Kunjungan 120 Menit

“Hayu’ aja. Ntar janjian kalo lo udah nyampe di sini.”
Itu yang saya katakan kepada seorang sahabat pertengahan minggu lalu, ketika ia menelepon dan berkata akan ke Jakarta, sekaligus mengajak saya bertandang ke rumah kenalannya.

Bukan ‘kenalan’ biasa. Tepatnya seorang taipan *alah, taipan!* kondang yang mengingatkan saya pada keluarga Hanafiah di novel-novel Mbak ini.

Sabtu pagi, saya bolak-balik rebahan di ranjang, mendadak malas pergi karena di luar hujan deras. Tapi janji yang sudah dibuat itu terus terngiang-ngiang. Akhirnya saya meraih handuk dan berjalan ke kamar mandi.

Ajaib, tepat setelah saya mandi, hujan berhenti.

Setengah jam kemudian, kami sudah berada dalam mobil dan meluncur ke rumah si taipan (bo, aneh banget sih istilah ini). Sepanjang jalan, saya sibuk mengunyah crackers sambil sesekali meraba rambut yang tidak kering-kering.

Setengah jam berikutnya, kami sudah duduk manis di ruangan berlantai marmer yang dipenuhi kursi lipat putih, siap mengikuti acara yang diselenggarakan tuan rumah. Acara itu adalah sebuah kebaktian sederhana yang terdiri dari pembagian kesaksian, pembacaan Alkitab, puji-pujian singkat dan khotbah.

Saya melayangkan pandangan ke luar jendela. Rasanya tidak seperti di Jakarta. Danau berair tenang yang teduh dengan pepohonan rindang dan padang rumput luas terasa menyejukkan. Pemandangan indah yang luarbiasa mahal harganya.

“Orangnya yang mana, sih?” saya berbisik penasaran. Maksud saya tentu si empunya rumah.

Sahabat saya menggeleng. “Belum dateng.”

Sejurus kemudian, ibadah dimulai. Saya menyimpan pertanyaan itu dalam hati dan memusatkan perhatian pada kebaktian, meski sesekali tergoda untuk lirak-lirik pada sekumpulan pemuda bertampang yummy yang duduk di pojok ruangan 😉

Setelah lagu pujian selesai dinaikkan, seorang hamba Tuhan naik ke podium kecil yang tersedia di depan. Penampilannya kontras dengan sebagian besar orang yang hadir di situ, yang rata-rata mengenakan pakaian dan aksesoris yang sekali lirik saja ketebak berapa harganya (dan memakai parfum mahal yang superwangi sampai kepala saya nyut-nyutan. Mungkin makenya bukan disemprot, tapi DITUANG).

Si hamba Tuhan hanya mengenakan kemeja kotak-kotak yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana panjang cokelat muda. Rapi namun samasekali tidak glamor, dan –sejujurnya- agak kebanting bila dibandingkan dengan para jemaat yang duduk di depannya dengan penampilan shiny dan serba bling-bling.

Di sela-sela khotbah, saya masih sempat-sempatnya berbisik penasaran, “Yang mana orangnya?”

Sahabat saya menyahut dengan gumaman tak jelas. Saya bersandar di kursi dan melupakan pertanyaan itu, karena merasa tidak pantas membahas sesuatu yang kurang penting di sela kebaktian.

Setelah khotbah usai, si hamba Tuhan beranjak dari podium dan duduk di barisan paling belakang. Sejenak saya merasa ‘kasihan’. Dalam ibadah-ibadah yang pernah saya ikuti di beberapa gereja, biasanya hamba Tuhan memperoleh kursi terbaik di barisan terdepan, bersama majelis gereja yang terhormat. Namun, di sini, yang terjadi adalah kebalikannya.

Setelah lagu pujian terakhir dan doa selesai dinaikkan, para jemaat bangkit dan menuju meja panjang di luar ruangan, dimana hidangan disajikan. Makan dan mengobrol sambil menikmati pemandangan indah.

Perut saya yang sudah kerucukan semakin lapar mencium aroma bakso. Tapi saya masih penasaran dengan pertanyaan yang belum terjawab itu.

“Orangnya yang mana, sih?” lagi-lagi saya berbisik sambil jelalatan. Mengira-ngira, sosok mana yang paling cocok untuk mewakili figur pemilik kerajaan bisnis raksasa.

