketika sedang terkantuk-kantuk di meja sambil berulangkali melirik jam (berharap cepat-cepat lunch break *deuuuh*), handphone rekan sekantor saya berbunyi. Saya tidak memperhatikan isi pembicaraannya, sampai ia menutup telepon dan ‘mengumumkan’ pada seisi ruangan, bahwa sepupu dari teman kami resmi dinyatakan sebagai salah satu korban pembunuhan Ryan, yang sedang heboh diberitakan dimana-mana.

Berita itu sempat membuat heboh sejenak, sebelum semua orang kembali melanjutkan aktivitas masing-masing. Mendadak kepala saya nyut-nyutan. Sebagian karena udara dingin AC, sebagian lagi karena menyadari betapa ‘dekat’nya saya dengan peristiwa pembunuhan yang sedang ramai dibahas orang se-Indonesia Raya.

Gimana ya, kalau saya mati besok?

Tiba-tiba pertanyaan itu menginterupsi dengan tidak sopan. Halah.

Ah, pikiran nggak guna, tepis saya, lalu kembali melanjutkan aktivitas yang tertunda sambil terus melirik jam berharap cepat-cepat lunch break. Dodolnya, pertanyaan itu jadi terus berlintasan di otak saya.

Respons pertama saya adalah sebaris doa yang mungkin agak konyol: Tuhan, kalau saya mati besok, dengan cara apa pun, dimana pun, terserah. Tapi tolong jangan dikubur di septic tank!

*Serius, saya beneran berdoa seperti itu.*

Pemikiran kedua: seandainya saya mati besok, seandainya ini hari terakhir saya menghirup udara dunia… apa yang sudah saya lakukan dengan hidup ini?

Mendadak saya teringat dengan sebuah ‘ikrar’ yang pernah saya buat di awal tahun, tepatnya akhir Januari lalu, ketika saya menginjak 24 tahun.

Mengingat 2008 adalah tahun terakhir dimana saya masih bisa mengaku berumur 20-an awal *Hai, Dol ;-D*, saya ingin menjadikan tahun ini bermakna dan mengisinya dengan sejumlah pencapaian. Misalnya, menerbitkan novel (dimana sebelum itu terjadi, tentunya saya harus berhasil MENYELESAIKANNYA dulu. Hehehe). Atau menjadi pekerja sosial di daerah rawan konflik atau pasca-bencana. Atau traveling keliling Indonesia (khususnya Ubud, Papua dan Indonesia bagian Timur – ada yang bersedia membiayai perjalanan saya? Ha! ;-D).

Pokoknya, segala sesuatu yang bisa membuat saya berkata pada diri sendiri: “Nah, gue bisa mengakhiri 20-an awal gue dengan sebuah pencapaian.”

Pencapaian itu penting, Jendral.

Saya selalu berpikir seperti itu. Mungkin karena memang sudah dari sononya manusia memiliki hasrat untuk terus maju dan menghasilkan sesuatu di sepanjang hidupnya. Entah mengejar impian, melakukan sesuatu yang berguna bagi sesama, mengerjakan hal-hal yang dicintai (minimal sesuai preferensi lah, bukannya menjadi buruh kantor yang bekerja nine to five demi mengejar setoran thok – meskipun tentu saja itu bukan sesuatu yang salah), dan banyak lagi.

Saya masih ingat, sehari jelang ulangtahun ke-24, saya duduk di lantai kamar, merenung. Betapa inginnya saya ‘meraih’ sesuatu dalam hidup ini. Betapa inginnya saya mencapai sesuatu, setidaknya sebelum saya resmi dinobatkan sebagai perempuan berumur seperempat abad. Betapa inginnya saya mematri sebentuk rasa puas (atau bangga) di hati ini atas pencapaian apapun yang berhasil saya wujudkan.

Saya adalah seorang pemimpi, sekaligus pengejar mimpi. Betapa inginnya saya melihat mimpi-mimpi yang selama ini saya peluk erat-erat terwujud di depan mata.

Namun, entah kenapa, mendengar berita tewasnya sepupu teman saya dengan begitu menyedihkan mendadak membuat saya berpikir ulang tentang hal-hal yang selama ini saya jadikan ‘prioritas utama’ dalam hidup – yang saya kejar mati-matian dengan segala daya upaya.

—–

Semalam, teman kos saya yang sudah 3 minggu menghilang dari peredaran akhirnya pulang. Beberapa minggu ini ia ditugaskan untuk menunggui asrama sekolah dimana ia mengajar sebagai guru agama.

Penghuni asrama tersebut bukan murid ‘sembarangan’. Mereka adalah anak-anak dengan tingkat kecerdasan yang bisa bikin minder dan tercatat sebagai anggota Brilliant Class, semacam kelas akselerasi yang kurikulumnya berbeda dengan kelas-kelas biasa di sekolah yang sama.

Anak-anak ini mendapat perlakuan istimewa demi mendukung lancarnya kegiatan belajar mereka, seperti kamar tidur pribadi dengan meja belajar dan AC, laptop dengan fasilitas internet, makanan bergizi tiga kali sehari, asisten rumah tangga, plus ditunggui seorang Ibu Asrama yang siap ‘mengurus’ mereka dan menampung curhat 24 jam (plus menjadi sasaran unek-unek orang tua setiap kali ada murid yang ‘bermasalah’).

Kenapa harus sampai segitunya? Karena anak-anak ini dipersiapkan untuk menjadi juara dalam berbagai turnamen dan olimpiade, di dalam dan di luar negeri. Aset berharga, istilahnya. Dari pagi sampai sore mereka mempelajari pelajaran yang sama (kebayang nggak, belajar Fisika dari jam 7 sampai jam 3?) dan baru tidur di atas jam 12 malam. Kadang, ketika dibangunkan pagi-pagi, mereka ngelindur sambil mengucapkan rumus-rumus Fisika (ini beneran). Ketika pulang ke rumah masing-masing pada akhir pekan, mereka menenteng setumpuk buku untuk mengerjakan tugas dan laporan.

Akhirnya, semua kegiatan ini membuat mereka ‘terisolir’ dari pergaulan di sekolah. Ruang kelas yang terpisah beberapa lantai dari teman-teman seangkatan, klasifikasi berdasarkan tingkat kecerdasan (Brilliant Class, Regular Class) dan label ‘anak jenius’ yang menempel pada murid-murid ini telah memisahkan mereka dari pergaulan dan membuat mereka menjadi ‘kelompok eksklusif’ yang sulit didekati anak-anak lain. Ketatnya peraturan, terhimpitnya ruang gerak karena kurikulum dan jam belajar, serta minimnya interaksi dengan orang lain lambat laun ‘mencetak’ mereka menjadi sosok yang egosentris. Atau, setidaknya itulah yang diceritakan teman saya – hasil pengamatannya menunggui anak-anak itu selama 3 minggu.