“Dia itu yang tadi khotbah di depan.” jawab sahabat saya.

Saya tersenyum lebar.

Mendadak, kunjungan singkat itu menjadi begitu berharga. Bukan karena kesempatan bertemu dengan figur yang disegani (hampir) semua orang yang pernah mendengar namanya, melainkan karena hari itu saya belajar satu lagi makna kerendahan hati dari sosok besar yang tak merasa perlu menjadi ‘besar’.

Jatuh Cinta Lagi

Lebih dari 2 dekade saya mengenalmu. Bersamamu. Mengecap intisari keberadaan saya di dunia ini denganmu.

Kita begitu dekat. Kita tak terpisahkan. Kita adalah satu.

Kamu tahu? Saya pernah, lho, benci sama kamu. Kadang saya menganggapmu tak adil, karena kamu tidak selalu memberi apa yang saya inginkan. Beberapa kali (okay, sering malah) saya memakimu. Mengutukmu karena merasa tidak puas dengan apa yang saya dapatkan. Tapi kamu tak pernah marah. Kamu terus mengalir, dan akhirnya saya memutuskan untuk berhenti mencaci dunia, kemudian ikut mengalir bersamamu.

Kamu tahu? Saya menikmati setiap detik kebersamaan kita. Sangat. Walaupun semua itu tak pernah terverbalkan dari bibir saya. Bukankah tidak semua perasaan di dunia ini perlu diungkapkan? Kadangkala kita hanya perlu menyimpannya dan menghayatinya, menikmatinya tanpa perlu kata-kata.

Kamu tahu? Saya sayang kamu. There, I said it. 😉

Maafkan saya, ya, karena kemarin-kemarin sempat jenuh dengan kamu. Saya terjebak dalam kebosanan yang amat-sangat. Saya kehilangan rasa. Kehilangan makna. Kehabisan energi. Saya lelah melangkah dan hanya ingin duduk di pinggir jalan. Tidak menanti siapa-siapa. Saya hanya ingin berhenti berkejaran dengan waktu dan rehat sejenak. Tapi ternyata kamu punya kejutan lain untuk saya.

Saat saya berhenti, kamu justru menghampiri saya dengan sebuket keindahan yang tak pernah terduga. Keindahan yang tak terselami oleh akal yang selalu haus menilik dengan rasio dan mengukur kebahagiaan berdasar apa yang terlihat oleh mata lahiriah.

Dengan caramu sendiri, kamu mengingatkan bahwa saya sudah memiliki cukup. Berlari mengejar mimpi itu baik, namun ada kalanya saya perlu beristirahat. Bagaimanapun, yang terpenting adalah perjalanannya, bukan hasil akhirnya. Melalui berbagai peristiwa, kamu mengingatkan saya untuk bersyukur, lagi dan lagi.

Terima kasih, ya. Untuk keberadaanmu. Untuk setiap makna yang kamu berikan pada saya. Untuk setiap bahagia, tawa, tangis dan keluh yang kita bagi bersama. Untuk derai airmata yang menyimpan rangkaian makna: haru, gembira, senang, sedih, sakit. Terima kasih telah memberikan kesempatan pada saya untuk mengecap semuanya dan mensyukuri setiap detik yang begitu berharga dalam helaan nafas ini.

Kamu tahu? Tak pernah saya merasa begitu bersyukur dapat merasakan semilir angin dingin saat hujan lebat. Tak pernah saya begitu menikmati pagi hari di balkon sambil menonton anak tetangga bermain. Tak pernah saya mengira akan merasa nyaman mendengarkan gemercik air di kamar mandi pukul 6 pagi. Tak pernah saya menyangka akan senang mencium aroma terasi digoreng sambil mendengarkan celetukan-celetukan konyol sana-sini. Tak pernah saya menduga akan menemukan kehangatan di antara persona-persona yang jauh berbeda satu sama lain.

Terima kasih, ya. Untuk segala keindahan yang kamu beri. Untuk setiap bahagia yang kamu bawa. Untuk nikmat yang tersembunyi dalam tiap proses dan pembelajaran. Untuk secercah cahaya yang tak pernah berhenti menyinari hati ini. Sungguh, terima kasih.

Kamu tahu?

Saya jatuh cinta lagi. Dengan kamu. 🙂

*Dipersembahkan untuk Kehidupan. Mari berhenti sejenak dan beristirahat di pinggir jalan. Resapi warna bunga, hayati semilir angin, nikmati hijau rerumputan, dengar kicau burung, dan bersahabatlah dengan mentari dan hujan. Life is beautiful. Indeed. 😉

Sepotong Keindahan dari Langit

“Itu petir?”

Saya bertanya blo’on sambil menatapi langit malam yang kembali pekat, yang sedetik lalu diterangi oleh kerjapan cahaya, membuat atap-atap rumah dan pucuk pohon terlihat jelas.

Teman saya mengiyakan. Kami mempercepat langkah dan masuk ke dalam kos-kosan, menyapa seorang laki-laki yang sedang duduk menunggu istrinya di teras, masuk ke kamar dan tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Saya membawa ember ke kamar mandi, mengisinya dengan air dan deterjen, lalu merendam pakaian kotor yang sudah beberapa hari tak terjamah. Air mengucur dengan suara ribut. Saya menunggu sampai ember nyaris penuh dan kembali ke kamar untuk menyapu.

Selesai membersihkan lantai, saya menyeterika beberapa potong pakaian. Peluh bertetesan di dahi, pipi, leher. Di luar, rintik hujan mulai membasahi bumi. Saya terus melicinkan kemeja kusut saya. Di bawah terdengar suara ribut. Teman-teman mulai pulang dan saling menyapa.

Saya menyimpan pakaian di laci plastik dan turun ke ruang tamu, bergabung dengan 3 orang teman yang duduk mengelilingi meja bundar dengan kursi-kursi kayu dan beberapa piring plastik berisi makanan kecil. Pintu terbuka lebar, membebaskan angin sejuk masuk ke dalam rumah.

Hujan semakin deras. Sesekali langit diterangi oleh kilatan cahaya. Tidak ada gemuruh atau gelegar yang menakutkan, hanya kerjap megah di sela atap rumah dan cabang-cabang pohon. Alam sedang bercanda ria, menunjukkan kemahakuasaannya tanpa berniat mencelakakan.

“Suka udang mayoinase?” teman saya menyodorkan piring hijau berisi udang bersalut tepung dengan krim putih menggoda. “Abisin aja, kenyang nih.”

Dengan senang hati saya mencomot sepotong. Sambil mengunyah, saya mendengarkan obrolan (tepatnya, curhat) mereka tentang kelakuan seorang teman kos yang menyebalkan. Karena tidak terlalu akrab dengan objek pembicaraan, saya hanya mendengarkan sambil terus mengunyah.

Suara hujan yang makin keras mendera membuat saya menoleh. Angin dingin masuk ke dalam ruangan, kesejukan pertama yang saya rasakan sejak menempati hunian baru ini. Di luar, air bertemperasan tanpa ampun. Di telinga saya, mereka seolah bermain. Kejar-kejaran satu sama lain, berlomba menghantam tanah, siapa duluan dia yang menang. Nyaman sekali.

2 orang teman baru saja tiba, nekat menerobos hujan dan angin bermodal sebuah payung. Setelah menyapa sekenanya, mereka bergegas naik ke atas. Saya beranjak ke teras, meresapi udara yang basah dan dingin, mereguk sepuasnya kesejukan yang ditawarkan malam. Nikmat sekali.

Diam-diam, saya berharap agar hujan ini tak pernah berhenti, meski saya tahu, dari segala doa yang saya panjatkan, doa yang satu ini takkan mungkin terkabul.

Setidaknya, biarkan saya mengecapnya lebih lama lagi, mohon saya, entah pada siapa. Permohonan itu dikabulkan. Hujan bertambah lebat. Desir-desir angin membelai leher saya. Suara ribut itu mungkin terkesan suram dan mengintimidasi, namun bagi saya, hujan deras bagaikan musik alam yang melatari babak awal kehidupan saya di hunian sederhana ini.

Ternyata keindahan tak hanya bisa ditemukan di pegunungan tinggi yang menawarkan panorama hijau nan menyegarkan, pantai indah berair jernih dengan langit bersih dan bentangan horison… pun hujan rintik di sore hari jelang matahari terbenam. Keindahan juga tersimpan di langit kelam yang riuh-rendah oleh permainan alam, ketika semua makhluk berlindung dari siraman air dan udara menggigit. Keindahan ada dalam percakapan santai mengelilingi meja bundar sambil menikmati gorengan dan cemilan. Keindahan terdapat dalam tawa hangat dan obrolan ringan sesama penghuni kos yang berbagi hidup dalam sepetak rumah.