“Mereka anak-anak jenius. Pinter banget, nilai-nilai selalu sempurna, minimal 9, tapi mereka nggak tahu apa itu ‘hidup’ yang sebenarnya. Kadang, kasihan banget lihat mereka seperti itu,” kata teman saya.

Mendengar itu, saya dan seorang teman yang menganut prinsip ‘life-is-beautiful-enjoy-it-while-you-can’ berpandang-pandangan dengan muka aneh.

Bo, nggak tahu ya untuk orang lain, tapi buat kami, cerita-cerita barusan sungguh ‘menakutkan’.

Mungkin saja anak-anak itu menikmati apa yang mereka jalani dan mencintai segala aktivitas mereka. Saya tidak tahu. Yang jelas, masih menurut teman saya, mereka berusaha mati-matian untuk mencetak prestasi. Saking kerasnya belajar, tidak jarang anak-anak itu baru bisa tidur pukul 2 pagi, dan bangun pukul 5 pagi. Mungkin saja itu memang membuat mereka bahagia, dan saya sungguh-sungguh berharap begitu. 🙂

Namun, semua itu jadi membuat saya berpikir – mereview sejenak apa saja yang sudah saya lalui selama beberapa tahun terakhir.

Betapa saya berusaha keras mengejar impian. Betapa saya berupaya untuk meraih apa yang disebut pencapaian. Betapa saya rela begadang sampai pagi dan berkutat di depan komputer sampai lupa makan-lupa minum dan masuk angin… semuanya demi meraih apa yang saya cita-citakan. Dan semua itu tidak salah. Semua yang telah saya lalui membentuk saya jadi sosok yang ulet, tidak mudah menyerah dan tahan banting (pernah dengar bahwa penulis adalah profesi yang paling banyak mengalami penolakan dan kegagalan? *wink*).

Tidak ada yang saya sesali. Saya mensyukuri setiap momen yang saya lalui dalam perjalanan ini. Namun, 2 peristiwa yang saya temui kemarin membuat saya berpikir ulang; berapa banyak keindahan dalam hal-hal sederhana yang saya lewati setiap hari, setiap detik, ketika saya berpacu dalam lintasan panjang ini? Berapa sering saya melewatkan kesempatan berharga untuk menghayati kehidupan seutuh-utuhnya? Berapa kali, dalam ketergesaan dan keinginan menggebu untuk mencapai impian, saya melupakan hal-hal kecil yang berarti seperti indahnya langit senja, segarnya aroma tanah, nikmatnya menarik nafas, sejuknya air putih, merdunya tawa kanak-kanak, dan banyak lagi?

Dan seandainya… seandainya saya mati besok, akankah pencapaian yang telah berhasil saya tumpuk selama masa kehidupan ini mempunyai cukup makna – untuk diri saya sendiri, dan orang-orang yang saya tinggalkan?

Akankah saya menengok ke belakang dan berharap seandainya ada lebih banyak matahari senja yang saya nikmati, tawa kanak-kanak yang singgah di indera pendengaran ini, air putih segar yang bisa direguk sepuas hati, dan tarikan nafas panjang yang melegakan?

Akankah saya menilik perjalanan yang telah usai ini dan berharap seandainya saya lebih sering memverbalkan cinta pada orang-orang yang saya sayangi, mengucapkan terima kasih kepada lebih banyak orang, lebih sering menyapa ‘Selamat pagi’ atau ‘Selamat malam’, dan lebih banyak tertawa lepas bersama mereka yang saya kasihi dan menerima saya apa adanya?

Akankah semua itu menjadi kenangan yang lebih berharga untuk saya rengkuh, ketimbang setumpuk pencapaian dan prestasi yang mati-matian saya kejar?

Entahlah.

Mendadak, saya tak terlalu ingin lagi tergesa-gesa membuka laptop untuk secepatnya menyelesaikan draft novel. Mendadak, yang saya inginkan hanya menghirup nafas dalam-dalam, menghembuskannya kembali, dan menghayati setiap detiknya sepenuh hati…

Berjalan kaki lebih lambat sambil menikmati udara segar pagi, mendengarkan anak tetangga menangis dan gemercik air dari keran, merasakan dinginnya air yang mengguyur tubuh saat mandi, membeli gorengan di warung untuk sarapan, mengulurkan dua lembar seribuan kepada anak penjaga warung yang selalu tersenyum, menonton kucing berkejaran, bercanda dengan anak-anak kecil, mengucapkan ‘Selamat pagi’ pada tetangga kiri-kanan, menunggu angkot di pinggir jalan sambil memperhatikan keramaian pasar, meneguk air putih segar sepuasnya… tiba-tiba semua terasa begitu berarti.

Mendadak, untuk sebuah alasan yang tak saya ketahui pasti, saya tidak terlalu peduli lagi pada ikrar yang saya ucapkan di awal tahun, ketika saya bertekad akan menjadikan 2008 penuh pencapaian sehingga ‘tahun terakhir bisa menyebut diri berumur 20-an awal’ ini bisa saya lewati dengan rasa puas dan bangga.

Hari ini, awal bulan ke-8 di tahun 2008, kepuasan itu saya temukan pada udara segar pagi, air putih, aroma tanah basah, langit senja, tertawa sesuka hati, dan saling menyapa.

Hari ini, kebahagiaan itu mampu saya maknai dengan menjadi diri sendiri apa adanya, dan menghirup nafas dalam-dalam untuk menghayati sekali lagi anugerah terbesar dari Sang Pencipta: sebentuk rahmat bernama Kehidupan, yang menjadikan setiap detik begitu berharga untuk dijalani dengan ucapan syukur.

Dan itu cukup bagi saya.

Sebuah Proses Bernama Evolusi

Saya punya dua benda favorit yang tidak boleh absen dari kamar, supaya kapanpun saya butuh bisa langsung disambar dan digunakan: jaket hitam yang enak dipakai dan botol minum plastik berwarna pink yang pasaran jaya.

Si jaket sudah menghuni lemari saya sejak lulus SMU (that was, like 7 years ago) dan sudah ngatung dengan canggihnya di seputar perut. Yang masih layak dilihat cuma bagian lengannya. 😉

Si Pinkie baru jadi teman setia saya selama setahun. Cuma, ya itu, karena saya termasuk spesies perempuan sradak-sruduk, botol minum itu sudah berkali-kali kebanting dan tutupnya mulai retak.

Beli baru?

Bukan itu soalnya. Masalahnya, saya terlanjur jatuh cinta dengan benda-benda itu. Sahabat-sahabat lama yang nyaman dipakai dan sudah terlalu akrab dengan saya, karena selalu dibawa kemana-mana. Kadang, saya merasa kurang lengkap kalau pergi tanpa jaket itu, atau tanpa menenteng si Pinkie. Padahal mah, dibawa juga belum tentu dipakai, dan yang lebih sering menghabiskan air di botol pink itu malah teman-teman saya.

Anyway, saya memutuskan untuk ‘bertahan’… sampai Jum’at kemarin, ketika saya menyempatkan diri untuk berkaca setelah mengenakan si jaket, dan mendadak sadar bahwa senyaman-nyamannya benda itu melekat di badan, penampilan saya jadi aneh dengan jaket yang ngatung seperut, terlalu pas-badan dan siku yang kesempitan.

Oh, well…

Saya melangkah dengan PD ke warung nasi dan memesan seporsi nasi rames. Ketika meletakkan botol minum di meja untuk membuka dompet, baru saya ngeh bahwa si Pinkie sudah basah. Air di dalamnya merembes gara-gara retakan yang makin panjang.

Saya hanya cengar-cengir. Ya sudahlah, benda-benda itu memang sudah waktunya masuk museum (atau dibuang? Hihihi). Bahasa kerennya mah: expired. Ngindonesianya: Kadaluarsa. Percuma dipertahankan, karena akhirnya malah akan merepotkan. Nyaman, tapi sudah tidak pas lagi untuk dipakai.

Sepanjang perjalanan ke kantor, saya merenung *tsah*. Meski menyimpan barang yang sudah terlalu tua itu tidak baik (dan cenderung menimbulkan kesan pelit, hahaha), entah kenapa saya masih tetap melestarikan kebiasaan itu. Adik saya malah sering mengomentari isi lemari saya yang sebagian terdiri dari baju-baju jaman penjajahan Belanda: “Baju kayak gitu dibuang aja kenapa sih?!”, yang selalu saya tangkis, “Enak aja. Nyaman dipake, tauuu.”

Yup, karena nyaman, saya mempertahankan barang-barang yang seharusnya sudah lama dibuang. Meskipun koleksi barang-barang baru terus bertambah, saya kekeuh melestarikan benda-benda usang, sampai lemari saya tidak cukup lagi untuk menampung semuanya, dan saya harus meluangkan waktu untuk membongkar dan memilah – mana yang masih layak disimpan, mana yang harus disalurkan kepada yang lebih membutuhkan… atau dibakar sekalian. ;-D

Kemarin, seorang teman yang tinggal di Amerika mengirim sebuah pesan pendek, “Handphone apa yang lagi ngetop di Indonesia?”

Saya menjawab, “Nggak tahu, sudah nggak pernah ngikutin.”

Beberapa tahun lalu, saya rajin mengupdate diri dengan informasi tentang handphone terbaru yang beredar di pasaran; mulai dari fitur, ukuran, harga, sampai dimana membelinya. Tidak jarang, karena terlanjur jatuh cinta dengan handphone tipe tertentu, saya meracuni teman-teman saya untuk membelinya juga, meski mereka tidak memerlukan fitur-fitur di dalamnya (memangnya saya butuh? Nggak juga, cuma suka aja ;-D). Tapi, seiring bertambahnya umur dan menyurutnya keinginan narsis untuk mengabadikan diri dalam foto berbagai gaya secara berlebihan dan mengoleksi lagu-lagu keren, saya jadi malas mengikuti perkembangan handphone. Saya memilih menabung untuk membeli laptop (dan setelah itu mengisinya dengan foto-foto narsis dalam berbagai gaya dan lagu-lagu keren, HAHAHA).

Namun, lepas dari berbagai alasan yang saya kemukakan, “Sudah nggak minat ngikutin tren HP”, “Pengen nabung untuk sesuatu yang lebih berguna”, “Bosan”, dan lainnya, penyebab sesungguhnya saya menyetop kebiasaan itu (dan membuang benda-benda kesayangan) cuma satu: memang sudah saatnya. Masa ‘kadaluarsa’ itu sudah tiba. Memaksakan diri untuk tetap bertahan malah akan membebani dan merepotkan saya.

Itu baru masalah barang kesayangan dan kebiasaan. Hal yang sama, sadar-tidak sadar ternyata sering juga terbawa selama saya meniti perjalanan panjang bernama Kehidupan. Entah berapa kali saya mencoba bertahan dengan berbagai prinsip, nilai, falsafah, atau apapun-itu-labelnya; mengadaptasinya dalam hidup sehari-hari tanpa sadar bahwa kehidupan itu sendiri adalah sebuah evolusi.

Saya menganggap prinsip, nilai dan falsafah tersebut sebagai ‘kebenaran mutlak’ karena itulah yang sudah saya genggam bertahun-tahun. Bahkan, tidak jarang saya menganggap mereka yang berseberangan dengan saya sebagai pihak yang ‘salah’ – semata-mata karena apa yang mereka percayai tidak sejalan dengan saya. Akhirnya, ketika saya menasehati/berusaha meyakinkan seseorang untuk menerima apa yang saya anggap benar (dengan mengatasnamakan kebaikan orang yang bersangkutan), sesungguhnya itu hanyalah upaya untuk mengonfirmasi apa yang bersarang di benak saya sekian waktu lamanya; bahwa saya masih benar, bahwa saya masih bisa menggenggam prinsip tersebut, bahwa saya masih dapat mempercayainya.

Dan, ya, saya pernah (berkali-kali, malah) berusaha mengotbahi orang lain dengan harapan orang yang bersangkutan akan sadar, berubah, mengikuti jejak saya, dan menjadi bahagia… hanya karena saya merasa bahagia dengan apa yang saya jalani saat itu.

😉

Padahal, kehidupan adalah sesuatu yang dinamis dan selalu mengalami perubahan. The most certain thing in this world is change. Apa yang dianggap mutlak, pasti dan absolut bertahun-tahun lalu barangkali kini sudah dianggap basi. Apa yang digilai, dianut mayoritas orang dan dijadikan konsep ideal massa saat ini, bisa tidak laku lagi 10 tahun mendatang. Apa yang dianggap tren terkini bisa menjadi usang dalam hitungan waktu, dan apa yang disebut ‘nggak banget’ sangat mungkin berubah menjadi ‘gue banget’.