Malam semakin pekat. Seorang teman masuk ke kamar untuk belajar. Yang seorang lagi beranjak ke kamar mandi untuk mencuci. Satunya lagi melangkah ke dapur untuk menggoreng tempe. Saya masih duduk di kursi kayu, menyandarkan punggung di sandaran yang keras, berbekal sebuah buku dan biskuit susu.

Malam ini ada bahagia. Malam ini ada kehangatan. Malam ini ada sejuk yang memberi nyaman. Hidup memang indah. 😉

Refleksi dalam Satu Halaman

Beberapa hari lalu, ketika membuka e-mail, saya melongo jaya membaca nama pengirim yang tertera di inbox.

Dewi Lestari mengirim e-mail ke saya?

Penasaran sekaligus surprised, saya langsung melahap tulisan yang cukup panjang itu. Sejujurnya, saya tak tahu harus berkomentar –atau me-reply– apa. Namun, membaca 2 kalimat pendek yang tertera di akhir e-mail, saya merasa perlu melakukan sesuatu melalui media bernama blog ini.

Tapi apa yang harus saya tulis?

Tak banyak informasi yang saya miliki tentang pemanasan global, penyelamatan Bumi, dan sebagainya. Kendati telah sering membaca artikel dengan topik serupa, hanya sedikit pengetahuan dan tips yang berhasil dijaring otak saya. Sisanya menguap entah ke mana, mungkin ini membuktikan bahwa saya memang penikmat fiksi sejati *yayaya, pembenaran* 😉

Bagaimanapun, e-mail itu cukup ‘mengusik’ saya. Menggugah. Mendorong. Mengingatkan, berkali-kali.

Satu halaman. Satu jam.

—–

Setiap hari Jum’at, kantor saya membolehkan para pekerja mengenakan pakaian kasual demi membebaskan diri dari aturan formil yang menjemukan. Ketika sedang menuju pantry untuk mencuci sendok bekas makan siang, saya menunduk dan membaca sebaris kalimat pada t-shirt yang saya ambil secara asal dari lemari.

I want to save the world. Do you?

Tulisan itu tercetak dengan warna putih mencolok di atas t-shirt hijau gelap.

Mendadak saya tercenung dan memperlambat langkah.

Menyelamatkan dunia? Bisakah?

Rasanya mustahil. Apalah artinya perbedaan yang dilakukan satu orang terhadap dunia yang berisi milyaran orang?

Pertanyaan itu terlintas dan berputar-putar di benak saya.

Apalah artinya sekelumit kesadaran pribadi jika dibandingkan dengan kerusakan massal yang terjadi setiap hari, yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang serakah mengeksploitasi bumi bagaikan monster?

Apalah artinya menahan diri untuk berpuasa daging sementara setiap hari ribuan ternak dipotong untuk dijadikan santapan, mulai dari restoran mewah hotel bintang lima sampai warung pinggir jalan?

Apalah artinya menerapkan pola disiplin diri demi bersahabat dengan alam sementara saya kerap putus asa menyaksikan entengnya tangan-tangan manusia merusak lingkungan yang kita (coba) pelihara ini?

Saya meraba t-shirt itu dengan hati-hati, khawatir mengotorinya dengan minyak yang melumuri jari. Sebelah tangan saya masih menggenggam mug dan sendok. Lalu pertanyaan-pertanyaan itu terhenti.

Bukan oleh jawaban yang mencerahkan, ide spektakuler maupun inspirasi cemerlang.

Kebingungan itu dihentikan oleh pertanyaan terakhir: Akankah dunia yang berisi milyaran orang ini berubah, jika tidak ada satu orang yang peduli?

Saya mempercepat langkah menuju pantry. Saya tak perlu lagi bertanya. Jawabannya sudah jelas. Dan seharian ini, saya sungguh bangga mengenakan kaus hijau itu. Bukan karena warnanya yang cantik atau kata-katanya yang menggugah, namun karena benda itu telah mengingatkan saya akan esensi keberadaan saya di alam semesta: untuk membantu menciptakan dunia yang lebih baik, hari demi hari. Dimulai dari diri sendiri.