Padahal, apa yang cocok buat saya belum tentu cocok untuk orang lain.

Padahal, apa yang membuat saya bahagia belum tentu bisa membuat orang lain bahagia.

Padahal, ‘kebenaran’ itu sendiri sangatlah relatif, ya nggak, sih? 😉

*Uhmmm… meskipun memang ada hal-hal yang sudah dijadikan ‘kebenaran’ atau ‘konsep ideal’ sebagai hasil konstruksi dari apa yang dianggap ‘sah’, ‘absolut’ dan ‘pasti’ oleh kebanyakan orang. ;-)*

Intinya, lepas dari apapun yang diyakini sebagai kebenaran mutlak, saya percaya bahwa kebenaran sejati hanya bisa diperoleh dari kehidupan yang terus berevolusi. Dari pengalaman-pengalaman otentik yang mendekatkan setiap orang pada realitas dirinya yang sejati. Kenapa relatif? Karena proses evolusi setiap orang tidak sama; layaknya proses tumbuh-kembang manusia secara fisik (ada anak yang umur setahun sudah bisa berlari, ada yang baru belajar berjalan. Ada yang sudah pandai cuap-cuap ketika berusia 2 tahun, ada yang baru belajar bicara, dan sebagainya), atau seperti faktor penyebab kebahagiaan yang sangat beragam. Nggak usah jauh-jauh ngomong bahagia, dari hal-hal terkecil yang biasa ditemui dalam hidup sehari-hari saja, banyak contoh kasus yang bisa dijadikan analogi.

Dulu saya tidak suka kopi, tapi sekarang ada saat-saat tertentu dimana saya sangat membutuhkan kopi (kheuseusnya ketika sedang begadang mengejar deadline, atau sedang ingin ngopi bergaya di kedai kapitalis *hai, Jeung*). Dulu, saya tergila-gila dengan kemeja-pas-badan dan celana panjang hitam, sekarang saya memilih untuk mengenakan t-shirt dan jeans kemana-mana. Waktu SD, saya selalu bertengkar dengan semua-anak-laki-laki-yang-cukup-apes-untuk-dipasangkan-semeja-dengan-saya, tapi sekarang saya menyukai pria-pria tampan bertubuh tinggi, berwajah indo, smart, berselera humor… *ini apaan sih?! Hahaha!*… dan selalu adu pendapat dengan teman saya yang menyukai cowok-cowok bertampang Asia nan eksotis dan berkepribadian lembut (LEMBUT, ya, bukan melambai). ;-D

Yang paling kentara secara fisik: dulu saya jerawatan parah, tidak sembuh-sembuh meski sudah mencoba berbagai produk, tapi sekarang yang tersisa hanya bekas-bekasnya – tanpa pengobatan. Menurut seorang teman yang juga ahli dermatologi, hal itu biasa terjadi. Penyebabnya adalah ketidakstabilan hormon yang akan reda dengan sendirinya seiring bertambahnya usia.

Dan masih banyak lagi perubahan yang bisa saya sebutkan sebagai contoh bahwa saya terus berproses bersama kehidupan.

Sederhana saja. Saya sedang berevolusi.

Perubahan. The most certain thing in the world.

Relativitas. Selama ada sesuatu yang disebut kebenaran sejati, akan ada relativitas dimana-mana.

Dan suka tidak suka, cepat atau lambat, kita akan berhadapan dengan momen dimana kita harus memilih: melepaskan apa yang selama ini kita genggam, atau terus menyimpannya sampai berkarat. Tidak mempertahankan apa yang sudah usang, atau memeluknya sampai mati. Meninggalkan sofa empuk untuk meneruskan perjalanan, atau bergelung dan menutupi wajah dengan selimut. Ikut berevolusi bersama kehidupan, atau tinggal dalam kondisi yang sama selamanya.

Siapkah kita, jika suatu saat kita berhadapan dengan realitas bahwa apa yang selama ini kita pegang erat-erat telah berubah menjadi ‘kebenaran usang’ yang tak lagi beriringan dengan proses evolusi kehidupan?

Siapkah kita, jika dihadapkan dengan momen dimana kita diharuskan untuk memilih, meski kita tak ingin menetapkan satu di antara dua (atau tiga, bahkan empat)?

Siapkah kita, jika ‘tanggal kadaluarsa’ itu tiba?

Apa yang akan kita lakukan?

Saya? Saya hanya punya satu harapan, sederhana saja: semoga hati ini bisa semakin diperluas untuk terus beradaptasi dengan setiap proses evolusi kehidupan, apapun wujud dan caranya.

Jika tiba saatnya saya harus melonggarkan jari untuk melepas, biarlah hal itu terjadi dengan natural, sebagaimana mestinya, karena memang sudah saatnya. Jika tiba waktunya untuk berubah, biarlah saya melepas semua yang selama ini saya jalani dengan lapang dada; nyaman tidak nyaman, suka tidak suka. Ketika tiba saatnya berhadapan dengan realitas dari kehidupan yang senantiasa bergerak dinamis ini, biarlah saya memiliki kebesaran jiwa untuk menerimanya… dan bergerak bersamanya.

Ya, semoga saya bisa. 🙂

Mencari Bahagia

Di kaki gunung, tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, hidup seorang pemuda yang kerjanya menebang pohon untuk dijadikan kayu api dan dijual di pasar. Pekerjaan itu sudah ia lakukan selama belasan tahun, nyaris seumur hidupnya.


Ketika ia kecil, belum bisa melangkah apalagi bicara, setiap hari orangtuanya menjunjungnya dalam jarit dan membawanya ke pasar. Di sanalah, untuk pertama kalinya, bocah itu mengenal dunia. Dunia yang lebih luas dari sepetak pekarangan sempit yang ditumbuhi ketela dan rumah kayu yang sederhana.


Pasar adalah tempatnya bertumbuh. Setiap hari, setiap jam, bocah itu memperhatikan tingkah laku orang-orang yang lalu-lalang; bertransaksi, sekadar melihat-lihat, sampai berkelahi.


Pasar becek yang kadang menguarkan bau amis itu telah menjadi dunianya selama bertahun-tahun. Ketika orangtuanya meninggal, ia melanjutkan berjualan kayu di tempat yang sama, di pojok yang sama, selama bertahun-tahun.


Ia jauh lebih suka berada di pasar, karena pasar selalu dipenuhi orang-orang yang beraneka ragam, dengan berbagai perangai unik yang memancing rasa ingin tahunya.


Sering, sambil menunggui dagangannya, sang pemuda mengamati keadaan sekitar, berharap menemukan sesuatu yang lain dari biasanya — sesuatu yang menantang indera dan intuisinya.


Ia suka mengamati ibu-ibu bersanggul yang menenteng tas yang tampak mahal, diikuti babunya yang tergopoh-gopoh berusaha mengimbangi kecepatan jalan sang majikan. Mereka tampak kontras di antara pengunjung pasar yang rata-rata berpakaian seadanya dan bersandal lusuh. Sesekali, wanita itu berbicara kepada si babu dengan nada cepat sambil menunjuk sesuatu, dan babu itu akan segera memilih satu dari tumpukan barang yang ditunjuk –yang kualitasnya paling baik, paling besar, paling bagus- dan memasukkannya ke keranjang belanja. Sang Nyonya akan membayar tanpa menawar lebih dahulu.


Si pemuda mengamati semua itu tanpa bersuara. Mungkin memang tak ada gunanya nyonya besar itu menawar. Tas yang dijinjingnya tampak lebih mahal dari semua dagangan di pasar ini dijadikan satu.


Ketika si Nyonya dan babunya berlalu, pemuda itu berpikir,”Bagaimana rasanya memiliki banyak uang? Apa rasanya bisa membeli sesuatu tanpa menawar? Bagaimana rasanya punya babu yang bisa diperintah sesuka hati?”


Menjelang gelap, saat pedagang-pedagang lain membereskan jualan, pemuda itu bersembunyi di pojokan pasar — di tempat yang agak sepi dan jarang dilalui orang. Kayu-kayu dagangannya telah terikat rapi dan disembunyikan di tempat yang aman, siap diangkut kapanpun.


Ia tak perlu menunggu lama. Seorang pedagang kain yang berjalan kaki sambil bersiul-siul menghitung uang melintas di depannya. Dengan cepat ia menarik penutup wajah yang tersampir di kepala, menutupi seluruh mukanya kecuali hidung, dan merampas dompet kulit di genggaman si pedagang.


Pedagang yang kaget itu berteriak, namun si pemuda lebih cepat dari siapapun. Ia berlari berbelok-belok, memasuki gang-gang sempit secepat kilat, mengecoh para pengejar. Ia masuk ke dalam tempat sampah besar dari semen, mengayunkan penutupnya yang terbuat dari besi berkarat, dan bersembunyi di sana, mendengarkan suara para pengejarnya memudar di kejauhan, semakin mengecil ketika mereka memutuskan untuk berpencar ke arah yang berbeda-beda, dan akhirnya lenyap sama sekali.


Ketika hari telah benar-benar gelap, ia keluar, kembali ke pasar untuk mengambil kayu-kayunya, dan berjalan pulang. Sesampainya di pondok, ia melempar gelondongan kayu ke sudut. Ia tak akan membutuhkannya dalam waktu dekat. Uang yang diperolehnya cukup untuk bertahan hidup selama sebulan, jika ia berhemat. Seminggu, jika ia berleha-leha dan membelanjakannya sesuka hati.


Pemuda itu memilih yang kedua. Dengan saku penuh uang, ia berjalan ke rumah makan terdekat, memesan makanan termahal yang bisa diperolehnya dan melahap semuanya hingga kekenyangan. Lalu ia pergi ke rumah pedagang kain, membeli beberapa meter satin dan mengunjungi penjahit terkemuka di seberang jalan, memesan 3 potong pakaian dengan kualitas yang jauh lebih baik dari yang pernah dikenakannya seumur hidup. Belum cukup puas dengan semuanya, ia pergi ke sudut jalan yang lain, daerah kumuh tempat anak-anak gelandangan, dan memanggil seorang anak yang kelihatan agak bodoh.


“Jadilah pelayanku selama seminggu,” katanya. “Pijat kakiku, ambilkan air dari sungai untuk mandiku, cuci pakaian-pakaianku, siangi pekaranganku, masakkan nasi dan lauk untukku, dan tebanglah kayu bagiku,” ia memperlihatkan gulungan uang kepada si anak, yang segera menyambarnya tanpa bertanya sedikitpun.


Malam itu, untuk pertama kalinya, si pemuda menikmati kehidupan bak seorang raja. Ia menghambur-hamburka n air mandi (merasa tak perlu berhemat karena bukan ia yang susah-payah mengangkutnya dari sungai), makan sayuran segar yang dipetik dan dimasakkan si anak untuknya, serta tertidur sambil merasakan pijatan nyaman di kakinya.


Hari demi hari berlalu. Uang di sakunya mulai menipis. Si pemuda menyadari kehidupan mewahnya akan segera berakhir. Ia ingin merampas lagi, namun diurungkannya. Meskipun bisa mendatangkan uang dengan cepat dan mudah, setiap malam tidurnya diganggui ketakutan dan mimpi buruk. Ia selalu bangun dengan rasa bersalah, kepada dirinya sendiri dan kepada orangtuanya yang selalu mengajarnya untuk berlaku jujur.


“Aku tak akan melakukan hal itu lagi,” gumamnya pada hari ketujuh, ketika uang di sakunya tinggal selembar. Ia menyodorkan uang itu kepada si anak yang baru selesai mengikat kayu. “Ambillah, dan pergilah. Aku tak memerlukanmu lagi.” Setelah itu, ia memanggul gelondongan- gelondongan kayu dan berjalan ke pasar, mendirikan tenda jualannya, dan kembali pada aktivitas rutinnya: berdagang sambil memperhatikan orang-orang di sekitarnya.


Suatu hari, datanglah seorang tukang cukur ke pasar itu. Ia menyewa sebuah los kecil tidak jauh dari tempat berjualan si pemuda dan memasang papan bertuliskan: CUKUR RAPI, TUA-MUDA SEPULUH SEN.


Tertarik melihat harga yang diajukan, beberapa orang menghampiri los itu. Terdorong penasaran, si pemuda ikut mendekat. Ia tak mau memotong rambut, hanya ingin melihat seperti apa di dalam.