Mari berkaca. Bukan pada rusaknya alam yang disebabkan oleh tangan-tangan penuh nafsu. Bukan pada isu pemanasan global dan krisis pangan. Bukan pula pada menjamurnya pemberitaan mengenai Bumi yang semakin menua. Mari mulai dari yang paling sederhana: berkaca pada sepiring nasi dan lauk-pauk yang kita santap 3 kali sehari, kendaraan yang membawa kita menyusuri jalan, dan apa-apa saja yang tercatat dalam shopping list kita setiap hari, minggu, bahkan bulan.

Mungkin ajakan menjadi vegetarian atau mengganti kendaraan bermotor yang nyaman dengan sepeda terdengar agak ‘menakutkan’. Tapi saya percaya kita bisa memulai gerakan penyelamatan Bumi dari hal-hal yang (tampaknya) kecil namun penuh arti: mengurangi konsumsi daging, menggunakan kendaraan bermotor dengan efisien dan menerapkan tips hemat energi.

Mengurangi kenyamanan? Mungkin iya. Tapi tindakan-tindakan sederhana yang berpotensi mengurangi rasa nyaman itu sesungguhnya tak lain dari uluran tangan penuh keramahan pada Bumi yang telah menghidupi kita semua. Tempat kita berpijak, bernafas, tumbuh dan menjelang hari.

Mari bercermin. Mari bertindak. Sekarang.

🙂

*Tulisan Dewi Lestari yang berjudul ‘Satu Halaman – Satu Jam’ serta informasi berharga mengenai pemanasan global dan penyelamatan Bumi bisa dibaca di sini.


**Ingin mendapatkan t-shirt seperti di atas sambil mendukung pelestarian lingkungan? Silakan mampir ke sini.

"I Did the Best Already."

Jelang jam 10 malam, ketukan di pintu kamar mandi mengagetkan saya yang sedang asyik jebar-jebur. Saya mematikan keran supaya bisa mendengar dengan jelas. Di luar, Mira, seorang kawan yang membantu saya mencari kamar kos, berseru minta nomor handphone sahabat saya yang juga sepupunya. Ada urgensi dalam suaranya.

Saya menyebut 11 digit angka yang sangat saya hafal sambil bertanya-tanya dalam hati.
Belum sempat saya menanyakan apa-apa, Mira sudah mendahului menjawab.

“Papaku sudah nggak ada, Jen. Kecelakaan…”

Gayung yang siap saya siramkan ke tubuh terhenti di udara. Mendadak tangan saya –tidak, sekujur tubuh saya- kaku.

“Ya ampun, Mir…,” hanya itu yang sempat saya lisankan. Mira sudah turun kembali ke kamarnya di lantai bawah. Saya menyudahi acara mandi dengan terburu-buru, mengeringkan tubuh seadanya dan bergegas menyusulnya. Rambut yang basah saya biarkan tergerai tanpa sempat diapa-apakan.

Di bawah, Mira dan 2 orang teman duduk mengelilingi meja kayu bundar. Saya mendekati mereka tanpa bisa berkata-kata. Hati saya mencelos melihat Mira yang tidak mengeluarkan airmata sedikitpun, namun mulutnya terus komat-kamit melafalkan doa.

Saya duduk, bertukar pandang dengan teman-teman. Kami sama-sama diam. Hanya suara Mira yang terdengar lirih, mengucapkan sebaris ayat dalam kitab Mazmur.

Saya tak tahu harus berkata apa. Yang ada hanya risau yang dalam. Saya mengenal Mira dan Lisa –adiknya- saat mereka pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta, bertahun-tahun silam. Kedekatan saya dengan sepupu mereka membuat kami jadi akrab dalam waktu singkat. Saya, Mira dan Lisa sering sekali menginap bersama dan hang out bareng, layaknya saudara sendiri.

Kini, mendengar mereka kehilangan Ayah dengan cara yang tragis, saya merasa sebagian jiwa saya ikut melayang. Entah kemana.

Mira masih komat-kamit melisankan doa dan segala kalimat untuk menenangkan diri. Saya meraih handphone untuk menelepon Lisa. Telepon tersambung. Di ujung sana, Lisa menangis histeris bahkan sebelum saya sempat berkata apa-apa.

Saya menyerahkan handphone kepada Mira. Mira berbicara dengan lembut, menenangkan adiknya.

“Nggak apa-apa ya, Lisa. Papa sudah di surga. Lisa harus kuat, ya.”