Si tukang cukur ternyata sangat piawai bicara. Sambil menggunting rambut, ia terus mengajak pelanggannya mengobrol, menceritakan kisah-kisah lucu dan bersenda gurau. Hasil pekerjaannya juga bagus. Setiap orang yang keluar dari los itu merasa puas dan berjanji pada diri sendiri akan kembali ke situ. Apabila tidak memotong rambut, mereka bercerita tentang si tukang cukur kepada orang-orang lain. Dalam sekejap, si tukang cukur kebanjiran pelanggan. Losnya tak pernah sepi pengunjung.


Si pemuda memperhatikan bagaimana laki-laki berperawakan kecil yang agak bungkuk itu selalu tertawa. Wajahnya tak pernah sepi dari senyum. Ia ramah, tak segan mengobrol dengan siapa saja (bahkan anak kecil sekalipun), dan tampak sangat menikmati pekerjaannya. Itulah yang memunculkan senyum di wajahnya, setiap hari, setiap menit.


Pemuda itu mulai berpikir, alangkah enaknya jadi tukang cukur. Uangnya mungkin tak seberapa karena ia tak memasang tarif mahal, namun ia tampak bahagia. Tukang cukur sederhana itu menularkan kegembiraan pada orang-orang dan ia disayangi pelanggan-pelanggan nya. Mencukur juga pekerjaan yang mengasyikkan. Bunyi kres-kres yang terdengar setiap kali gunting digerakkan menggelitik telinga, dan para pelanggan selalu tersenyum puas setiap habis dicukur.


Maka si pemuda meninggalkan pondoknya di kaki gunung, pindah ke kota, menguras pundi-pundinya dan menukarkan isinya yang tak seberapa dengan sewa los selama setahun, persis di seberang los si tukang cukur. Ia memasang papan: PANGKAS RAPI, TUA-MUDA DELAPAN SEN. Ia akan sangat merugi dengan ongkos semurah itu, namun ia tak keberatan apabila hasilnya sebanding dengan pengorbanannya, karena yang dicarinya kini bukan keuntungan, melainkan kebahagiaan. Ia menginginkan senyuman yang dimiliki si tukang cukur.


Tertarik dengan harga yang diajukan, pengunjung pasar berduyun-duyun menghampiri losnya. Mereka duduk dan menunggu gunting cukurnya bekerja, dan mereka menantikan cerita-cerita yang akan dibawakannya. Namun si pemuda tak pandai bercerita. Sehari-hari, ia hanya pedagang yang lebih banyak diam kecuali untuk bertransaksi, dan ia tak punya lelucon-lelucon memikat untuk dikisahkan. Ia juga bukan sosok berkepribadian menarik yang pintar bicara. Maka, ia mengerjakan tugasnya dalam diam. Selesai dipangkas, seorang laki-laki memandang cermin, berpaling ke arahnya dan berkata, “Kau tak bisa mencukur dengan baik, dan selera humormu payah.”


Si pemuda terdiam, hatinya mencelos. Seharian itu ia tak sanggup tersenyum. Pikirannya sering mengembara ke uang tabungan yang dikumpulkan selama bertahun-tahun dan terbuang sia-sia di los sempit itu. Di penghujung hari, tamu terakhirnya, seorang anak kecil dengan rambut ikal yang manis, menangis meraung-raung ketika melihat wajahnya.


Hari-hari berikutnya ternyata lebih buruk dari yang diduganya. Orang-orang kecewa dan menyebarkan berita buruk mengenai salon baru yang murah namun tidak memuaskan. Mereka kembali ke los tukang cukur lama, sekadar untuk bercakap-cakap dan mendengarkan cerita-ceritanya. Mereka tertawa, si tukang cukur tertawa, namun sebaris senyum pun tak tampak di wajah si pemuda.


Kebahagiaan yang dinantikannya tak kunjung tiba. Senyum yang ditunggu-tunggunya tak sudi mampir di wajahnya, walau hanya sesaat. Makin lama, losnya semakin sepi. Dari dalam ia bisa mendengar obrolan-obrolan riang di los seberang, dan hatinya kian merana. Ia patah arang.


Suatu siang, ketika ia sedang duduk menyesali nasib, seorang gadis mengetuk pintu los. Spontan, ia berdiri dan menepis debu di pakaiannya, memasang senyum terbaik yang bisa diusahakannya, dan bersiap-siap memotong rambut si gadis yang panjang sebahu.


Gadis itu duduk dan membuka pembicaraan. Sementara gunting bekerja, mereka terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Si gadis sangat suka berceloteh dan perkataannya segar menggembirakan. Ia juga memiliki selera humor yang baik. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, si pemuda tertawa lepas dan merasa bahagia.


Sepeninggal gadis itu, ia merasa jauh lebih baik. Senyum terus tersungging di bibirnya hingga malam tiba dan ia terlelap. Gadis itu telah membawakan senyuman yang dinanti-nantinya.


Dua hari kemudian, si gadis datang lagi, kali ini membawa seorang bocah laki-laki. Keponakannya. Sementara gunting bekerja, mereka kembali terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Tahulah si pemuda bahwa gadis itu baru pindah ke sana, dan ia memiliki dua keponakan yang lucu-lucu. Ia juga tahu bahwa si gadis sangat menyukai langit senja, pelangi dan aroma tanah menjelang hujan. Yang terpenting, kini ia tahu, gadis itu bisa memberikan apa yang dicarinya selama ini: kebahagiaan.


Mereka semakin sering bertemu. Terkadang si gadis mampir ke losnya hanya untuk bercakap-cakap. Bila los sedang sepi pengunjung, si pemuda akan menutupnya dan pergi ke rumah si gadis, untuk sekadar melewatkan senja dan mendengarkan jangkrik bernyanyi. Semakin lama, hati pemuda itu semakin dipenuhi perasaan aneh yang tak bisa dijelaskannya. Perasaan itu demikian kuat dan tak bisa digambarkan dengan kata apapun, kecuali cinta.


Ia jatuh cinta.


Malam-malamnya mulai diisi mimpi indah tentang seorang gadis yang membawakan senyuman baginya. Hari-hari sepinya mulai diisi dengan khayalan tentang gadis yang suara renyahnya menularkan gelak tawa. Lamunan-lamunannya mulai diisi dengan wajah manis yang senantiasa berbinar, yang mengajarinya bergurau dan bercerita.


Suatu hari, pada senja yang indah setelah hujan, ketika matahari mulai menghilang di ufuk, si pemuda mengutarakan isi hatinya kepada sang gadis. Ia jatuh cinta, dan berharap sang gadis bersedia menyambut cintanya.


Gadis itu menatapnya dengan mata bulat berbinar. “Kenapa?”


“Karena engkau bisa memberikan kebahagiaan untukku.” Si pemuda menjawab sambil mengulurkan setangkai mawar. “Dan aku ingin kebahagiaan itu kekal adanya, maka aku memintamu menjadi milikku selamanya.”


Tanpa disangka, binar gembira di wajah si gadis meredup. Sedikit.


Hanya itu? Karena aku bisa membuatmu bahagia?”


Pemuda itu mengangguk. Ia meraih tangan si gadis, mengecupnya lembut. “Karena engkau bisa membuatku bahagia. Engkau telah membawakan senyuman yang telah lama kucari.”


Si gadis menarik tangannya. Belum habis rasa terkejutnya, si pemuda menatap pujaannya dan menemukan kaca di mata gadis itu.


Ia terperanjat. Kenapa ia menangis? Apa salahnya?


“Kau tidak mencintaiku. Kau hanya mencintai dirimu sendiri.”


Sebelum si pemuda sempat memahami maksud perkataan itu, sang gadis telah beranjak pergi.


Pemuda itu pulang dengan bingung dan sengsara. Ia merasa jauh lebih merana dari yang sudah-sudah. Untuk sebuah alasan yang tidak dipahaminya, gadis pujaannya telah menolak cintanya. Kini ia hancur berkeping-keping. Rusak dan takkan dapat diperbaiki. Hidupnya sudah berakhir.


Ia duduk di depan losnya, termangu. Mawarnya sudah lama dibuang, dan ia sedang memikirkan cara terbaik untuk mengakhiri hidupnya. Ia sedang menimbang-nimbang, hendak menggantung diri atau menusukkan belati ke lehernya, tatkala si tukang cukur beranjak mendekatinya dan duduk di sebelahnya.


Si pemuda tak menyadari kehadiran tukang cukur itu, sampai ia merasakan tepukan ringan di pundaknya. Si tukang cukur menatapnya sambil tersenyum, dengan binar yang tak pernah lepas dari wajahnya.


“Aku tak mengerti.” cetus si pemuda. Dan kata-kata berhamburan dari mulutnya. Kegalauan dan kepahitan hatinya tumpah ruah. Si tukang cukur hanya diam dan mendengarkan.


“Aku hanya mencari bahagia,” bisik pemuda itu. “Mengapa begitu sulit?”


Si tukang cukur merenung sejenak, lalu tersenyum arif. “Mungkin kau tak perlu mencarinya, Nak. Mungkin kau hanya perlu berdamai dengan dirimu sendiri.”


Pemuda itu menatap si tukang cukur, keningnya berkerut bingung. “Apa maksudmu? Aku tidak bermusuhan dengan siapapun.”


“Kau tidak bermusuhan dengan siapapun,” si tukang cukur mengulangi. “Kau hanya perlu menerima dirimu sendiri, apa adanya, tanpa syarat.”


“Aku tidak mengerti,” gumam si pemuda, kini tampak lelah. Selain patah hati dan sengsara, apakah ia juga telah menjadi dungu? “Aku hanya ingin bahagia. Di mana salahnya?”


Lagi-lagi si tukang cukur tersenyum bijak. “Tak ada yang salah, Nak. Engkau hanya menganggapnya sebagai kesalahan, karena yang terjadi tidak sejalan dengan keinginanmu. Bila bahagia yang kau inginkan, engkau hanya perlu berhenti bertanya apa yang salah.”


Pemuda itu terdiam. “Namun hidupku tidak sempurna,” ucapnya perlahan, teringat pada kegagalan dan perbuatan buruknya di waktu lampau. “Aku bukan orang yang cukup baik.”


“Engkau tidak perlu menjadi sempurna untuk bahagia, Nak, karena hidup ini indah apa adanya.”


Si pemuda mengangkat muka dan menemukan lengkungan lembut di wajah si tukang cukur, yang tiba-tiba kelihatan begitu bijaksana dan berhikmat.


Tukang cukur itu pamit pulang, dan si pemuda tetap duduk di depan losnya hingga lewat tengah malam. Ia memikirkan segala sesuatu, apa yang telah terjadi di masa lalu, apa yang baru saja dialaminya, dan nasehat-nasehat si tukang cukur. Mendadak, ia tidak ingin mengakhiri hidupnya lagi.


—-


Tiga purnama berselang, saat sang gadis menyirami tanaman di kebun mungilnya, pemuda itu menghampirinya. Kali ini tanpa membawa apa-apa. Hanya sebuah garis lengkung di wajahnya yang berbinar.


Si gadis menatapnya, bergeming.


“Aku tak lagi mencari bahagia,” ucap si pemuda. “Aku telah bersua dengan damai, dan aku tak membutuhkan apapun lagi untuk bisa tersenyum.”


“Hidupku tak sempurna,” ia berkata lebih lanjut, “namun aku mencintainya apa adanya. Dan aku tahu, bersamamu, hidupku akan menjadi utuh; begitu pula dirimu. Maukah engkau menjadi sempurna bersamaku?”


Gadis itu tersenyum. Senyuman termanis yang pernah tampak di wajahnya. Dan kali ini, si pemuda tahu, ia benar-benar tak butuh apapun lagi untuk menjadi bahagia.

Bintang yang Senantiasa Bersinar

Punya sahabat itu… gokil, Jendral.

😉

Minggu lalu, handphone saya berdering ketika saya sibuk mengutak-atik laptop, (sok) menyibukkan diri supaya pikiran teralihkan *baca: nggak kebablasan mikir yang macem-macem* karena belakangan ini saya sering mumet jaya menghadapi persoalan yang cukup berat dan kompleks – lebih ribet dari benang kusut basah.

Telepon tak terduga itu berasal dari seorang sahabat. Saya tak menyangka ia akan menelepon, karena setahu saya ia sedang sibuk menyiapkan diri untuk mengikuti ujian farmasi (dimana ujian dilaksanakan dalam 3 tahap dengan sistem gugur – yang agak mengingatkan pada kontes-kontes pemilihan idola Indonesia *wink*). Kebanyakan mahasiswa yang menempuh ujian ini sudah menyiapkan diri sejak setahun sebelumnya (!), tapi ia belum melakukan persiapan apa-apa karena kegiatan yang superpadat.

Selain kerja praktek di Rumah Sakit, ia juga memimpin kepanitiaan dari sebuah konferensi internasional, plus mengemban tanggung jawab penting di organisasi mahasiswa internasional (baca: mbenahin segudang masalah-njelimet-ruwet-edan dengan bonus begadang setiap hari).