Sejurus kemudian, Mira masuk ke dalam kamar. Saya mengira ia akan menumpahkan tangis di sana, tapi tak lama kemudian ia keluar dengan bungkusan besar yang diletakkannya di atas meja.

Saya memandangi kantung plastik putih itu dalam diam. Teman-teman saya melakukan hal yang sama.

Bungkusan itu berisi 6 kotak susu, minyak goreng dan 2 bungkus besar havermut. Mira yang sudah punya firasat buruk jauh hari sebelum peristiwa itu, menghabiskan simpanan uangnya untuk berbelanja bagi sang Ayah, yang rencananya akan ia paketkan ke Jawa dalam waktu dekat. Sayang, sebelum niat itu terlaksana, Ayahnya telah mendahului menghadap Sang Kuasa.

“Nggak apa-apa ya, Pa?” ucapnya lirih, “Papa sudah di surga sekarang,” kalimat itu terhembus kelu, perih, meski tak ada setitik pun airmata yang jatuh.

I did the best already,” bisiknya. Lagi-lagi dada saya sesak.

“Nggak ada yang aku sesali…” kali ini ada seuntai senyum di wajah Mira. Tipis. Matanya lekat menatapi kotak-kotak susu yang terjajar bisu. “Beneran nggak ada. I did the best already…”

Handphone saya berdering. Sepupu Mira menelepon, meminta saya menguatkan Mira dan memberitahunya untuk bersiap-siap karena sebentar lagi akan dijemput. Mira beranjak masuk ke kamar, sementara kami anak-anak kos sibuk kasak-kusuk urunan seadanya untuk membantu meringankan bebannya.

Selesai menitipkan rupiah yang tak seberapa pada seorang teman untuk diamplopi, saya meraih handphone dan beranjak keluar. Di teras yang sepi, ditemani angin malam yang membelai lembut, saya menekan sebaris angka.

Tak tersambung. Saya menunggu, kemudian menelepon lagi.

Tetap tak tersambung.

Saya termangu, memikirkan begitu banyak hal yang tiba-tiba berserabutan di otak tanpa bisa terkendali.

Ah, hidup. Berapa panjangkah?

Dengan apa saya akan mengisi lembaran hari yang terus berlalu ini? Apa yang akan saya tuliskan pada halaman-halaman bersih yang saya temui setiap pagi? Ketika esok menjelang, akankah saya mengisinya dengan sebait bahagia bersalut syukur? Ketika hari berlalu, akankah saya menengok ke belakang dan menemukan sesal?

Dan bagaimana dengan orang-orang yang saya cintai? Mereka yang mengisi hati ini setiap harinya? Mereka yang saya kasihi, meski rasa itu jarang terverbalkan?

Deru motor menyentakkan saya dari lamunan. Sepupu Mira telah datang, siap membawanya pergi. Berdua, kami menunggu Mira di teras.

Handphone saya kembali berdering. Kali ini dari nomor yang saya tunggu-tunggu sejak tadi.

“Kamu cari Papa?” suara itu bagaikan angin sejuk di telinga saya. “Kenapa?”

Konversasi itu tidak panjang. Tidak perlu bertele-tele. Tidak perlu banyak basa-basi dengan sosok yang telah saya kenal puluhan tahun. Tidak perlu kata-kata indah penuh puisi, karena kami telah saling mengerti.

Malam ini, saya hanya ingin berbagi dengannya. Memberitahu bahwa saya punya cinta untuknya. Selalu.

Di penghujung dialog, saya bisikkan 3 kata sederhana: “I love you.”

Ayah saya membalasnya dengan kalimat yang sama, meski tersirat kebingungan dalam suaranya.

Mira telah selesai berberes. Bertiga, kami bermotor menyusuri malam, menuju rumah sang sepupu yang tak jauh dari situ.

Di atas motor, tak henti-hentinya saya bersyukur. Bahwa saya masih bisa mengucapkan sayang pada orang yang saya kasihi. Bahwa kesempatan untuk memverbalkan cinta masih bisa saya nikmati. Bahwa saya masih diberi peluang untuk mengisi lembar-lembar hidup ini dengan tinta emas yang indah, dengan sebentuk rasa bernama bahagia dan syukur.

Terima kasih, Tuhan.

Tak putus saya melisankan syukur atas sebuah pelajaran berharga yang saya terima malam ini – bahwa sebagaimana kematian memisahkan kita dari kehidupan, kematian juga dapat mendekatkan kita pada kehidupan.