Saya pernah menemaninya bekerja menjelang akhir pekan, memperhatikannya berkutat dengan laptop sampai lewat tengah malam untuk menjawab e-mail-e-mail dengan subyek yang bikin kening berlipat-lipat (beda banget dengan e-mail saya yang isinya obrolan-obrolan nggak penting via milis dan joke garing ‘Humor di Tempat Kerja’ ;-D), meeting via messenger dan sebagainya, sementara sejak pagi ia sudah sibuk di Rumah Sakit.

Sepanjang malam handphonenya terus-terusan berbunyi. Sempat tergoda juga untuk mencelupkan HP-nya ke dalam gelas – baru kali ini saya mendengar telepon sesering itu dalam waktu yang tidak lazim untuk menelepon. Ternyata dampaknya buruk untuk kesehatan jiwa, karena bikin senewen. ;-D Jam 12 malam nelepon untuk meeting? Gila kali. I mean, for God’s sake, she is 23, not 32. Tapi, menurutnya, memang itulah ‘makanan’nya sehari-hari.

“Ini masih mending. Waktu di Belanda, tahun lalu, gue sering tidur 2 jam semalem. Atau, malah nggak tidur samasekali,” cetusnya.

Ketika kami (akhirnya) naik ke tempat tidur, saya berkomentar, “Kerjaan lo serem.”

Ia hanya tertawa. “Udah banyak yang bilang begitu,” jawabnya simpel.

Namun, lepas dari kesibukan yang segudang, ia tetap menyempatkan diri untuk menelepon dan menanyakan kabar saya, serta masalah yang sempat saya ceritakan dalam konversasi terakhir kami di rumahnya.

Meski cukup lama bersahabat, saya sering enggan merepotkannya dengan masalah saya, mengingat segala aktivitasnya yang menuntut energi dan fokus penuh. Tapi ia tak menutup telepon. Ia di sana, mendengarkan. Dan akhirnya isi perut saya berhamburan juga. Ia tetap mendengarkan.

Sorry jadi curhat-curhat gini,” gumam saya, agak malu karena merasa ‘salah tempat’ – curhat pada orang supersibuk, “padahal lo banyak kerjaan.”

Ia tertawa kecil. “Untuk yang kayak gini, gue bakal selalu ada.”

Tiba-tiba saya teringat pada kejadian setahun lalu, ketika ia menelepon untuk curhat dan menangis karena masalah keluarga. Waktu itu, saya mendengarkannya sambil pelan-pelan (berusaha) menenangkan. Kini, lucunya, tiba giliran saya. Bedanya, ketika ia menangis, saya mendengarkan dalam kondisi santai, tidak sedang ngapa-ngapain. Ketika saya curhat, ia sedang menghadapi timbunan tugas, masalah, serta deadline. Dan ujian itu…

“Lo kan belum belajar? Ntar gue ganggu.”

Lagi-lagi ia tertawa. “Gue akan selalu ada kalau buat elo. Lo udah kayak keluarga gue, dan gue nggak akan ‘menghilang’ untuk hal-hal seperti ini. Kapanpun.”

Beberapa hari kemudian, kami kembali bersua, kali ini di kanal maya. Usai berbincang ngalor-ngidul –mulai dari lagu-lagu keren paporit, youtube sampai diskusi basi tentang film Fitna- saya pamit untuk sign-out, sekaligus mengucapkan terima kasih atas telepon dadakannya beberapa hari lalu.

Hening sejenak, lalu kalimat ini muncul di baris terbawah percakapan virtual kami:

“I’m always ready for you anytime.”

Mendadak, saya seperti menemukan bintang di langit pekat.

🙂

—–

Malam ini, saya kembali melihat ke atas. Ke langit yang belakangan ini selalu gelap, nyaris gulita.

Ah, itu dia.

Setitik cahaya -kecil, namun nyata- bersinar di sana. Menyapa ramah, hangat, membuat kegelapan di sekitarnya sedikit bias.

Saya menajamkan penglihatan, ingin melihat lebih jelas.

Lalu, cahaya mungil lain mulai menampakkan diri, tersenyum malu-malu. Berkelip terang, seakan mengacungkan jari, “Aku di sini.”

Lalu muncul kerlip ketiga, mengedip jenaka. Disusul yang keempat. Kelima. Dan seterusnya.

Kemudian saya sadar. Di sekeliling saya ada banyak bintang. Tak hanya satu. Tak cuma segelintir. Dan mereka terus bercahaya.

Bintang-bintang itu selalu ada di sana. Tak pernah berhenti bersinar meski saya mengalihkan perhatian. Mereka ada, sepanjang malam, di langit terkelam sekalipun. Bersinar dalam kegelapan yang paling pekat. Menemani tanpa pernah pudar.

Saya tidak suka kegelapan, kecuali saat mematikan lampu semenit menjelang tidur. Kegelapan selalu memberi kesan mencekam dan membatasi jarak pandang. Saya bertekad kalau punya rumah sendiri nanti, setiap ruangan harus terang-benderang. Nggak ada cerita lampu temaram. I even hate the idea of ‘cozy, romantic date’ with dim light. 😉

Namun kali ini, khusus kali ini, saya tak keberatan menghadapi gelap. 🙂

Gelap itu masih mencekam. Menyesakkan. Menakutkan, karena saya tak bisa melihat jauh ke depan. Membuat saya bertanya-tanya, ada apa di depan sana, dan seperti apa perjalanan saya nantinya. Namun kegelapan yang sama, entah mengapa, kini tak terlalu ingin saya hindari…

…karena kegelapan itu membuat saya bisa melihat bintang-bintang yang senantiasa bersinar. 🙂

When you’re down and troubled
And you need some loving care
And nothing, nothing is going right
Close your eyes and think of me
And soon I will be there
To brighten up even your darkest night

You just call out my name
And you know wherever I am
I’ll come running to see you again
Winter, spring, summer or fall
All you have to do is call
And I’ll be there
You’ve got a friend

If the sky above you
Grows dark and full of clouds
And that old north wind begins to blow
Keep your head together
And call my name out loud
Soon you’ll hear me knocking at your door

Ain’t it good to know that you’ve got a friend
When people can be so cold
They’ll hurt you, and desert you
And take your soul if you let them
Oh, but don’t you let them

You just call out my name
And you know wherever I am
I’ll come running to see you again
Winter, spring, summer or fall
All you have to do is call
And I’ll be there
You’ve got a friend

(You’ve Got a Friend – Salena Jones)